• Tidak ada hasil yang ditemukan

59 BAB III

60

pertanian tersebut karena antara pihak pemilik lahan dan petani penggarap intinya sama-sama saling membutuhkan.

Berdasarkan dari hasil pengamatan observasi dan wawancara yang peneliti lakukan di Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan bagi hasil yang dilakukan oleh petani penggarap dan pemilik lahan adalah sebagai berikut:

1. Proses/tahapan bagi hasil antara petani penggarap dan pemilik lahan yang terdiri dari:

a. Tahapan pengutaraan niat dari pemilik sawah kepada petani pengarap

b. Tahap negosiasi

c. Tahap pembagian hasil

2. Alasan pemilik lahan dan petani penggarap melakukan perjanjian bagi hasil

a. Alasan pemilik lahan

Adapun faktor yang menjadi alasan pemilik lahan melakukan praktik perjanjian bagi hasil adalah sebagai berikut:

1). Dikarenakan pemilik lahan tidak memiliki keahlian dalam bertani bawang

61

2). Karena tenaga pemilik lahan sudah tidak memungkinkan utnuk bertani sehingga memilih melakukan perjanjian praktik bagi hasil dengan petani penggarap.

3). Faktor kemanusiaan karena membantu orang lain dengan memberikan pekerjaan yaitu menggarap sawah miliknya dengan perjanjian bagi hasil hingga timbul rasa tolong menolong antara sesama manusia.

b. Alasan petani penggarap

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi petani penggarap dalam melakukan prkatik perjanjian bagi hasil sebagai berikut:

1). Faktor ekonomi yang sangat kurang

2). Tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap 3). Tidak memiliki keahlian lain selain bertanu

sehingga memutuskan melakukan perjanjian bagi hasil dengan pemilik lahan

3. Bentuk Praktik Perjanjian Bagi Hasil Antara Pemilik

62

b. hak dan kewajiban pemilik lahan c. hak dan kewajiban petani penggarap 4. Resiko Dalam Melakukan Praktik Bagi Hasil

B. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pratik Bagi Hasil Petani Bawang di Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima

Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjalankan segala aktivitas berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Begitu pula dalam menjalankan kegiatan kerja sama bagi hasil hendak berdasarkan tata cara yang baik dan tentukan Allah SWT. Kerjasama dalam pertanian yang dikenal dengan muzara’ah ini di bolehkan karena ada sikap tolong-menolong antara pemilik lahan dan petani penggarap.

Allah SWT berfiman:

وۖ ِنا َوْدُعْلا َو ِمْثِ ْلَا ىَلَع ا ْوُن َواَعَت َلَ َو ۖى ٰوْقَّتلا َو ِ رِبْلا ىَلَع ا ْوُن َواَعَت َو

ِباَق ِعْلا ُدْيِدَش َ هاللّٰ َّنِاۗ َ هاللّٰ اوُقَّتا

Yang artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam

63

perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah hanya kepada Allah SWT sesungguhnya Allah SWT sangat berat siksaannya.”(Q.S Al-Maidah ayat 2).

Dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat atau berkelompok tidak bisa sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Dalam beraktivitas sehari-hari manusia memerlukan bantuan manusia lain untuk membantu sesama individu dengan individu yang lainnya dari segi kebutuhan, seperti kerjasama bagi hasil. karena pemilik lahan sudah tidak mampu lagi menggarap lahannya sehingga memutuskan bekerja sama dengan petani penggarap sekaligus membantu petani penggarap karena tidak memiliki pekerjaan.

Muzara’ah merupakan kerja sama dalam usaha pertanian.

Dalam kerja sama ini pemilik lahan menyerahkan lahan pertaniannya berserta bibit yang diperlukan kepada petani penggarap untuk diusahakan sedangkan hasil yang diperoleh dari lahan pertanian tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.61

61 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 240.

64

Muzara’ah adalah suatu usaha atau kerjasama untuk menggarap sawah dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik lahan dan petani penggarap, baik biaya (modal) dari pemilik lahan dan petani penggarap hanya menjalankan usahanya.Pembagian hasil dari usaha pertanian yang dijalankan dihitung dan diberikan setelah panen.Bagi hasil dengan petanin penggarap harus mencerminkan keadilan dan terbuka pada saat transaksi.

Kerjasama yang dilakukan pemilik lahan dan petani penggarap tidak ada akad yang mengikat (akad tertulis), tetapi dilakukan secara lisan atas dasar suka sama suka, rela sama rela, ikhlas sama ikhlas dan saling percaya satu sama lain. Dengan cara pemilik lahan melelpon atau datang mengunjungi petani penggarap untuk diajak kerjasama bagi hasil, dan lahan serta modal ditanggung oleh pemilik lahan.

Sehingga petani penggarap tertarik untuk melakukan kerjasama bagi hasil tanpa adanya akad yang mengikat (lisan).

