Musawah yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain karena perbedaan keyakinan, agama, tradisi, dan asal usul seseorang. Secara bahasa, musawah dapat diartikan sebagai ekualitas atau kesamaan.146 Sedangkan secara istilah musawah memiliki pengertian kesetaraan atau menyamakan hak berdasarkan kodratnya sebagai manusia/makhluk Allah, dan penghargaan yang sama sebagai manusia/makhluk Allah yang memiliki kesetaraan dengan manusia lainnya tanpa ada yang membedakan dengan yang lainnya di sisi Allah SWT.147 Musawah dapat diartikan setiap orang memiliki kedudukan yang sama, sehingga setiap orang memiliki kesetaraan atau kedudukan yang sama saat
145 https://islami.co/belajar-toleransi-dari-kisah-asma`-binti-abu-bakar/. (diakses pada 5 Juni 2021,pukul 22.15).
146 M. Yusuf Alfisyahrin, Akidah Akhlak Madrasah Aliyah Kelas XII, (Jakarta: Kementrian Agama, 2019), 34.
147 Toto Edidarimo dan Mulyadi, Pendidikan Agama Islam Akidah Akhlak Kelas XII, (Semarang: Karya Toha Putra, 2016), 31.
melakukan akad/perjanjian pada pihak lain.148
Ada beberapa konsep yang saling berhubungan dengan kesetaraan, seperti keadilan, keseimbangan, dan sikap moderat. Kesetaraan dan keadilan merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Keadilan bisa dipahami sebagai tindakan yang dilakukan dengan semestinya.
Keadilan juga bisa diartikan sebagai tindakan atau perlakuan yang sama antar pihak yang dihadapi. Adil tidak mesti setara secara homeomorfis namun lebih pada setara secara ekuivalen. Keadilan sering disandingkan dengan lawan kata ملظ (zulm) atau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.149
Konsep kesetaraan juga berhubungan dengan konsep moderat.
Sebagaimana diketahui bahwa Islam mendapat gelar ةمأا ريخ “sebaik- baik umat” (QS. Ali Imran (3):110) dan Islam juga mendapat gelar طسو ةمأا “umat yang moderat” (QS. al-Baqarah (2): 143). Gelar yang terakhir inilah yang bisa mengantarkan Islam sebagai ajaran yang cinta damai dengan metode dakwah hikmah, nasehat yang baik (mau’idzah hasanah), dan cara diskusi yang baik (an-Nahl (16):125). Moderat juga merupakan bagian dari kesetaraan, sikap moderat perlu dilakukan terutama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang melibatkan beberapa pihak.
Musawah memiliki prinsip persamaan derajat, baik harkat maupun matabatnya. Tidak ada pihak atau golongan tertentu yang merasa lebih tinggi dari yang lain. Tinggi rendah manusia hanya berdasarkan ketakwaannya pada Allah SWT. Sebagian ulama memahami al-musawa sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-adalah, sebagaimana dapat dipahami dalam QS. al-Hujurat:13.
Sebagian ulama lain memahami nilai ini merupakan kelanjutan prinsip
148 Misbahul Huda, Pengaturan Hak Asasi Manusia Menurut UUD RI 1945 Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Standar Instrumen Internasional, (Arya Luna, 2020),161.
149 Muhammad Barir, Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektir Al-Qur’an, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 1, Januari 2014. 20
persaudaraan di kalangan kaum beriman berdasarkan kemanusiaan (ukhuwah insaniah).
Dasar hukum untuk melakukan musawah (egaliter), antara lain:
1. Q.S ‘Abasa;1-10 yang membicarakan konsep kesetaraan Rakyat dengan pemimpin. Artinya:“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.
tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?, Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, 6. Maka kamu melayaninya, Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu mengabaikannya.”
Asbabun Nuzul:
Imam Tirmizi dan Imam Hakim, menyampaikan sebuah hadits melalui Siti Aisyah R.A. yang menceritakan, bahwa firman Allah SWT. berikut ini, yaitu: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.” (Q.S. ‘Abasa: 1) diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Umi Maktum yang buta. Pada suatu hari ia datang kepada Rasulullah SAW. lalu berkata: “Wahai Rasulullah! Berikanlah aku bimbingan (kepada Islam).” Pada saat itu di hadapan Rasulullah SAW. ada beberapa orang laki-laki dari kalangan pemimpin- pemimpin kaum kafir Quraisy yang tokoh utamanya adalah Walid Ibn al-Mughirah. Rasulullah SAW. berpaling dari Abdullah bin Umi Maktum karena melayani mereka. Lalu, setelah menjelaskan panjang-lebar mengenai Islam, Rasulullah SAW. berkata kepada pemuka Quraisy: “Bagaimanakah pendapatmu, apakah di dalam hal-hal yang telah aku katakan tadi dapat membuka hatimu?”
