1
BAB I PENDAHULUAN
Dalam tujuan perencanaan masalah teknis suatu daerah, berawal dari pengumpulan informasi ataupun data penunjang perencanaan yang lebih dikenal sebagai data sekunder bagi perencana itu. Dalam hal seperti ini, disadari ataupun tidak, diperlukan pemampatan kenampakan (view) daerah obyek dalam bentuk secukupnya (sesuai dengan keperluan). Tujuan perencanaan dapat memberikan masukan berupa harapan ataupun keinginan atas informasi yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Ini berarti pula bahwa yang diperlukan satu perencana dengan lainnya dapat berbeda. Walaupun demikian terdapat sekumpulan data (informasi) yang dapat menjadi data dasar atas daerah studi (obyek) , dimana data tersebut diperlukan oleh setiap perencana dalam memperkecil keseluruhan daerah. Data yang menjadi dasar bagi penempatan data lainnya ini dikenal dengan PETA.
Seperti yang diulas di atas, bahwa diperlukan pemampatan dan perkecilan data daerah studi untuk mempermudah perencanaan. Perbesaran/perkecilan baru dapat dilaksanakan dengan baik bila seluruh data dinyatakan dalam bentuk numerik. Pernyataan suatu obyek dalam bentuk numerik, memerlukan pengukuran yang menyatakan suatu besaran dalam satuan (unit) ataupun dimensi tertentu dengan menggunakan alat ukur. Aktivitas merubah bentuk data dari tak terukur menjadi numerik terukur ini, sekarang lebih dikenal dengan istilah KUANTIFIKASI atau juga Analog to Digital Conversion. Dengan adanya data numerik ini, barulah dapat dilakukan hitungan-hitungan mathematis atas data tersebut.
Salah satu masalah yang dapat ditarik kesimpulannya adalah bahwa:
“Setiap obyek secara mathematis diwakili oleh data numerik dalam satuan (unit) tertentu”
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa masalah perpetaan merupakan penggabungan 2 (dua) bentuk ataupun dunia yang berbeda dengan tujuan untuk memudahkan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Untuk mempermudah pengertiannya, dapat dilihat Diagram 1.
Alam sebagai sumber data (bentuk analog)
DASAR-DASAR MATEMATIKA
PENGUKURAN/KUANTIFIKASI ( A / D Conversion)
Bentuk-bentuk Geometrik : * Titik
* Garis
DATA sebagai wakil obyek * Bidang (area) (bentuk digital/numerik)
PENGOLAHAN DATA (secara numerik)
Diagram 1.
Konsep Dasar Pemetaan
Dari Diagram 1, dapat dilihat bahwa dasar matematik yang sangat dipentingkan adalah bentuk geometrik, di mana semua obyek alam dinyatakan dalam bentuk -bentuk geometrik.
2
1.1. Cakupan Daerah Pemetaan
Seperti yang sudah diketahui bahwa bumi bukan merupakan bidang datar seperti meja, mela- inkan merupakan benda lengkung pada permukaannya, mendekati bentuk bola. Pada permasalahan yang lebih teliti, bumi dikatakan mendekati bentuk ellipsoida, yaitu bentuk bola dengan “pegepengan” pada kutubnya.
Peta, merupakan suatu gambaran atas obyek-obyek (sebagian besar/kecil) unsur permukaan bumi. Penggambaran tersebut dilakukan pada bidang datar (misal kertas). Dengan demikian, terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar, di mana permukaan bumi yang akan di- gambarkan berupa bidang lengkung, tetapi harus digambarkan pada bidang datar, sehingga terdapat permukaan bumi tersebut di”golong”kan menjadi beberapa kategori.
Pembagian kategori atas permukaan bumi ini, berdasarkan asumsi/anggapan, di mana perbedaan jarak maupun sudut pada bidang lengkung dan bidang datar, dapat diabaikan. Hal ini berakibat pula pada bentuk ataupun persamaan mathematika yang diterapkan pada hitungan- hitungan tersebut.
Adapun pembagian permukaan bumi adalah sebagai berikut :
1. Suatu daerah dengan jarak terpanjang lebih kecil dari 55 km. ( < 55 km.), dapat dianggap sebagai bidang datar. Perbedaan jarak di muka bumi dengan proyeksinya pada bidang datar dapat diabaikan, sehingga muka bumi dianggap sebagai bidang datar.
Hitungan yang berlaku di sini adalah penerapkan persamaan mathematik bidang datar, sehingga ukuran besaran jarak maupun sudut harus besaran pada bidang datar.
Ilmu ukur tanah ataupun “surveying”, sebagai ilmu mendasar dalam pemetaan, merupakan terapan dari anggapan bahwa bumi adalah bidang datar.
2. Suatu daerah dengan jarak terpanjang antara 55km s/d 110 km., dapat dianggap sebagai permukaan (kulit) bola, dimana jari-jari bumi dianggap sama di semua tempat.
Hitungan yang diberlakukan di sini, merupakan bentuk mathematik bidang lengkung (kulit bola). Besaran dasar untuk model mathematika di sini adalah besaran sudut.
3. Suatu daerah dengan jarak terpanjang lebih besar dari 110 km. ( > 110 km.), dapat dianggap sebagai permukaan (kulit) ellipsoida, di mana jari-jari bumi di equator tidak sama dengan jari-jari bumi di kutub.
Anggapan di atas, sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk bumi sebenarnya, tetapi hal tersebut harus ditetapkan agar dapat dilakukan hitungan atapun pengolahan data secara mathematis.
1.2. Sistem Proyeksi Peta
Seperti telah diulas di atas, bahwa untuk anggapan bahwa permukaan bumi tidak datar, memerlukan perhitungan tertentu untuk menyatakan besaran-besaran tersebut pada bidang datar. Hal ini akan berakibat pada timbulnya perbedaan antara besaran di permukaan bumi dengan besaran tersebut di bidang datar. Perbedaan tersebut dikenal dengan “distorsi geometrik” yang nilai dan penyebabnya dapat dinyatakan dalam bentuk mathematis.
Mengingat suatu bidang lengkung (kulit bola ataupun kulit ellipsoida) harus dinyatakan pada bidang datar, maka akan terjadi pergeseran tempat titik-titik dari tempat seharusnya. Materi yang khusus membahas masalah ini adalah “Sistem Proyeksi Peta” .
Terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam proyeksi peta, seperti di bawah.
3 1.2.1. Bidang Proyeksi Peta.
Yang dimaksudkan dengan bidang proyeksi di sini adalah bentuk-bentuk mathematika yang dapat dijadikan bidang datar.
Terdapat 3 (tiga) macam bentuk, yaitu : 1. Bidang datar
2. Kulit silinder (tabung) 3. Kulit kerucut
Untuk tabung, maupun kerucut, diperlukan “garis potong yang dapat mengubah kedua bentuk tersebut menjadi bidang datar. (lihat Gambar 1. dan Gambar 2.)
(a) (b) (c)
Bidang datar silinder kerucut
Gambar 1.
Bidang Proyeksi Peta
(a) (b)
silinder kerucut
Gambar 2.
Perubahan ke Bidang Datar
1.2.2. Letak Bidang Proyeksi Terhadap Bumi
Melihat bentuk bidang proyeksi dan bentuk bumi, akan lebih baik bila ditinjau pula kemung- kinan peletakan bidang proyeksi tersebut relatif terhadap bumi.
Untuk ini, terdapat 3 (tiga) kemungkinan yang dikelompokkan secara umum, yaitu : 1. Normal
2. Tranversal , dan 3. Oblique
Dari ketiga kemungkinan tersebut, dapat dibayangkan proyeksi suatu garis ataupun titik terhadap/pada bidang proyeksinya.
4
(a) (b) (c)
Normal Transversal Oblique Gambar 3.
Proyeksi Azimuthal (Bidang Datar)
(a) (b) (c)
Normal Transversal Oblique Gambar 4.
Proyeksi Silinder
(a) (b) (c)
Normal Transversal Oblique Gambar 5.
Proyeksi Kerucut
5 1.2.3. Proyeksi Besaran Pada Bidang Proyeksi
Ditinjau dari kedudukan bidang proyeksi terhadap bumi, maka dapat dimengerti bahwa akan terjadi perbedaan besaran di bumi dengan besaran yang sama pada bidang proyeksi. Dalam melakukan proyeksi titik-titik muka bumi ke bidang proyeksi, dapat beracuan pada beberapa hal, di mana besaran tersebut dapat dibuat sama dengan pada bidang proyeksi.
Masalah ini yang menentukan sistem proyeksi yang digunakan dan mungkin dapat menyebabkan perbedaan pengertian antara pembuat dengan pembaca peta.
Sistem proyeksi yang diterapkan pada pemetaan, terbagi atas :
1. Equidistant ; yaitu jarak pada muka bumi dijaga sama dengan jarak pada proyeksi.
Pengertian ini hanya berlaku pada garis singgung bidang proyeksi dengan bumi.
