• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nikah dan Status Hukumnya

لﺎﻗ ؟ِﻢَﻨَﻐْﻟا

5. Nikah dan Status Hukumnya

c. Pejabat yang berwenang hanya selama Pernikahan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap Pernikahan tersebut, tetapi hanya setelah Pernikahan itu putus.

Adapun pihak-pihak yang dapat melakukan pembatalan di dalam Kompilasi Hukum Islam yang di atur di dalam Pasal 73, antara lain : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari

suami istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan Pernikahan menurut Undang-Undang;

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat hukum dalam rukun dan syarat Pernikahan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Barang siapa yang karena Pernikahan tersebut masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya Pernikahan tersebut, dapat mengajukan pembatalan Pernikahan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

pengaruh ini akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah berbeda dengan akad yang bergantung, dan seterusnya.

a. Nikah Sah Murni dan Hukumnya

Pernikahan sah murnia adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan, yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam melaksankan akad, shighat-nya menunjukan pemilikan kesenangan secara abadi, menyatakan dalam satu majlis ijab dan qabul, tidak terjadi perbedaan antara mereka berdua, masing-masing calon suami dan wali nikah mendengar suara yang lain, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadkan, dihadiri dua orang saksi yang memenuhi segala persyaratan persaksian, dan masing-masing dari dua orang yang berakad, berakal daari dua pihak bukan dari orang tua, harus ada sifat syara’ yang menguasakan kekuasannya. Ketika berkumpul beberapa syarat tersebut, maka akad pernikahannya menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara’.174

b. Nikah yang Bergantung dan Hukumnya

Akad pernikahan yang bergantung adalah akad shahih yang terhenti pada izin orang yang mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah pandai (mumayyiz) terhenti pada izin walinya, terhentinya akad fudhuli (dilakukan orang lain bukan wakil dan bukan pengganti) atas izin orang yang diakadi, yakni suami atau istri. Menurut Imam Muhammad Al-Wali, wanita berakal dan baligh disamakan dengan

174Ibid.,hlm. 127.

akad fudhuli. Jika ia dinikahkan tanpa didahului izin, akadnya bergantung pada izinnya, kewaliannya berserikat, wali tidak memiliki hak paksa menikahkan. Hukum akad bergantung pada izin dari wanita tersebut, jika ia mengizinkan maka akad sah sempurna dan menimbulkan segala hukum, seperti mahar, nafkah, waris, iddah, dan lain-lain. Sedangkan jika belum izin maka tidak halal mencampurinya dan tidak ada waris antara mereka berdua. Hanya jika telanjur bercampur dan istri mengandung, nasab anak tetap atas diri suami, wajib ber-iddah sebab dipisahkan karena wajib dipisahkan, dan suami wajib membayar mahar.

Dapat dipahami bahwa haram baginya saudara persambungan dan sebab percampuran ini tidak menggugurkan hak wali untuk meralat pernikahan ini. Ibnu Abidin berkata: “Hukum bercampur pada pernikahan bergantung sama dengan hukum pernikahan fasid (rusak) gugurnya hukuman, tetap nasab, dan wajib minimal membayar mahar yang disebutkan danmahar mitsil

c. Nikah Yang Rusak Dan Hukumnya

Ulama Hanafiyah membedakan antara nikah batil dan fasid (rusak), batil adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menjual bangkai atau menikahkan wanita yang haram dinikahi. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad tanpa saksi pernikahan yang dibatasi waktunya dengan menggunakan shighat nikah atau kawin atau yang lain dari beberapa lafal yang menjadi akad nikah dan

berpoligami, yakni mengumpulkan dua perempuan bersaudara yang keduanya haram terhadap yang lain (mahram). Apabila cacat terjadi pada rukun akad nikah disebut batil dan jika terjadi di luar rukun akad, disebut fasid (rusak), seperti mempersyaratkan suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad.

Hukum akad nikah fasid tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh- pengaruh pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad nikah fasid ini hukumnya maksiat. Bagi kedua suami istri yang telah melakukan akad fasid hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid tidak diperbolehkan menurut syara’. Apabila tidak berpisah (furqah) berdasarkan kesadaran sendiri, bagi yang mengetahuinya wajib memisahkan mereka atau melaporkan ke penghulu agar dipisahkan. Sesungguhnya hal tersebut dilaksanakan karena memandang kemaslahatan kaum muslimin, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi. Ini merupakan salah satu tempat yang diangkat tentang asumsi sah.

