• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian Modern

Dalam dokumen 6. Buku Ajeg Subak.pdf (Halaman 87-93)

SUBAK WANGAYA BETAN DALAM TRANSFORMASI PERTANIAN

9. Potensi Umum Subak

9.1 Bidang Pertanian

9.1.2 Pertanian Modern

diterapkan paket pertanian modern di seluruh wilayah Indonesia termasuk dalam sistem subak di Bali, maka bersamaan dengan itu pertanian tradisional mulai ditinggalkan.

5. Penggunaan zat pengatur pertumbuhan seperti Dharmasri 5 EC, 90 cc/Ha, yang bisa mempertahankan produksi tetap tinggi.

6. Penyiangan secara baik dan teratur.

7. Banyaknya panen supaya lebih dari 200 000 pohon per hektar.

8. Dalam setahun dilakukan penanaman dua kali berselang seling antara padi dan palawija.

9. Diusahakan untuk menanggulangi hama secara lahir dan bathin. Secara lahir dipergunakan pestisida sintetis, sedangkan secara bathin dengan pelaksanaan upacara seperti upacara Nangluk Merana.

10. Pasca panen.

Untuk lebih jelasnya penerapan pertanian modern yang berbasis revolusi hijau yang diterapkan di Subak Wangaya Betan selama kurang lebih 35 tahun dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Pengaturan Pola Tanam dan Pengolahan Lahan

Pola tanam yang diterapkan pada saat diterapkannya pertanian modern di Subak Wangaya Betan adalah padi-padi (palawija). Tanaman padi lokal merupakan tanam wajib yang harus ditanam petani pada musim hujan, terutama musim tanam bulan Desember - Januari, sedangkan pada musim tanam berikutnya, petani diperkenankan untuk menanam jenis padi unggul atau palawija

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan informan yang ada di Subak Wangaya Betan, dan berdasarkan dokumentasi yang ada, diperoleh informasi pada umumnya lahan sawah sehabis panen tidak langsung diolah, namun diistirahatkan beberapa saat. Petani di Subak Wangaya Betan juga melakukan hal yang sama. Petani di bagian hilir umumnya mengistirahatkan sawahnya lebih lama dibandingkan dengan petani di bagian tengah dan hulu.

Fenomena tersebut nampak terkait dengan kondisi air yang ada di wilayah Subak Wangaya Betan. Semakin ke hilir nampaknya air dirasakan semakin sulit oleh petani, namun petani di bagian hulu subak ada yang sama sekali tidak memberikan lahan sawahnya beristirahat. Begitu habis panen langsung diolah untuk ditanami padi kembali, karena mereka memiliki air irigasi yang berlebih. Padahal cara-cara seperti itu yaitu dengan tidak memberikan lahan beristirahat, menyebabkan tidak selalu memberikan keuntungan yang optimal kepada petani.

Setelah lahan beristirahat beberapa saat, lahan kemudian diolah kembali oleh petani dengan menggunakan beberapa jenis tenaga kerja antara lain sapi, kerbau, cangkul, dan traktor (mesin pertanian). Hasil wawancara secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar petani dalam mengolah sawahnya menggunakan tenaga sapi dan kerbau. Hal tersebut nampaknya terkait dengan kondisi topografi di wilayah subak tersebut, petakan sawah yang relatif sempit pada lahan sawah di bagian hulu, akan menyulitkan dalam pengolahan lahan jika menggunakan tenaga kerbau, sehingga dilakukan dengan mencangkul, sedangkan di bagian tengah topografi lahannya

lebih luas dan landai memungkinkan menggunakan tenaga sapi/kerbau dan traktor.

Secara umum lahan sawah di Subak Wangaya Betan diolah dengan tiga tahapan antara lain dibajak, digaru, dan diratakan. Sebagian besar petani karena alasan waktu dan tenaga kerja, mengolah tanahnya dengan satu kali dibajak dikombinasikan dengan satu kali digaru dan satu kali diratakan.

Namun tidak menutup kemungkinan dari keterangan yang diperoleh dari petani, ada yang yang membajak dan menggaru lahan sawahnya lebih dari satu kali, demi kesempurnaan lahan garapannya.

b). Jenis Padi, Penggunaan Benih dan Jarak Tanam

Sebagian besar petani menanam jenis padi Mansur dan Lokal Merah, baik petani di bagian hulu, tengah maupun hilir, pada musim tanam 1, namun pada musim tanam 2 selain menanam padi Lokal Merah dan Mansyur, petani juga menanam padi varietas unggul seperti Ciherang, IR 64, PB, dan Sangkareang.