Dalam pengertian lain adalah bahwa faktor perbesaran sepanjang garis singgung bidang proyeksi sebesar satu.
2. Konform ; yaitu besaran sudut yang dibentuk antara dua arah dipertahankan sama besar baik pada muka bumi ataupun pada bidang proyeksi. Pengertian lain untuk ini adalah bahwa bentuk suatu daerah dipertahankan sama, walaupun besarnya mungkin berbeda.
3. Equivalent ; yaitu bahwa luas suatu daerah di muka bumi dengan di proyeksi dijaga tetap (tanpa perubahan). Untuk ini, mungkin terjadi perubahan bentuk maupun perubahan panjang garis pada daerah tersebut.
Dalam proyeksi peta suatu daerah, ketiga masalah tersebut tidak dapat secara bersamaan dipertahankan tetap. Hal inilah yang menimbulkan distorsi geometrik yang menyebabkan perbedaan besaran di muka bumi dengan di bidang proyeksi akibat dari persamaan methematika yang diterapkan dalam memproyeksikan titik-titik tersebut. Distrosi tersebut dapat diperhitungkan, sehingga dalam membaca peta untuk diterapkan kembali ke muka bumi, perlu diperhitungkan “koreksi” atas besaran yang didapatkan dari peta tersebut.
1.2.4. Sistem Proyeksi Peta Yang Banyak Dikenal
• Proyeksi Mercator
Proyeksi peta yang diterapkan oleh Mercator untuk pertama kalinya adalah silinder normal konform di mana equator dinyatakan sebagai garis equidistant
Dalam sistem proyeksi Mercator ini, seluruh muka bumi dapat dipetakan walaupun daerah semakin jauh dari equator, baik ke utara maupun ke selatan, semakin besar pengaruh distorsinya.
Terjadi masalah terbesar pada kutub, yaitu bahwa kutub utara maupun selatan, seharusnya berupa titik, tetapi pada proyeksi Mercator menjadi suatu garis.
• Proyeksi Lambert
Seperti juga Mercator, Lambert berusaha mengatasi problema pemetaan untuk daerah kutub, sehingga memilih bidang proyeksi kerucut normal konform. Masalah yang dapat di- atasi adalah titik kutub, tetap berupa titik, walaupun terdapat kesulitan bahwa tidak dapat menggambarkan seluruh bagian bumi. Dengan demikian, Lambert menerapkan penempatan 2 (dua) buah kerucut, yaitu untuk belahan bumi utara dan selatan.
Ditinjau dari garis singgung kerucut dengan bumi, maka dapat dikatakan bahwa distrosi jarak cukup besar untuk pemetaan skala sedang.
6
• Proyeksi Polyeder
Sebagai kelanjutan dari proyeksi Lambert, proyeksi Polyeder menerapkan kerucut sebagai bidang proyeksi.
Untuk mengatasi distorsi yang besar, maka diterapkan kerucut yang banyak, yaitu dengan cara menyinggungkan kerucut-kerucut tersebut pada paralel (garis sejajar equator) bumi yang berbeda-beda. Inilah sebabnya kenapa dikatakan sebagai Polyeder.
Besar daerah yang dipetakan dengan proyeksi Polyeder ini adalah sebesar 20’x20’ (lebar meridian dan lebar paralel). Pembagian daerah proyeksi seperti ini, dikenal dengan zona proyeksi. Untuk daerah di luar kawasan tersebut, digunakan kerucut lain yang dising- gungkan pada paralel yang berbeda.
Sistem proyeksi ini banyak digunakan oleh Belanda untuk memetakan Indonesia.
• Proyeksi Transverse Mercator
Untuk daerah sekitar equator, proyeksi Mercator dapat memberikan jawaban yang lebih baik agar distorsi yang timbul mengecil. Untuk itu, proyeksi Mercator dikembangkan dalam bentuk silinder tranversal konform.
Pada saat awal, sistem proyeksi ini tidak membatasi zona proyeksi, sehingga untuk bebe- rapa daerah walaupun sepanjang equator, distorsi geometrik proyeksi tersebut dirasakan masih cukup besar.
• Proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM)
Pengembangan lebih lanjut dari proyeksi Transverse Mercator (TM) adalah Universal Transverse Mercator (UTM) yang berusaha menyatakan seluas mungkin daerah dalam satu lembar peta yang sama, dengan distorsi sekecil mungkin.
Untuk tujuan itu, UTM menerapkan prisip sebagai berikut :
• Silinder di”tembus”kan bumi, dengan meridian potong tertentu (simetrik terhadap meridian sentral).
• Silinder ini menembus juga bumi pada paralel tertentu, baik di utara maupun di selatan.± 81o
• Lebar zona proyeksi sebesar 6o meridian.
• Faktor perbesaran pada meridian sentral = 0,9996
• Faktor perbesaran pada meridian batas zona (tepi) = 1,0004
Dengan demikian, UTM menggunakan lebar zona proyeksi yang cukup lebar untuk dapat memetakan daerah yang luas.
• Proyeksi Transverse Mercator 3o
Salah satu proyeksi peta sebagai pengembangan dari TM dan UTM adalah proyeksi Transverse Mercator 3o.
Sistem proyeksi ini diterapkan di Indonesia oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk seluruh kawasan Indonesia.
Sistem proyeksi ini dapat memberikan ketelitian yang lebih tinggi, karena ditujukan untuk pemetaan BPN dalam skala besar. Oleh karena itu, lebar zona proyeksi adalah 3o meridian, agar distorsi jarak tidak besar. Distorsi sudut ditiadakan, karena menerapkan sistem proyeksi konform.
Proyeksi TM-3o , menerapkan model sebagai berikut :
• Silinder di”tembus”kan bumi, dengan meridian potong tertentu (simetrik terhadap meridian sentral).
• Lebar zona proyeksi sebesar 3o meridian.
• Faktor perbesaran pada meridian sentral = 0,9999
• Faktor perbesaran pada meridian batas zona (tepi) = 1,0001
7 1.2.5. Sistem Koordinat 2 Dimensi pada Peta
Dalam perpetaan, mengingat masalah utama adalah posisi/letak obyek, maka sebagai dasar pernyataan posisi secara numerik adalah dengan sistem koordinat. Perlu diketahui sistem koordinat 2 Dimensi (2D) yang akan sering dijumpai dalam perpetaan, antara lain adalah :
1. Sistem koordinat Polar, dengan parameter sudut/arah dan jarak 2. Sistem koordinat Rectangular (Cartesius), dengan parameter jarak 3. Sistem koordinat Geografik, dengan parameter sudut
Bidang acuan/referensi bagi 2 (dua) sistem koordinat di atas adalah bidang datar, sedang sistem koordinat geografik adalah kulit ellipsoida dan dinyatakan dalam istilah Lintang dan Bujur/meridian (φ,λ)
Y Y KU
Meridian Greenwich
Equator
D XA λ φ
YA
α
X X
KS
(a) (b) (c)
Polar Cartesius Geografik
Gambar 6.
Sistem Koordinat
Mengingat peta merupakan bidang datar, maka sistem koordinat yang diterapkan adalah sistem koordinat rectangular (Cartesius) dengan salib sumbu pada tempat tertentu (sesuai dengan terapan sistem proyeksi peta). Untuk lebih jelasnya, ketentuan sistem proyeksi peta yang terkait dengan sistem koordinat, adalah sebagai berikut :
1. Sumbu Y adalah garis singgung meridian titik O (0,0) yang dipilih, positif ke arah utara. Meridian setiap zona proyeksi, dikenal dengan meridian sentral .
2. Sumbu X adalah garis singgung paralel/equator titik O (0,0) yang dipilih, positif ke arah timur. Equator ataupun paralel sebagai sumbu X, tergantung pada sistem proyeksi.
3. Arah utara geografik suatu titik adalah garis singgung meridian ke arah utara pada titik tersebut.
4. Arah utara peta, suatu titik adalah garis sejajar sumbu Y ke arah utara (//Y+) pada titik tersebut
5. Garis “GRID” adalah garis tempat kedudukan titik-titik dengan absis atau ordinat yang sama. Garis grid ini akan sejajar sumbu Y atau sumbu X.
6. Garis “GRATICULE” adalah garis tempat kedudukan titi-titik dengan lintang atau bujur/meridian yang sama.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa dalam membaca peta skala sedang dan kecil, perlu dilakukan koreksi-koreksi untuk diterapkan di lapangan.
Peta topografi, sebagai peta yang bersifat umum, memuat informasi penting yang menjelaskan distorsi geometrik akibat sistem proyeksi baik dalam bentuk tertulis (textual) maupun grafik.
8 meridian sentral
Y
graticule
grid
Equator
X
Gambar 7.
Garis Grid dan Garticule pada Peta
Y = meridian sentral
UP UG
//Y
meridian titik meridian titik
X = equator UG UP //Y
Gambar 8.
