• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Perubahan Perjanjian

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN

C. Proses Perubahan Perjanjian

52

53

perubahan perjanjian itu terjadi maka itu disebut dengan nyerosok. Perubahan perjanjian yang seperti ini merupakan penyimpangan hukum perdata dan hukum adat”.62

Ustadz Mahyun, mengatakan:

“Dalam perjanjian itu haruslah mengedepankan I‟tikad baik kepada orang lain, sehingga ketika menjadi seorang pebisnis harus memiliki sifat amanah, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan kredibel. Amanah juga dapat dipahami sebagai keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan, karena Allah menyebutkan sifat orang mukmin yang beruntung adalah yang dapat memelihara amanah yang diberikan kepadanya”.63

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Mu‟minun ayat 8:













“Dan (sungguh beruntung) orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya”.64

Mengenai keabsahan perjanjian dalam ajaran Islam harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad yang pertama adalah ijab dan qobul.

Sedangkan syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subyek dan obyek dari suatu perjanjian.65

Pentingnya sebuah janji atau perjanjian yang seringkali dianggap remeh oleh sebagian masyarakat saat ini, apalagi jika hanya janji antar lisan yang dicetuskan kepada orang lain tanpa adanya keinginan untuk menepatinya. Padahal kebanyakan dalam hal ini dapat menimbulkan masalah yang begitu besar dikemudian harinya, karena setiap

62 Bapak H. Muhammad Amin, Wawancara, Mujur, 11 Desember 2022.

63 Ustadz Mahyun, Wawancara, Mujur, 12 Desember 2022.

64 QS. Al-Mu‟minun [23]: 8.

65 Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 252.

54

janji adalah hutang, dan hutang akan tetap melekat pada diri manusia sampai ajal menjemput kecuali hutang tersebut dilunasinya.

Berjanji merupakan mengikatkan diri secara tegas pada suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu untuk dipenuhi. Dalam masyarakat, menepati janji atau bertanggung jawab atas janjinya merupakan sebuah modal agar seseorang dapat dipercaya oleh semua orang dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya, jika seseorang tidak memenuhi janjinya, maka akan berakibat seseorang itu dijauhi oleh orang lain dan sulit untuk dipercaya pada hari selanjutnya.

Oleh karena itu, perjanjian yang telah dibuat oleh seseorang harus dilaksanakan dengan i‟tikad baik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPer. I‟tikad baik merupakan syarat yang harus ada di dalam setiap perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan, namun selalu tersirat adanya asas i‟tikad baik dari para pihak.66

Sebagai seorang Muslim, kita patut menjaga dan memenuhi janji yang telah kita buat kepada seseorang. Hal ini tidak hanya tertuang dalam hukum Perdata Barat maupun hukum Adat. Namun dalam agama Islam juga diperintahkan kepada orang- orang yang beriman agar senantiasa memenuhi janji yang telah mereka buat dengan orang lain. Maka pada pokoknya, hukum mewajibkan kepada setiap orang yang berjanji untuk memenuhi janjinya, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu, kepentingan umum seharusnya lebih didahulukan dari pada kepentingan pribadi dari setiap orang.67

66 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya-Pola Kerjasama Pengusaha Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 23.

67 Bhismoadi Tri Wahyu Faizal, “Konsep Hukum Perjanjian di Indonesia”, Jurnal Voice Justisia Vol. 1, Nomor 2, September 2017, hlm. 116-117.

55

BAB III ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERI’TIKAD

BAIK DALAM PERUBAHAN PERJANJIAN BAGI HASIL LAHAN PERTANIAN MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH A. Analisis Pelaksanaan Perubahan Perjanjian Bagi Hasil Lahan Pertanian

Pada dasarnya peranjian merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat meliputi segala sektor sosial, baik itu dalam kegiatan ekonomi, bisnis, tempat pendidikan, kehidupan sosial, dunia pekerjaan sampai pada proses pernikahan.

Secara umum, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu sebagaimana telah disepakati sebelumnya.

Namun dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Mujur Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah, yang perjanjian awalnya adalah perjanjian bagi hasil dan sudah disepakati secara bersama-sama antara pihak pemilik lahan dengan pihak penggrap. Kemudian dalam proses berjalannya perjanjian ini, terjadi kecurangan yang dalam hal ini dilakukan oleh pihak penggarap terhadap pihak pemilik lahan.

Dalam perjanjian ini awalnya pihak pemilik lahan tidak mengetahui tentang perubahan perjanjian itu, namun berdasarkan informasi yang diperoleh pemilik lahan dari masyarakat yang ada di sekitar lahan pertaniannya tersebut, juga diperkuat dengan adanya informasi dari para pegawai yang bekerja di lahan itu maka pihak pemilik mengetahui tentnag perubahan perjanjian tersebut. Namun pihak pemilik lahan tidak melakukan tindakan apapun untuk memberikan sanksi kepada pihak penggarap, karena ingin memberikan kesempatan kepada pihak penggarap untuk memperbaiki i‟tkikad tidak baiknya itu.

