• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PERENCANAAN DISTRIBUSI UNTUK MITIGASI PENARIKAN PRODUK

Tommy William

1

, Ig. Jaka Mulyana

2

, Ivan Gunawan

3

1

Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yohanes14.tw@gmail.com

2

Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya jmulyono@ukwms.ac.id

3

Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

ivangunawan@ukwms.ac.id

Abstrak

Penarikan produk pangan merupakan bencana yang mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan. Tindakan pencegahan melalui sistem pengendalian kualitas tidak dapat menjamin perusahaan bebas dari penarikan produk.

Potensi terjadinya penarikan produk bisa berasal dari berbagai sumber penyebab baik internal maupun eksternal.

Tindakan mitigasi merupakan solusi untuk mengurangi kerugian yang dialami perusahaan ketika perusahaan harus melakukan penarikan produk. Salah satu model tindakan mitigasi yang dapat dilakukan perusahaan melalui perencanaan distribusi dengan meminimalkan penyebaran batch produk. Penerapan model tersebut akan mereduksi biaya penarikan produk ketika perusahaan secara sukarela atau dituntut untuk menarik suatu batch produknya. Hal ini akan membantu mempercepat pemulihan finansial perusahaan dan mempertahankan kesinambungan usahanya.

Model matematis berbasiskan Mix Integer Linear Programming (MILP) yang dikenal dengan nama chain dispersion menjadi model dasar untuk menyusun perencanaan distribusi. Model chain dispersion akan dikembangkan dengan menambahkan parameter jarak pada fungsi tujuannya. Dengan demikian, selain minimalkan jumlah penyebaran batch, model juga mempertimbangkan jarak antar peritel yang menerima pasokan dari batch yang sama. Model pengembangan chain dispersion ini digunakan dalam sebuah studi kasus di sebuah industri pangan. Data yang digunakan dalam studi kasus ini merupakan data sekunder dari perusahaan. Data tersebut menunjukan ada 3 batch produk setiap periode, sembilan peritel dengan permintaan selama dua periode. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa penyebaran batch 1, 2, dan 3 di periode 1 menghasilkan jarak cluster distribusi secara berurutan sebesar 273km, 105km, dan 78km. Pada periode 2, batch 1, 2, dan 3 menghasilkan jarak cluster distribusi secara berurutan sebesar 201km, 78km, dan 137km. Jika diasumsikan semua batch pada periode 1 bermasalah maka perusahaan mampu mereduksi jarak sebesar 93km dalam proses penarikan produk dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan saat ini.

Kata kunci: chain dispersion, distribusi, mitigasi, mix integer linear programming, penarikan produk.

Pendahuluan

Peningkatan kesadaran konsumen akan kualitas dan keamanan pangan menyebabkan beban bagi

industri pangan untuk menjaga dan mempertahankan kualitas dan keamanan produknya menjadi semakin

berat. Penarikan produk merupakan prosedur yang harus dilakukan oleh industri pangan ketika

berhadapan dengan masalah terkait kualitas dan keamanan produknya (ISO 22000:2005). Penarikan

produk pangan didefinisikan sebagai suatu upaya menarik produk pangan yang berpotensi menimbulkan

gangguan kesehatan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari setiap tahapan pada

rantai pangan, termasuk produk pangan yang telah dimiliki oleh konsumen dalam upaya memberikan

perlindungan terhadap konsumen (BPOM, 2017). Penarikan produk ini merupakan aktivitas yang tidak

mempunyai nilai tambah bahkan mengakibatkan besaran kerugian yang tidak dapat diprediksi bagi

57

industri pangan. Banyak industri pangan yang mengalami kebangkrutan setelah melakukan penarikan produk.

Berman (1999) membagi biaya penarikan produk menjadi biaya langsung dan biaya tak langsung. Salah satu komponen biaya langsung adalah biaya transportasi untuk menarik produk bermasalah dari peredaran. Manfaat dari penelitian ini adalah perusahaan dapat mereduksi biaya transportasi melalui perencanaan distribusi dengan meminimalkan penyebaran batch produk yang mempertimbangkan jarak antar peritel. Model optimasi berbasiskan MILP untuk mengendalikan penyebaran batch pada tahap produksi mulanya dikembangkan oleh Dupuy et al (2005). Model yang dikenal dengan nama batch dispersion ini bertujuan meminimalkan kuantitas produk jadi yang yang harus ditarik jika terjadi masalah pada satu batch bahan baku atau barang setengah jadi. Selanjutnya, model ini dikembangkan dari sisi komputasinya dengan pendekatan heuristik (Grunow et al., 2008), dynamic programming (Hu et al., 2009), algoritma genetika (Tamayo et al., 2009), a record to record travel metaheuristic (Dhouib et al., 2010), particle swarm optimization (Hartati et al., 2012), dan bee colony algorithm (Xin et al., 2015).

Rong dan Grunow (2010) kemudian memperkenalkan ekstensifikasi model batch dispersion yang diberi nama chain dispersion. Kata ‘chain’ digunakan dalam model ini untuk mengindikasikan pengendalian batch yang telah melibatkan rantai bisnis (Wolf, 2008). Pengendalian penyebaran batch pada model chain dispersion ditingkatkan hingga tahap distribusi.