Arah Utara Peta & Utara Geografik
Perbedaan arah utara peta dengan arah utara geografik, dikenal dengan istilah Konvergensi Grid atau Konvergensi Meridian. Nilai konvergensi grid dapat berbeda di setiap titik bahkan dapat negatif maupun positif , tergantung pada letak titik tersebut terhadap salib sumbu.
9
1.3. Anggapan Dasar Ilmu Ukur Tanah
Telah diulas di atas, bahwa dalam memetakan suatu daerah, anggapan yang penting artinya adalah panjang jarak pada suatu daerah yang dipetakan. Jarak terpanjang tersebut dapat menentukan perbedaan acuan hitungan secara menyeluruh.
Ilmu Ukur Tanah, sebagai ilmu yang mempelajari masalah perpetaan, tidak terlepas dari proyeksi peta, karena peta merupakan salah satu hasil yang dibahas dalam ilmu ini.
Salah satu perbedaan prinsip antara ilmu ukur tanah dengan perpetaan Geodesi adalah pada acuan hitungan maupun pengolahan data. Ilmu ukur tanah beracuan bidang datar, sedang untuk Geodesi secara umum beracuan bidang lengkung (misal kulit ellipsoida).
Oleh karena itu, ilmu ukur tanah dapat diterapkan pula pada berbagai bidang sepanjang acuan bidang datar yang diterapkannya, masih dapat memungkinkan untuk digunakan.
Untuk itu, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu anggapan-anggapan yang diterapkan pada ilmu ukur tanah secara menyeluruh.
1.3.1 Acuan/referensi Ukuran
Mengingat tujuan dari ilmu ukur tanah adalah tujuan praktis Geodesi, yaitu pemetaan suatu daerah disertai penerapan dalam berbagai bidang, maka obyek utama secara umum adalah obyek-obyek muka bumi. Walaupun demikian, obyek yang terletak di dalam kulit bumi, tetap dapat memanfaatkannya.
Seperti telah diperlihatkan pada Diagram 1., bahwa untuk dapat menyatakan besaran- besaran alam dalam bentuk numerik, perlu dilakukan perubahan bentuk data, yaitu dari bentuk analog ke bentuk digital (Analog to Digital Conversion). Dalam prktek sehari- hari, kegiatan tersebut merupakan suatu pengukuran dengan menggunakan alat ukur tertentu, sesuai dengan besaran yang akan dikuantifikasikan.
Mengingat keragaman topografi permukaan bumi, maka diperlukan suatu acuan agar hasil ukuran pada setiap tempat dapat digabungkan (di-integrasi-kan).
Bidang acuan ukuran topografi muka bumi adalah GEOID, yang memiliki berbagai pengertian dan pendefinisian. Dalam hal ini, geoid didefinisikan sebagai :
“Bidang yang tegak lurus garis gaya berat yang melalui setiap titik dan melalui muka air laut dalam keadaan tanpa gangguan”
Berhubung bidang yang melalui muka air laut, walaupun tanpa gangguan tidak dapat dinya- takan secara pasti dalam bentuk persamaan mathematik, maka digunakan bentuk geomatrik lain yang dapat dinyatakan dalam bentuk mathematika.
Mengingat cakupan pandangan secara konvensional (dengan mata) tidak terlalu luas dan terpusat pada tempat pengamat, maka acuan dalam ilmu ukur tanah adalah bidang datar yang merupakan bidang singgung geoid pada tempat pengamatan/pengukuran.
Sebagai akibat dari anggapan terakhir di atas, maka terdapat beberapa obyek yang perlu diperhatikan dengan seksama.
• Garis singgung dari garis gaya berat pada tempat pengamat, dikatakan sebagai garis tegak (vertikal) yang mengarah ke titik Nadir
• Garis singgung garis gaya berat yang mengarah ke atas tempat pengamat, dikatakan ke arah titik Zenith.
• Bidang yang menyinggung geoid dan tegak lurus garis Zenith-Nadir, disebut dengan Bidang Horizon.
• Seluruh bentuk ukuran, yaitu ukuran jarak dan sudut, dinyatakan pada bidang horizon atau bidang tegak.
Lihat Gambar 9
10 Zenith A
bidang horizon Zenith B
A
B Nadir A
muka tanah
Nadir B geoid
. gaya berat di A gaya berat di B
Gambar 9.
Bidang acuan ukuran
1.3.2. Acuan/referensi Hitungan
Telah diulas di atas, bahwa secara garis besarnya, pemetaan dapat dibagi menjadi tiga kategori besar sesuai dengan daerah obyek.
Kategori pertama, di mana bumi masih dapat dianggap sebagai bidang datar, maka seluruh hitungan atas data pengukuran akan dinyatakan berbasis bidang datar. Ini berarti pula bahwa besaran-besaran yang akan diolah harus merupakan besaran bidang datar.
Pada ilmu ukur tanah atau surveying, besaran yang dominan adalah sudut dan jarak.
Kedua besaran tersebut, harus secara mutlak pada bidang datar. Dengan demikian jarak merupakan jarak datar dan juga sudut pada bidang datar.
Pengertian bidang datar itu sendiri tidak selalu harus “mendatar”, tetapi dapat juga vertikal (tegak).
Bidang-bidang hitungan pada ilmu ukur tanah merupakan bidang datar yang dinyatakan sebagai :
• Bidang datar horizontal (mendatar)
• Bidang datar vertikal (tegak)
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dimengerti bahwa jarak pada ilmu ukur tanah dikatakan sebagai jarak mendatar dan jarak vertikal/tegak. Untuk sudut dibagi menjadi sudut mendatar dan sudut vertikal.
Kategori kedua, di mana bumi dianggap sebagai bola, maka seluruh dasar hitungan untuk jenis ini adalah kulit bola. Hasil ukuran pada muka bumi, seluruhnya dinyatakan dalam bentuk besaran pada kulit bola. Ini berakibat bahwa besaran panjang tidak lagi dinyatakan dalam satuan jarak, melainkan dalam bentuk busur lingkaran (satuan sudut). Pernyataan besaran panjang dalam satuan jarak baru dilakukan bila telah ditentukan jari-jari bola yang dijadikan tempat hitungan tersebut.
Mengingat hasil ukuran dinyatakan pada bidang datar, maka untuk dapat memenuhi per- syaratan agar dapat digunakan pada bola, hasil ukuran tersebut di”reduksi” terlebih dahulu ke bola. Apabila besaran seluruhnya telah pada bola, barulah hitungan dilakukan atas data tersebut.
Jari-jari bola yang digunakan untuk kategori ini adalah jari-jari rata-rata daerah obyek, yang dikenal dengan jari-jari GAUSS.
11 Kategori ketiga, merupakan kategori umum, yaitu beracuan ellipsoida. Bentuk ellipsoida untuk bumi, diambil dengan suatu anggapan bahwa bentuk mathematika yang paling mendekati bentuk bumi adalah ellipsoida.
Berdasarkan perjanjian internasional, ukuran ellipsoida yang sekarang diterapkan untuk/
berlaku seluruh dunia adalah : World Geodetic Systems 1984 (WGS’84).
Walaupun demikian, besaran ellipsoida ini belum tentu terbaik untuk suatu daerah tertentu, misal suatu negara, sehingga dalam pemetaan nasional, mungkin menggunakan besar ellipsoida yang lain.
Peta Indonesia yang dibuat oleh Belanda, menggunakan ellipsoida Bessel. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas atas besar ellipsoida yang mungkin digunakan, lihat Tabel 1.
Tabel 1.
Besaran Ellipsoida
Nama Tahun a (m) 1/f
Bouguer, Maupertuis 1738 6 397 300 216,8
Delambre 1800 6 375 653 334,0
Walbeck 1819 6 376 896 302,78
Everest 1830 6 377 276,345 300,8017
Airy 1830 6 377 563,396 299,324964
Bessel 1841 6 377 397,155 299,152813
Clarke 1858 6 378 293,645 294,26
Pratt 1863 6 378 245 295,3
Clarke 1880 6 378 249,145 293,4663
Hayford 1906 6 378 283 297,8
Helmert 1907 6 378 200 298,3
Hayford 1910 6 378 388 297,0
Heiskanen 1926 6 378 397 297,0
Krasovsky 1936 6 378 210 298,6
Krasovsky 1940 6 378 245 298,3
Jeffreys 1948 6 378 099 297,1
World Geodetic Systems 1984 6 378 137 298,257 a = jari-jari di Equator ; f = (a-b) / a
b = jari-jari di kutub
(dicuplik dari Ivan I. Mueller,1969)
Seperti juga pada kategori kedua, hasil ukuran lapangan harus direduksi terlebih dahulu ke ellipsoida, sebelum diolah.
