cerita itu bukan cerita lama, dan memang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang sengaja akan merusak akidah kaum muslimin.3
Sejak tahun 70 M kaum Ahl al-kitab yang mayoritas orang-orang Yahudi itu telah berimigrasi secara besar-besaran ke jazirah Arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh Nitus, seorang panglima Romawi. Mereka juga sering mengadakan perjalanan, baik ke arah barat maupun timur. Dengan demikian, peradaban mereka banyak mempengaruhi orang-orang timur dan begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, bangsa Arab di zaman jahiliyah juga banyak melancong ke negeri lain. Al-Qur`an menginformasikan bahwa orang- orang Quraisy mempunyai dua waktu perjalanan musim dingin ke negeri Yaman dan musim panas ke negeri Syam yang kebetulan negeri itu banyak didiami oleh kaum Ahl al-kitab, terutama orang-orang Yahudi. Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga Islam lahir dan berkembang di jazirah Arab.
Kondisi dua kebudayaan (Yahudi dan Muslim) melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda hingga tidak jarang terjadi dialog antara keduanya. Mereka saling bertukar pikiran ihwal masalah- masalah keagamaan. Bahkan, Rasulullah sendiri sering dihujani pertanyaan oleh kaum Yahudi, terutama menyangkut keabsahan beliau sebagai nabi dan utusan. Akan tetapi, karena keabsahan nubuwwah dan risalah agama Islam berikut Al-Qur`an sebagai petunjuk hidupnya dapat dibuktikan secara konkret, maka Rasululah dapat menarik mereka masuk ke dalam agama Islam, semisal Ka`ab Al-Akhbar, Abdullah bin Shuriya, dan Abdullah bin Salam. Nama yang disebut terakhir ini adalah “nabi” kaum Yahudi yang telah banyak menangkap
3Muhammad Husain Adz-Zahabi, Israiliyat dalam Tafsir dan Hadis, h. 9
adanya indikasi nubuwwah Muhammmad dalam kitab Taurat.
Pengetahuannya yang mendalam tentang agama Yahudi menjadikan dirinya menduduki posisi penting dan terpandang, baik dikalangan Yahudi maupun sesudah masuk Islam di kalangan kaum Muslim.4
Al-Qur`an menyandang banyak hal, sebagiannya sudah pernah disebutkan dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan cerita-cerita para rasul dan informasi mengenai masyarakat terdahulu. Tetapi Al-Qur`an menjelaskan pernyataan yang dikemukakan kepada umat sebagai pelajaran dan peringatan tanpa menyebutkan secara rinci, seperti sejarah tentang peristiwa-peristiwa dan peperangan, nama-nama negeri dan para tokoh. Mengenai Taurat, Al-Qur`an mendiskripsikan segala sesuatu secara elabolatif dengan penjelasan yang sempurna dan begitu juga perjanjian baru.
Ketika Ahl al-kitab memeluk agama Islam, mereka mengikutsertakan budaya religius mereka ke dalam ajaran Islam, misalnya hal-hal yang berkenaan dengan sejarah dan cerita-cerita yang bersifat keagamaan. Bilamana mereka membaca kisah-kisah dalam Al- Qur`an setelah mereka menjadi orang Islam biasanya menyebutkan ungkapan-ungkapan tertentu yang pernah didapatkan dalam kitab suci Yahudi. Para sahabat enggan menerima riwayat-riwayat yang berasal dari mereka. Para sahabat cenderung bersikap netral terhadap informasi yang mereka dengar dari Ahl al-kitab sebagai realisasi sabda Nabi,
“Jangan kamu percaya begitu saja informasi yang datang dari Ahl al- kitab, dan jangan pula kamu menyalahkan mereka, tetapi katakanlah”
kami beriman kepada Allah SWT. dan apa yang di wahyukan kepada kami.”
4Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Belajar Mudah Ulum Al-Qur`an (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2002), h. 278
Dialog sering dilakukan di antara para sahabat dan Ahl al-kitab tentang berbagai topik terutama rincian cerita-cerita dan riwayat- riwayat yang terkandung dalam kitab suci ini. Para sahabat hanya menerima sebagiannya saja sepanjang materinya tidak bertentangan dengan akidah dan sesuai dengan hukum Islam yang syah (legal rulings). Kemudian mereka menjadikan cerita-cerita itu sebagai bahan perbincangan mereka sehari-hari.
Para sahabat seperti dikisahkan tidak mengambil sesuatu dari Ahl al-kitab ketika mereka memusatkan perhatian kepada tafsir Al-Qur`an, kecuali kepada hal-hal tertentu saja itupun sangat kecil. Pada masa tabi`in, pemeluk Islam semakin bertambah dikalangan Ahl al-kitab dan diriwayatkan bahwa para tabi`in banyak yang mengambil informasi dari mereka. Para mufassir yang datang setelah periode para tabi`in juga lebih giat dan rajin mengadopsi informasi yang berasal dari orang Yahudi.5 Sebagian dari mereka menerima berita-berita dari orang- orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam, dan memasukkannya ke dalam tafsir tanpa lebih dahulu mengoreksinya.
Para mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka kepada segala pemberitaan yang menyampaikan khabar. Mereka beranggapan bahwa mereka yang sudah masuk Islam tentu tidak mau berdusta. Inilah sebabnya para mufassir ketika itu tidak mengoreksi dan memeriksa lagi kabar-kabar yang mereka terima.6
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan Israiliyat ialah segala kisah dan berita yang bersumber dari
5Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur`an , terj .Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 36-37
6Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 189
referensi agama Yahudi yakni Taurat (Perjanjian Lama), Talmud7 dengan segala penjelasannya dan kisah-kisah palsu yang dibuatnya, begitu juga segala kisah dan berita yang bersumber dari referensi agama Nasrani Kitab Injil (Perjanjian Baru), kisah-kisah para rasul dengan sejarah hidupnya dan lain-lain. Itu semua merupakan sumber kisah-kisah Israiliyat, sekalipun diakui bahwa kisah-kisah tersebut didominasi oleh referensi dari agama Yahudi. Sebagaimana kita maklumi bahwa orang- orang Yahudi adalah orang-orang yang sangat membenci dan sangat memusuhi Islam dan umatnya.8