BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Saran
Dari simpulan di atas pada kesempatan ini dapat diberikan beberapa saran:
1. Kepada guru/dosen kiranya metode mind map dapat dijadikan pertimbangan dalam penyampaian materi pelajaran pada mata kuliah Bahasa Indonesia karena mampu meningkatan hasil belajar dan aktivitas mahasiswa.
2. Program studi, diharapkan hasil penelitian dijadikan
kajian dalam menerapkan strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
3. Bagi para peneliti lain yang tertarik menerapkan model pembelajaran model mind map dalam pembelajaran diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut pada program studi lain. Hal ini dimaksudkan untuk menguji kembali keberhasilan penelitian tindakan kelas ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arini, Ni Wayan. 2012. ―Implementasi Metode Peta Pikiran Berbantuan Objek Langsung untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi‖. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Vol. 45 (1), 66—74.
Barrows, H. (1996). New direction for teaching and learning Problem Based Learning Medichine and Beyond: A brief overbiew. Jossey Bass Publishers.
Bala, Robert. 2017. Dilema Mengajar Kreatif, Inilah yang Perlu Diketahui Guru dan Orang Tua.
http://kupang.tribunnews.com/2017/04/06/dilema- mengajar-kreatif-inilah-yang-perlu-diketahui-guru-dan- orangtua (Diakses, 7 Agustus 2018).
Buzan, T. (2007). Buku pintar mind map, membuka kreatifitas, memperkuat ingatan, dan mengubah hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Buzan, T. (2006). Mind map untuk meningkatkan kreatifitas.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. (2006). Model penilaian Kelas. Jakarta: Dirjen Diksasmen.
Djibran, F. (2008). Bahasa Indonesia dan generasi muda.
Jakarta:Erlangga.
Enre, F. (2008). Dasar-dasar keterampilan menulis. Jakarta:
Knisius.
Fisher, A. (2009). Berpikir kritis sebuah pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Fatihudin, D. & Holisin, I.( 2011). Cara praktis memahami penulisan karya ilmiah, artikel ilmiah, dan hasil penelitian. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Gie, T. L. (2002). Terampil mengarang. Yogyakarta. ANDI.
Huda, M. (2016). Model-model pengajaran dan pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibrahim, M., dan M. Nur. (2000). Pengajaran berdasarkan masalah. Surabaya: University Press.
Kusmintayu, Norma, dkk. 2012. ―Penerapan Metode Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara pada Mahasiswa Sekolah Menengah Pertama‖. Jurnal Basastra. Vol. 1 (1), 206—217.
Murwani, D. E. (2006). ‖Peran guru dalam membangun kesadaran kritis siswa”. Jurnal Pendidikan Penabur.
No.06/Th.V/Juni 2006. Hal.59-68.
Ngalimun. (2016). Strategi dan model pembelajaran.
Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Nurgiyantoro. (2010). Penilaian dalam pengajaran bahaa dan sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Olivia, F. (2008). Gembira belajar dengan mind mapping.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Rusman. (2010). Model-model pembelajaran: mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ristekdikti. (2016). Bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi.
Jakarta:Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ristekdikti.
Rosidi, A. (2009). Bahasa Indonesia bahasa kita akan diganti dengan bahasa Inggris. Jakarta:Pustaka Jaya.
Salamah, U. (2008). ‖Pembelajaran menulis karya ilmiah berbasis deep dialogue/critikal thinking”. Makalah disampaikan dalam Simposium Penelitian Pendidikan Nasional. Jakarta.
Santrock, J. 2007. Child development. New York: MeGrow.
Sanjaya, W. (2009). Kurikulum dan pembelajaran teori dan praktik pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Semi, M. A. (2007). Dasar-dasar kemampuan menulis.
Bandung: Angkasa.
Semi, M. A. (2008). Dasar-dasar kemampuan menulis.
Bandung: Angkasa.
Shoimin, A. (2017). 68 Model pembelajaran inovatif dalam kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Slamet, St.Y. (2008). Dasar-dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT UNS (UNS Press).
Swadarma, Doni. 2013. Penerapan Mind Mapping dalam Kurikulum Pemebelajaran.Jakarta: Gramedia.
Sudjana, N. (2012). Penilaian hasil proses belajar mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sujana. (2001). Prosedur penelitian kuantitatif. Bandung:
Angkasa.
Sukardi. (2015). Metode penelitian pendidikan tindakan kelas implementasi dan pengembangannya. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Sukartono.(http://sukses.blogspot.com/2010/01/model-
pembelajaran-berdasarkan masalah.html di unduh pada tanggal 20 Oktober 2018).
Trianto. (2009). Mendesain model pembelajaran inovatif- progresif. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Tarigan, H. G. (2008). Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
Windura, S. (2008). Mind map langkah demi langkah. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Wahyono, B & Mulyono. (2016). Bahasa Indonesia untuk SMK/MAK kelas XII. Jakarta: Erlangga.
Yuniarti, Netti, dkk. 2013. ―Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Kemampuan Menulis Cerita Pendek dengan Menggunakan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) Pada Mahasiswa Kelas IX A SMP Negeri 9 Pontianak‖.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. Vol. 1 (1), 125—
139.