1.3.3. Ruang Lingkup Ilmu Ukur Tanah
Dari uraian di atas, telah dapat diketahui bahwa Ilmu Ukur Tanah memiliki basis mathe- matika yang berbeda dengan Geodesi secara umum, yaitu bidang datar.
Meskipun demikian, ilmu ukur tanah mencakup seluruh kegiatan
• dasar keilmuan,
• penyiapan dan pengetahuan alat
• metoda-metoda pengukuran
• pemetaan secara umum
• pengolahan data (termasuk perataan = adjustment)
• penggambaran peta
• penerapan dalam berbagai bidang.
12
alat ukur ALAM
bentuk geometrik mathematika basis ukuran besaran-besaran
bidang datar ukuran
PENGUKURAN pada bidang datar
Metoda Hasil ukuran Mathematika
Pengukuran pada bidang datar Bidang lengkung
GEOID dianggap Reduksi ke bidang datar GEOID
Reduksi ke Reduksi ke
BOLA ELLIPSOIDA
Reduksi ke bidang PROYEKSI Mathematika
Bidang Datar
Data pada BIDANG DATAR
STATISTIKA
Hitung PERATAAN/
Adjustment bidang datar
Hitungan BIDANG DATAR
PLOTTING KARTOGRAFI
Penggambaran Halus
KOORDINAT TITIK di P E T A lapangan
Diagram 2.
Tinjauan Umum Perpetaan
13 Dari Diagram 2., dapat pula diketahui ilmu ataupun pengetahuan apa saja yang terkait dengan ilmu ukur tanah, sehingga dapat dibayangkan cakupan ilmu tersebut dalam pemetaan.
Meskipun peran mathematika sangat dominan, tetapi dalam pelaksanaan pemetaan, tidak mungkin terlepas dari faktor kemanusiaan (humaniora) dan seni. Ini dapat berarti pula bahwa dalam pengukuran, tidak mungkin terlepas dari faktor “human error” yang melaksana- kan pengukuran tersebut, di samping peranan “seni” seseorang sangat berpengaruh pada penggambaran halus suatu peta, meskipun simbol peta telah dibakukan.
1.5. Pengertian Dasar Ilmu Ukur Tanah
Dalam memasuki suatu ilmu maupun pengetahuan, sebaiknya langkah awal yang dilakukan ada- lah mengetahui secara umum keseluruhan dasar ilmu dan pengetahuan tersebut. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar tidak terjadi salah pengertian maupun penerapan atas ilmu tersebut.
Ilmu ukur tanah itu sendiri, berawal dari suatu dasar pemikiran bahwa :
“Tidak ada 2 titik berbeda yang terletak/berada pada tempat yang sama.”
Tersirat suatu penerapan bentuk geometrik mathematik yang mendasar, yaitu titik , dan tempat titik tersebut, atau lebih dikenal dengan posisi atau lokasi.
Dengan demikian, peran mathematika akan sangat besar pada ilmu ukur tanah dan setiap kegiatan yang tercakup di dalamnya akan selalu berkaitan dengan mathematika walaupun yang sederhana.
Mengingat obyek kegiatan dan kajian adalah “unsur muka bumi” , maka pada mulanya, seluruh unsur muka bumi, dipisahkan dalam jenis data yang berbeda. Jenis data atas unsur muka bumi, yang berikutnya lebih mudah dikatakan sebagai obyek kajian, tetap tidak terpisahkan dalam menyajikan informasi atas obyek tersebut.
Adapun jenis data suatu obyek, dipisahkan atas :
1. Data kuantitatif ; yaitu data atas obyek yang dapat diukur untuk dapat dinyatakan da- lam bentuk numerik.
2. Data kualitatif ; yaitu data atas obyek yang tidak dapat diukur, sehingga lebih banyak berupa keterangan ataupun berupa data textual.
Dalam penyajian informasi atas suatu obyek, kedua jenis data tersebut di atas, tidak mungkin saling dipisahkan, karena bila dipisahkan akan memberikan salah pengertian (mis-information).
Berhubung jenis data kualitatif lebih banyak berkaitan dengan penggunaan bahasa (berupa istilah dan keterangan lisan maupun tertulis), maka tidak dibahas dengan rinci. Yang akan dibahas dengan terinci (detailed) adalah data kuantitatif, di mana pengolahan data didasari oleh penerapan mathematika.
1.5.1. Pengertian Posisi Obyek
Menyatakan letak/posisi suatu obyek, pada dasarnya menggunakan azas “relatif” terhadap obyek lainnya.
Sebagai contoh : “Sebuah meja terletak di kanan pintu masuk”.
Kalimat di atas, menyatakan letak yang relatif, yaitu terhadap pintu masuk yang lebih mudah ataupun sudah diketahui letaknya. Obyek lain yang dijadikan “acuan/referensi” posisi suatu obyek, adalah obyek yang tetap ataupun tidak mudah berpindah.
14 Dalam mathematika, posisi suatu obyek dinyatakan relatif terhadap titik tertentu. Titik yang dijadikan acuan adalah titik yang dipilih/ditentukan oleh suatu perjanjian.
Sebagai contoh yang jelas, titik acuan pada sistem koordinat Cartesius adalah titik pusat salib sumbu yang dikenal dengan titik O (0,0).
Parameter yang dijadikan dasar untuk menyatakan posisi tersebut, berupa jarak atau sudut.
Berdasarkan penggunaan parameter tersebut yang disesuaikan dengan bidang acuan, maka dikenal beberapa sistem koordinat seperti yang telah diulas sebelumnya.
(lihat Gambar 6.)
Untuk lebih dapat membedakan pernyataan posisi obyek secara relatif dan tidak, dapat dilihat pada Gambar 10.
Pada sistem koordinat polar (Gambar 10), dapat dilihat bahwa : 1. Relatif terhadap titik sebelumnya :
• titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (α1,d1)
• titik B relatif terhadap titik A, sebagai B (α2,d2) dari A
• titik C relatif terhadap titik B, sebagai C (α3,d3) dari B 2. Relatif terhadap titik O (0,0) :
• titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (βA,DA)
• titik B dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai B (βB,DB)
• titik C dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai C (βC,DC)
Pada sistem koordinat Cartesius (rectangular), semua titik dinyatakan relatif terhadap titik pusat salib sumbu 0 (0,0) dan dalam satuan panjang (jarak) sepanjang setiap sumbunya.
• titik A dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai A (XA,YA)
• titik B dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai B (XB,YB)
• titik C dinyatakan relatif terhadap O (0,0), sebagai C (XC,YC)
Y
B
YB α2
d2
A α1
YA DB d3
DA=d1
αA = α1 βB
YC DC C
βC
X
O(0,0) XA XB Xc
Gambar 10.
Pernyataan Relatif Posisi Titik terhadap Titik Lain
Berhubung obyek ilmu ukur tanah adalah unsur muka bumi, yang berada dalam ruang, maka dalam menyatakan posisi ruang (3D) obyek dirasakan lebih mudah menerapkan sistem koordinat Cartesius, mengingat parameter sistem koordinat telah dinyatakan dalam bidang datar horizontal maupun vertikal yang sesuai dengan kinerja alat ukur.
Sistem koordinat polar untuk obyek ruang jarang digunakan pada ilmu ukur tanah, walaupun mungkin saja tetap diaplikasikan. Mathematika yang didasari sistem koordinat polar ini adalah model hitungan vektor ruang.
Masalah ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.
15
1.5.2. Pengertian Peta
Dalam mengartikan suatu peta, perlu ditinjau beberapa aspek yang mendasar, di mana hal tersebut harus terungkap dalam definisi peta itu sendiri.
Peta adalah :
“Gambaran sebagian besar/kecil unsur permukaan bumi pada bidang datar, dengan skala tertentu”.
Dapat diperhatikan bahwa dari definisi tersebut, aspek yang perlu mendapat penekanan adalah :
• Gambaran ;
yang berarti suatu bentuk grafik yang tidak mungkin lepas dari aspek seni
• Sebagian besar/kecil unsur muka bumi ;
yang dapat pula dikatakan bahwa suatu peta tidak mampu memuat seluruh informasi permukaan bumi, sehingga akan terbagi dalam jenis peta yang berbeda
• Bidang datar ;
dapat memberikan arti bahwa semua informasi kuantitatif, dinyatakan dalam besaran bidang datar, sehingga untuk penerapan kembali di bumi, memerlukan “penterje- mahan” tersendiri
• Skala ;
yang berarti pula suatu perbandingan dalam bentuk numerik, sehingga semua infor- masi kuantitatif pada peta, baru dapat digambarkan melalui proses mathematis.
Berdasarkan tinjauan tersebut di atas, pengertian lebih lanjut atas beberapa hal, dapat diuraikan dengan lebih rinci sebagai di bawah.
1. Gambaran
Penggambaran yang dilakukan pada pemetaan, merupakan penggambaran yang dida- sari oleh posisi titik-titik daerah yang dipertakan. Mengingat hal ini, maka langsung maupun tidak, akan diterapkan beberapa peraturan penggambaran yang bersifat teknik.