56

Perjanjian bagi hasil atau dalam Islam disebut dengan mudharabah adalah akad antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak lain sebagai pelaksana modal atau seseorang yang ahli dalam perdagangan untuk mengoperasikan modal secara produktif, kemudian keuntungan dari bisnis dibagi dua menurut kesepakatan. Dan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemberi modal, sedangkan bagi pihak pelaksana kerugian modal adalah kerugian waktu, pikiran dan tenaga yang telah dicurahkan dan bersifat manajerial.68

Pasal 1320 KUHPer yang menjelaskan bahwa perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.69 Dalam Pasal tersebut ditegsakan ada empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sebagai berikut:

1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan kehendak dalam hal ini dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum, maka kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsurunsur sebagai berikut:

a. Paksaan (dwaang, duress);

b. Penipuan (bedrog, fraud);

c. Kesilapan (dwaling, mistake).

Sebagaimana pada Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

68 Ibrahim, Khudari, Ibid, hlm. 42.

69 Sitti Nurjannah, “Lembaga Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen”, Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Vol. 3, Nomor 1, 2016, hlm. 119-125.

57

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Syarat kecakapan yang dimaksud adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana dalam Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap.

kemudian dijelaskan batasan umur mengenai cakap hukum dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan batasan usia cakap seseorang yakni berumur 18 Tahun atau telah menikah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Pasal 47. Sebelumnya usia cakap dewasa dalam KUHPerdata adalah 21 tahun, dan saat ini sudah tidak berlaku lagi karena diatur dalam perundang-undangan yang baru yaitu UU No.1/1974.70

3. Suatu hal tertentu

Dengan syarat suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal tertentu. Mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 1332 KUHPerdata yang menentukan bahwa: “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.” Sedangkan Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya” Hal tersebut menunjukkan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

70 Istiqamah, Hukum Perdata: Hukum Orang dan Keluarga, (Makassar: Alauddin University Press, 2014), hlm. 41.

58 4. Suatu sebab (causa) yang halal

Suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku, Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dalam isi perjanjian ini tidak dilarang oleh Undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Para ahli hukum telah sepakat bahwa yang dijadikan syarat umum yang sifatnya mendasar terhadap sahnya suatu perjanjian adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW.71

Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan semua orang berhak diakui serta mendapat jaminan perlindungan hukum yang sama di mata hukum, untuk mendapatkan perlindungan hukum itu seseorang dapat melaporkan segala bentuk tindakan pidana atau perbuatan yang merugikan kepada polisi. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian yang menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.72

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

71 Marilang, Hukum Perikatan; Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Makassar: Alauddin University Press, 2013), hlm. 186.

72 Sukoharjo, “Pengertian Perlindungan Hukum dan Cara Memperolehnya”, https://jdih.sukoharjokab.go.id/informasi/detail/90, diakses tanggal 14 Desember 2022, pukul 19.50.

59

Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum, sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum Preventif. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum tidak hanya memberikan perlindungan terhadap individu sebagai bentuk pemenuhan hak dan kewajiban melainkan juga terhadap hak dan kewajiban masyarakat secara keseluruhan, atau dengan kata lain perlindungan hukum memberikan jaminan dari hukum untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan untuk dirinya sendiri dan hubungannya dengan pihak lain. Perlindungan hukum juga memberikan solusi dalam memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum sehingga dapat tercipta ketertiban dan keteraturan.73

73 Dyah Permata Budi Asri, “Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”, Journal of Intellectual Property Vol. 1, Nomor 1, Agustus 2018, hlm. 16-18.

60

B. Analisis Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pihak yang Beri’tikad Baik dalam Perubahan Perjanjian Bagi Hasil Lahan Pertanian

Dalam kehidupan sehari-hari manusia menjalankan aktivitas seperti biasanya menjalankan ibadah, kerjasama, tolong-menolong sesama masyarakat inilah dalam kehidupan yang harmonis dan tentram. Begitu pula dengan menjalankan kegiatan bermuamalah hendak berdasarkan tata cara yang baik karena mancari ridho Allah SWT.

Syariat Islam menganjurkan kepada manusia agar menjalankan segala aktivitas berdasarkan aturan yang telah di tentukan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Begitupun dalam menjalankan kegiatan bermuamalah hendak berdasarkan tata cara yang baik dan di ridhoi oleh Allah SWT.