Zulkarnain, A.I. (2009). ―Penerapan model peta konsep untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa pembelajaran IPS Sd‖. Bandung. Tesis SPs UPI tidak diterbitkan.
BIODATA PENULIS
Doni Samaya
dilahirkan di Betung pada 25 Desember 1989. Mengajar sejak tahun 2013—
2015 di Muhammadiyah Palembang sebagai asisten dosen yang megajarkan Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia.
Saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar di FKIP Universitas Tridinanti Palembang sejak 2016. Pendidikan SD sampai SMA dijalaninya di Belitang Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, S-1 di Universitas Muhammadiyah Palembang (2013), dan S-2 di Universitas Sriwijaya (2015).
Edi Suryadi
dilahirkan di Kotanegara pada 24 Oktober 1985. Tahun 2011 penulis di angkat sebagai dosen tetap Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Tridinanti Palembang sampai sekarang. Pada tahun 2012 s.d 2016 menjabat sebagai ketua program studi dan pada tahun 2016 s.d 2020 menjabat sebagai wakil dekan satu bagian akademik. Pendidikan dari SD sampai SMP di Pandan Agung
Kecamatan Ogan Komering Ulu Timur sementara pendidikan SMA Sederajat di Belitang Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. S-1 di Universitas PGRI Palembang 2009 dan S-2 di Universitas Sriwijaya (2012).
LAMPIRAN CONTOH PROPOSAL PENELITIAN
JUDUL PROPOSAL PENELITIAN
OLEH :
PROGRAM STUDI FAKULTAS UNIVERSITAS 2019 PERBEDAAN PENGGUNAAN KOSAKATA DALAM
MEMAKNAI OBJEK
DITINJAU DARI STEREOTIP GENDER LOGO
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran, keinginan, pendapat, dan perasaan seseorang kepada orang lain. Dalam perkembangannya bahasa tidak dapat dipisahkan dari faktor lain di luar bahasa, terutama latar belakang penuturnya. Latar belakang penutur bahasa yang beragam menyebabkan timbulnya variasi bahasa. Faktor lain di luar bahasa yang mempengaruhi variasi bahasa antara lain, seperti kelas sosial, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, etnisitas, dan umur.
Salah satu aspek yang menarik untuk dibahas adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin.
Dalam kehidupan sosial, jenis kelamin menjadi pembeda dalam berbagai hal, salah satunya bahasa. Holmes (1993, p. 162) mengungkapkan bahwa perbedaan jenis kelamin mampu mempengaruhi bahasa dan dapat menjadi faktor penting untuk menghitung variasi bahasa. Hal tersebut didukung pula oleh Tannen (dalam Wardhaugh, 2002, p. 5) yang menyatakan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar dalam hal bahasa.
Perbedaan jenis kelamin lambat laun berkembang menjadi perbedaan gender. Perbedaan jenis kelamin dan perbedaan gender merupakan dua hal yang berbeda. Menurut Wardhaugh (2002, p. 313), jenis kelamin adalah pembeda laki- laki dan perempuan dilihat dari sudut biologi, sedangkan gender adalah pembeda laki-laki dan perempuan melalui pendekatan genetik, psikologi, sosial, dan budaya. Selain itu, menurut Sadli dan Patmonodewo (1995, p. 70) gender
merupakan sejumlah karakteristik psikologis yang ditentukan secara sosial dan berkaitan dengan adanya seks (jenis kelamin) lain. Oleh karena itu, dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Kehidupan sosial dan budaya mendukung perkembangan pemahaman tentang gender. Pemahaman tentang gender dalam masyarakat sudah disosialisasikan sejak dini. Saat kecil, mulai dari permainan sampai tingkah laku, anak laki-laki dan perempuan sudah diidentikan dengan gender tertentu. Perempuan dan laki-laki mempunyai pengalaman masa lalu yang berbeda. Sejak mereka dilahirkan, laki-laki dan perempuan diperlakukan berbeda, dididik berbeda, dan sebagai hasilnya, cara berkomunikasi mereka berbeda pula.
Pemahaman tentang gender yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan saat bersosialisasi dalam masyarakat akan memengaruhi cara berbahasa mereka.
Menurut Fakih dikutip oleh Darmojuwono (2000, p.
150), konsep gender, yaitu pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, telah berjalan mapan dalam sosialisasi. Oleh sebab itu, pemisahan dengan gender tersebut dianggap alamiah, wajar, dan merupakan kodrat; padahal yang merupakan kodrat adalah pembagian jenis kelamin secara biologis.