Pengertian penggambaran itu sendiri masih bersifat umum, sehingga untuk berikutnya, penggambaran peta yang menerapkan peraturan tertentu, disebut dengan PLOTTING.
Meskipun demikian, dalam menggambar peta, seseorang tidak mungkin terlepas dari peran seni, keterampilan, kesalahan peralatan dan kesalahan pelaku itu sendiri.
2. Muatan informasi muka bumi
Berhubung tidak seluruh informasi unsur muka bumi dapat disajikan dalam satu lembar peta yang sama, maka pada dasarnya peta dapat dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :
• Peta Topografi :
Peta yang bermuatan informasi secara umum dan mampu menyajikan informasi yang bersifat teknis dengan lebih mendasar.
Peta ini menitik-beratkan pada masalah posisi, sehingga informasi tentang sistem pro-yeksi peta harus tercantum di dalamnya. Mengingat peta jenis ini menyajikan informasi yang mendasar, bersifat umum dan menekankan posisi obyek, maka peta jenis ini dapat dijadikan acuan posisi bagi peta lainnya , dan disebut sebagai peta induk (base map).
Peta yang memanfaatkan posisi obyek dari peta topografi dan menambahi informasi dengan yang diperlukan, disebut dengan peta turunan.
16
• Peta Tematik :
Peta yang memuat/menyajikan informasi yang terbatas, sesuai dengan tema ataupun kebutuhan informasi tertentu.
Peta ini berjumlah banyak sekali, mengingat setiap profesi memerlukan tema yang berbeda dan “menajamkan” informasi yang diperlukannya.
Peta tematik dapat berupa suatu peta turunan, yang masalah posisi obyek didapat dari peta topografi. Peta tematik semacam ini, lebih menekankan pada informasi yang dibawakan, walaupun mungkin terjadi pergeseran posisi obyek.
3. Skala peta
Skala peta, secara langsung akan menentukan rinci (detail) atau tidaknya informasi yang disajikan. Semakin besar skala peta, semakin terinci (mendetail) informasi yang disajikannya. Akibat dari sakal besar adalah bahwa cakupan daerah yang dipetakan menjadi semakin sempit.
Hal seperti di atas, akan terjadi untuk sebaliknya (skala semakin mengecil).
Untuk itu, terdapat beberapa model pembagian peta ditinjau dari skala, karena skala dan muatan informasi peta yang digunakan sangat bervariasi. Contoh pembagian peta menurut skala dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Pembagian Skala Peta
No Skala Golongan
1 Lebih kecil dari 1 : 1 000 000 Atlas (Chart) 2 1 : 100 000 s/d 1 : 1 000 000 Peta skala kecil 3 1 : 25 000 sampai 1 : 100 000 Peta skala sedang 4 1 : 10 000 sampai 1 : 25 000 Peta skala besar
5 Lebih besar dari 1 : 10 000 Peta Teknik (biasanya digunakan untuk perencanaan teknik, detailed design)
1.5.3. Fungsi Peta
Telah diulas di atas, bahwa secara tidak langsung, peta merupakan sebagian bumi yang diperkecil dan menyatakan unsur muka bumi dalam bentuk simbol. Hal ini dapat pula dikatakan bahwa peta dapat berfungsi untuk segala tujuan sebagai pemberi informasi daerah obyek dalam skala yang lebih kecil.
Dalam sejarah, peta berkembang dari pertempuran yang telah menerapkan strategi pertempuran. Untuk dapat mengetahui kekuatan dan alam tempat lawan, diperlukan divisi tersendiri untuk memetakan daerah lawan. Hal tersebut telah berkembang sejak zaman dahulu, baik dilakukan melalui darat (secara langsung di lapangan), ataupun melalui udara (dengan balon udara, pesawat terbang, satelit, dsb).
Secara singkat, peta berfungsi dalam segala hal baik eksakta maupun non-eksakta, di mana peta berfungsi sebagai sumber informasi dasar. Ditinjau dari segi teknik, peta dapat berfungsi dalam kurun waktu tertentu, di mana belum terjadi perubahan berarti pada daerah yang dipetakan.
17 Perencanaan &
Penyuluhan Lapangan
KONSTRUKSI Pemetaan
Pemasangan Ulang
Titik Kerangka Dasar
Plotting Pengukuran Pengukuran PERENCANAAN
Situasi (Pemetaan) Kerangka Dasar
PETA baru PENGOLAHAN DATA
PENGEMBANGAN
Plotting MONITORING
Titik PEMELIHARAAN
P E T A KERANGKA DASAR
PEMETAAN
Diagram 3.
Fungsi Teknis Peta & Kerangka Dasar
1.5.4. Fungsi Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka dasar pemetaan suatu daerah, merupakan syarat mutlak bagi pemetaan, karena seluruh titik obyek pemetaan diacukan pada posisi titik kerangka dasar. Ini berarti, bila tidak ada titik kerangka dasar, maka setiap obyek muka bumi berdiri terpisah dengan lainnya (sendiri-sendiri) tanpa dapat dinyatakan secara bersamaan, karena posisi relatif satu obyek dengan lainnya tidak ditentukan.
Diagram 3., memberikan pula gambaran fungsi kerangka dasar pemetaan, di mana pada saat kontruksi (pembangunan) dan setelah konstruksi, titik kerangka dasar tetap besar peranan- nya baik untuk pemetaan kembali maupun untuk pemeliharaan dan monitoring (pemantauan) daerah tersebut.
Dengan demikian fungsi kerangka dasar pemetaan, antara lain adalah : 1. Sebagai acuan/referensi bagi setiap obyek yang dipetakan
2. Sebagai “pemersatu” obyek-obyek muka bumi ataupun pemetaan-pemetaan lokal (masing-masing berdiri sendiri)
3. Sebagai acuan/referensi dalam :
• Pembangunan atau pelaksanaan rencana
• Pemetaan kembali daerah
• Pemeliharaan hasil konstruksi
• Memantau/monitoring obyek muka bumi
18
1.5.5. Penerapan Ilmu Ukur Tanah / Surveying
Pada beberapa jenis profesi, di mana luas daerah yang dikelola tidak terlalu besar/luas (misal < 100 km2), maka cakupan daerah tersebut masih dapat dianggap sebagai bidang datar, peran ilmu ukur tanah maupun surveying sangat besar artinya. Perbedaan besaran di bumi dengan besaran yang bersangkutan di peta tidak terlalu jauh (dapat diabaikan), sehingga distrosi geometrik akibat proyeksi belum berarti.
Sesuai dengan sejarah pemetaan, maka tujuan permbuatan peta adalah untuk mengetahui bagaimana dan apa saja unsur permukaan bumi suatu daerah dalam pandangan yang kecil, tanpa mendatangi daerah tersebut. Dengan demikian, sebenarnya ilmu ukur tanah dapat dite- rapkan pada berbegai bidang profesi atau keahlian baik eksakta maupun non-eksakta.
Semakin maju teknologi manusia, penggunaan peta semakin berkembang mengingat unsur muka bumi yang semakin rumit dan padat. Bahkan saat sekarang, masyarakat sudah mulai memanfaatkan “denah” atau sketsa untuk menuntun seseorang agar tidak tersesat. Ini menandakan bahwa tampilan grafis tentang unsur muka bumi telah besar peranannya di masyarakat, meskipun belum dalam bentuk peta yang baik.
Walaupun demikian, profesi teknik yang masih memegang dominasi penggunaan peta baik ditujukan untuk perencanaan, pemeliharaan dan pengembangan suatu daerah. Dalam hal semacam ini, peta diterapkan sebagai sumber data, sehingga dapat pula dikatakan bahwa peta merupakan penunjang utama dalam kegiatan tersebut. Mengingat era sekarang sudah menginjak era informasi, maka ilmu ukur tanah dapat diterapkan pada pengelola data base suatu daerah, di mana seluruh informasi daerah beracuan pada basis yang sama tersebut.
Diagram 3., dapat memberikan gambaran tentang peran peta dan titik kerangka dasar peme- taan yang tetap akan menunjang seluruh kegiatan (terutama kegiatan teknik) suatu daerah.
Peran tersebut akan terus menerus berulang (cyclic).
19
BAB II
DASAR-DASAR PEMETAAN
Telah diulas di atas, bahwa peta dijadikan data basis bagi data lainnya yang dapat dinyatakan dalam bentuk gambar (grafik). Pada prinsipnya , perbedaan para pengguna peta (misal perencana) dalam kebutuhan data dasar, antara lain disebabkan :
• perbedaan titik-berat jenis data atau informasi
• perbedaan ketelitian peta yang diharapkan, di mana hal ini berkaitan dengan : - ketelitian dan metoda ukuran
- peralatan yang harus digunakan - waktu pelaksanaan
• perbedaan cakupan daerah perencanaan, yang berpengaruh pada : - kedalaman informasi
- kerapatan informasi pada peta yang tersaji
Langsung ataupun tidak, hal di atas menuntut pengguna peta (perencana) untuk mengetahui dan membatasi informasi yang harus tersaji pada suatu peta, untuk menghindari salah pengertian atau salah informasi dalam penggunaan informasi tersebut.
