• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Subak Wangaya Betan

Dalam dokumen 6. Buku Ajeg Subak.pdf (Halaman 55-60)

SUBAK WANGAYA BETAN DALAM TRANSFORMASI PERTANIAN

4. Sejarah Subak

4.2 Sejarah Subak Wangaya Betan

masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas”, yang artinya “mengukur sawah di Kedandan di Yeh Rara (sekarang disebut Yeh Aa) dalam wilayah subak Rawas”.

Secara etimologi, kata suwak berasal dari kata wak, artinya sama dengan bak atau saluran air. Di Bali sampai sekarang dikenal istilah babakan yeh yang artinya saluran air ke sawah. Kata wak atau bak mendapat preposisi su yang berarti baik, sehingga kata suwak atau subak secara arfiah berarti saluran air yang baik. Pendapat lainnya menyatakan bahwa subak berasal dari kata seuwak yang berarti bagian air.

Selanjutnya disebutkan bahwa subak adalah pembagian air dari satu sumber yang dibagi ke dalam bagian-bagiannya (seuwak- seuwak) (Winaya dalam Wiguna dan Guntoro, 2003 : 52).

kesejahteraan dapat terwujud. Selain membangun Pura Ulun Suwi, warga juga membangun Pura Bedugul yang berada di wilayah Munduk Desa, yang merupakan tempat warga memohon untuk mendapatkan kesejahteraan. Mulai saat itulah (tanpa tahun) di daerah Wangaya Betan, terbentuk banjar dan wilayah persubakan yang disebut dengan Banjar Wangaya Betan dan Subak Wangaya Betan (Monografi Subak Wangaya Betan, 1993 : 4).

Masih berdasarkan Monografi Subak Wangaya Betan (1993 : 5), dalam perjalanannya warga Subak Wangaya Betan belum mendapatkan keberhasilan dalam mengelola sawah, karena adanya serangan hama yang dahsyat yaitu tikus.

Kemudian warga berkumpul kembali untuk membicarakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hama tersebut, dan disepakati oleh warga untuk melakukan perburuan, yang juga diikuti oleh warga Belulang. Pada saat melakukan perburuan tikus tersebut, secara tidak sengaja warga menemukan adanya tugu yang berada pada batas tenggara wilayah Subak Wangaya Betan yang berada di tegalan yang sekarang milik Pan Sondri dari Dusun Babahan. Di sanalah warga memohon kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa supaya hama tikus yang menyerang persawahan dapat dimusnahkan. Lama kelamaan hama yang menyerang persawahan mulai menghilang, tugu tersebut kemudian diperbaiki oleh para warga, kemudian dinamakan Pura Penaringan. Saat itu pura tersebut diemong oleh dua subak yakni Subak Wangaya Betan dan Subak Belulang.

Namun sejak kurang lebih empat tahun yang lalu, pura tersebut hanya disungsung oleh Subak Wangaya Betan dengan alasan bahwa tempatnya berada di wilayah Subak Wangaya Betan.

Perkembangan Subak Wangaya Betan baru bisa dicatatkan ketika disusunnya monografi Subak Wangaya Betan tahun 1993 dalam rangka lomba subak, yang merupakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Tingkat II Tabanan agar subak-subak yang ada di wilayah Tabanan mengikuti lomba subak. Untuk dapat menjadi peserta lomba, maka setiap subak diprasyaratkan memiliki awig-awig, ilekita, struktur organisasi, dan monografi subak. Selama mengikuti perlombaan tersebut, Subak Wangaya Betan mendapatkan banyak masukan baik berupa pengarahan-pengarahan serta bantuan untuk melaksanakan fungsi subak dengan baik, dalam rangka menghadapi kemajuan teknologi, serta meningkatkan kinerja warga subak supaya bisa mencapai swasembada pangan.

Subak Wangaya Betan selain berperan penting dalam menjaga ekosistem di Kabupaten Tabanan, juga merupakan salah satu subak yang memiliki ekosistem dengan pemandangan yang indah seperti Gambar 3.5. Dari Gambar 3.5 terlihat bahwa kondisi alam di Subak Wangaya Betan sangat indah, eksotis dan menghijau. Sawah dengan sistem terasnya terasa sangat menyatu dengan alam, sawah dengan subak lahan basahnya yang berteras dan disekitarnya di lingkupi oleh subak lahan keringnya yang ditanami pohon kelapa, merupakan salah satu sudut titik pandang yang sangat indah di Subak Wangaya Betan. Di bagian lembahnya terlihat adanya Pura Ulun Suwi, merupakan salah satu pura subak yang disungsung oleh anggota Subak Wangaya Betan.

Gambar 3.5 Pemandangan yang Sangat Indah di Subak Wangaya Betan (Foto : Dokumentasi Euis Dewi Yuliana, 2009).

Dari sudut pandang yang lain, apabila kita datang ke Subak Wangaya Betan, dengan udara cerah dan berdiri di bagian tengah dari wilayah Subak Wangaya Betan, maka di bagian hulu akan tampak Gunung Batukaru dengan deretan bukit dan gunung di sebelahnya. Jika pandangan di arahkan ke bagian hilir subak maka laut pantai selatan Pulau Bali akan nampak sangat indah. Orang Bali menyatakan bahwa kondisi tersebut sering disebut dengan Nyegara Gunung artinya daerah tersebut merupakan daerah yang sangat baik karena merupakan perpaduan antara pantai (segara) dan gunung, daerah seperti ini akan memberikan nuansa tersendiri dalam tatanan kehidupan orang Bali. Memang tidak mudah menemukan tempat yang demikian indah dan merupakan penyatuan dari

tiga ekosistem (pegunungan, persawahan dan laut), yang mampu menghadirkan suasana tenang, indah dan penuh kedamaian.

5 Lambang dan Arti Lambang Subak Wangaya Betan Lambang Subak Wangaya Betan terdiri dari rangkaian gambar yang berupa tugu subak, apit surang, gunung dan pohon, tiga palemahan, serta padi dan kapas seperti terlihat pada Gambar 3.6 di bawah ini.

Gambar 3.6 Lambang Subak Wangaya Betan (Foto : Dokumentasi Euis Dewi Yuliana, 2009).

Dari Gambar 3.6 di atas terlihat rangkaian gambar dari lambang Subak Wangaya Betan, masing-masing mempunyai arti tersendiri yang akan diuraikan sebagai berikut (Monografi Subak Wangaya Betan, 1993 : 10) .

1. Tugu Subak : merupakan lambang dari stana Dewi Sri, manifestasi dari Dewi Kesuburan.

2. Apit Surang : penyatuan visi semua warga Subak Wangaya Betan dalam rangka mencapai cita-cita hidup secara rukun, sejahtera dan tertib.

3. Gunung dan Pohon : merupakan perlambang agar warga subak mendapatkan swasembada pangan.

4. Tiga Palemahan : subak Wangaya Betan terdiri dari tiga wilayah yaitu (1) Tempek Munduk Juukan, (2) Tempek Munduk Desa, (3) Tempek Munduk Manggis.

5. Padi dan Kapas : merupakan perlambang sandang dan pangan yang menjadi tujuan warga yang disebut jagatdhita.

Dalam dokumen 6. Buku Ajeg Subak.pdf (Halaman 55-60)