Kerjasama dalam pertanian ini kenal dalam Islam dengan sebutan mudharabah atau perjanjijan bagi hasil. Perjanjian ini dibolehkan karena ada rasa saling tolong-menolong antara individu yang satu dan yang lain. Prinsip kerja sama ini akan memunculkan sifat kepedulian sosial kepada masyarakat di sekitar. Selain prinsip kerjasama pada ekonomi, Islam juga mengajarkan untuk kerja sama terhadap berbagai bidang yang lainnya.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Ma‟idah ayat 2:

































“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.74

74 QS. Al-Ma‟idah [5]: 2.

61

Dari kutipan ayat Al-Quran diatas dapat kita pahami manusia di dalam masyarakat hidup di dunia ini tidak bisa sendiri tanpa bantuan orang lain. masyarakat beraktivitas sehari-hari itu memerlukan orang lain untuk membantu sesama individu yang satu dengan individu yang lain dari segi kebutuhan, dari segi untuk mengerjakan kebun atau pertanian dan untuk menggarap kebun yang tidak di kelola dari pada di biyarin tidak di manfaatin.

Kerjasama bagi hasil merupakan kerjasama yang di lakukan antara kedua orang atau lebih dalam melakukan pekerjaan dimana hasil akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah ditentukan bersama, yang memiliki nilai keadilan antara keduanya. Karena keadilan yang harusnya menjadi dasar utama dalam kehidupan sehari-hari untuk menonjolkan rasa jujur kepada orang lain atau hubungan timbal balik saat melakukan kerjasama ini.

Semua yang disebut di atas merupakan sistem pengolahan yang sederhana yang membentuk kerjasama antara pihak pemilik lahan kepada pihak penggarap yang di dasari atas dasar kepedulian persahabatan dan saling bantu antara kedua belah pihak.

Merupakan perjanjian secara persaudaraan antara dua rekan, seorang yang memberikan tanahnya dan yang lebih penting modal, sementara lainnya memberikan tenaga- tenaganya.

Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apa pun.

Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, tidak menipu dan melakukan kecurangan. Perjanjian dalam hukum Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya hak dan kewajiban) bagi pihak-pihak yang terkait.

62

Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Perjanjian merupakan suatu akad yang sangat penting bagi orang yang membuat atau yang mengucapkannya, baik itu janji kepada Allah SWT., orang lain, lingkungan atau institusi, maupun janji kepada dirinya sendiri. Dalam hukum Islam suatu perjanjian dianggap begitu penting oleh kalangan masyarakat Indonesia khsusnya umat Islam.

Mengingat dengan adanya sebuah hukum perjanjian hukum Islam akan menimbulkan sebuah transaksi-transaksi bisnis yang terbebas dari sebuah unsur yang dilarang oleh syariat Islam.75

Pada zaman sekarang sistem bagi hasil dapat berjalan dengan baik antara pihak pemilik lahan maupun pihak penggarap, kemudian akan mendapatkan bagian dari hasil tanahnya tersebut dan pembagiannya tersebut sesuai memperoleh hasil panennya.

Namun dalam observasi yang dilakukan peneliti, kerjasama yang dilakukan ini tidak sesuai dengan tidak terpenuhi dari syarat sahnya perjanjian yaitu adanya ada sepakat antara kedua belah pihak dalam perubahan perjanjian ini.

Berdasarkan masalah yang ada dilapangan tentang mudharabah atau perjanjian bagi hasil dengan dasar hukum Al-Quran dan Hadist dapat diartikan bahwa dalam sistem bagi hasil atau kerjasama yang dilakukan masyarakat di Desa Mujur Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah tidak sesuai dengan ketentuan oleh hukum Islam, akan tetapi kerjasama disini harus ada keterbukaan antara pihak pemilik lahan dan pihak penggarap supaya tidak ada saling dirugikan.

75 Imam Mahmudi, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Akad Murobahah Perspektif Hukum Islam dan KUHperdata (Studi Kasus BMT Istiqomah Tulungagung)”, Al-Muttaqin Jurnal Studi, Sosial, dan Ekonomi, Vol. 2, Nomor 1, Januari 2021, hlm. 110.

63

Kemudian kaitannya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian, masing-masing pihak hendaknya saling menghormati hak dan kewajibannya masing- masing, sebagaimana ketentuan hukum yang diatur dalam Al-Qur‟an surat Al-Ma‟idah ayat 1:

















































Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.76

Dari penjelasan surat diatas sangatlah wajar dan amat sesuai bila surat ini dimulai dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenhui akad dan ketentuan yang ada sambil mengingatkan nikmat-Nya menyangkut dihalalkannya binatang ternak buat mereka. Allah memulai tuntunan-Nya ini dengan menyeru: “Hai orang-orang yang beriman”, untuk membuktikan kebenaran iman kalian, “penuhilah akad-akad itu”,

yakni baik akad antara kamu dan Allah yang terjalin melalui pengakuan kamu dengan beriman kepada Nabi-Nya ataupun melalui nalar yang dianugerahkan-Nya kepada kamu, demikian juga perjanjian yang terjalin antara kamu dan sesama manusia, perjanjian antara kamu dan diri kamu sendiri, bahkan semua perjanjian selama tidak mengandung pengharaman yang halal atau penghalalan yang haram.