2.1. Dasar Matematika pada Pemetaan.
Posisi suatu titik, merupakan sesuatu yang bersifat unik (unique), atau tidak ada yang menyamai. maka dalam menyatakan suatu obyek alam, digunakan dasar bentuk geometrik mathematis yang terdiri dari bentuk-bentuk :
• titik ,
• garis , dan
• bidang
Hal ini berkaitan pula dengan penyajian data, di mana semua data atau informasi dinyatakan di atas bidang datar (2-dimensi), sedang obyek yang disajikan berada dalam ruang (3-dimensi). Ini menuntut penerapan sistem proyeksi yang dapat memberikan perbedaan antara obyek tersebut di alam dengan pada peta yang dikenal dengan distorsi. Seperti sudah diulas di atas, bahwa perbedaan ini dianggap kecil untuk suatu daerah cakupan daerah pemetaan yang kecil.
Dalam mathematika, setiap bentuk geometrik, memiliki dalil, persamaan ataupun operasi-operasi mathematis tersendiri. Operasi ataupun dalil bentuk sederhana berlaku pada bentuk yang lebih tinggi. Sebagai contohnya, operasi-operasi pada suatu garis berlaku pula pada bentuk bidang, tetapi tidak berlaku untuk sebaliknya.
Dalam pemetaan untuk masalah teknis, besaran (unit) yang diterapkan cukup berupa besaran jarak dan sudut, di mana kedua satuan ini diterapkan dalam menyatakan posisi titik-titik obyek alam. Pernyataan semacam ini dikenal dengan istilah sistem koordinat. Untuk ini, dikenal sistem koordinat antara lain seperti Cartesian , Polar , Geografik , di mana setiap posisi titik dinyatakan dalam satuan jarak, sudut atau gabungan keduanya.
Selanjutnya, masalah besaran ini berkaitan juga dengan pengukuran atas obyek alam tersebut.
Bahwa data numerik setiap pemetaan akan juga berupa besaran sudut dan jarak pada bidang yang telah ditentukan (lihat BAB I). Dalam beberapa hal, di mana dituntut hasil ukuran yang lebih teliti, pengukuran dikembangkan sampai dengan besaran lain yang terkait dengan kedua besaran tersebut (misal temperatur dan tekanan udara).
20
2.1.1. Posisi titik dalam ruang.
Menyatakan posisi suatu titik dalam ruang (3-dimensi), dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara. Salah satu cara yang sudah lazim digunakan adalah sistem koordinat Cartesius yang menyatakannya dalam satuan jarak dari titik pusat koordinat sepanjang setiap sumbu. Sumbu sistem koordinat Cartesius biasanya dikenal dengan sumbu X, Y dan Z dengan titik pusat koordinat adalah titik O. Bidang X-O-Y menjadi bidang datar yang diletakkan pada bidang horizon, sedang sumbu Z menjadi sumbu tegak yang menunjuk ke titik Zenith dari titik O. Dengan demikian, bila terdapat titik A pada permukaan bumi, dapatlah dinyatakan seperti pada Gambar 11.
Z
ZA A
YA
O (0,0,0) Y
XA
A’
X
Gambar 11.
Sistem Koordinat Cartesius ruang titik A
Posisi ruang titik A, diproyeksikan pada bidang mendatar X-O-Y sebagai titik A’.
Posisi ruang titik A, diproyeksikan pada bidang tegak (pada sumbu Z) sebagai titik A’’.
Pernyataan koordinat titik A adalah : XA ; YA ; ZA ; di mana : XA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu X YA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu Y
ZA - jarak proyeksi titik A sepanjang sumbu Z = ketinggian titik A
Titik A’, dikatakan sebagai posisi horizontal titik A dan dinyatakan dengan koordinat (XA ;YA)
Titik A’’, dikatakan sebagai posisi vertikal titik A dan dinyatakan dengan koordinat (ZA)
Operasi mathematika untuk suatu titik tidak ada bila titik itu berdiri sendiri. Operasi tersebut baru dapat dilakukan setelah titik yang bersangkutan berada pada suatu sistem koordinat dan terkait dengan titik lain (titik acuan koordinat).
Mengingat banyak titik di muka bumi tak berhingga, maka diterapkan kaitan satu titik dengan titik lain yang secara mathematis berupa suatu garis, sehingga dinyatakan secara relatif satu dengan lainnya.
Apabila sudah bentuk garis, maka garis dalam ruang tersebut dinyatakan sebagai vektor yang mempunyai parameter arah dan jarak.
21
2.1.2. Posisi garis.
Seperti telah diketahui bahwa garis merupakan kumpulan titik yang tak berhingga jumlahnya dan selalu diawali serta diakhiri oleh titik yang berbeda. Dengan demikian, suatu garis akan dapat dibentuk dari dua buah titik yang tidak sama. Operasi matematika untuk garis berupa operasi arithmatika, yaitu tambah, kurang, kali dan bagi. Dari operasi semacam ini, baru dapat dihasilkan suatu selisih posisi dua buah titik sepanjang sumbu tertentu.
Hubungan antara dua titik ( A dan B ) dapat dilihat pada Gambar 12.
Z B”
A” B
A O(0,0,0)
Y
A’ B’
X
Gambar 12.
Garis dalam ruang Keterangan :
• Garis A-B , merupakan vektor ruang
• Garis A’-B’ , merupakan vektor pada bidang mendatar
• Garis A”-B” , merupakan vektor pada bidang tegak (vertikal, misal XOZ)
• XB - XA = beda absis antara A ke B
• YB - YA = beda ordinat antara A ke B
• ZB - ZA = beda jarak tegak antara A ke B = beda tinggi antara A ke B
2.1.3. Posisi bidang.
Terbentuknya suatu bidang, dapat berasal dari beberapa sebab, antara lain oleh 3 (tiga) titik yang tidak berimpit (berbeda tempat). Penjabaran selanjutnya adalah bentuk-bentuk bidang segi-banyak seperti segi-empat dan sebagainya. Yang dirasakan penting artinya adalah kaitan bidang dengan titik dan garis, di mana hitungan-hitungan posisi bidang ataupun posisi titik dan garis berdasarkan keterikatan antar titik yang dinyatakan dalam bentuk garis lurus.
Gambar 13., mengungkapkan hubungan antara beberapa titik (titik A, B dan C) pada bidang datar X-O-Y dan juga garis-garis A-B, B-C dan A-C
22 Hubungan antara 2 (dua) titik : mengakibatkan terbentuknya garis
Hubungan antara 2 (dua) garis :
• mengakibatkan timbulnya besaran baru berupa besaran putaran yang disebut sudut antara (yang dibatasi oleh) 2 garis.
• terbentuknya suatu bidang yang dibatasi oleh garis-garis tersebut Dari masalah ini, kesimpulan penting sementara yang dapat ditarik adalah :
• Posisi bidang ditentukan oleh posisi garis-garis yang membatasi bidang tersebut
• Posisi garis ditentukan oleh posisi titik yang membentuk garis tersebut Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, yang diutamakan adalah penentuan posisi titik.
Y(+) //Y
YC C=C’
γ αAC αAB
A=A’ α
YA β
B=B’
YB
X(+) O (0;0,0) XA XC XB
Gambar 13.
Segi-tiga A-B-C pada Bidang Mendatar XOY
Secara menyeluruh, dasar mathematika yang menjadi dasar untuk pemetaan adalah sebagai berikut :
• Penguasaan aritmatika untuk jarak dan sudut
• Penguasaan fungsi trigonometrik dalam hubungan sudut dan jarak, terutama dalam bentuk segi-tiga siku.
Berikutnya, posisi titik pada bidang datar dikenal sebagai posisi horizontal dan posisi sepanjang sumbu Z (pada bidang vertikal X-O-Z) disebut dengan posisi vertikal (ketinggian).
Pembagian atas 2 (dua) macam posisi ini merupakan salah satu cara untuk memudahkan pernyataan posisi titik pada ruang (3-Dimensi), karena operasi hitungan pada ruang dapat dikatakan lebih sulit dibandingkan dengan operasi hitungan bidang datar dan operasi garis (sepanjang sumbu Z).
Untuk memenuhi masalah di atas, harap diingat bahwa dalam menerapkan semua dalil dan persamaan mathematikanya, semua unsur atau data yang diolah, telah berada pada referensi yang dimaksud. Seba- gai contoh, pada bidang datar X-O-Y, unsur-unsur berupa sudut dan jarak merupakan sudut dan jarak datar. Ini berarti pula bahwa ukuran yang dilakukan di lapangan harus sesuai dengan unsur yang dimaksud.
