• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tasawuf Modern Buya Hamka

لﺎﻗ ؟ِﻢَﻨَﻐْﻟا

G. Tasawuf Modern Buya Hamka

atau keras mazhab yang ditinggalkannya, yaitu mazhab Syafi’i.54 Tafsir al- Azhar merupakan mahakarya Buya Hamka, ditulis oleh ulama Melayu dengan gaya bahasa khas dan mudah dicerna. Diantara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasawuf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hari ini, bisa dibilang tafsir al-Azhar adalah karya Hamka paling fenomenal. Disamping sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai sastrawan cerdas.55

Dengan menyadari hal ini, Hamka melihat konteks zaman yang terjadi di lingkungan masyarakatnya pada masa penjajahan Jepang ke Indonesia. Bangsa kita sudah mulai merasa gerah dengan penjajahan yang terus terjadi. Dahaga kebebasan, penghayatan kebangsaan yang hakiki, dan pencapaian kebahagiaan yang sesungguhnya sudah mencapai puncaknya. Masa itu adalah masa perkembangan modernisme. Masyarakat juga ingin merasakan kehidupan modern yang layak. Selama ini, masyarakat terjebak dalam derita penjajahan. Masyarakat sampai hampir lupa dengan rasanya kebahagiaan. Mereka ingin mengingat dan merasakannya kembali. Di sisi lain, Hamka amat menyayangkan sekelompok orang yang keliru mengartikan tasawuf. Diantara mereka, ada yang merasa menemukan tujuan dan cara hidupnya sendiri tanpa memperkatikan keberadaannya di tengah lingkungan. Mereka merasa telah bertasawuf ketika berhasil menyucikan diri, menyendiri, dan menjauhkan diri dari dunia. Justru, ini malah melemahkan manusia.

a. Keunggulan Tasawuf Modern

Tasawuf modern merupakan salah satu karya besar Hamka. Di dalam karyanya itu dapat melihat garis besar pemikiran Hamka, corak, dan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhinya. Dia menunjukkan bagaimana perspektifnya tentang arti kehidupan ini secara menyeluruh.

Dari siapakah kita ada? Untuk apa kita ada? Bagaimana kita keberadaan kita? Dia menjawab semua itu dalam satu kata kunci: Bahagia.

Buku ini juga tak hanya merefleksikan konteks zaman penulis. Buku ini adalah karya dalam ungkapan Muhammad Iqbal dapat dipahami dengan

mata masa depan. Kita masih bisa mengambil pemikirannya sesuai dengan konteks kekinian. Paparannya bersifat humble, inilah yang membuatnya mudah diterima masyarkat. Fachri Ali mengatakan bahwa tak mengherankan popularitas Hamka berada di tengah-tengah masyarakat yang telah banyak menyerap nilai budaya dan pengetahuan sekuler atau kalangan masyarakat yang berada di lapisan marjinal pengetahuan keagamaan.

Keunggulan lainnya adalah luasnya pemikiran Hamka terlihat dari penulisan buku ini. Hamka menggunakan banyak pendekatan, dan juga pandangan pemikir. Indentitas pemikirannya tetap kelihatan dengan alur yang ia buat. Meskipun sistematika penulisannya kurang teratur, namun metode pemaparannya memancing kita untuk ikut berpikir, sehingga pembaca tidak terlalu dibingungkan oleh alur pemikirannya yang tak menentu.

Selain itu, beberapa kali Hamka menunjukkan kemampuannya dalam bidang sastra. Sesekali dia menulis dengan gaya prosa, diantaranya ada kisah tentang nabi, tokoh pemikir, dan juga hikayat. Jadi, karya ini dibuat supaya tidak kering. Berikut salah satu kutipan pendeknya; Jika pandai meniti buih, selamat badan ke seberang.56

b. Gagasan Utama Tasawuf Modern

Hamka bermaksud menyampaikan gagasannya tentang konsep kebahagiaan. Masyarakat dipandang perlu memaknai kehidupan ini lebih

56Hamka,Tasawuf Modern, Jaya Murni: Jakarta. 1939, hlm 40

hakiki. Jangan sampai perkembangan modernitas menjadikan masyarakat lumpuh karena kekeringan makna spiritual. Sebaliknya, jangan sampai juga masyarakat buta akan keberadaannya di realitas modern yang menantangnya untuk tidak hanya berdiam dalam keterasingannya dari hiruk-pikuk dunia. Manusia adalah makhluk dua dimensi; jasmani dan ruhani.