Sedemikian tegasnya Al-Qur‟an dalam kewajiban memenuhi akad sehingga setiap Muslim diwajibkan memenuhinya walaupun hal tersebut merugikannya, hal ini dikarenakan rasa aman masyarakat akan terusik jika melepaskan ikatan perjanjian itu dibenarkan. Sekalipun itu merugikan seseorang untuk memenuhi akad perjanjian,

76 QS. Al-Ma‟idah [5]: 1.

64

pemenuhan akad tersebut harus tetap diwajibkan demi memelihara rasa aman dan ketenangan seluruh anggota masyarakat, dan memang kepentingan umum harus lebih didahulukan atas kepentingan pribadi.77

Sebenarnya prinsip kerja sama khususnya dalam bidang perekonomian ini sudah di terapkan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum di angkat menjadi rasul. Ketika Rasullulah mengawali pembangunan di Madinah dengan tidak ada ekonomi yang menunjang, lalu rasullulah mendorong kerja sama untuk usaha diantara masyarakat sehingga terjadi produktivitas.

Pada akad mudharabah asas keadilan benar-benar akan dapat diwujudkan dalam dunia nyata, yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama pemodal menanggung kerugian materi (modal) sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non materi (tenaga dan pikiran), sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorangpun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pihak pemilik lahan kepada pihak penggarap. Oleh karena kepercayaan merupakan unsur terpenting maka mudharabah dalam istilah bahasa Inggris disebut trust financing. Pihak pemilik lahan yang merupakan investor disebut beneficial ownership atau sleeping partner, dan pihak penggarap disebut managing trustee atau labour partner.

77 Bhismoadi Tri Wahyu Faizal, Ibid, hlm. 118-121.

65

Sedangkan menurut istilah mudharabah menurut kalangan fuqaha mempunyai redaksi yang bermacam-macam sebagai berikut:

Menurut Ulama Hanafiyah yaitu sebuah akad perkongsian dalam keuangan, satu pihak menjadi pemilik harta (pemodal) dan pihak lain menjadi pemilik jasa.

Menurut Ulama Malikiyah yaitu sebuah akad perwakilan, di mana pemodal mengeluarkan harta kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan.

Menurut Ulama Syafi„iyah yaitu sebuah akad yang menentukan seseorang memberikan hartanya (pemodal) untuk diperdagangkan dan pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama.

Menurut Ulama Hanabilah yaitu pemodal menyerahkan modalnya dengan takaran tertentu kepada pedagang dan pembagian keuntungan diketahui. Mudharabah juga merupakan sebuah barang yang diserahkan dengan jumlah yang jelas kepada orang lain untuk dikembangkan serta mendapat keuntungan.

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh mayoritas Fuqaha di atas, mudharabah yaitu akad yang dilakukan oleh dua pihak dan saling menanggung, salah satu menjadi pemodal dan menyerahkan hartanya untuk diperdagangkan dan keuntungan akan dibagi sesuai yang telah ditentukan, misalnya setengahnya atau sepertiga sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.78

Kemudian berakhirnya akad mudharabah ini seperti yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 250 bahwasanya berakhirnya akad mudharabah yaitu apabila waktu kerja sama yang dilakukan dan disepakati telah berakhir maka berakhir pula akad mudharabah. Dan Pasal 253 menjelaskan bahwa akad

78 Dena Ayu, dkk. “Pandangan Ulama Mazhab (Fuqaha) terhadap Akad Mudharabah dalam Ilmu Fikih dan Penerapannya dalam Perbankan Syariah”, Muqaranah, Vol. 6, Nomor 1, Juni 2022, hlm. 4-7.

66

mudharabah berakhir dengan sendirinya apabila pemilik modal atau mudharib meninggal dunia, atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.79

Sebagai landasan hukum bahwa dalam melakukan perubahan dan pengalihan yang dapat menjadikan seseorang merasa terdzalimi dan tidak boleh atas kehendak salah satu pihak, tetapi harus atas kedua belah pihak. Dalam akad mudharabah telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat An-Nisaa ayat 29:

















































Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.80

Kemudian dijelasakan bahwa motif ekonomi adalah keberuntungan di dunia dan akhirat. Dalam persoalan motif ekonomi menurut pandangan Islam yang terdapat dalam ketentuan Al-Qur‟an surat Al-Qasas ayat 77:























































Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.81

79 Buku II Kompilsi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 250 & 253.

80 QS. An-Nisa‟ [4]: 29.

81 Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.

17.

Dokumen terkait