23
2.1.4. Hubungan Posisi titik dan Hitungan pada Bidang Datar.
Hubungan posisi dengan unsur pembentuknya, sangat tergantung pada Penentuan sistem koordinat , karena posisi yang akan dinyatakan, merupakan letak relatif terhadap sistem koordinat tersebut. Unsur pembentuk posisi ini merupakan unsur-unsur pada posisi relatif antar titik yang dimaksud. Sebelumnya, terlebih dahulu akan disampaikan istilah yang digunakan dalam masalah ini.
(Lihat Gambar 13.)
• Sudut jurusan :
adalah sudut yang dibentuk dari arah utara peta (garis //sb.Y) yang melalui titik terse- but, sampai ke jurusan yang dimaksud, dengan putaran searah jarum jam dan besar 0o - 360o. Untuk daerah yang sempit, sudut jurusan ini dianggap sama dengan azimuth geografik.
• Jarak A - B : adalah jarak mendatar dari titik A ke titik B
• α A B : adalah sudut jurusan dari titik A ke B.
• α, β, γ : adalah sudut datar (sudut pada bidang mendatar)
Dari gambar 13., dapat dilihat bahwa :
XB = XA + (X B - X A ) ; YB = YA + (YB - YA ) (XB - XA ) = JAB Sin αAB ; (YB - YA ) = JAB Cos αAB
Sehingga :
XB = XA + JAB Sin αAB ; YB = YA + JAB Cos αAB
………… (2.1)
Rumusan ini digunakan untuk menentukan koordinat titik B dengan unsur ukuran yang telah diketahui. Yang diketahui dalam masalah ini adalah :
* koordinat titik A
* jarak datar A-B, dan
* sudut jurusan/azimuth dari A ke B
Rumusan ini merupakan rumus dasar untuk menentukan posisi horizontal titik lainnya dari titik yang telah diketahui posisinya.
Untuk unsur pembentuk koordinat, persamaan-persamaan yang penting adalah sebagai berikut.
• Jarak :
JAB = (X B - X A ) 2 + ( Y B - Y A ) 2 (2.2)
• Sudut :
α = α AB - α AC (2.3) (X B - X A )
Tan αAB = (2.4) (Y B - Y A )
αAB = αBA ± 180o (2.5)
24
2.2. Satuan Sudut
Berhubung besaran utama dalam pemetaan adalah jarak dan sudut, dalam mempelajari masalah tersebut, dituntut untuk mengetahui dan mengerti sepenuhnya satuan (unit) yang dapat diterapkan untuk besaran tersebut. Unit atau satuan jarak sudah diketahui bersama, yaitu satuan Internasional (satuan meter) dan satuan British (satuan inches), sehingga tidak perlu diulas lebih lanjut. Yang akan dibahas adalah satuan sudut yang cukup bervariasi dan memiliki keistimewaan tersendiri.
Satuan sudut, berawal dari pernyataan besarnya putaran untuk 1 (satu) lingkaran penuh. Untuk ini, terdapat beberapa cara dalam pernyataannya.
1. Radian
Besar sudut 1 (satu) radian adalah :
Besarnya sudut yang dibentuk oleh besar lingkaran sebesar jari-jari lingkaran tersebut.
Sehingga, untuk menyatakan besar sudut 1 (satu) lingkaran penuh adalah 2π radian.
2. Derajat, menit, detik (Degree, minute, second)
Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 360o , dengan satuan lebih kecil :
• 1o = 60’
• 1’ = 60”
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 360o 00’ 00”
3. Grade/Gon (Grade, Centi-Grade. Centi-Cimal)
Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 400g , dengan satuan lebih kecil :
• 1g = 100cg
• 1cg = 100cc
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 400g 00cg 00cc
Penulisan desimal untuk satuan ini, jauh lebih mudah dibandingkan satuan derajat, karena dalam satuan kecil maupun desimal, dapat secara langsung (tanpa perbedaan).
Contoh :
• 278g 75cg 15cc = 278g, 7515
• 278g 75cg 15cc - 125g 83cg 20cc = 278g, 7515 - 125g, 8320
= 152g, 9285
4. Waktu (jam, menit, detik / Hour, Minute, Second)
Satuan waktu, tidak ubahnya (serupa) dengan satuan derajat, tetapi berdasarkan rotasi bumi.
Satu lingkaran penuh dinyatakan sebesar 360h , dengan satuan lebih kecil :
• 1h = 60m
• 1m = 60s
Sehingga, 1 (satu) lingkaran penuh = 400h 00m 00s
Untuk konversi satuan, digunakan perbandingan atas pernyataan 1 (satu) lingkaran atau setengahnya, sehingga dapat dikatakan sebagai :
xrad xo xg xh xrad xo xg xh 2πrad 360o 400g 24h πrad 180o 200g 12h
…….. (2.6)
25
2.3. Penerapan Sistem Koordinat Cartesius pada Peta
Dalam melakukan pemetaan suatu daerah, hal pertama yang harus ditentukan adalah penerapan (aplikasi) sistem koordinat. Tanpa adanya koordinat, maka tidak mungkin dapat di”plot” titik-titik yang diukur, karena plotting kerangka dasar menerapkan plotting cara numerik (berdasarkan koordinat titik).
Untuk menyatakan koordinat yang akan berlaku pada peta hasil pemetaan tersebut, berikut ini dibahas beberapa model penerapan sistem koordinat Cartesius pada pemetaan.
Model yang membedakan bentuk koordinat (untuk sistem koordinat Cartesius), adalah :
• Peletakan titik pusat salib sumbu (O (0,0)).
• Arah sumbu Y positif
Kedua masalah di atas, dapat mengakibatkan perbedaan pernyataan koordinat suatu titik. Faktor ketiga yaitu perbedaan skala koordinat, tidak dibahas, karena dalam pemetaan ini skala koordinat dianggap sama, yaitu satuan meter.
Dalam penerapannya di ilmu ukur tanah (surveying), kedua faktor penentu koordinat di atas, dinyatakan secara tidak langsung, yaitu melalui :
1. Koordinat titik awal (salah satu titik yang dianggap penting, sebagai titik penentu)
2. Menentukan azimuth suatu sisi (misal : salah satu sisi poligon)
2.3.1. Koordinat Lokal
Koordinat lokal, dimaksudkan dengan meletakam salib sumbu pada tempat yang
“sembarang” baik kedua-duanya atau salah satu saja.
Y’ Y
X’
O’ O A
B X
Gambar 14.
Koordinat Lokal
Koordinat titik A dan B, akan berbeda bila dinyatakan terhadap salib sumbu X-O-Y dan terhadap X’-O’-Y’.
Walaupun koordinat dinyatakan dalam sistem koordinat yang berbeda, tetapi posisi relatif antara kedua titik tersebut akan tetap (perhatikan jarak mendatar A-B). Jarak mendatar A-B, merupakan garis penghubung kedua titik yang tetap panjangnya, meskipun koordinat titik berubah.
Sebagai contoh penerapan koordinat lokal , maka dapat dikatakan sebagai berikut : (lihat Gambar 14.)
• Titik A : XA = 200 ; YA = 75
• Azimuth A-B (αAB) = 225o
26
2.3.2. Koordinat “Normal”
Berbeda dengan koordinat lokal, dimana kedua faktor penentu peletakan salib sumbu dapat sembarang, pada koordinat normal sudah tidak dapat lagi sembarang.
Koordinat normal, menyatakan perjanjian yang berlaku untuk daerah tertentu sebagai berikut :
• Titik nol (O (0,0)) pada tempat tertentu (misal: pusat kota)
• Arah sumbu Y(+) = arah utara Geografik
Peletakan yang masih dapat dianggap “sembarang” adalah titik pusat salib sumbu, sedang arah sumbu Y(+) telah diatur sesuai dengan perjanjian pemetaan umum, yaitu ke arah utara geografik.
Model koordinat semacam ini, hanya berlaku untuk daerah tertentu yang relatif cukup luas.
Biasanya diterapkan untuk pemetaan suatu kota atau daerah administratif. Oleh karena itu, setiap kota besar, telah menentukan “titik nol” kota yang diletakkan pada pusat kota.
2.3.3. Koordinat Definitf
Model pernyataan koordinat seperti ini, berlaku secara umum untuk seluruh daerah di dunia.
Mengingat keragaman daerah dan bentuk bumi, maka koordinat definitif beracuan pada peraturan sistem proyeksi peta.
Berikut ini diambil contoh suatu koordinat definitif dalam sistem proyeksi peta UTM :
• Sumbu X adalah equator
• Titik nol salib sumbu adalah perpotongan meridian sentral dengan equator
• Sumbu Y adalah garis singgung meridian sentral di equator ke arah utara geografik.
Dengan demikian, dapat dimengerti bila pernyataan koordinat Cartesius untuk proyeksi UTM, terdiri dari 6 digit (ratus kilo meter) bila hanya sampai satuan meter.