Allah SWT berfirman:

Artinya “ …apa bila kamu bermuamalah secara tunai dan waktu yang telah ditentukan hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang

65

penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.

Islam menganjurkan akad kerja sama dilakukan secara tertulis dan lisan agar terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan dalam satu kerjasama…” (Al- Baqarah: 282)

Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama hukumnya adalah boleh. Karena dalam muzara’ah allah memerntahkan untuk saling tolong- menolong sebagaimana disebutkan pada ayat diatas, dan secara khusus dari hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

“bahwasanya Rasulullah SAW, memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.”62

Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi dengan Petani Khaibar adalah kerja sama bagi hasil, bukan upah-mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa menyewa dengan pemilik tanah.

Berkaitan dengan aktivitas praktik bagi hasil antara pemilik lahan dan petani penggarap di Desa Nipa kecamatan ambalawi kabupaten bima maka peneliti dapat uraikan bahwa akad yang

62 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 241.

66

digunakan dalam perjanjian bagi hasil adalah akad muzara’ah.

Akad perjanjian dilakukan secara lisan, dan telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang sudah ditentukan dalam syariat islam. Namun demikian dalam pelaksanaan bagi hasil yang dilakukan masyarakat Desa Nipa terjadi penyimpangan dari kaidah-kaidah Hukum Ekonomi Syariah, khususnya dalam pelaksanaan bagi hasil berupa pembagian hasil yang memang dilakukan berdasarkan kesepekatan awal tetapi tidak memperhitungkan laba atau rugi dari pemilik lahan. Karena sistem bagi hasil yang dilakukan masyarakat Desa Nipa berdasarkan kesepakatan awal, namun dalam kesepakatan awal pemilik lahan dan petani penggarap tidak memperjelas modal yang akan dipakai dari pertama tanam hingga panen. Sehingga pada saat bagi hasil yang mengikuti kesepakatan awal yaitu 80-20, apabila hasil panen Rp10.000.000 maka untuk pemilik lahan Rp8.000.000 dnan petani penggarap Rp2.000.000 dengan semua modal (bibit, pupuk, obat-obatan hama) dari pemilik lahan.

Dengan adanya praktik bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan petani penggarap, antara kedua individu bisa saling membantu dengan adanya niat tolong-menolong antara

67

keduanya.Pemilik lahan membantu karena memberikan pekerjaan kepada petani penggarap yang tidak memiliki sawah sendiri dan petani penggarap membantu pemilik lahan karena sudah tidak mampu dalam bertani.

Konsep seperti ini yang dianjurkan dalam islam karena kegiatan bisnis harus dilandasi bukan saja untuk mengejar keuntungan semata individu, tetapi juga memberikan dampak kemaslahatan bagi pihak lain yang melakukan perjanjian bagi hasil. Dalam praktik bagi hasil sudah disebutkan hak dan kewajiban para pihak, dan waktu pembagian hasil.Jenis perjanjian atau akad yang digunakan disini adalah akad muzara’ah yaitu dengan menyebut syarat-syarat yang telah

disepakati, sesuai dengan yang diperjanjikan. Bagi hasil ini dilandasi dengan unsur tolong menolong antar sesama, sehingga pada dasarnya seseorang tidak boleh mengambil keuntungan.

Menurut peneliti praktik bagi hasil yang dilaksanakan oleh masyarakat desa Nipa ini dibolehkan karena menggunakan akad muzara’ah yang dimana didalam praktik bagi hasil ini terdapat unsur tolong-menolong antara individu( pemilik lahan) yang satu dengan individu (petani penggarap) yang lainnya.

68

Tetapi dalam melakukan perjanjian petani penggarap dan pemilik lahan dianjurkan memiliki sikap keterbukaan dan kejujuran baik dalam membahas modal maupun dalam pembagian hasil sehingga tidak merugikan satu pihak.

69

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari permasalahan yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk praktik bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik lahan dan petani penggarap di Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima dengan cara tidak tertulis/lisan.

Dalam pratik bagi hasil petani penggarap dan pemilik lahan lebih banyak menggunakan akad muzara’ah daripada akad mukhabarah. Praktik bagi hasil dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahap pengutaraan niat, tahap negosiasi, dan tahap pembagian hasil. Alasan petani penggarap melakukan perjanjian bagi hasil karena faktor ekonomi serta tidak memiliki lahan sendiri, sedangkan alasan pemilik lahan melakukan perjanjian bagi hasil karena faktor kemanusiaan dan tidak memiliki keahlian dalam bertani. Bentuk praktik perjanjian bagi hasil di paparkan tentang akad yang digunakan oleh petani penggarap dan pemilik lahan dalam praktik bagi hasil, hak dan kewajiban pemilik lahan, dan

70

hak dan kewajiban petani penggarap. Dari sistem bagi hasil ini terdapat kesalahan yang merugikan pemilik lahan, karena pada saat kesepakatan awal atau negosiasi pemilik lahan dan petani penggarap hanya menyepakati persenan yang akan dibagi tanpa membahas pengembalian modal terlebih dahulu. Sehingga pada saat bawang merah gagal panen atau harganya menurun ini dapat merugikan pemilik lahan. Adapun persenan yang dibagi pada saat panen adalah 80-20 yaitu ketika hasil panen mencapai Rp10.000.000 maka pemilik lahan mendapatkan Rp8.000.000 dan petani penggarap mendapatkan Rp2.000.000.

