• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

B. Pembahasan

Diketahui bahwa proses interogasi atau percakapan dalam ruangan BK (Bimbingan dan Konseling) menggunakan implikatur percakapan sehingga prosedur percakapan berjalan dengan baik. Akan tetapi, kondisi yang berbeda ditemukan dibeberapa kasus bahwa pelanggaran implikatur tidak tampak menonjol. Pada kenyataannya, siswa kurang memahami tindak tutur yang berimplikasi. Tururan yang berimplikasi artinya mempunyai hubungan keterlibatan. Siswa bahwa memberikan protes kepada guru yang bersangkutan bahwa tuturan yang berimplikasi akan berdampak pada kesulitan untuk memahami maksud dan makna dari apa yang disampaikan dengan baik.

Berdasarkan analisis data implikatur percakapan dari prinsip kerja sama Grice (1975) dalam penelitian ini terdapat pelanggar maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan, dan maksim cara.

Dari empat maksim yang ditemukan oleh peneliti sebagian besar terdapat dua pelanggaran aturan maksim disetiap maksim-maksim tersebut.

Pertama, pada kasus pelanggaran tuduhan merokok terdapat empat pelanggaran maksim. Maksim tersebut adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim cara, dan maksim relevan. Pada data maksim kuantitas siswa yang melanggar aturan sekolah memberikan informasi secara berlebih terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru BK selaku konselor. Oleh sebab itu, siswa tersebut melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas. Selanjutnya, data maksim kualitas mengenai siswa pelanggar aturan sekolah tidak memberikan informasi yang sesuai sehingga jelas melanggar prinsip kerja sama. Kemudian, data pada

maksim relevan adalah jawaban yang diberikan oleh siswa tidak memiliki keterkaitan atau hubungan dengan pertanyaan di ajukan oleh guru selaku konselor. Pada data maksim cara siswa berbicara secara berbelit-belit dan tidak singgat sehingga guru BK (Bimbingan dan Konseling) tidak mendapatkan informasi yang sesuai

Kedua, pelanggaran peraturan masuk asrama. Pelanggaran tersebut tidak terdapat pelanggaran maksim pada prinsip kerja sama Grice. Semua tuturan yang disampaikan melalui proses percakapan telah sesuai.

Ketiga, pelanggaran mengintimidasi teman asrama. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa terdapat tiga pelanggaran maksim yaitu maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Pelanggaran maksim kualitas dilakukan oleh siswa yang melanggar aturan sekolah karena tidak memberikan informasi yang cukup memadai kepada guru BK (Bimbingan dan Konseling). Dari informasi yang diberikan masih mengandung unsur yang ambigu sehingga melanggar aturan maksim kualitas. Kemudian, pada maksim relevan jawaban yang diberikan oleh siswa tidak memiliki keterkaitan dengan pertanyaan guru BK (Bimbingan dan Konseling). Siswa selaku penutur memberikan jawaban yang kontradiksi dengan kasus yang terjadi saat itu. Siswa melibatkan permasalahan yang terjadi sebelumnya untuk dijadikan sebuah penguatan bukti untuk mempertahankan argumen dari informasi yang diberikan kepada mitra tutur. Selanjutnya, pada pelanggaran tersebut telah melanggar maksim cara karena informasi dari siswa pelanggar berbicara

secara berbelit-belit dan tidak singkat sehingga guru BK selaku mitra tutur tidak mendapatkan informasi yang sesuai. Lawan tutur (siswa) memberikan gambaran yang melibatkan informasi lama sehingga pernyataan tersebut tidak teratur.

Keempat, pelanggaran perizinan keluar masuk asrama/pondok.

Terdapat satu pelanggaran maksim pada tuturan tersebut yaitu maksim kuantitas. Percakapan tersebut memberikan gambaran tentang terjadi prinsip kerja sama maksim kuantitas. Dalam percakapannya, guru BK memberikan penjelasan inti tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa tersebut. Selanjutnya, siswa merespons dengan memberikan informasi yang diperlukan oleh lawan tutur untuk memberikan penjelasan.

Kelima, Pelanggaran masuk asrama II. Terdapat dua pelanggaran maksim yaitu maksim kualitas dan maksim relevansi. Percakapan tersebut guru BK selalu melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada siswa untuk mengetahui alasan yang diberikan. Dalam tuturannya siswa memberikan alasan bahwa orang tuanya yaitu bapaknya, beralasan jika lupa kalau ingin mengantar anaknya. Akan tetapi, setelah di konfirmasi siswa tidak menyampaikan hal yang sebenarnya karena lupa mengingatkan kepada orang tuanya. Kontribusi peserta percakapan haruslah berisi kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Namun jika peserta percakapan tidak mengatakan hal sebenarnya, percakapan tersebut telah melanggar maksim kualitas. Selanjunya, pelanggaran maksim relavansi mengharuskan peserta percakapan memberikan

kontribusi yang sesuai atau relevan dengan pembicaraan. Akan tetapi, jika ada sebuah percakapan yang tidak memberikan kontribusi yang sesuai.

Percakapan tersebut melanggar maksim relevansi.

Keenam, pelanggaran kegiatan belajar mengajar. Pada analisis data terdapat tiga pelanggaran maksim yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi. Pada umumnya dalam berkomunikasi, penutur memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya untuk memenuhi tuturan prinsip kerja sama. Apabila tuturan mengandung informasi yang berlebihan dan tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, atau informasi tersebut kurang.