Departemen Pengadilan Mesir telah mengeluarkan tema tersebut pada Nomor 35 Tahun 1918. Ada beberapa pengaruh akibat percampuran dalam akad fasid, yaitu menolak hukuman zina karena adanya syubhat (kesamaran). Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya adalah membayar minimal dari yang disebutkan dan membayar mahar mitsil.

Demikian itu karena percampuran laki-laki dan wanita mewajibkan salah satu dari dua perkara, yaitu mahar dan adakalanya hukuman. Hukuman di

sini sudah terhapus karena syubhat yang masih ada adalah mahar. Dalam akad ini, mahar yang disebutkan tidak wajib dibayar penuh karena akad fasid dikembalikan kepada nilai hakiki, yaitu mahar mitsildalam masalah ini, hanya jika mereka rela dengan yang sedikit maka tidak perlu ditambah.

Adapun hubungan seksual terbagi atas dua dua jenis hubungan, yaitu : d. Hubungan seksual yang dihalalkan

Pada prinsipnya dalam Islam ada dua tujuan pokok dari lembaga Pernikahan. Pertama, mendapatkan ketentraman hati, terhindar dari kegelisahan, dan kebimbangan yang tidak berujung pangkal. Kedua, melahirkan keturunan anak yang saleh/salihah, Allah SWT. berfirman :



























































Artinya :”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya175 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain176, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.(QS. An-Nisâ:1).

Allah SWT. Memberikan kebebasan seksual sebebas-bebasnya sesuai dengan firmanya :

175“Padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s.

berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan”.

176“Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau

memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah”



































Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (QS. AL-Baqarah:223).

Dalil di atas menunjukkan, bahwa seksual adalah fitrah manusia yang harus disalurka melalui nikah. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Nikah menurut istilah ialah hubungan seksual tetapi arti majazi, atau arti hukum ialah akad (perjanjian) nikah yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Menurut Imam Syafi’I, pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi artinya hubungan seksual. Mahmud Yunus mengartikan nikah sebagai hubungan seksual.

Sedangkan Hazairin mengatakan bahwa inti Pernikahan itu adalah hubungan seksual, menurut beliau tidak ada nikah (Pernikahan) apabila tidak ada hubungan seksual. Selanjutya, Ibrahim Hosen mengartikan nikah sebagai akad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.177

Dapat dipahami bahwa nikah lebih berkonotasi pada hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. hubungan seksual yang halal dalam pandangan

177Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Pernikahan Islam, Ed. Ke-2 (Jakarta: PT. Bumi Aksara2002), hlm. 1-3

Islam adalah hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan melalui pernikahan.

e. Hubungan seksual yang terlarang

Hubungan seksual yang terlarang maksudnya ialah hubungan suami istri pada waktu waktu tertentu seperti sedang haid, nifas dan melakukan hubungan seksual kepada wanita lain selain istrinya yang sah. Larangan berhubungan seksual ketika istri dalam keadaan haid atau nifas, Allah SWT. berfirman :

























































Artinya :”Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “bahwa haid itu adalah suatu kotoran.”Oleh sebab itu hedaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (istri) di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci178apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.

Hubungan seksual yang terlarang selain yang disebutkan diatas dalam Islam adalah homoseksual, perbuatan ini disebut liwâth. Istilah tersebut timbul karena perbuatan itu pertama kali dilakukan oleh umat nabi Luth yang hidup sezaman dengan nabi Luth dalam Alquran, sebagaiman yang terdapat dalam surah, Al-A’râf (7): 80-84, Al-Hijr (15): 59-77, Al-Anbiyâ (21): 74-75, Asy-

178Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar. (QS.

Al-Baqarah:222).

Syu’arâ (26): 160-175, An-Naml (27): 54-58, Al-Ankabût (29): 28- 35, Ash- Shafaat (37): 133-138, dan Al-Qamar (54): 33-40.

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan

TABEL TIGA

PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN (ROADMAPPENELITIAN)

No Penulis/Pen eliti

Judul Penelitian Info Penerbit Metode Hasil/Temuan 1 Isnaini Dan

Slamet

Bimbingan Konseling Islam Kepada Waria

Fakultas Dakwah Uin

Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurnal Dakwah, Vol.

