• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Hermeneutika

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Pendekatan Hermeneutika

n. Cinta damai: sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang

lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

o. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca

berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

p. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

kerusakan pada lngkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

q. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan

pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

r. Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan

tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

yang dapat dimengerti manusia dengan bantuan kata-kata manusia (Hardiman, 1991: 3).

Lebih lanjut Hardiman (1991 : 4) mengatakan bahwa Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman itu sendiri.

Hermeneutika adalah teori interpretasi untuk menafsirkan teks dan bagaimana interpretasi yang mungkin memvalidasi sendiri.

Pendefinisian dan perkembangan persepsi terhadap hermeneutika menunjukkan kronologi pemahaman manusia terhadap model penafsiran.

Sebagai suatu metode penafsiran dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah sebuah kajian yang membahas mengenai penggunaan instrumen sejarah, filologi, manuskriptologi dan lainnya sebagai sarana untuk memahami maksud dari suatu objek yang ditafsirkan. Pendekatan hermeneutika menganggap objek kajian sebagai gejala teks. Pada dasarnya, semua objek adalah netral karena objek adalah objek.

Sumaryono (1999: 30) juga mengungkapkan bahwa suatu objek tidak bermakna pada dirinya sendiri. Suatu objek hanya akan mendapatkan makna dari subjek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak, maka objek kembali pada kedudukannya semula yang tidak memiliki makna. Hermeneutika sebagai teori interpretasi sangat mengedepankan akal historis dengan pertimbangan realitas sosial sebagai landasan dalam penafsirannya.

Semua bentuk interpretasi mencakup pemahaman. Namun, karena pemahaman sangat kompleks dalam diri manusia sehingga sulit untuk menentukan kapan seseorang mulai mengerti dan memahami sesuatu.

Emilio Betti (Sumaryono, 1999:31) mengatakan bahwa tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti, yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi.

Sebagai ilmu interpretasi, hermeneutika merupakan proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga aspek yang saling berhubungan), yaitu: 1) tanda (sign), pesan (message), teks; 2) perantara atau penafsir; dan 3) penyampaian pada audiens. Dari proses triadik ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri.

Seseorang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks hingga akhirnya meresapi isi teks yang mulanya dianggap asing. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli. Seorang interpretator harus melepaskan diri dari situasi historisnya. Ini berarti seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison historis yang melingkupinya. Arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.

Untuk dapat membuat interpretasi, terlebih dahulu orang harus mengerti atau memahami yang berhubungan dengan isinya. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan untuk hermeneutik sangatlah ditekankan karena tanpa interpretasi atau penafsiran, pembaca mungkin tidak

mengerti atau menangkap isi teks pada zaman di mana teks tersebut dibuat. Namun, setiap orang akan melakukan interpretasi dengan berbeda-beda. Perbedaan itu akan menghasilkan suatu kesimpulan yang sama atau mengaburkan makna sebenarnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka acuan yang dapat dijadikan alat dalam melakukan sebuah interpretasi yang benar.

C. Hermeneutika Habermas dan Langkah-Langkah Analisisnya

Hermeneutika sebagai sebuah studi yang memiliki kemapanan dalam menyentuh peranti teks, memiliki serangkaian metodologi yang secara interen dibangun berdasarkan kemapanan teori hermeneutuka sendiri. Kemapanan teori tersebut didasarakan atas kemampuan mengelaborasi atau menangkap keseluruhan relasi makna dan tanda dalam sebuah konstruksi teks (Azis dan Syamsuri 2011:47). Berdasarkan epistemologi emansipatoris, Habermas berusaha membangun suatu kerangka ilmu kritis. Ia berusaha memberikan suatu pembedaan yang jelas antara ilmu-ilmu alam yang menggunakan kepentingan teknis dengan ilmu-ilmu sosio hermeneutis yang lebih dominan pada kepentingan praktis, sehingga diajukanlah ilmu-ilmu kritis yang lebih ditekankan pada kepentingan kognitif.

Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.