Sebagaian besar petani di Subak Wangaya Betan menyatakan bahwa umur bibit padi saat ditanam berkisar antara 20 hingga 40 hari setelah pesemaian atau rata-rata 32 hari. Jumlah tanaman per lubang tanam berkisar antara 3 hingga 8 tanaman atau rata-rata 5 tanaman per lubang tanam, sehingga benih yang dibutuhkan mencapai rata-rata 48 kg per ha atau berkisar antara 29 hingga 100 kg per ha. Jumlah anakan per rumpun mencapai rata-rata 15 anakan. Produktivitas lahan sawah rata-rata 3 – 3,5 ton padi kering panen per ha untuk padi

lokal, sedangkan untuk padi varietas unggul dapat mencapai 4 – 5 ton per ha.

Perlakuan terhadap bibit padi sebelum ditanam, bibit dicabut terlebih dahulu dari pesemaian, kemudian dicuci dan selanjutnya bagian ujungnya dipotong kurang lebih sepanjang 7 cm. Penanaman benih dilakukan dengan sistem pindah tanam (tapin) yang umum dilakukan oleh petani. Sedangkan jarak tanam yang diterapkan oleh petani sangat beragam, namun sebagian besar menerapkan jarak tanam 20 x 20 cm, sedang yang lainnya ada yang menerapkan jarak tanam 15 x 15 cm dan 15 x 20 cm. Jarak tanam sangat erat kaitannya dengan produktivitas lahan, belum tentu jarak tanam yang semakin kecil menyebabkan produktivitas lahan meningkat. Hal ini disebabkan ada kecendrungan persaingan hara tanaman dan penyinaran sinar matahari kurang sempurna, sehingga tanaman tumbuh kurang subur dengan demikian produktivitas juga rendah, disamping itu penggunaan bibit juga terlalu banyak per hektarnya, dengan demikian hasil akhir yang diterima petani juga menurun.

c. Penggunaan Pupuk

Semua petani di Subak Wangaya Betan menggunakan pupuk anorganik seperti Urea, SP36, dan KCl serta hanya sebagian kecil petani yang mengkombinasikan dengan penggunaan pupuk organik. Jumlah pupuk urea yang digunakan masing-masing petani berkisar antara 80 hingga 300 kg per ha atau rata-rata 175 kg per ha. Sedangkan jumlah pupuk SP36 yang digunakan petani berkisar antara 0 - 50 kg

per ha sedangkan pupuk KCl berkisar antara 0 - 75 kg per ha.

Pemakaian pupuk anorganik juga tergantung pada kondisi keuangan petani, sehingga banyak petani tidak memakai dosis optimal yang dianjurkan pemerintah sehingga produksi juga tidak optimal. Jika dikaitkan dengan rekomendasi pemerintah dalam hal penggunaan pupuk, maka penggunaan pupuk anorganik rata-rata masih di bawah anjuran. Di lain pihak hanya sebagian kecil petani (hanya 4 orang anggota petani dari seluruh anggota Subak Wangaya Betan) yang telah menggunakan pupuk organik dengan kisaran 350 hingga 2000 kg per ha (2 ton per ha), dengan rata-rata pemakaian 1200 kg per ha. Jumlah rata-rata pemakaian pupuk organik masih belum memenuhi anjuran pemerintah yakni 2 ton per ha. Selain jumlah rata-rata pemakaian pupuk organik belum memenuhi anjuran, juga jumlah petani yang menggunakannya relatif masih sedikit, dan mutu/kualitas pupuk organik yang dihasilkan oleh petani tergolong masih rendah.

d. Panen dan Pasca Panen

Sejak bergulirnya revolusi hijau yang dilaksankan di Indonesia sejak tahun 1970-an, banyak tradisi dan kebiasaan petani sudah berubah dan bahkan sudah hilang. Sebagai contoh, kelompok pemanen (sekehe manyi) yang dikenal di masyarakat tani tradisional kini telah mulai ditinggalkan, dan pada saat dilaksanakan pertanian modern pemanenan dilaksanakan dengan sistem upah. Di samping itu juga peran lumbung sebagai tempat menyimpan hasil panen terutama padi, sudah mulai berubah, karena begitu padi kering panen, langsung dijual dan setelah kering giling di tempat

penggilingan padi langsung digiling menjadi beras, tanpa melewati proses penyimpanan lagi di lumbung.

Dalam dokumen 6. Buku Ajeg Subak.pdf (Halaman 87-93)