Pada studi ini diusulkan pengembangan model chain dispersion dengan menambahkan parameter jarak ke dalam fungsi tujuan. Dampak dari perkembangan teknologi informasi saat ini menyebabkan informasi mengenai jarak antar lokasi peritel mudah diakses. Hipotesis yang digunakan dalam studi ini adalah penambahan parameter jarak akan mampu meningkatkan efektivitas proses penarikan produk dan mereduksi biaya penarikan produk utamanya biaya transportasi. Asumsi yang digunakan adalah satuan biaya transportasi dianggap tetap sehingga hanya tergantung pada jarak tempuh. Model ini kemudian diujicoba pada sebuah studi kasus pada industri pangan dengan menggunakan data tiga batch produk yang akan didistribusikan ke sembilan peritel selama dua periode.

Konsep Batch Dispersion

Pada industri pangan, isu mengenai kualitas dan keamanan produk sangat diperhatikan. Secara teknis, pemeriksaan parameter keamanan dan kualitas produk pangan dilakukan pada tingkat batch produksi. Apabila suatu batch bahan baku teridentifikasi memiliki masalah kualitas atau keamanan dan tersebar secara tidak terkendali pada batch-batch suksesornya maka produk akhir yang terkontaminasi akan semakin banyak. Dupuy et al. (2005) selanjutnya memperkenalkan model matematis berbasis Mix Integer Linear Programming (MILP) untuk meminimalkan penyebaran batch (batch dispersion) dalam proses produksi. Tujuan dari model batch dispersion ini untuk mengantisipasi jika ada batch produk yang terlambat teridentifikasi maka batch produk suksesornya yang terkontaminasi dapat diminimalkan.

A

A

B

B

B

B B

A A

A

B

Total dispersion 3

4

Downward Dispersion Upward Dispersion

Gambar 1. Ilustrasi perhitungan downward dispersion dan upward dispersion

58

Batch dispersion merupakan jumlah dari downward dispersion bahan baku dan upward dispersion produk jadi. Downward dispersion (tracing) merupakan jumlah batch produk jadi yang mengandung bagian dari batch bahan baku. Sedangkan, upward dispersion (tracking) merupakan jumlah batch bahan mentah yang digunakan untuk menghasilkan batch produk jadi. Gambar 1 merupakan ilustrasi mengenai konsep downward dispersion dan upward dispersion.

Konsep Chain Dispersion

Chain dispersion merupakan pengembangan model dari batch dispersion yang diusulkan oleh Rong et al. (2010). Jika konsep batch dispersion hanya meminimalkan penyebaran batch pada tingkat produksi, chain dispersion telah melibatkan pihak lain dalam rantai pasok yakni peritel (lihat Gambar 2).

Model chain dispersion akan menghasilkan keputusan untuk meminimalkan penyebaran batch dari produsen atau distributor pada peritel dengan mempertimbangkan trade-off biaya dan ukuran batch.

Pengelolaan batch dalam melayani peritel dapat membantu produsen menangani insiden keamanan pangan yang mengharuskan penarikan produk.

Gambar 2. Konsep chain dispersion (Rong dan Grunow, 2010) Metode Penelitian

Pengembangan model chain dispersion (Rong dan Grunow, 2010) dilakukan dengan menambahkan parameter jarak (A) dalam fungsi tujuan model matematis berbasiskan Mix Integer Linear Programming (MILP). Penambahan parameter jarak (A) merupakan kelebihan pada pengembangan model ini. Pertimbangan penambahan jarak pada fungsi tujuan adalah untuk meningkatkan kemampuan model sehingga selain mengendalikan jumlah penyebaran antar peritel, model juga dapat memilih peritel yang mempunyai jarak terdekat (lokalisasi) dalam mendistribusikan batch produk yang sama. Dengan demikian, jika terjadi masalah kualitas atau keamanan pada produk pangan yang didistribusikan, biaya penarikan produk menjadi lebih rendah dan masalah dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Selanjutnya, dilakukan verifikasi dan validasi model melalui analisis sensitivitas menggunakan data hipotetik yang dibangkitkan dengan jumlah batch produksi dan jumlah peritel yang berbeda-beda pada setiap percobaan.

Setelah, model diverifikasi dan valid maka model digunakan untuk menyelesaikan sebuah studi kasus pada industri makanan di kota Mojokerto. Atas permintaan industri tersebut, nama perusahaan dan produk tidak disebutkan dalam artikel ini.

Pengumpulan data studi kasus dilakukan dengan metode wawancara tidak terstruktur pada

karyawan perusahaan di tingkat supervisor. Laporan penjualan dan laporan produksi merupakan sumber

data sekunder yang valid dari perusahaan. Data–data yang digunakan adalah kapasitas produksi, ukuran

batch, jumlah pelanggan yang berperan sebagai peritel dalam rantai pasok, lokasi peritel, dan permintaan

tiap peritel. Informasi mengenai jarak antar peritel di peroleh dari aplikasi Google maps. Tujuan

melakukan studi kasus ini untuk mengevaluasi aplikabilitas model dalam dunia industri pangan. Pada

tahap akhir akan dibandingkan keluaran model dengan distribusi yang sudah dilakukan perusahaan.

59