Xi No. 2, Juli- Desember 2010

Mengadakan kegiatan bimbingan konseling Islam bagi waria di Pondok Pesantren Waria Senin- Kamis di wilayah Notoyudan Yogyakarta yang menjadi wadah untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan tempat untuk

memfasilitasi kegiatan beribadah mereka

2 Abdul Muiz Benang Kusut Fiqh Waria (Analisis Kritis Terhadap Polemik Identitas Waria Dalam Islam)

Insitut Studi Islam

Fahmina (Isif) Cirebon Jurnal at- Turas Vol. 2 No. 1, Januari- Juni 2015

Hukum-hukum tentang waria yang ada sekarang ini pada umumnya tidak menukik pada eksistensi waria yang

sebenarnya. Islam telah mengidentifikasi bahwa ada laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual kepada perempuan yang disebut denganghair ulil irbah min al-rijal. Dalam hadits orang seperti itu disebut

mukhannats. Tentang mukhannatsini, Ibn Hajar membagi dua;min ashlil khilqah(diciptakan oleh Allah) danbil qashdi (disengaja oleh manusia).

Lebih lanjut Ibn Hajar mengatakan bahwa Islam hanya melarangmukhannats yang sengaja melakukan itu.

Sedangkan mereka yang memang memang asli penciptaan hanya diarahkan agar berusaha mengubah

kepribadiannya.

3 Muhammad

Ramadhana Alfaris1

Eksistensi Diri Waria Dalam Kehidupan Sosial Di Tengah Masyarakat Kota (Fenomenologi Tentang Eksistensi Diri Waria Urbanisasi Di Kota Malang)

Dosen Di Fakultas Hukum, Universitas Widyagama, Jurnal Hukum Volume 1 / Nomor 1 / Juni 2018

Eksistensi kebebasan yang para waria lakukan dapat dikatakan memiliki tanggung jawab atas eksistensinya secara individu dan juga secara

kolektif. Mereka masih memiliki malafide (bad faith) di mana aksi perilakunya selalu didorong oleh dirinya dan tekanan eksternal yang menuntutnya.

Upaya-upaya yang dilakukan waria adalah urbanisasi memilih pindah dari tempat tinggal asalnya ke kota lain dengan tujuan ingin tetap

mempertahankan eksistensi dirinya

4 Fitri Wahyuni

Sanksi Bagi Pelaku Lgbt Dalam Aspek Hukum Pidana Islam Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

Dosen Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri Jurnal Lex Librum, Vol.

Iv, No. 2, Juni 2018, Hal. 726 - 735

Islam mengharamkan zina, gay, lesbian dan penyimpangan seks lainnya yang lebih dikenal dengan LGBT dengan menjatuhkan sanksi yang tegas bagi pelaku-nya.

Bertujuan untuk menjaga kelestarinya kesucian dari sebuah keturunan. Ke-tegasan sanksi yang diberikan kepada pelaku LGBT dalam hukum islam agar para pelaku tidak mengulangi perbuatan yang sama dikemudian hari, dan tujuan penjatuhan sanksi ter-sebut sesuai dengan tujuan hukum pidana Islam yang paling utama adalah rahmatanlila’lamin. Ketegasan hukuman yang ditetapkan Allah merupakan kasih sayang-Nya (rah- mat) kepada manusia dan alam sekitarnya, agar hidup menjadi tentram, adil, damai dan se-jahtera

5 Rohmawati Perkawinan

Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender/Trans

eksual (Lgbt) Perspektif Hukum

Islam

Iain

Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46

Tulungagung Email:

Rahma.Hm09

@Yahoo.Co.Id Ahkam, Volume 4, Nomor 2, November

Perkawinan adalah cara hidup yang fitrah, bagi manusia yang bernaluri seksual dan berketurunan, diberi pedoman hidup berkeluarga secara beradab dan berkehormatan melalui jalan perkawinan. Dalam Islam, jenis perkawinan LGBT tidak dapat dibenarkan (haram) karena

bertentangan dengan pedoman hidup berkeluarga yang tercermin dalam wahyu transendental (al- Qur’an dan hadis), karena perkawinan LGBT mengancam

2016: 305-326 eksistensi kemaslahatan manusia yang bersifat esensial, yakni merusak keturunan, akal, jiwa, dan kehormatan manusia. Jika telah terjadi perkawinan, maka status perkawinannya tidak sah karena terdapat syarat-rukun yang tidak terpenuhi, yakni mengenai

keniscayaan adanya pasangan laki- laki dan perempuan.

