• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Bagi Hasil Lahan Pertanian

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN

B. Praktik Bagi Hasil Lahan Pertanian

42

16 Tamat S-3/Sederajat - Orang

17 Sedang Sekolah SLB C - Orang

18 Jumlah penduduk cacat Fisik dan Mental - Orang

Jumlah Total 4.902 Orang

Sumber data: Profil Desa Mujur Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2019.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang menempuh pendidikan di Desa Mujur jelas terlihat sudah memiliki kesadaran betapa pentingnya suatu pendidikan.45

43

Dalam sisi yang lain banyak petani miskin yang tidak memiliki lahan, sehingga menerima pekerjaaan dari pihak pemilik lahan untuk menggarap lahannya dengan sistem bagi hasil.

Proses kerjasama antara pihak pemilik lahan dengan pihak penggarap diawali dengan pertemuan antara kedua belah pihak. Dalam pertemuan tersebut ada niat salah satu di antara mereka, mengawali pertemuan bisa dari pihak pemilik lahan mendatangi pihak penggarap agar tanahnya digarap, ataupun sebaliknya pihak penggarap mendatangi pihak pemilik lahan untuk meminta tanahnya agar bisa digarap. Sehingga terjadilah persetujuan antara kedua belah pihak, di mana pihak pemilik lahan yang mempunyai hak untuk menentukan jenis tanaman.46

Dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Mujur Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah, yang perjanjian awalnya adalah perjanjian bagi hasil dan sudah disepakati secara bersama-sama antara pihak pemilik lahan dengan pihak penggrap secara lisan.

Kemudian faktor yang mendorong perjanjian bagi hasil ini adalah karena didasari oleh adat kebiasaan dari warga setempat yang sudah berlangsung lama. Perjanjian tersebut juga dilaksanakan atas dasar saling percaya antara pihak pemilik lahan dengan pihak penggarap, selain itu juga karena adanya faktor kekeluargaan dan rasa ingin saling tolong menolong.

Penggunaan tanah pertanian ini secara umum diatur dalam Undang - undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) ditentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut maka disusun

46 Bosna Trimanta, dkk. “Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Antara Pemilik Sawah Dan Pengelola (Studi Di Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)”, Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah Vol. 3, Nomor. 2, Juni 2022, hlm, 373.

44

Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria, yang selanjutnya disebut dengan UUPA.

Masyarakat pedesaan di Indonesia yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani masih memerlukan tanah baik tanah miliknya sendiri maupun tanah milik orang lain. Penggunaan tanah pertanian milik orang lain diatur dalam Pasal 24 UUPA yang menentukan bahwa penggunaan tanah yang bukan miliknya dibatasi dan diatur dalam peraturan perundang-undang tersendiri.

Pasal 24 UUPA merupakan pengecualian dari Pasal 10 UUPA yang menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pengelolaan tanah harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan tanah oleh bukan pemiliknya dapat dilakukan melalui gadai, usaha bagi hasil, menumpang, dan sewa tanah pertanian sebagaimana di atur dalam Pasal 16 ayat (1) butir h dan Pasal 53 ayat (1) UUPA.

Pasal 58 UUPA diatur bahwa selama peraturan perundang-undangan ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan bumi,air, kekayaan alam dan hak atas tanah yang ada mulainya berlakunya undang-undang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.47

Dalam fikih Islam terkenal istilah dalam proses pengurusan lahan atau kebun, yaitu Mudharabah. Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh lahan atau 100 persen modalnya, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang telah disepakati di dalam kontrak yang sudah dibuat

47 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

45

dari awal. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian pengelola lahan.48

Sistem bagi hasil dalam Islam merupakan akad perjanjian antara dua orang atau lebih yang sepakat untuk mengelola harta pihak lain dan keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Sistem kerjasama bagi hasil hendaknya dilakukan dengan cara mengadakan permufakatan atau perjanjian antara kedua belah pihak yakni pihak pemilik lahan dan pihak penggarap. Hal ini sangat penting dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kedua pihak yakni pertikaian atau perselisihan, walaupun perjanjian itu berupa lisan dan dianjurkan perjanjiannya itu tertulis.49

Secara umum, prinsip nilai Islam dalam kehidupan aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya dalam konsep pembiayaan sistem bagi hasil, harus mengedepankan nilai- nilai yang Islami, yaitu: Pertama, Mencari ridho Allah; Kedua, Iman yang kuat; Ketiga, Perwakilan harta Allah SWT; Keempat Akhlaqul Karimah; Kelima, Tidak dzalim dan harus adil; Keenam, Tidak ada unsur riba; Ketujuh, Tidak ada unsur penipuan dan bersikap jujur; Kedelapan, Keseimbangan; Kesembilan, Menghindari fitnah; Kesepuluh, Kemaslahatan; Kesebelas, Meyakini konsep barokah.50

Kemudian dalam proses berjalannya perjanjian ini terjadi kecurangan atau i‟tikad tidak baik, yang dalam hal ini dilakukaan pihak penggarap dengan menyewakan lahan pertanian yang bukan miliknya kepada pihak yang lain tanpa sepengetahuan pihak pimilik lahan.

