• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBUAT GAMBAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "MEMBUAT GAMBAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM "

Copied!
94
0
0

Teks penuh

Yusuf Qarᾱḍawi percaya bahawa yang dilarang ialah taṣwir yang berbentuk fizikal dan mempunyai bayangan. Persoalan kajian tesis ini ialah apakah pendapat Yusuf Qarᾱḍawi dan Ali al-Ṣabuni tentang imej dan apakah kaedah istinbat yang digunakan oleh Yusuf Qarᾱḍawi dan Ali Al-Ṣabuni tentang hukum imej.

Latar Belakang Masalah

Mengenai masalah menggambar hukum, para Ulama berbeda pendapat, salah satunya yang akan penulis bahas dalam penelitian ini adalah pendapat Yusuf Qarᾱḍawis dan Muhammad Ali al-Ṣabuni. Dari hasil penelitian awal diketahui bahwa Yusuf Qarᾱḍawi memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Ali Al-Ṣabuni.

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Penjelasan Istilah

Bab kedua membahas landasan teori untuk gambaran umum gambar, meliputi pengertian, dasar hukum, jenis gambar dan metode ijtihad oleh Yusuf Qarᾱḍawi dan Muhammad Ali Al-Ṣabuni. Menurut analisis penulis, kedudukan Yusuf Qarᾱḍawi adalah sebagai ahli fiqh yang independen dan moderat. Yusuf al-Qarᾱḍawi mulai belajar menghafal Al-Qur'an dari Kuttab yang berada di desanya.

Pada usia sembilan tahun dan beberapa bulan, Yusuf Qarᾱḍawi berjaya mengkhatamkan al-Quran. Mengenai hukum gambar atau lukisan, Yusuf Qarᾱḍawi membahagikan hukum gambar kepada yang haram dan yang boleh. Begitulah pandangan Yusuf Qarᾱḍawi tentang hukum imej berbayang dan tanpa bayang.

Yusuf Qarᾱḍawi mengatakan bahwa hukumnya haram jika bendanya tidak sesuai dengan akidah, syariah dan adab. Metode istinbat yang ditempuh oleh Yusuf Qarᾱḍawi mengenai hukum gambar adalah dengan mengambil dalil dari Al-Qur'an seperti QS.

Kajian Pustaka

Metode Penelitian

Bab ketiga berisi tentang biografi Yusuf Karᾱḍawi dan Muhammad Ali Al-Ṣabuni, berisi tentang pendapat Yusuf Karᾱḍawi dan Muhammad Ali Al-Ṣabuni tentang hukum Gambari, serta cara istinbath Yusuf Karᾱᾱᾱḍabuni. Penulis hanya akan menyebutkan judul-judul karya Yusuf Karᾱḍawi dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Yusuf Qarᾱḍawi mengatakan bahwa hukum tentang lukisan dan seni lukis yang dilukis di atas lembaran, seperti kertas, baju, dinding, lantai, uang, dll.

Berdasarkan hadits tersebut, menurut Yusuf Karᾱḍawi, gambar yang dilarang adalah yang memiliki bayangan, biasa disebut arca, seperti untuk lukisan atau lukisan di atas papan, pakaian, lantai, dinding, dan dinding. Mengenai hukum gambar fotografi atau gambar yang dibuat dengan sarana teknologi seperti kamera dan sebagainya, al-Karᾱḍawi mengatakan bahwa ini merupakan masalah baru yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad. Kemudian al-Qarᾱḍawi juga menggunakan metode ijtihad tarjih, sedangkan pendapat ulama yang diajari Yusuf Karᾱḍawi dalam hal ini adalah antara pendapat Imam Nawawi dan Ath-Thahawi.

Dalam hal ini, al-Qarᾱḍawi menganalisis pendapat aṯ-Ṯahawi dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW terlebih dahulu. Setelah penulis meneliti pendapat dua ulama yaitu Yusuf Qarᾱḍawi dan Muhammad Ali al-Ṣabuni mengenai hukum gambar, serta mempelajari dalil dan metode yang digunakan.

Sistematika Penulisan

Definisi Gambar

Tiga dalam bentuk ṣawwara)روص), sekali dalam bentuk yuṣawwiru)روصي) sekali dalam bentuk muṣawwir)روصلما(, sekali dalam bentuk ṣura )ةروص(, dan dua kali dalam bentuk )روص. Dalam ṣawwara, bahasa berarti bentuk, dan ṣura berarti bentuk. At-Taṣwir adalah mengubah atau menjadikan sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda dari bentuk aslinya.

Dasar Hukum Gambar

Apabila Rasulullah s.a.w. melihat kusyen, beliau berhenti di pintu dan tidak masuk. Kesimpulan dari hadis ini ialah tidak ada beza pengharaman gambar antara yang berbayang dengan yang tidak berbayang.