6 Fathonah RealitaTaghyir Al-JinsDan Hukum Perkawinannya Dalam Perspektif Islam Di

Indonesia

Stai Al- Hikmah Tuban, Email : Fath24@Yaho o.Com Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 5, Nomor 2, September 2015

Fenomenataghyir al-jins

(transgender) merupakan persoalan serius yang bukan saja berkaitan dengan hukum perdata, tetapi juga hukum Islam. UU yang mengatur itu belum ada. Padahal fenomena perkawinan transgender sudah menggejala. Berikut ini hasil kajian dan penetuan hukum nikah

transgender yang dapat disimpulkan penulis yaitu :

a) Bagi seorang yang terlahir normal dan telah melakukan taghyir al-jins,maka hukum pernikahannya haram.

b) Bagi seorang yang terlahir ada kecacatan fisik pada atribut kelaminnya atau tidak ada sama sekali dan telah melakukan operasi kelamin, baik sebagaikhuntsaatau mukhannatsalami maka hukum perkawinannya boleh.

c) Bagi seorangkhuntsa(musykil ataughair musykil) dengan operasi membuang salah satu kelaminnya, maka hukum pernikahannya adalah boleh.

Atau, jika ia tidak melakukan operasi, maka pernikahannya harus didasarkan pada pengakuannya atau melalui pemeriksaan dan ketetapan para ahli apakah ia sebagai laki-laki atau perempuan.

7 Mochamma

d Fauzi Aldy

Analisis Yuridis Perkawinan Bagi Pasangan Yang Sudah Berganti Jenis Kelamin Di Indonesia Menurut

Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2017

Akibat hukum setelah terjadinya pergantian jenis kelamin (transgender) di Indonesia berdasarkan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Dan Hukum Islam

Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan adalah bahwa orang yang mengganti jenis kelamin harus mengajukan permohonan

pengesahan jenis kelamin yang baru ke Pengadilan dan juga merubah data kependudukannya khususnya dalam hal jenis kelamin di Disduk Capil dengan membawa penetapan pengadilan.

Pandangan hukum Islam terhadap perkawinan bagi orang yang telah melakukan penggantian jenis kelamin (sex reassignment surgery) adalah haram hukumnya karena orang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin tersebut yang melangsungkan perkawinan dengan orang lain pada prinsipnya ia telah melakukan perkawinan dengan jenis kelamin yang sama.

8 Roby

Yansyah &

Rahayu

Globalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt) : Perspektif Ham Dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Jl. Imam Bardjo, S.H.

No. 1-3, Kampus Pleburan, Semarang 50241 robyyansyah1 [email protected] Jurnal Law Reform MagisteIlmu Hukum Volume 14, Nomor 1, Tahun 2018

Indonesia sebagai negara hukum dan negara yang mengakui eksistensi agama, dalam

menghadapi fenomena globalisasi LGBT harus bersikap tegas untuk menolak legalisasi praktek perilaku seksual yang menyimpang

(perbuatan-perbuatan yang mengindikasikan orientasi seksual pada sesama jenis). Oleh sebab itu, negara tetap harus melindungi kaum LGBT dari segala bentuk

pelanggaran HAM yang terjadi.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa penegakan HAM atas mereka juga memiliki batasan menghormati HAM orang lain, norma agama, etika, dan budaya masyarakat di sekitar mereka.

diperlukan langkah-langkah konkrit sebagai upaya ‘penyembuhan dan pemulihan’ kaum LGBT. Salah satunya adalah dengan

memfasilitasi proses penyembuhan dan pemulihan tersebut seperti dengan mendirikan tempat-tempat yang dapat dijadikan basis ‘healing centre’. Tempat di mana kaum LGBT akan mendapatkan bimbingan dari berbagai ahli dengan berbagai metode penyembuhan (terapi psikologi,

terapibehavior, bimbingan spiritual, agama, dll).

9 Gibtiah, Perbandingan tentangKhunsa dengan

Transseksual dan Transgender (Telaah Pemikiran Ulama’ Klasik Dan Ulama’

Modern),

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia Email:

gibtiah@raden fatah.ac.id Intizar, Vol.

20, No. 2, 2014

Transeksual sering difahami masyarakat sebagai Kelamin Ganda dalam duania medis istilah ini dikenal dennganAmbiguous genitaliayang artinya kelamin yang meragukan

Transgender adalah orang yang cara berprilaku atau

penampilannya tak sesuai dengan peran gendernya pada umumnya.

