SUBAK WANGAYA BETAN DALAM TRANSFORMASI PERTANIAN
4. Sejarah Subak
4.1 Sejarah Subak di Bali
Subak sebagai lembaga irigasi tradisional di Bali sudah ada sejak hampir satu milenium (seribu tahun) (Sutawan, 2005:
1). Selanjutnya Sutawan (dalam Pitana, 2005 : xiii) menyatakan, subak sebagai salah satu objek yang telah lama menjadi kajian yang ada di Bali, merupakan sistem irigasi yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Lebih lanjut Sudarta (2005 : 81) menyatakan, subak dipandang sebagai kelompok petani tradisional, karena terbukti sudah ada di Bali sejak jaman dahulu kala, yakni sekitar seribu tahun yang silam, yang berarti bahwa subak telah ditransmisikan (diteruskan) sejak jaman silam hingga masa kini atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Usia subak diperkirakan sudah sangat tua, pada jaman perundhagian (pertukangan), persawahan sudah ada di tempat- tempat dengan distribusi air yang mudah diatur, misalnya di kaki pegunungan dan di sebelah hilir mata air besar seperti di Tirta Empul Tampaksiring Gianyar dan Gunung Kawi Sebatu Tegalalang Gianyar. Subak di Bali mempunyai sejarah yang panjang dalam pembentukannnya, terbukti dari adanya berbagai prasasti seperti prasasti Sukawana A1 tahun 882
Masehi, prasasti Turunyan A tahun 891 Masehi, prasasti Bebetin A1 tahun 896 Masehi, prasasti Pandak Badung tahun 1071 Masehi, dan prasasti Klungkung A, B, C bertahun 1072 Masehi, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam uraian berikut ini.
Tidak ada catatan yang pasti tentang waktu dan proses terbentuknya subak di Bali, namun sistem pertanian dengan persawahan dan tegalan yang teratur sudah ada di Bali pada tahun 882 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari prasasti Sukawana A1 tahun 882 Masehi, prasati tertua di Bali, dalam prasasti ini disebutkan kata huma yang berarti sawah dan kata parlak yang berarti tegalan. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh adanya prasasti Bebetin A1 tahun 896 Masehi, dalam prasasti ini di antaranya disebutkan kata-kata undhagi lancang (tukang membuat perahu), undagi batu (tukang membelah batu), dan undagi pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah ada ukuran pembagian air irigasi untuk persawahan yang disebut kilan, yang sekarang disebut tektekan, yakni ukuran air irigasi untuk persawahan. Selain itu dikenal pula istilah tambuku galeng yakni empangan yang berfungsi membagi air, petajur atau petajuh yaitu pembantu pekaseh dalam melaksanakan perintah, serta dawuhan atau undagan (Purwita dalam Sudarta, 2004 : 82).
Kemudian dalam prasasti Turunyan A tahun 891 Masehi, terdapat kata ser danu, yang berarti kepala urusan air danau, yang kemudian menjadi pekaser danu, dalam hal ini Danau Batur yang terdapat di sekitar desa Turunyan, Bangli.
Dari istilah ini, untuk urusan air sawah disebut pekaser yeh yang kemudian lazim disebut pekaseh, yang berarti pemimpin
subak yang bertugas mengatur pemanfaatan dan pembagian air irigasi dan lain-lain untuk pembangunan pertanian di sawah dalam suatu wilayah subak. Pendapat lain mengatakan pekaseh berasal dari kata pekas yeh, dimana pekas artinya tua, lingsir, kelih, dan yeh artinya sawah, sehingga arti pekaseh adalah penglingsir toya, kelian yeh, penuan yeh. Ada juga yang berpendapat bahwa pekaseh berasal dari pekasih, yang berarti adil, sehingga dalam konteks ini menyangkut keadilan dalam pembagian air irigasi sesuai dengan awig-awig (peraturan) yang berlaku (Purwita dalam Sudarta, 2005 : 82).
Dikenalnya pertanian dengan sistem sawah dan tegalan pada tahun 882 Masehi, pekaseh pada tahun 891 Masehi, dan terowongan air, petajuh, tambuku galeng serta suatu ukuran pembagian air irigasi untuk persawahan (kilan) pada tahun 896 Masehi di Bali, maka dapat dipahami bahwa pada masa itu telah tercipta suatu bentuk kerja sama (gotong royong) di bidang pertanian. Secara faktual pada tahun 1071 Masehi, di Bali telah dikenal adanya subak. Hal ini tidaklah berarti bahwa subak muncul pertama kali di Bali pada tahun tersebut. Tidak tertutup kemungkinan subak sudah ada jauh sebelumnya, mengingat pada tahun 896 Masehi sudah ada terowongan air irigasi dan ukuran pembagian air irigasi untuk persawahan.
Berdasarkan prasasti Pandak Badung tahun 1071 Masehi, dapat diketahui bahwa pada pertengahan abad ke-11, organisasi subak sudah dikenal di Bali. Kata kasuwakan yang kini menjadi istilah subak di Bali pertama kali dijumpai dalam prasasti Pandak Badung (Goris dalam Sirtha, 2008 : 2). Lebih lanjut menurut Setiawan (dalam Wiguna dan Guntoro, 2003 : 52) pada prasasti atas nama Anak Wungsu menyebut istilah
kasuwakan Talaga (persubakan Talaga). Dalam prasasti Klungkung A, B, C bertahun 1072 Masehi ditemukan istilah kasuwakan Rawas yang artinya persubakan Rawas. Juga disebutkan bahwa beberapa Prasasti Bali Kuno lainnya juga menyebut istilah suwak, kasuwakan. Menurut Cantika (dalam Sudarta, 2004 : 83) di dalam prasasti Pandak Badung disebutkan :
“……..angken asuji mwang angken cetra sukla paksa, mwah yatna ta ya irika haywakna nikang sawah ksepanya, ri kasuwakan telaga 3 tembuku galeng……..”
artinya :
“……..setiap bulan ketiga dan setiap bulan kesembilan paroterang (penanggal), maka bersiap-siaplah mereka di sana akan membenahi sawah garapannya di kasuwakan Telaga tiga empangan air…….”
Menurut Purwita (dalam Sudarta, 2004 : 83) pada abad ke-11, di Bali sudah juga dilakukan pengukuran luas sawah, hal ini tertuang dalam prasasti Klungkung tahun 1072 Masehi.
Nama satuan ukuran luas sawah pada masa tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi berdasarkan perkiraan, luas sawah pada masa tersebut diukur dengan banyak sedikitnya benih padi yang dimanfaatkan dalam areal sawah tertentu, sehingga dikenal istilah bit tenah atau bit abentel (satuan jumlah benih padi). Dalam prasasti Klungkung dinyatakan tentang pengukuran luas sawah, dinyatakan dalam kalimat
“masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas”, yang artinya “mengukur sawah di Kedandan di Yeh Rara (sekarang disebut Yeh Aa) dalam wilayah subak Rawas”.
Secara etimologi, kata suwak berasal dari kata wak, artinya sama dengan bak atau saluran air. Di Bali sampai sekarang dikenal istilah babakan yeh yang artinya saluran air ke sawah. Kata wak atau bak mendapat preposisi su yang berarti baik, sehingga kata suwak atau subak secara arfiah berarti saluran air yang baik. Pendapat lainnya menyatakan bahwa subak berasal dari kata seuwak yang berarti bagian air.
Selanjutnya disebutkan bahwa subak adalah pembagian air dari satu sumber yang dibagi ke dalam bagian-bagiannya (seuwak- seuwak) (Winaya dalam Wiguna dan Guntoro, 2003 : 52).