Jenis-Jenis Gambar

Dari metode ijtihad yang digunakan, terlihat jelas bahwa Al-Qarᾱḍawi adalah seorang ulama yang menganut metode penggabungan pusaka salaf yang layak dilestarikan, dan ilmu modern yang bermanfaat, dengan barometer al-Qur'an dan sunnah Nabi. Keluarga pamannya juga saleh dalam beragama, sehingga Qarᾱḍawi menjadi orang yang kuat dalam beragama. Sebagian besar gagasan al-Qarᾱḍawi tentang fikih dan fatwa dapat ditemukan dalam ketiga karya tersebut.7.

Rasulullah s.a.w bersabda: "Orang yang paling pedih azabnya pada hari kiamat ialah orang yang suka melukis." (H.R. Muslim No. 2109 Kitab Pakaian dan Perhiasan Bab Haram Membuat Gambar Binatang) 13 Al-Qarᾱḍawi menukilkan pendapat Imam Tabari iaitu “yang dimaksudkan dalam hadis ini ialah orang yang melukis sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan apabila mengetahui dan sengaja Di antara hadis yang bermaksud hukum imej makruh menurut al-Qarᾱḍawi ialah hadis Imam Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhaini dari Abu Talhah al-Ansari: Atas dasar. daripada ayat ini al-Qarᾱḍawi mengatakan bahawa haram yang mempunyai bayangan kerana ciptaan Allah bukanlah gambaran di atas permukaan yang rata, tetapi ciptaan yang mempunyai bentuk dan badan.48.

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa metode yang digunakan Yusuf Karᾱḍavi adalah klasifikasi hadits-hadits larangan mengambil gambar dengan ayat 6 Ali Imran, dan dengan hadits-hadits yang mengecualikan foto-foto pada kain, di samping itu beliau juga menggunakan ijtihad tarjih. memindahkan pemikiran ilmiah yang membolehkan foto. Terdapat persamaan antara motif yang dikemukakan oleh Ali al-Ṣabuni dan Yusuf Karᾱḍawi, tetapi Yusuf Karᾱḍawi berpendapat bahawa jika tidak ada motif dan niat seperti yang terdapat dalam motif larangan, maka foto tersebut menjadi benar-benar dibenarkan.

Metode Ijtihad Yusuf Qarᾱḍawi dan Ali al-Ṣabuni

Biografi singkat Yusuf Qarᾱḍawi dan Muhammad

Biografi Yusuf Qarᾱḍawi

Nama Yusuf al-Qarᾱḍawi diambil dari nama pamannya yang meninggal sebelum memiliki anak.1 Ketika berusia 2 tahun, ayahnya meninggal. Setelah menamatkan sekolah dasar, Yusuf Qarᾱḍawi melanjutkan dengan ma'had yang diselesaikan dalam waktu empat tahun, kemudian dilanjutkan di tingkat menengah selama lima tahun. Setelah itu, Yusuf Qarᾱḍawi melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo dan mengabdikan dirinya pada studi agama di Fakultas Ushuluddin hingga menerima aliya Syahadah pada tahun 1952-1953.

Ia kemudian melanjutkan ke Ma’had al-Buhuts wa ad-Dirasaat al-Arabiyah al-Aliyah pada tahun 1957, untuk memperoleh gelar yang lebih tinggi dalam Bahasa dan Sastra, namun pada kesempatan yang sama Yusuf Qarᾱḍawi mengikuti perkuliahan di Fakultas Ushuluddin melalui jalur ​al-Quran dan as-Sunnah, dan menyelesaikannya pada tahun 1960.5.

Biografi Muhammad Ali Al-Ṣabuni

Selama 28 tahun ia sibuk mengajar di dua universitas tersebut.Berkat prestasi akademik dan kemampuan menulisnya, Al-Ṣabuni, saat menjabat sebagai dosen di Universitas Umm al-Qura, menjabat sebagai ketua fakultas Syariah. Selain mengajar di kedua universitas tersebut, Syekh Al-Ṣabuni juga kerap memberikan kuliah terbuka kepada masyarakat umum di Masjidil Haram. Proses rekaman yang meliputi kuliah umum Syekh Al-Ṣabuni berhasil diselesaikan pada tahun 1998.

Dalam mengungkapkan pemikirannya, al-Ṣabuni tidak terburu-buru dan tidak hanya mengejar kuantitas karya tulis, tetapi menekankan bobot keilmuan.

Pendapat Yusuf Qarᾱḍawi Tentang Hukum Gambar

Telah diceritakan kepada kami oleh Qutaibah ibn Said, Telah diceritakan kepada kami oleh Laits dari Bukair, daripada Busr bin Said daripada Zaid bin Khalidindari Abu Talhah, seorang sahabat Rasulullah saw. Diriwayatkan kepada kami Ibnu Abu 'Adi dan 'Abdul A'la melalui jalur ini, Ibnu Al Mutsanna berkata; di dalamnya 'Abdul A'la menambah; 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyuruh kita memotongnya.'"(H.R. Muslim No. 2107 Kitab Pakaian dan Hiasan Bab Haram tentang membuat gambar binatang. Musa memberitahu kami bahawa Abdul Wahid memberitahu kami, 'Umarah memberitahu kami bahawa .