Laki-laki dari pemimpin kaum musyrikin itu menjawab: “Tidak.”
Maka turunlah ayat ini, yaitu firmanNya, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya.” (Q.S. ‘Abasa, 1-2) Abu Ya’la mengetengahkan hadits yang serupa melalui Anas R.A.150
2. QS. Al-Ma’idah (5):42 tentang Kesetaraan Rakyat dengan Pemimpin. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang adil.151
Asbabun nuzul:
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis demikian pula Imam Muslim dan selain mereka berdua ada juga dari jalur Barra bin Azib. Ia berkata: “Pada suatu hari lewat di hadapan Nabi SAW.
seorang Yahudi yang dalam keadaan dicorengi dengan arang dan didera. Kemudian Nabi SAW. memanggil mereka, dan bersabda kepada mereka: “Apakah memang demikian kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman pelaku zina?’ Mereka menjawab,
‘Ya.’ Lalu beliau memanggil orang yang paling alim (ulama’) di antara mereka dan bersabda kepadanya, ‘Aku mohon atas nama Allah SWT yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa A.S. apakah memang demikian kamu jumpai dalam kitabmu mengenai hukuman bagi pelaku zina?’ Orang alim itu menjawab,
‘Demi Allah! Sebenarnya tidak demikian, seandainya engkau tidak menganjurkan kepada diriku supaya mengemukakan yang sebenarnya niscaya aku tidak akan menceritakannya kepadamu.
Sebenarnya engkau dapat menemukan hukuman rajam bagi
150 Quraish Shihab, Tafsir al-Mi sbah vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 80.
151 Imam Malik, Muwattha Malik (CD Lidwa Pustaka, Lidwa Pustaka iSoftware, 2010)
pelaku zina di dalam kitab kami.152
3. QS. An-Nisa’ (4): 135 tentang Kesetaraan antara Kaya dan Miskin. Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaranDan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”153
Asbabun Nuzul:
Dalam tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa perselisihan antara orang kaya dan orang miskin, Nabi Muhammad SAW saat itu cenderung membela orang miskin tersebut karena iba akan kemiskinanya, maka Allah menurunkan ayat di atas. Penjelasan Quraish Shihab ini sesuai dengan riwayat lain, bahwa Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari As-Sa’adiy, berkata: “Tatkala ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW. datanglah kepada beliau dua orang laki-laki bersengketa, yang seorang kaya dan yang seorang lagi miskin. Mulanya Nabi SAW. berada di pihak yang miskin karena menurut beliau tidak mungkin si miskin akan menzalimi si kaya namun Allah tidak rela kecuali bila beliau tetap bersikap adil antara yang kaya dan yang miskin.”154
152 Asbab an-Nuzul Al-Ma’idah (5): 42, dalam CD The Holy Qur’an 0.8, Harf International Technology Company, 2002.
153 QS. An-Nisa’ (4): 135, al-Qur’an dan Terjemahnya, Hadits Web 3.0, 2006.
154 M. Quraish Shihab, Safwah at-Tafasir (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 617.
4. QS. Al-Hujurat (49):13 tentang Kesetaraan Budak dengan Merdeka.
َلِٕٮۤاَبَقَّو اًبْوُعُش ْمُكٰنْلَعَجَو ٰثْنُاَّو ٍرَكَذ ْنِّم ْمُكٰنْقَلَخ اَّنِا ُساَّلا اَهُّيَآٰي
ٌ ْيِبَخ ٌمْيِلَع َ ّٰللا َّنِاۗ ْمُكىٰقْتَا ِ ّٰللا َدْنِع ْمُكَمَرْكَا َّنِا ۚ اْوُفَراَعَِل
Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Asbabun Nuzul:
Menurut Abu Dawud, Ayat ini turun berkenaan dengan kisah Abu Hind seorang pembekam dan seorang mantan budak.
Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind dan mereka enggan melaksanakanya karena gengsi bahwa Abu Hind merupakan bekas budak mereka. Riwayat lain menjelaskan bahwa Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika melihat Bilal Bin Rabbah Azan:
“Alhamdulillah, ayahku wafat sebelum melihat hal ini” ada lagi yang berkomentar “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan”.155