2. Berdasarkan hukum ekonomi syariah pratik bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik lahan dan petani penggarap yang ada di Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima ini dikatakan sah meskipun terdapat kerugian yang terjadi pada pemilik lahan. Karena adanya kerelaan rasa ikhlas dari kedua belah pihak, serta terpenuhinya rukun dan syarat sah perjanjian bagi hasil. dilihat dari bentuknya perjanjian bagi hasil ini termasuk akad muzara’ah.

71 B. Saran

Peneliti dapat memberi saran sebagai berikut:

1. Kepada pemilik lahan yang melakukan praktik bagi hasil khususnya di Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima untuk kedepannya dapat memperjelas klausul perjanjian yang dilakukan dengan petani penggarap seperti membahas tentang modal awal agar tidak terjadi kerugian pada salah satu pihak. Sehingga pada saat pembagian hasil dapat melihat kembali klausul perjanjian yang telah dibuat dan tidak meleset dari akadnya. Sehingga kedua belah pihak tidak membicarakan kerugian di akhir saat pembgiam hasil. Meskipun bagi hasil ini telah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Nipa, akan tetapi yang melakukan perjanjian bagi hasil harus paham terkait pembagian yang adil menurut konsep hukum ekonomi syariah agar tidak merugikan salah satu pihak.

2. Kepada petani penggarap untuk lebih memperhatikan lagi kewajiban yang telah dibahas bersama pemilik lahan pada saat akad awal terjadi agar bawang merah yang digarap tidak terjadi gagal panen sehingga dapat merugikan pemilik lahan. Dan praktik bagi hasil ini tidak hanya

72

menguntungkan kedua belah pihak tetapi juga dapat memberikan kemaslahatan untuk petani penggarap maupun pemilik lahan.

73

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003 Burhan Bugin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi

Metodologis Kearah Ragam Rian Konterporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta:

Kencana, 2013.

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sandu Siyito dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta VC, 2019.

Suh`rawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Jurnal

Denial Syah, “Suatu Tinjauan Hukum Tentang Bagi Hasil atas Tanah Pertanian antara Pemilik Tanah dengan

74

Petani”.Metadata. Vol.1, Nomor 3, September 2019. hlm.

128.

Dian Setiawan, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Sistem Bagi Hasil Tamanan Cabai (Studi Dusun Delapan Desa Sendang Ayu Kec. Padang Ratu Kab. Lampung Tengah”, UIN Raden Intan Lampung: Lampung, 2019, hlm. 41.

Rijal Darwis, “Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Prespektif Hukum Ekonomi Islam”. Vol. 12, Nomor 1, Juni 2016.hlm.

3.

Sudarmono, “Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil Petani Sawah di Desa Seba-Seba Kecamatan Walengrang Timur Kabupaten Luwu”, IAIN Palopo: Palopo, 2017. hlm.

1.

Tri Ambar Insane Wahyuni, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah Terhadap Praktik Perjanjian Kerjasama Bersyarat Antara Petani Tomat Dengan Pemilik Modal Di Desa Memben Baru Kec. Wanasaba Kab. Lombok Timur”, UIN Mataram:

Mataram, 2020. Hlm. 29.

Efni Erliza, ,“Penggarapan Lahan Oleh Buruh Tani di Kelurahan Tanjung Agung Kecamatan Pelabai Kabupaten Lebong

75

Persfektif Al-Mukharabahn”, IAIN Bengkulu: Bengkulu, 2020. Hlm. 18-19.

Al-Qur’an

QS al-Maidah [5]: 2.

QS. Ar-Ra’d [13]: 11 Undang-Undang

Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Website

Dinar, “Mukhabarah dan dasar hukumnya”, dalam http://m.dream.co.id/ diakses tanggal 17 Januari 2022, pukul 13.25.

Landasan Teori, “pengertian tinjauan”, dalam http://repository.uma.ac.idf diakses tanggal 31 Desember 2021, pukul 22.18.

76

LAMPIRAN-LAMPIRAN

77

Wawancara Dengan Bapak Mustawa

Wawancara dengan ibu Nursina

78

Wawancara Dengan Ibu Junari

79

Wawancara Dengan Bapak Hamdan

80

81

82

83

84

Dokumen terkait