2.4. Dasar Pembuatan Peta
Secara singkatnya, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti diagram 4.
Pengumpulan data Pengolahan data Penyajian
(a.l pengukuran) (hitungan , dsb.) (Penggambaran, dsb.) Diagram 4.
Diagram umum pemetaan
Pengumpulan data merupakan rangkaian pekerjaan sejak awal sampai pada seluruh data terkumpul dan siap diolah. Pekerjaan akhir pada tahapan ini adalah perbaikan (revisi) data di mana harus dilakukan pemeriksaan data berdasarkan kontrol-kontrol geometrik.
Mengingat kemajuan ilmu dan teknologi, pemetaan dapat dilakukan dengan menerapkan 2 (dua) cara umum, yaitu :
1. Metoda Terestis ; yaitu kegiatan pemetaan yang seluruh kegiatan dilakukan di lapangan terutama dalam hal pengumpulan data .
2. Metoda Fotogrametris ; yaitu kegiatan pemetaan yang dilakukan dengan cara pemotretan udara atas daerah yang akan dipetakan.
27 Walapun demikian, pengumpulan data secara langsung di lapangan tidak mungkin diting- galkan, karena secara keseluruhan tetap diperlukan data langsung dari lapangan. Dalam pene- rapan metoda fotogrametris, koordinat titik kontrol tanah (Ground Control Points = GCP’s) merupakan hasil pengukuran terestris, ataupun berdasarkan koordinat posisi pemotretan (kapal udara) yang dihasilkan dengan menerapkan metoda GPS.
Melalui metoda apapun pemetaan dilakukan, tetap melaksanakan langkah-langkah pemetaan seperti di atas. Untuk lebih terinci, dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data ; terdiri atas :
a. Pembuatan kerangka dasar pemetaan :
a.1. Kerangka dasar posisi mendatar / horizontal a.2. Kerangka dasar posisi tegak / vertikal
b. Pemetaan detail situasi baik posisi mendatar maupun tegak c. Pengumpulan data kualitatif, seperti masalah land use 2. Pengolahan Data ; terdiri dari :
a. Hitungan kerangka dasar :
a.1. Kerangka dasar mendatar (horizontal) a.2. Kerangka dasar tegak (vertikal) b. Hitungan titik detail situasi
c. Plotting titik-titik menurut posisi mendatarnya c.1. Titik-titik kerangka dasar
c.2. Pencantuman ketinggian setiap titik c.3. Plotting titik-titik detail situasi 3. Penyajian ; terdiri dari :
a. Pemilihan bahan untuk penggambaran akhir b. Pemilihan dan penentuan simbol yang akan dipakai c. Penetapan pembagian lembar peta
d. Penggambaran halus (fine drawing) e. Proses pencetakan
Selanjutnya akan dibahas lebih terinci masalah penentuan posisi titik baik untuk tujuan pembuatan kerangka dasar ataupun untuk pemetaan detail.
28
BAB III
PENENTUAN POSISI HORIZONTAL
Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, bahwa tanpa adanya kerangka dasar pemetaan, unsur permukaan bumi suatu daerah akan tergambarkan sebagian-sebagian, tanpa dapat digabungkan dengan baik. Ini berarti pula bahwa antar bagian pemetaan saling “terlepas” dan tidak dapat digabungkan. Untuk ini, masalah yang mendasar adalah penyediaan kerangka dasar baik untuk posisi horizontal maupun posisi vertikal.
Telah diketahui bahwa obyek muka bumi, seluruhnya dinyatakan dalam bentuk titik-titik yang dapat mewakili obyek tersebut agar tergambarkan dengan benar. Bentuk garis yang dapat ditarik antara kedua titik wakil tersebut merupakan bentuk mathematika tertentu, misal garis lurus ataupun busur lingkaran. Mengingat pentingnya arti titik, maka pada pembahasan berikutnya, posisi suatu obyek, hanya ditekankan pada posisi titik.
Untuk BAB III ini, pembahasan pada posisi horizontal suatu titik, yaitu posisi suatu titik pada bidang mendatar X-O-Y, di mana sumbu Z akan tergambarkan sebagai titik yang berimpit dengan titik O (0,0,0) dan berikutnya titik O dituliskan dalam bentuk 2 (dua) dimensi, yaitu O (0,0) .
Terdapat banyak metoda yang dapat diterapkan dalam menentukan posisi horizontal suatu titik. Setiap metoda mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan ataupun keadaan daerah obyek. Selain itu, setiap metoda mempunyai persyaratan dan parameter yang berbeda, walaupun memiliki dasar yang sama.
Persyaratan mendasar yang berlaku untuk setiap metoda penentuan posisi horizontal adalah bahwa semua besaran (sudut dan jarak) merupakan besaran pada bidang mendatar. Sudut yang digunakan adalah sudut pada bidang mendatar dan jarak adalah jarak pada bidang mendatar.
Adapun metoda yang dapat diterapkan, dapat diulas seperti di bawah, walaupun tidak seluruh metoda yang dibahas dengan rinci.
1. METODA POLAR
Merupakan metoda yang menjadi dasar (terutama hitungan) posisi horizontal dan merupakan metoda yang sederhana, berdasarkan arah dan jarak suatu titik ke titik lain. Titik awal, menjadi titik pusat, sehingga seperti juga titik kutub (polar)
Yang dimaksudkan dengan arah di sini adalah azimuth atau sudut jurusan titik polar ke titik lainnya. (lihat Gambar 15.)
2. METODA POLIGON
Suatu metoda yang menyerupai metoda polar, tetapi yang diukur pada metoda ini adalah sudut dan jarak . Dalam hitungan metoda ini, tidak ubahnya seperti “merangkaikan” metoda polar.
Pada metoda polar, titik yang akan ditentukan posisinya tersebar disekitar titik polar, sedang pada metoda poligon, titik yang akan ditentukan berupa titik yang berangkai dan semakin lama, semakin jauh.
3. METODA PERPOTONGAN KEMUKA
Suatu metoda yang hanya melakukan pengukuran sudut . Metoda ini banyak digunakan untuk penentuan posisi horizontal titik yang berjarak jauh, karena tidak mengukur jarak. Pengukuran di- lakukan dengan target titik yang akan ditentukan.
4. METODA PERPOTONGAN KEBELAKANG
Seperti juga metoda perpotongan kemuka, metoda inipun merupakan metoda yang digunakan untuk menentukan posisi horizontal suatu titik tanpa pengukuran jarak.Pengukuran dilakukan pada titik yang akan ditentukan posisinya (berlawanan dengan perpotongan kemuka).
29 Utara
Utara
Polar Poligon
Perpotongan Kemuka Perpotongan Kebelakang
Bentuk-bentuk
Triangulasi, Trilaterasi dan Triangulaterasi Gambar 15.
Bentuk Geometrik Metoda Penentuan Posisi Horizontal Keterangan :
= titik yang diketahui koordinatnya (titik ikat)
= titik yang akan ditentukan posisi horizontalnya
5. METODA TRIANGULASI
Merupakan metoda yang hanya dilakukan pengukuran semua sudut yang disertai 1 (satu) pengukuran jarak untuk seluruh jaringan. Bentuk posisi titik-titik metoda ini adalah bentuk segi- tiga dan digunakan untuk membuat kerangka dasar horizontal untuk daerah yang luas.
6. METODA TRILATERASI
Metoda ini seperti juga metoda triangulasi, tetapi yang diukur adalah semua jarak yang ada pada jaringan kerangka dasar tersebut.
7. METODA TRIANGULATERASI
Merupakan metoda gabungan antara metoda triangulasi dan trilaterasi. Dengan demikian, pada metoda ini semua sudut dan jarak dari segi-tiga jaringan tersebut menjadi obyek ukuran.
30 8. METODA ASTRONOMIS
Merupakan metoda yang menentukan posisi horizontal suatu titik, berdasarkan pengamatan posisi benda-benda langit. Dengan metoda ini, posisi titik tempat pengamatan ditentukan posisi dalam besaran Lintang, Bujur (meridian) dan azimuth ke arah titik target.
9. METODA FOTOGRAMETRIS
Suatu metoda penentuan titik berdasarkan foto udara suatu daerah, di mana titik tersebut harus dapat diidentifikasikan lokasinya pada foto udara . Titik pada foto, dikaitkan dengan posisi titik kontrol tanah (GCP’s) untuk dapat dinyatakan posisinya.
10. METODA SATELIT
Berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan, maka sebagai ganti metoda astronomis, digunakan metoda satelit. Salah satu prinsip dasar metoda ini adalah pengaruh frekuensi relatif terhadap kecepatan yang dikenal dengan EFEK DOPPLER. Perkembangan berikutnya, model metoda Doppler telah ditinggalkan dan sekarang digantikan dengan GPS (Global Positioning System).
GPS dapat menjawab posisi titik yang diama