70
Tabel 2.1 Metode istinbat Yusuf Qaradhawi 1
Men-takhsis hadis-hadis tentang larangan membuat gambar dengan Q.S Ali Imran ayat 6, dan dengan hadis yang mengecualikan gambar pada kain
2
Menggunakan ijtihad tarjih dengan mentarjihpendapat ulama yang membolehkan gambar
Tabel 2.2 Metode istinbat Muhammad Ali al-Shabuni
1 Memahami bahwa lafaz ayat al-Anbiya ayat 51-61 dan hadis tentang taṣwir bermakna umum
2 Al-Ṣabuni dalam berpendapat mengenai hukum tentang gambar mengambil sikap preventif (kehati-hatian)
yang di gambar adalah halal dan sesuai dengan ruh syariat. Sehingga tidak bebas menggambar sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Sama halnya dengan fotografi, Yusuf Qarᾱḍawi membolehkannya dengan syarat adalah sesuai aturan syariat. Penulis menilai ini adalah pendapat yang tepat dikarenakan pada zaman sekarang ini fotografi merupakan suatu hal yang tidak dapat lagi dipisahkan bahkan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dimasa sekarang, namun harus juga diberi batasan-batasan agar tidak menyalahi syariat.
Dalam menyikapi pendapat yang membolehkan gambar, lukisan ataupun patung karena mereka berpendapat bahwa nash hadis yang menunjukkan bahwa suatu tindakan sementara yang diharuskan karena kondisi saat itu untuk menghadapi kemusyrikan dan penyembahan berhala. Namun mereka mengatakan bahwa sekarang sudah berselang lama dengan hal tersebut, maka alasan mengharamkan gambar dan patung sudah tidak bermakna lagi, dan sudah tidak dikhawatirkan lagi bahwa manusia akan kembali kepada penyembahan berhala tersebut.
Terkait alasan itu pada realitanya, sekarang ini masih terjadi pemujaan terhadap berhala, misalnya dalam bentuk makam-makam yang dikatakan
“keramat” dan yang didatangi manusia untuk memohon bantuan dan pertolongan kepadanya agar menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang mereka derita. Hal ini menunjukkan bahwa watsaniah (pemujaan batu dan berhala) masih terjadi pada masa sekarang ini. Akibat dari fatwa tersebut, saat ini negeri Islam penuh dengan patung-patung yang didirikan untuk memperingati jasa dan
72
mengagungkan orang yang dipatung itu, seperti patung para pahlawan bangsa dan lainnya.
Mereka ber-hujjah tentang diperbolehkannya melukis dan memahat dengan ayat al-Qur‟an yaitu surah Saba ayat:13,
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.”
Ayat tersebut di atas hanya mengandung untuk pemberitaan mengenai apa yang dikerjakan jin untuk Nabi Sulaiman a.s. walaupun demikian mungkin itu adalah untuk syariat umat terdahulu, sedangkan syariat Nabi Muhammad Saw.
perbuatan itu telah di nasakh.
Adapun pendapat yang dengan keras melarang gambar maka itu akan sangat menyusahkan para seniman-seniman muslim yang mempunyai kemampuan dalam bidang menggambar, atau bahkan yang berprofesi sebagai penggambar maupun fotografer akan sangat kesulitan dalam menerima fatwa ini.
Adapun hadis-hadis yang menjadi hujjah mereka seperti hadis “malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar”. Adapun dalam memaknai hadis ini bahwa malaikat tidak masuk ke rumah yang ada anjing dan gambar, yaitu rumah yang ada anjing atau gambar yang memang diharamkan untuk dimiliki, bukan gambar yang dibolehkan seperti yang dihinakan dan bukan pula anjing untuk berburu.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang hanya dibolehkan adalah gambar makhluk yang tidak bernyawa, seperti pohon, sungai , matahari dan sebagainya.
Maka dalam hal ini terdapat kesangsian karena apabila yang mereka gambar itu adalah api yang merupakan benda yang tidak bernyawa. Sedangkan ada sebagian orang yang saat ini masih menganut pemujaan terhadap api, maka dengan begitu yang membuat gambar itu sudah membuat perlambangan dan syiar agama yang menyekutukan Allah. Begitu halnya juga dengan pohon, ada juga orang yang memujanya karena dikeramatkan. Sehingga ini dapat menimbulkan kemusyrikan.
Maka dengan memperhatikan dua pendapat tersebut diperlukan sikap dualisme, yaitu disaat ke-mudharat-an yang ditimbulkan karena kebolehan membuat gambar itu lebih besar maka, ada baiknya menerapkan fatwa yang mengharamkan gambar. Seperti yang terjadi di India, kebanyakan gambar-gambar yang dibuat adalah orang yang mereka sembah, maka dalam kasus ini umat muslim diharamkan untuk membuat hal demikian.