Habermas merupakan generasi kedua dari mazhab Frankfurt yang dikenel sebagai tokoh penerus dari teori kritis yang dibangun oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Jurgen Habermas berpandangan

bahwa teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Baginya teori kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif akan tetapi harus sampai pada realitas sosial. Karena pandangan Habermas sampai pada realitas social maka, lahirlah teori habermas yang disebut teori paradigma baru. Didalam teori paradigma baru tersebut, Habermas menambahkan konsep komunikasi yang memiliki pandangan bahwa komunikasi dapat menghentikan kemacetan teori kritis. Didalam teori tersebut habermas berusaha mengelaborasi antara rasionalitas sudut pandang masyarakat dan penaklukan kekuasaan tidak lagi lahir dari paham rasionalitas.

Ricoeur (1981: 89) memberikan pandangan terkait dengan teks yang dihubungkan ke dalam sebuah bahasa bahwa, sebuah teks merupakan bangun sistem bahasa yang memiliki kesatuan makna yang sangat luas. Bagi Ricoeur, teks mempunyai tempat antara penjelasn struktural dan hermeneutika.penjelasn struktural bersifat objektif, sedangkan penjelasan hermeneutika terkesan bersifat subjektif.

Perkembangan bahasa merupakan bagian dari evolusi manusia yang sudah pasti menggunakan sistem bahasa. Pemahaman Habermas tentang proses perkembangan masyarakat (evolusi sosial) dapat dilakukan melalui proses belajar masyarakat (social learning proces) atau rasionalisasi. Proses belajar masyarakat menjadi daya dorong evolusi sosial, berkaitan dengan kompetensi individu-individu masyarakat yang secara kreatif menyumbangkan berbagai potensi untuk menyelesaikan

persoalan masyarakat, dalam bidang baik kognitif, teknis maupun moral.

Proses belajar yang demikian diperoleh secara evolutif atau tahap demi tahap menuju suatu masyarakat ideal yang diharapkannya, yaitu suatu masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi. Masyarakat yang demikian selalu mengedepankan perbincangan rasional dengan paradigma komunikasi yang bebas dari penguasa. Motor penggerak dalam perkembangan masyarakat adalah proses rasionalisasi, yang pada akhirnya sampai pada keadaan.

Habermas mengungkapkan bahwa evolusi sosial berlangsung melalui proses belajar masyarakat (social learning process) yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Proses belajar masyarakat terjadi dalam dua dimensi: pertama, dimensi kognitif teknis; dan kedua, dimensi moral praktis. Kedua dimensi tersebut harus mendapat perhatian yang seimbang, tidak dapat direduksikan satu sama lain. Dimensi kognitif teknis akan membawakan penguasaan alam yang lebih besardan peningkatan produktivitas kerja, sedangkan dimensi moral praktis membawakan proses-proses belajar komunikatif yang menghasilkan perbaikan-perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia. Terkait dengan komunikasi dari relasi-relasi di antara manusia maka habermas memiliki langkah analisis dalam mendekati teks sebagai sesuatu yang objektif.

Adapun langkah kerja hermeneutika menurut Habermas adalah didasarkan atas dua konsep dalam mendekati makna yaitu paham subjektif dan paham objektif. Pemahaman subjektif didasarkan

pada tiap-tiap individu sebagai peneliti, sedangkan paham objektif didasarkan karya sastra sebagai suatu objek yang akan diinterpretasi oleh peneliti.

D. Teori Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Megawangi (2004 : 95) adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari- hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Definisi lainnya dikemukakan oleh Gaffar (2010 : 1),

“Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam prilaku orang itu”. Dalam definisi tersebut ada tiga ide pikiran penting, yaitu: (1) proses transformasi nilai-nilai, (2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan (3) menjadi satu dalam prilaku.

Menurut Munir (2010 : 45), pendidikan karakter meiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, agar menjadi manusia baik, dan warga masyarakat yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga negara

yang baik, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam upaya untuk mendidik anak-anak agar dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungannya.

2. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Bagi Bangsa Indonesia Pendidikan karakter saat ini merupakan topik yang banyak dibicarakan oleh kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena turut memajukan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini karena usia dini merupakan masa emas bagi pembentukan karakter seseorang.

Terkait dengan perlunya pendidikan karakter, Thomas (dalam Gunawan, 2014 : 28) mengungkapkan bahwa ada sepuluh fenomena zaman yang kini terjadi, dan harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran. Kesepuluh fenomena zaman itu

adalah: (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; (3) pengaruh geng dalam tindak kekerasan makin menguat; (4) meningkatnya prilaku merusak diri, seperti penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya tanggung jawab individu dan kelompok; (9) membudayanya kebohongan dan ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian sesama.

Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah Indonesia, kini sangat gencar mensosialisasikan pendidikan karakter. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkatan pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah “gagal”, karena banyak lulusan lembaga pendidikan termasuk sarjana yang pandai dan mahir dalam menjawab soal-soal ujian, tetapi tidak memiliki mental yang kuat, bahkan mereka cenderung amoral.

Dewasa ini juga banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi prilakunya tidak sejalan

dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil anak-anak diajarkan tentang sikap jujur, berani, kerja keras, disiplin, dan lain-lain. Tapi nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan hanya dalam sebatas pengetahuan di atas kertas soal ujian. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, berlaku jujur, mempunyai rasa malu, dan sebagainya. Karakter tidak terbentuk secara instan, tetapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berahklak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patritok, dinamis, berilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik,, pemerintah, dunia usaha, dan media massa, (Gunawan, 2014 : 30).

3. Karakter yang Diperlukan Bangsa Indonesia

Menurut Kesuma, (2012 : 11), karakter adalah nilai tentang sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk prilaku anak. Suatu karakter melekat dengan nilai dari prilaku anak tersebut. Karenanya tidak ada prilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Hanya saja, sejauh mana kita memahami nilai-

nilai yang terkandung dalam prilaku seorang anak atau sekelompok anak memungkinkan berada dalam kondisi yang tidak jelas. Dalam arti bahwa ada nilai dari suatu prilaku amat sulit dipahami oleh orang lain daripada oleh dirinya sendiri.

Dalam kehidupan manusia , begitu banyak nilai yang ada di dunia ini, sejak dahulu sampai saat ini. Beberapa nilai dapat kita identifikasi sebagai nilai yang penting bagi kehidupan anak baik saat ini maupun dimasa yang akan datang, baik untuk dirinya maupun untuk kebaikan lingkungan hidup tempat anak itu berinteraksi.

Menurut Kemendiknas (dalam Gunawan, 2014 : 32) melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma sosial, hukum. Etika akademik dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) mengidentifikasi nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) nilai-nilai karakter yang berhubungan dengan Tuhan (religius), nilai-nilai ini mencakup sikap jujur, peduli sesama, menjalin persahabatan, ikhlas.

(2) Nilai-nilai prilaku manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri seperti: berpikir logis, bergaya hidup sehat, percaya diri, mandiri, cinta ilmu. (3) Nilai-nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama manusia (nilai budaya), seperti: disiplin, kerja keras, menghargai orang lain, tanggung jawab, santun, demokratis, dan patuh pada peraturan. (4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan. (5) Nilai karakter kebangsaan yang mencakup: semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan cinta damai.

Lebih lanjut Kemendiknas (dalam Gunawan, 2014 : 33) mendeskripsikan nilai-nilai karakter sebagai berikut.

1. Nilai karakter religius adalah nilai yang berkaitan dengan pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Nilai karakter religius mencakup:

a. Jujur, yaitu prilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

b. Peduli sesama adalah sikap yang ingin selalu membantu orang lain.

c. Bersahabat adalah sikap, perkatan, dan tindakan yang menjauhi sikap saling membenci dan bermusuhan.

2. Nilai karakter yang berhubungan dengan orang lain (karakter budaya) adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia seperti interaksi sosial, hukum yang berlaku dalam masyarakat, adat-istiadat dan tradisi, dan bahasa yang digunakan dalam berinteraksi sesama manusia. Nilai karakter budaya mencakup:

a. Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan prilaku tertib dan patuh terhadap segala aturan yang berlaku.

b. Kerja keras adalah prilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan dalam tugas dan pekerjaan.

c. Menghargai orang lain adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.

d.Tanggung jawab adalah sikap dan prilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat, negara dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Nilai karakter kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Nilai karakter kebangsaan meliputi:

a. Semangat kebangsaan yaitu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

b. Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.

c. Cinta damai adalah sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

4. Karakter yang berhubungan dengan lingkungan sekitar, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada

lingkungan alam sekitar, dan mengembangkan upaya-upaya untuk melestarikan dan memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi.

Dokumen terkait