Sumber-sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan dibagi menjadi dua macam pandangan.

Pertama,sumber kebahagiaan adalah jiwa (nafs) yaitu pandangan yang didukung oleh ahli tasawuf. Manusia memiliki kekuatan di dalam jiwanya untuk meraih kebahagiaan; hikmah, keberanian, keteguhan, dan keadilan. Bila manusia mengaktualkan semua kekuatan itu kebahagiaan dapat tercapai. Adapun kebahagiaan tersebut akan dinikmati di akhirat kelak. Karena di sanalah kebahagiaan yang sempurna diraih.

Kedua, sumber kebahagiaan itu tak hanya bersifat ruhani, tapi juga jasmani.

Pandangan ini diambil dari pemikiran Aristoteles. Hamka cenderung berpihak pada pandangan yang terakhir ini. Bahagia di dunia tidak niscaya di akhirat menjadi sengsara. Sebagaimana dalam ayat dan doa yang sering dipanjatkan; Ya Tuhan, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Maksudnya adalah kita melakukan upaya terus-menerus secara istiqomah semenjak berada di dunia sampai akhirnya sampai juga di akhirat dalam keadaan membawa kebaikan yang banyak. Menjaga kebaikan dan kesehatan badan beserta seluruh aspek materi demi meraih kebaikan dan kesehatan jiwa ruhani.

Kekayaan harta benda merupakan aspek yang membawa pada kenikmatan material. Namun, ia tidak musti dijauhkan karena akan merusak aspek ruhani.

dengan harta, bisa tetap bertahan hidup sehingga perbaikan jiwa bisa terus dilakukan. Banyak orang berpikiran bahwa kaya itu yang banyak hartanya.

Padahal hakikatnya, kekayaan adalah terpenuhinya segala keperluan yang memang diperlukan. Dengan begitu hati bisa mencapai ketentraman.

Sesungguhnya, hati yang tentram dan pikiran yang hening memberi bekas yang nyata untuk kebahagiaan manusia, itulah kebahagiaan sejati.57

Kekayaan hakiki dapat dirujuk dengan memaknai qana’ah dengan tepat.

Sering kali orang keliru memaknai qana’ah dengan malah menjauhi keduniaan sama sekali, dan menerima apa adanya yang dimiliki.Qana’ah adalah mencukupi diri dengan hal yang sudah cukup diperlukan bagi dirinya. Sebagaimana kata Rasul saw: Qana’ah adalah harta yang tak akan hilang dan yang tidak akan lenyap.

Dapat disadari bahwa kesehatan badan itu penting sekali terutama yaitu kesehatan jiwa. Kesehatan badan sendiri penting karena demi terpeliharanya kesehatan jiwa. Tidak lah rumit untuk merawat jiwa, karena tidak akan banyak yang kita butuhkan. Hamka mengaitkan kembali kesehatan jiwa dengan kekayaan yang hakiki. Kekayaan yang sebenarnya bukanlah dari kuantitas secara material.

Orang yang paling kaya ialah yang paling sedikit keperluannya, dan orang yang

57Hamka,Tasawuf Modern, (Jakarta : Jaya Murni, 1939), hlm 181

paling miskin ialah yang paling banyak keperluannya.58Kesehatan jiwa terletak pada pemenuhan kekayaan jiwa.

Ketika kebutuhan di luar jiwa sudah tercukupi, maka itu sudah baik untuk stamina jiwa. Ini lah kaitannya kesehatan badan dengan kesehatan jiwa. Tapi masih ada orang merasa banyak sekali kebutuhan badan dan materialnya, sehingga dia butuh mengkayakan dirinya secara material. Padahal, justru semakin banyak keperluannya dia semakin miskin jiwanya. Cari lah yang dari luar (yang sebetulnya bukan milik seseorang), untuk menjaga kesehatan jiwa. Harus disadari bahwa segala yang di alam ini hanyalah milik Allah, manusia hanya bersifat meminjam. Yang akan dibawa sebagai milik manusia hanyalah diri manusia itu sendiri, yaitu jiwa.

Dalam rangka menjaga kesehatan jiwa, ada empat hal yang harus diperhatikan sbaegai titik-titik pusat penentu kesehatan jiwa; Syaja’ah (keberanian), ‘iffah (kehormatan), hikmah (rahasia pengalaman hidup), dan

‘adalah(adil). Saat jiwa sedang sakit, maka itu artinya salah satu diantara keempat hal tersebut sedang bermasalah. Pertama, bisa jadi amarah sedang tidak terkendali, kendalikanlah. Atau yang kedua, mungkin memiliki rasa takut yang berlebihan.