Setelah memberitahu kami Yahya bin Yahya dia berkata; Saya membaca Malik dari Nafi' dari al-Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah bahwa dia membeli bantal kecil dengan gambar.

Pendapat Muhammad Ali Al-Ṣabuni Tentang

Kemudian Abu Hurairah meminta air untuk berwuduk lalu dia berwuduk dan membasuh kedua tangannya hingga ke ketiak, aku bertanya; "Wahai Abu Hurairah, adakah kamu mendengar sesuatu daripada Rasulullah SAW (tentang hal ini). Dari Abu Talhah Al Anshari, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda. : “Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat anjing dan gambar. Zaid berkata; 'Lalu aku berjumpa dengan Aisyah lalu aku bertanya kepadanya; 'Abu Thalhah memberitahu saya bahawa Nabi s.a.w. bersabda: "Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang ada anjing dan gambar." Pernahkah kamu mendengar Rasulullah saw menyebutnya.

Apabila Nabi s.a.w. datang dan baginda melihat permaidani itu, saya faham ada tanda benci di mukanya, lalu baginda mencabutnya dan memotongnya sambil berkata;.

Metode istinbat Yusuf Qarᾱḍawi dan Ali al-Ṣabuni

Mengenai hukum fotografi yang merupakan masalah yang tidak ada pada masa ulama salaf, dalam hal ini Yusuf Karᾱḍawi mengambil pendapat seorang mufti Mesir, yaitu Syekh Bakhit al-Muthi'i dalam esainya al-Jawab al . -Syafi fi Ibahatial-Taṣwir al-Futugrafi, dalam hal ini Syekh Bakhit mengatakan bahwa memotret dengan foto pada hakekatnya adalah proses pengambilan gambar dengan medium tertentu, sama sekali tidak termasuk kegiatan menggambar yang dilarang. Karena membuat gambar yang dilarang adalah membuat gambar yang tidak ada dan belum pernah dibuat sebelumnya. Ali al-Ṣabuni dalam hal ini memahami bahwa ayat dan hadits tersebut memiliki makna yang umum sehingga beliau mengatakan bahwa dengan keumuman lafal yang terkandung dalam ayat dan hadits tersebut maka yang dilarang adalah gambar yang memiliki bayangan, gambar.

Al-Ṣabuni berkata, motif di sebalik larangan bergambar adalah untuk meniru dan membandingkan ciptaan Allah SWT.

Pandangan Penulis

Walaupun terdapat sebilangan orang yang pada masa ini masih mempercayai penyembahan api, maka orang yang mengambil gambar itu telah membuat satu simbol dan mesej agama yang menghubungkan Tuhan. Seperti yang berlaku di India, kebanyakan gambar yang diambil adalah orang yang beribadat, maka dalam hal ini umat Islam dilarang melakukan perkara tersebut. Seperti membuat komik yang menceritakan kisah-kisah para sahabat Nabi serta kisah-kisah ulama yang menyemarakkan dan menguatkan iman orang yang membacanya.

Adapun gambar atau lukisan, hukumnya boleh jika tidak ada motif larangannya, seperti niat ingin atau mampu meniru ciptaan Tuhan, menyucikan gambar, bahkan memuja gambar karena objeknya adalah orang atau orang yang saleh. yang diidolakan, atau objek yang membangkitkan nafsu pada penglihatan dan sebagainya.

Kesimpulan

Lukisan atau patung yang tidak berwujud manusia atau benda hidup, seperti lukisan benda mati, yaitu lukisan sungai, pohon dan pemandangan alam yang tidak menggambarkan benda hidup, lukisan tersebut tidak diharamkan. Mengenai fotografi, kata al-Ṣabuni termasuk ke dalam jenis gambar yang termasuk ke dalam hadits larangan Nabi, sehingga diperbolehkan mengambil foto atau mengambil gambar dengan kamera hanya dalam hal-hal yang mendesak, seperti foto-foto. kartu identitas, paspor dan hal-hal mendesak lainnya. Jadi kemungkinan berfoto itu tidak bebas, menurutnya karena berfoto dengan kamera lebih bermakna dari apa yang terjadi saat ini di banyak majalah, surat kabar dan lain-lain yang menampilkan gambar atau foto orang yang dapat merusak moral, misalnya. . seperti gambar-gambar bugil, semi-telanjang, dan yang bisa membuat Anda ingin melihatnya.

Menyebut hadis larangan mengambil gambar dengan ayat 6 Q.S Ali Imran dan hadis yang tidak termasuk gambar pada kain.

Saran

Ahmad Mushtafa 'Ali Al-Qudhat, Syari'ah al-Islam wa al-Fanun, Beirut: Daar al-Jail, 1988. Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih Bukhari Volume VII, vertaler: Ahmad Sunarto et al., Semarang : Asy Syifa' Semarang, 1993. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsiirul Munir: Fil 'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj, Darul Fikr: Damascus, 2009.

Yusuf al-Qardawi, Huda al-Islam, Fatawa Mu'ashirah, (vertaling Abdurrachman Ali Bauzir), Surabaya: Risalah Gusti, 1993.

Referensi

Dokumen terkait