”Transgender merupakan orang yang dalam berbagai level

“melanggar” norma kultural mengenai bagaimana pria atau wanita itu sendiri”, Transgender berhenti hanya pada aspek prilaku atau penampilan (zahir) saja.

khun-tsa ini merupakan bagian dari qadha' yang ditetapkan oleh Allah, maka waria atau Transgender adalah bentuk penyimpangan perilaku..

Khunsa adalah kelompok manusia yang memiliki kelamin ganda yang terbagi kepada Khunsa Musykil dan Gahiru musykil, sedangkan yang masuk kategori Mukhannas yaitu kelompok waria, atau banci yang bagian dari kaum Transgender dengan kelamin satu namun mereka bermasalah dari segi kejiwaan atau naluri mereka yang memiliki kelainan atau penyimpangan.

10 Mu’adil Faizin

Konseling Islam Sebagai Solusi Fenomena Transgender

Fakultas Syari`Ah Dan Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Muadilfaizin

@Yahoo.Com, Jurnal

Nizham, Vol.

05, No. 01 Januari-Juni 2016

Penelitian menghasilkan bahwa transgender adalah salah satu dari penyakit mental.Banyak di antara pengidap transgender mengalami depresi dan berujung pada tindakan bunuh diri. Dalam ilmu psikologi, intervensi spiritual adalah hal yang terpenting dalam mengobati penyakit mental, oleh karena itu konseling Islam sebagai solusi fenomena transgender dilakukan dengan beberapa langkah; pertama, memberi pemahaman terkait kepercayaan diri; kedua, memasukan asas aqidah Islam;

ketiga, mengajak mendekati Allah SWT; keempat, memberi

pengetahuan Islam terkait hukum Islam transgender.

11 Muhammad Rizki Akbar Pratama, Rahmaini Fahmi, Fatmawati

Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender : Tinjauan Teori Psikoseksual, Psikologi Islam Dan Biopsikologi

Fakultas Psikologi, Uin Ar-Raniry Banda Aceh Psikis : Jurnal Psikologi Islami Vol. 4 No. 1 Juni 2018: 27-34

Perspektif psikoseksual, manusia secara inheren adalah biseksual.

Seseorang hingga mampu menyatakan dirinya LGBT atau heteroseksual adalah ketika ia berada di fase falik, dimana pada fase ini titik kenikmatan terletak pada alat kelamin. Berdasarkan psikologi kepribadian islam, perilaku LGBT merupakan jenis kepribadian ammarah yang didominasi oleh hawa nafsu 55%

dibantu oleh daya akal 30% dan daya qalbu 15%. Sedangkan berdasarkan sudut pandang biopsikologi, perilaku LGBT tidak dipengaruhi oleh hormon melainkan terjadi karena adanya perubahan struktur otak yang disebabkan oleh pengalaman dan lingkungan yang disebut dengan plastisitas dimana perilaku seseorang mampu mengubah bentuk otak manusia itu sendiri.

12 Anis Ma’rifah

Pemberdayaan Mental Waria Di Pesantren Senin- Kamis Notoyudan Yogyakarta,

Skripsi, jurusan Pengembanga n Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014

Komunitas yang dibentuk ini diharapkan bisa merubah pikiran masyarakat terhadap buruknya waria,yang mana pertemuan komunitas para waria tersebut berada di pesantren dengan naungan seorang waria yang bernama mariani. Pesantren waria memiliki makna substantif sebagai tempat bagi santri (dalam hal ini adalah waria) untuk memahami dan mendalami ilmu-ilmu agama yang kemudian mereka bisa

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan pesantren juga memiliki peran sebagai sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat.

Untuk memperjelas disertasi yang penulis buat, dengan ini penulis akam memaparkan beberapa hasil penelitian dalam jurnal nasional yang ada kesamaan denga judul yang penulis angkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Berdasarkan dari penelitian di atas, maka disertasi dengan judul “ Transegender menurut buya Hamka (1908-1981) dalam kitab tafsir al-Azhar” belum pernah dilakukan oleh peneliti, baik dari skripsi, tesis, maupun disertasi bahkan jurnal, oleh karena itu layak dan pantas untuk diteliti dalam disertasi ini. Perbedaan yang signifikan dalam disertasi yang peneliti buat ini adalah apa yang melatar belakangi pendapat buya hamka tentang kebolehan seseorang merubah status identitas gender dari laki-laki ke perempuan dan apa metode beliau dalam menetapkan hukum tersebut.