Takut yang berlebihan adalah takut yang membuat seseorang malah putus asa, berdiam diri, dan pasif.

Bisa jadi takut terhadap apa yang dihadapi dalam kehidupan, bisa juga takut karena akan menghadapi kematian. Bagaimanapun, kehidupan dan kematian merupakan hal yang pasti adanya, sudah menjadi tabi’at. Apabila ditakuti

58ibid, hal 140

keduanya, maka percuma saja berdiam diri dalam ketakutan karena tidak akan merubah apapun.

Bagaimanapun juga manusia memiliki kehendak,iradat, yang menjadikan manusia bisa menghadapinya. Ada juga orang yang masih merasa takut meskipun Tuhan sudah menganugerahinya kehendak bebas. Mereka takut karena kehendak mereka terlalu banyak, kemauannya melampaui kebutuhannya. Mereka takut kalau kehendak mereka tak sampai, mereka takut kematian menghentikan pencapaian mereka yang tak ada habisnya. Jadinya, berujung pada kenihilan makna dalam hidup maupun setelah mati.



   















    























“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. QS.al-Mulk (67):1-2

Manusia harus segera mengobati penyakit takut seperti ini. Kehidupan dan kematian merupakan hal yang pasti. Manusia juga dianugerahi kehendak untuk menjalani kehidupan sebelum mati. Jalanilah kehidupan, penuhi kehendak, namun dapatkan yang seperlunya saja. Karena jiwa hanya membutuhkan yang perlu saja agar tetap dalam keadaan sehat. Untuk menghadapi kematian, manusia jangan sampai terlalu hanyut dalam ketakutan. Sebelum mati, dipersiapkan dulu segalanya. Itu lah makna kehidupan, mempersiapkan diri untuk nasib manusia nanti setelah kematian.

Terhadap kematian bukan untuk ditakuti saja, manusia ingat seraya menjalani hidup dengan akal budi dan hikmat. Yang penting, jangan sampai lupa sama sekali akan kematian yang benar adanya, dan juga jangan terlalu takut dalam bayang- banyangnya. Dapat dipahami ada tiga macam orang tekait dengan kematian; tidak ingat sama sekali, ingat namun penuh dengan rasa gentar dan takut, dan ingat seraya menggunakan akal budi & mengambil hikmah dalam setiap kehidupan.

Selain mempelajari kebahagiaan, manusia juga layak mengetahui tentang petaka dan celaka yang dialami manusia. sehingga manusia bisa terhindar darinya.

Ada 3 faktor yang membuat orang celaka; 1) pendapat akal yang salah, 2) rasa benci, dan 3) pesimis.

Razi mengatakan bahwa kemajuan akal hanya menambah banyak ikatan.

Ini karena akal tanpa disertai dengan pengaktifan hati, yaitu hatinya dibiarkan lemah. Jadinya akal malah digunakan untuk berburuk sangka pada Tuhan. Atau bisa juga akal malah menjadikan dada terasa sempit, putus asa, dan was-was., akal bukanlah kualitas pengetahuan yang tidak terbatas. Ia memiliki batas kapasitas yang berujung pada pengetahuan oleh hati. Ini lah pentingnya pengetahuan disertai iman-agama.

Rasa benci menghambat untuk merasakan kebahagiaan. Karena pemandangan kebencian bukanlah pemandangan keindahan. Hapus sifat benci, gantilah dengan cinta, sehari pergantian itu warna alam berubah dengan sendirinya pada pandangan manusia.59

59Hamka,Tasawuf Modern,( Jakarta : Jaya Murni, 1939), hlm. 270

Lebih parah lagi bila seseorang tidak memiliki harapan dalam kehidupan ini. Orang yang seperti ini pesimis dan hanya ingin mengundurkan diri. Dia telah kehilangan kepercayaan pada alam dan hidup. Tak ada lagi harapan kebaikan untuk dirinya. Hilang sudah arti arti kehidupannya.

H. Ijtihad dalam Pandangan Buya Hamka

Pandangan Buya Hamka tentang ijtihad dilandasi oleh konsep yang dikemukakannya tentang kemerdekaan manusia (umat Islam) dalam menyatakan pikiran. Manusia bebas dan merdeka dalam menyatakan hasil pemikirannya yang telah matang dan diyakini keabsahannya. Hasil pemikiran yang diyakini kebenarannya yang dinyatakan secara merdeka di hadapan umum nantinya dan orang lainnyapun merdeka juga membantah dengan pikiran apa yang telah disampaikan tersebut. Manusia yang hendak menyampaikan pikiran yang merdeka itu. Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam menyampaikan pikiran yang merdeka itu harus memiliki “beberapa undang-undang” agar hasil pemeikiran itu tidak keluar dari garis keadilan dan peraturanm dan tidak juga mengganggu kebebasan dan kemerdekaan orang lain.