Namun apabila ke-maslahat-an yang timbul dari dibolehkannya gambar tersebut lebih besar maka, tidak salah jika membolehkan pembuatan itu dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang telah dirumuskan oleh ulama yang membolehkannya. Seperti menjadikan gambar sebagai media dakwah untuk mengenalkan Islam pada dunia, sehingga akan berdampak kepada kebaikan untuk Islam sendiri.
Menurut penulis Jika kemampuan menggambar bisa dimanfaatkan dengan baik, maka itu bisa menjadi media dalam berdakwah. Seperti membuat komik yang menceritakan kisah sahabat Nabi, maupun kisah-kisah para ulama yang menginspirasi dan menguatkan keimanan orang yang membacanya.
74
Selain dari segi dakwah, juga dari segi ekonomi, yaitu umat Islam juga bisa mendapatkan income, dalam hal ini para pembuat gambar atau lukisan ini bisa membuat dan menjual gambar tersebut. Dan juga bisa mendapatkan keuntungan dengan menjadi fotografer yang handal, misalkan bekerja sebagai tukang foto di acara resepsi pernikahan atau di acara wisuda, dan sebagainya.
Karena menurut penulis boleh atau tidaknya taṣwir dalam Islam itu tergantung kepada fungsi, tujuan, niat dan, ada tidak illat larangannya. Karenanya membuat gambar (taṣwir) tergantug kepada niat orang yang melakukan. Hal ini senada degan hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhuyaitu:
ْنَع َميِهاَرْ بِإ ِنْب ِدَّمَُمُ ْنَع ٍديِعَس ِنْب َيََْيَ ْنَع ٌكِلاَم اَنَ ثَّدَح ٍبَنْعَ ق ِنْب َ َمَلْسَم ُنْب ِهَّللا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُلوُسَر َلاَق ،َلاَق ِباَّطَْلْا ِنْب َرَمُع ْنَع ٍصاَّقَو ِنْب َ َمَقْلَع ُلاَمْعَْاا اََّنَِإ
))ْتَناَك ْنَمَو ِهِلوُسَرَو ِهَّللا َاِإ ُهُ َرْ ِهَف ِهِلوُسَرَو ِهَّللا َاِإ ُهُ َرْ ِه ْتَناَك ْنَمَف ىَوَ ن اَم ٍئِرْم ِلَ اََّنَِإَو ِ َّيي نلاِب ِهْيَلِإَرَجاَه اَم َاِإ ُهُ َرْ ِهَف اَهُجَّوَزَ َ ي ٍةَأَرْما ْوَأ اَهُ بيِصُي اَيْ نُدِل ُهُ َرْ ِه
((57
Dari Umar bin Khattab dia berkata, "Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya, barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul- Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh dunia atau seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya."
Oleh karena itu juga kebolehan membuat gambar, menurut penulis harusmemenuhi persyaratan yang sesuai dengan syariat, sehingga para pembuat gambar tidak dengan sekehendak nafsunya membuat gambar yang tidak sesuai dengan syariat, seperti menggambar objek yang haram, seperti orang telanjang, simbol-simbol keberhalaan, dan lain-lain.
57Imam Abi Husain Muslim Ibnu al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim,... hlm. 853.
Seperti halnya foto pada masa sekarang ini walaupun tidak ada unsur menyamai hak penciptaan dalam fotografi, akan tetapi apabila penggunaan fotografi untuk hal-hal yang keliru seperti disembah, maka itu harus diharamkan, atau menggunakan fotografi untuk pajangan foto tokoh idola tertentu yang memunculkan kekaguman, maka ini juga tidak diperbolehkan. Sehingga fotografi untuk hal-hal yang keliru tidak diperbolehkan, akan tetapi harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, misalnya, objeknya adalah halal, tidak melambangkan syiar agama lain, tidak untuk disembah, dan hal-hal keji lainnya.
Maka kesimpulan dari analisa penulis dalam masalah ini, pengharaman secara mutlak adalah terhadap gambar yang memiliki bayangan atau dalam istilah fikih disebut taṣwir mujasam yang dikenal dengan patung oleh masyarakat pada umumnya. Dikarenakan itu melambangkan kesamaan yang dilakukan oleh orang- orang kafir yang menyembah patung.
Sementara itu, mengenai gambar lukisan maka hukumnya adalah boleh apabila tidak adanya motif pelarangan, seperti adanya niat ingin atau merasa dapat menandingi ciptaan Tuhan, mengkeramatkan gambar tersebut, bahkan sampai memuja gambar tersebut karena objeknya adalah orang alim atau orang yang diidolakan, atau objeknya menimbulkan syahwat ketika dilihat dan sebagainya.
Begitu pula dengan fotografi, maka kebolehannya apabila tidak terdapat motif- motif tersebut. Wallahu „alam.
77 BAB EMPAT
PENUTUP