48 Rahman Ambo Masse, Ibid, hlm. 79.

49 Rizal Darwis, “Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani Penggarap Di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam”, Jurnal Al-Mizan: Vol. 12, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 13-14.

50 Umrotul Khasanah, “Sistem Bagi Hasil Dalam Syariat Is lam”, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum: Vol.

I, Nomor 2, Januari 2010, hlm. 124-126.

46

Dalam rangka menggali informasi lebih luas penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yaitu sebagai berikut:

Bapak H. Ahmad Nursana, selaku pemilik lahan mengatakan:

“Perjanjian yang telah di buat dari awal yaitu perjanjian bagi hasil kemudian dirubah secara sepihak oleh penggarap dan pemilik lahan tidak mengetahui tentang perubahan itu. Pihak pemilik lahan mengatahui perubahan perjanjian setelah panen pertama, yang informasinya diperoleh dari masyarakat yang ada disekitar lahan pertaniannya tersebut juga diinformasikan dari para pegawai yang bekerja di lahan itu.

Namun dari pihak pemilik lahan dapat menerima perubahan perjanjian bagi hasil ini karena adanya faktor hubungan keluarga, juga sudah dalam keadaan terdesak. Oleh Karena itu pihak pemilik lahan merelakan perubahan perjanjian tersebut dengan tidak memberikan sanksi kepada pihak penggarap karena ingin memberikan kesempatan untuk memperbaiki i‟tikad tidak baiknya itu.” 51

Perubahan perjanjian ini juga diperkuat dengan pernyataan yang diberikan oleh Amak Selamat sebagai salah satu pegawai dan masyarakat yang mempunyai lahan disektar itu, yang mengatakan bahwa:

“Benar telah terjadi perubahan perjanjian secara sepihak yang dilakakan oleh pihak penggarap terhadap pihak pemilik lahan”.52

Kemudian dari pihak penggarap juga memberikan alasan faktor yang mendorong terjadinya perubahan perjanjian bagi hasil itu dengan mengatakan sebagai berikut:

Amak Marjan, mengatakan:

“Saya memang sudah melakukan perubahan perjanjian awal tanpa sepengetahuan dari pemilik lahan, karena dilatar belakangi oleh faktor ekonomi”.53

Hal yang sama juga di katakan oleh Amak Budiman dan Amak Rahmat, bahwa:

“Faktor ekonomi yang menyebabkan perubahan ini terjadi, juga diperkuat oleh dorongan hawa nafsu yang terlalu besar untuk memperoleh keuntungan”.54

51 Bapak H. Ahmad Nursana, Wawanara, Mujur, 9 Desember 2022.

52 Amak Selamat, Wawancara, Mujur, 10 Desember 2022.

53 Amak Marjan, Wawancara, Mujur, 10 Desember 2022.

54 Amak Budiman dan Amak Rahmat, Wawancara, Mujur, 10 Desember 2022.

47

Kemudian dari perjanjian yang sudah dibuat itu timbul hak dan kewajiaban para pihak, yang dimana hak merupakan kewenangan atas sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang untuk orang lain sedangkan kewajiban merupakan hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat untuk melakukan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.

1. Hak dan kewajiban pihak pemilik lahan

Hak pemilik lahan. Pemilik lahan tidak diperkenankan mengelola lahan yang sudah dibiayai olehnya dan pemilik lahan berhak untuk memperoleh kembali investsinya dari hasil aset usaha mudharabah tersebut apabila usaha mudharabah itu telah diselesaikan oleh pengelola maka jumlah hasil aset usaha mudharabah itu cukup untuk pengembalian dana investasi tersebut.

Kemudian Kewajiban utama dari pemilik lahan adalah menyerahkan modal mudharabah kepada penggarap. Jika hal itu tidak dilakukan maka perjanjian mudharabah menjadi tidak sah dan pemilik lahan berkewajiban untuk menyediakan dana yang dipercayakan kepada penggarap untuk tujuan membiayai suatu proyek atau suatu kegiatan usaha.55

2. Hak dan kewajiban pihak penggrap

Pertama, penggrap berkewajiban menyediakan keahlian, waktu, pikiran dan upaya untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha tersebut serta berusaha untuk memperoleh keuntungan seoptimal mungkin.

Kedua, penggrap melakukan tugasnya tanpa boleh ada campur tangan dari pemilik lahan yang menjalankan dan mengelola proyek atau usaha tersebut.