Dalam Islam pintu kekebasan dalam menyatakan pikiran kata Buya Hamka adalah terbuka luas, “yaitu dengan kebebasan Ijtihad”.60 Kemerdekaan berijtihad termasuk dalam rangka kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pikiran.

Kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam seperti dalam bidang Ushul Fiqh, Fiqh,

60Hamka,Falsafah Hidup.,hlm. 268.

Ilmu Tafsir, Ilmu Tasawuf dan lain-lain kata Buya Hamka “adalah berpangkal dari terbukanya pintu ijtihad” itu sendiri. Begitu juga dengan ulama-ulama besar yang telah mendirikan empat mazhab fiqh dalam Islam kata Buya Hamka juga

adalah bersumber dari kebebasan ijtihad”. Dengan demikian, kehidupan umat Islam dan kemajuannya di berbagai bidang di zaman sekarang ini menurut Buya Hamka adalah “amat bergantung kepada kemerdekaan berpikir (berijtihad) dan kemerdekaan menyatakan hasil fikiran itu”.61

Penyebab utama terjadinya kemunduran berpikir dalam Islam adalah jumud (pemikiran membeku) dan statis. Buya Hamka mengatakan bahwa hal ini terjadi

setelah timbul pendapat di abad ketujuh Hijriyah bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kita lebihbaik taqlid saja”.62

Dari pernyataan-pernyataan Buya Hamka di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad olehnya adalah suatu hasil pemikiran setelah matang dipikirkan dan diyakini. Pengertian ijtihad yang dibuat oleh Buya Hamka tersebut bersumber dan dilandasi dari hadits Nabi yang berarti,

Barang siapa yang berijtihad, lalu benar hasil ijtihadnya, mendapatlah dia dua pahala. Dan barang siapa yang berijtihad, tetapi tidak tepat hasil ijtihadnya mendapat dia satu pahala”. Adapun yang dimaksud dengan mendapat dua pahala dalam hadits ini adalah pertama pahala ijtihad, yaitu kemampuan seseorang dalam mencurahkan daya upayanya untuk memperoleh suatu hasil pemikiran yang matang dan diyakini dan kedua pahala benar hasil ijtihad (pemikiran) nya.

Sedangkan mendapat satu pahala bermaksud yaitu pahala dari ijtihad yang

61Ibid.hlm. 270.

62Ibid.hlm. 269.

dilakukan. Dengan demikian kata Buya Hamka “tidak berdosa kalau salah hasil ijtihadnya itu, karena ia berijtihad mencari kebenaran sedangkan kesalahan terjadi tanpa sengaja”.63

Menark sekali jika lihat pada kitab-kitab fiqh lama yang ditulis pada masa klasik dan abad pertengahan di dalamnya menjelaskan suatu pendapat dan pengarangnya tidak lupa mencantumkan pendpat-pendapat ulama lainya yang berbeda pendapat dengannya. Para pembaca atau mempelajarinya dapat membandingkan pendpat-pendapat itu.

Berdasarkan dalil yang dikemukakan oleh Buya Hamka dalam mengutarakan maksudnya tentang ijtihad maka dapat dikatakan bahwa pengertian ijtihad yang dikemukannya selaras dengan berbagai pengertian ijtihad yang dibuat oleh para ulama ushul fiqh di atas, di antaranya yaitu dengan mencurahkan kemampuan maksimal dalam upaya menggali hukum-hukum syara’.

Landasan seseorang dalam berijtihad adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Keduanya adalah sumber pokok dari ajaran Islam. Buya Hamka juga meyakini kedua sumber pokok ajaran Islam yang dijadikan landasan dalam berijtihad denganmenyatakan “sumber telaga ijtihad tetap pada dua, yaitu al-Qur’an dan as- Sunnah. Ini disepakati oleh orang dahulu dan oleh orang sekarang.64 Al-Qur’an yang menjadi panutan Nabi Muhammad SAW dan orang-orang sesudahnya ia merupakan sumber pokok (primer) syariat Islam, di dalamnya dijelaskan tentang dasar-dasar syariat, akidah-akidah secara terperinci, dan ibadah serta peradilan secara global. Posisi al-Qur’an dalam syariat Islam seperti posisi undang-undang