Hal tersebut termasuk ke dalam pelanggaran maksim kuantitas. Maksim kualitas menekankan tentang kewajiban peserta percakapan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan haruslah berisi kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Namun jika peserta percakapan tidak mengatakan hal sebenarnya , percakapan tersebut telah melanggar maksim kualitas. Maksim relevansi mengharuskan peserta percakapan memberikan kontribusi yang sesuai atau relevan dengan pembicaraan. Namun, jika ada sebuah percakapan yang tidak memberikan kontribusi yang sesuai. Percakapan tersebut melanggar maksim relevansi.

Ketujuh, pelanggaran kegiatan ekstrakurikuler. Pada kasus tersebut telah terjadi pelanggaran maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara. Pelanggaran maksim kualitas karena informasi yang diberikan oleh

siswa tidak sesuai karena penutur memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya untuk memenuhi tuturan prinsip kerja sama. Pelanggaran maksim kuantitas karena informasi yang diberikan siswa tidak sesuai dengan bukti-bukti. Artinya, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Pelanggaran maksim cara karena menekankan pada cara yang digunakan penutur dalam bertutur.

Maksim ini tidak boleh ambigu, tidak kabur, tidak berlebihan, dan runtut.

Kedelapan, pelanggaran pembelajaran tahfiz. Pada kasus tersebut terdapat empat pelanggaran maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur.

Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Maksim cara ini

mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur atau tidak ambigu.

Selanjutnya, pematuhan maksim dari prinsip kerja sama Grice terdapat beberapa kasus, Pematuhan maksim kuantitas terdapat pada semua kasus, yaitu kasus tuduhan merokok, perizinan keluar asrama/pondok, peraturan masuk asrama, dan kasus mengintimidasi teman asrama pondok. Pematuhan maksim kualitas terdapat pada kasus tuduhan merokok, perizinan keluar asrama/pondok, peraturan masuk asrama, dan kasus mengintimidasi teman asrama pondok. Pematuhan maksim relevan terdapat pada kasus tuduhan merokok, perizinan keluar asrama/pondok, peraturan masuk asrama, dan kasus mengintimidasi teman asrama pondok. Pematuhan maksim cara terdapat pada kasus tuduhan merokok, perizininan keluar asrama/pondok dan peraturan masuk asrama. Oleh karena itu, berdasarkan percakapan pelanggaran aturan sekolah hanya maksim cara secara keseluruhan mematuhi maksim- maksim berdasarkan prinsip kerja sama Grice.

Penelitian ini bisa dijadikan patokan ataupun landasan bagi guru BK (Bimbingan dan Konseling) ketika melakukan proses wawancara atau interogasi kepada siswa yang melakukan pelanggaran aturan sekolah.

Guru BK (Bimbingan dan Konseling) dituntut untuk tidak terbawa emosi dan tidak menggunakan kata-kata yang bersifat menghakimi atau menyudutkan. Dengan tekanan yang didapatkan oleh siswa tentunya mengakibatkan siswa tersebut tidak memberikan jawaban dan informasi

sesuai dengan keinginan dari guru tersebut. Dengan demikian, informasi yang disampaikan sisiwa terkesan berbelit-belit dan panjang.

Secara singkat hadirnya pragmatik seharusnya mampu menyelesaikan persoalan makna yang belum bisa terpecahkan dengan teori semantik yaitu ―apa yang disampaikan‖ terkadang berbeda dengan

―apa yang diimplikasikan‖. Implikatur justru menyembunyikan makna agar implikasi makna tidak terlalu nampak. Meskipun demikian, dalam bidang kajian linguistik tentu memliki kaitan dengan teori-teori pragmatik.

Keterkaitan ini sering disebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; atau sebaliknya dengan sebutan pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Karena itu, pragmatik sering disebut bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction) dan dibedakan menjadi dua hal yaitu: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa; dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar.

Berpijak pada temuan di atas yang dihubungkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengkonfirmasi pengetahuan tentang pragmatik dan lingusitik deskriptif. Pragmatik pada hakikatnya lebih mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam

tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat. Penafsiran bahasa tuturan melalui pragmatik juga akan menjadi lebih mendalam untuk mengetahui maksud, asumsi dan tujuan pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan (konteks) saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang sebuah konsep tuturan cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran meskipun tuturan yang diujarkan sama.

Proses percakapan sebagian besar tidak melanggar implikatur percakapan karena ragam tuturannya merepresentasikan sikap santun.

Namun, siswa yang melanggar kurang cermat dalam memaknai tuturan yang disampaikan. Artinya, siswa cenderung menggunakan yang terus terang dan tidak berbelit-belit sehingga mitra tutur dapat menangkap maksud dengan mudah, tetapi beberapa tuturan juga tidak relevan dengan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Temuan penilitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Munirah dan Apriyanto (2020) bahwa dalam proses interogasi tersangka tidak dalam posisi tertekan sehingga interogasi menghasilkan titik temu. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Waljinah dan Harum Joko Prayitno (2012) bahwa prinsip percakapan menghasilkan pola interogasi untuk memperoleh informasi tanpa tekanan dan paksaan.

Dalam penelitian ini pula terdapat perbedaan yang menonjol dalam proses interogasi yang tidak ditemukan dalam penelitian sebelumnya yaitu strategi yang mereka gunakan, antara lain, dengan memenuhi prinsip-

prinsip kerja sama dalam implikatur percakapan. Dalam temuan penelitian sebelumnya mengenai implikatur dijelaskan bahwa sebagian besar temuannya melanggar maksim-masim dalam prinsip kerja. Berbeda halnya dengan penelitian ini bahwa sebagai besar pelanggaran maksim tidak ditemukan dalam proses interogasi pelanggaran aturan sekolah.

Baik yang dilakukan oleh guru ataupun siswa pelanggar.

Dokumen terkait