Ketiga, penggarap berkewajiban mengembalikan pokok dari dana investasi kepada pemilik lahan ditambah sebagian dari keuntungan dan pembagiannya

55 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspekaspek Hukumnya, (Jakarta: PT Adhitya Andrebina Agung, 2014), hlm. 311-313.

48

telah ditentukan sebelumnya. Penggarap berkewajiban untuk mematuhi syarat- syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah selama mengurus urusan-urusan mudharabah yang bersangkutan.

Keempat, penggarap berkewajiban untuk bertindak dengan hati-hati atau bijaksana dan beri‟ktikad baik serta bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Penggarap juga diharapkan untuk menggunakan dan mengelola modal yang ditanamkan sedemikian rupa sehingga memperoleh keuntungan seoptimal mungkin bagi bisnis mudharabah yang dimaksud tanpa melanggar nilai-nilai Islam.56

Penyelesain sengketa di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

1. Penyelesaian Sengketa Litigasi

Penyelesaian sengketa dilakukan di pengadilan. Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa adalah pengadilan agama berdasarkan Pasal 2 juncto pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang kekuasaan kehakiman.

2. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi

Beberapa lembaga hukum yang termasuk dalam lembaga penyelesaian sengketa alternatif adalah sebagai berikut:

a. Negosiasi (Negotiation) Negosiasi adalah proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan diantara mereka yang bersengketa;

b. Mediasi (Mediation) Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihaka (impartial)

56 H.A. Khumedi Ja‟far, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Lampung: Permatanet Publishinng, 2016), hlm. 156.

49

bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama;

c. Konsiliasi (Conciliation) Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar sebagai penyelesaian, proses ini disebut konsiliasi.

Proses penyelesaian model ini mengacu pada pola penyelesaian secara konsensus dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun secara pasif. Pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga terebut dan menjadikannya kesepakatan dalam penyelesian sengketa;

d. Arbitrase (arbitration) Para pihak sepakat menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada pihak yang netral. Dalam arbitrase para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai arbiter dan hokum yang diterapkan. Arbitrase hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi, dimana putusan dimaksud bersifat final and binding, serta merupakan win-loss solution.57

Penyelesaian sengketa dalam akad mudharabah antara pihak pemilik lahan dengan pihak penggrap dapat diselesaikan dengan perdamaian dan atau pengadilan.

Hal ini sesuai dengan penyelesaian sengketa ekonomi islam berdasarkan hukum islam, yaitu perdamaian, arbitrase dan pengadilan.58

57 Samsul Arisandi, Farrah Syamala Rosyda, “Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Mudharabah Oleh Pihak Pengusaha (Mudharib)”, Az-Zarqa‟: Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 13, No. 2, Desember 2021, hlm.

255-257.

58Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Ghalia Indonesia, Jakarta 2010), hlm. 233.

50 1. Perdamaian (Al-Sulh)

Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan perdamaian yakni ijab, qabul dan lafadz dari perjanjian damai. Syarat sahnya perjanjian perdamaani adalah sebagai berikut:

a. Hal yang menyangkut subyek

Subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hokum. Orang yang melaksanakan perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk melepaskan hak atau halhal yang dimaksud dalam perdamaian.

b. Hal yang menyangkut obyek

Obyeknya berbentuk harta, baik berwujud maupun tidak berwujud dan dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan yang dapat melahirkan pertikaian baru.

c. Persoalan yang boleh didamaikan

Hal yang boleh didamaikan hanya bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti.

d. Pelaksanaan perdamaian

Dapat dilaksanakan diluar sidang pengadilan atau didalam sidang pengadilan.59

2. Arbitrase

Arbitrase yaitu pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit (hakam) oleh dua orang atau lebih yang berselisih guna menyelesaikan perselisihan

59 Nurul hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah, (Teras, Yogyakarta 2011), hlm. 134-136.

51

mereka secara damai. Dalam penyelesaian sengketa mudharabah dapat diselesaikan melalui badan arbitrase syariah nasional.

3. Pengadilan/ kekuasaan kehakiman (wilayat al-Qadha)

Dalam kekuasaan kehakiman ini terdapat beberapa lembaga yaitu sebagai berikut:

a. Al-Hisbah, merupakan lembaga resmi negara yang diberi kewenangan untuk menyelsaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaiakannya. Kewenangan lembaga ini terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemungkaran.

b. Al-Madzalim, badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah.

c. Al-Qadha, artinya adalah memutuskan atau menetapkan yang berarti menetapkan hukum syara pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelsaikannya secara adil dan mengikat. Kewenangannya adalah menyelsaikan perkara-perkara yang erhubungan dengan maslah al- akhwal asy-syakhsiyah (masalah keperdataan, yang termasuk hukum keluarga) dan masalah jinayat (hal-hal pidana).60

60 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Kencana, Jakarta2012), hlm. 434-437.

52

Dokumen terkait