63Ibid.hlm. 269

64Ibid.hlm. 270.

dalam hukum positif. Misalnya, secara global al-Qur’an menjelaskan shalat dan zakat dan tidak menerangkan tentang tata cara dan batasan-batasannya. Tata cara serta batasan-batasan shalat dan zakat diterangkan oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Sunnah merupakan sumber tasyri’ berada setingkat di bawah al- Qur’an. Sunnah sebagai penjelas keglobalan dan kemusykilan (kerumitan) al- Qur’an, pentasyid (pembatas) kemutlakan (keumuman) al-Qur’an dan menjelaskan apa yang belum terdapat dalam al-Qur’an.65

Seseorang yang telah memiliki hasil pemikiran yang matang dan diyakini juga akan kesahihannya memerlukan wadah sebagai tempat untuk menuangkannya. Wadah yang terutama menjadi tempat penuangan pemikiran yang telah matang tersebut kata Buya Hamka adalah “dalam surat-surat kabar dan buku-buku”.66Dengan demikian, para penulis merupakan orang yang pertama kali mendapat kesempatan dalam kemerdekaan berpikir tersebut. Akan tetapi sebagai sebuah hukum alam bahwa kemerdekaan seseorang juga dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. kemerdekaan berpikir itu ada batas dan syarat-syaratnya, yaitu “jangan keluar dari garis adab dan sopan walaupun hal yang benar yang akan diterangkan”. Seorang yang menyatakan hasil pemikirannya seyogianya juga ia “sanggup mempertahankan keyakinan dan hujjahnya, lagi luas pandangannya serta mengetahui hakikat perkara yang ditulisnya”.

Dalam menulis seseorang harus menjaga etika berlaku adil dan jujur serta tidak boleh membuat tulisan-tulisan yang bersifat dusta dan menipu. Begitu juga

65Mustahafa Ahmad al-Zarqa,Hukum Islam dan Perubahan Sosial,terjemahan Ade Dedi Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 4.

66Hamka,Falsafah Hidup.,hlm.270.

seseorang tidak boleh menulis sesuatu yang tidak berdasarkan atas kebenaran karena jika dilakukan kata Buya Hamka, “walaupun mula-mula ditelan orang, namun zaman kelak akan memuntahkan “kebenaran celupan” dari perut orang yang telah terlanjur menelannya”. Lawan dari istilah “ijtihad” adalah “taqlid”.

Orang yang melakukan taqlid disebut dengan muqallid. Taqlid yaitu memperpegangi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Dalam artian lain dikatakan bahwa seseorang menerima pendapat orang lain dan ia tidak menegetahui dari mana sumber pengambilan pendapat itu dan diikutinya itulah yang dinamakan taqlid. Seorang muqallid (pengikut saja) hanya akan menurut saja akan apa yang dikatakan oleh orang diikutinyanya. Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa taqlid adalah memperpegangi mazhab lain tanpa mengenal dalilnya.67Adapun memperpegangi atau menerima pendapat (mazhab) orang lain serta mengenal dan memahami akan dalil-dalilnya (hujjah) maka tidak disebut dengan taqlid tetapi adalah suatu ijtihad yang menyesuai akan ijtihad orang lain yang diikutinya karena mengenal dan memahami dalil itu hanyalah kerja dari seorang mujtahid.68

Para ulama yang menjadi pembela taqlid setelah terjadinya penutupan pintu ijtihad kata Buya Hamka mengemukakan suatu dalil pendapat yaitu “orang yang telah terdahulu, tidak meninggalkan lagi untuk orang-orang kemudian soal-soal yang akan dibicarakan”. Pendapat ini bertujuan untuk mengukuhkan dan menumbuh suburkan akan budaya taqlid dalam Islam, suatu budaya yang sangat

67Wahbah az-Zuhaili,al-Wajiz.,Jilid II, hlm.355.

68 Ahmad Kahtib al-Minangkawbawi, an-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat, (Indonesia:

Haramain, 2006), hlm. 162.

ditentang dan kurang terpuji. Namun, jika seseorang tidak mampu mengenal akan dalil maka sebaiknya ia mengikuti akan suatu ijtihad yang diyakini akan kesahihannya.

Konsep Hamka tentang ijtihad : ijtihad dilandasi oleh konsep yang dikemukakannya tentang kemerdekaan manusia (umat Islam) dalam menyatakan pikiran.

BAB V