Dalam masyarakat, sosialisasi mengenai gender erat kaitannya dengan stereotip. Selanjutnya, stereotip yang terbentuk ikut menentukan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Adapun pengertian stereotip adalah gambaran ciri-ciri khas yang dimiliki orang tertentu atau
sekelompok orang dan gambaran ini tidak dibentuk oleh orang atau kelompok orang tersebut, melainkan oleh anggota masyarakat di luar kelompok (Quasthoff dikutip oleh Darmojuwono, 2000, p. 149). Menyoroti dari aspek linguistik, Schaff (dikutip oleh Darmojuwono, 2000, p. 149) berpendapat bahwa stereotip adalah lambang bahasa yang mengacu pada sekelompok manusia dan lambang bahasa tersebut mengandung makna emosional. Dalam hal ini, stereotip yang tercipta merupakan gambaran masyarakat terhadap ciri khas yang dimiliki laki-laki dan perempuan, yang dapat dikatakan sebagai stereotip gender.
Ungkapan verbal yang digunakan untuk menggeneralisasi ciri khas laki-laki dan perempuan dapat berupa ujaran atau kata-kata (leksikon). Misalnya, perempuan diidentikkan dengan kata emosional dan lemah lembut, sementara laki-laki diidentikkan dengan kata rasional dan agresif. Menurut Smith (dikutip Sisbiyanto, 1999) bahwa leksikon (kata) merupakan salah satu cara untuk menunjukkan penanda sosial. Kelompok remaja, misalnya menggunakan kata-kata seperti lebai ‗berlebihan‘, gebetan ‗orang yang disukai‘, nyokap ‗ibu‘, dan sebagainya. Leksikon dipengaruhi oleh kualifikasi, ketertarikan, pengalaman, atau pekerjaan penutur. Kemudian, menurut Eckert (dikutip Juwita, 2009, p.7), gender dan leksikon mempunyai hubungan yang dalam dan mencakup area yang besar.
Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan berbeda.
Mereka hidup dalam dunia yang berbeda, dengan nilai dan peraturan yang sangat berbeda. Pease dan Pease (dikutip Juwita, 2009, p. 48) mengemukakan bahwa otak laki-laki dan perempuan berkembang dengan kekuatan, bakat dan
kemampuan yang berbeda. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Alan dan Barbara Pease di atas, dapat dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, baik dari segi fisik maupun kehidupan sosialnya. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi pola pikir mereka yang dapat kita lihat melalui bahasa yang mereka gunakan, salah satunya bahasa yang mereka gunakan ketika mendeskripsikan gambar.
Gambar merupakan bahasa dalam bentuk tulis. Gambar adalah tiruan barang (orang, binatang, tumbuhan, dan sebagainya) yang dibuat dengan coretan pensil atau sebagainya, pada kertas dan sebagainya (Pusat Bahasa, 2005, p.
329). Gambar merupakan bentuk visual bahasa yang dibuat berdasarkan pengalaman mata terhadap objek-objek yang pernah dilihatnya. Gambar dapat digunakan untuk menyampaikan sebuah informasi atau gagasan. Berbagai hal yang kita lihat memainkan peranan besar dalam memengaruhi kita dalam memberi informasi. Hal ini berdasarkan sesuatu yang kita lihat di sekitar kita atau objek gambar.
Pendeskripsian gambar merupakan kegiatan yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berbahasa seseorang.
Dari hasil deskripsi dapat mengetahui hal-hal apa sajakah yang menjadi fokus perhatian seseorang. Dengan demikian, kita dapat memperoleh gambaran mengenai objek seperti apakah yang lebih diperhatikan oleh seseorang/penanggap dari sebuah gambar.
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana atau keadaan.
Ada berbagai cara menuliskan deskripsi, dan perbedaaan- perbedaan ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan yang sama, dan lagi
pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda pula (Marahimin, 2005, p. 45). Ketika menuliskan sebuah deskripsi, seseorang dapat membuatnya berdasarkan hal-hal yang ia anggap penting saja dan berupa daftar rincian. Selain itu, seseorang dapat membuat deskripsi dengan menekankan kesannya ketika melakukan observasi (Marahimin, 2005, p. 46—47).
Deskripsi merupakan sebuah hasil pengamatan yang ditulis sesuai dengan kesan yang diterima saat melakukan obeservasi dan bersifat subjektif, namun tetap mematuhi kaidah sesuai dengan logika. Sebuah tulisan hasil deskripsi merupakan sebuah wacana. Berdasarkan saluran komunikasi, tulisan hasil deskripsi termasuk wacana tulis. Sementara itu, berdasarkan pemaparan, tulisan hasil deskripsi tersebut merupakan wacana deskriptif.
Berdasarkan data awal penelitian diketahui deskripsi terhadap objek antara wanita dan pria berbeda. Perbedaan ini diketahui dari pendapat mahasiswa PPS Unsri Program Studi Pendidikan Bahasa BKU Pendidikan Bahasa Indonesia semester III kelas sore. Dari 6 orang responden (yang terdiri atas 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan) diketahui bahwa wanita menyenangi objek barang seperti tas dan perhiasan.
Responden laki-laki lebih mendahulukan objek barang seperti ikat pinggang dan dasi. Perbedaan terhadap barang yang disenangi ini menunjukkan bahwa perempuan memerlukan penampilan fisik dengan bantuan beberapa asesoris, sedangkan laki-laki memerlukan penampilan yang menunjukkan kesan ekslusif.
Begitu pula dalam mendeskripsikan gambar, seseorang (baik laki-laki mapun perempuan) secara tidak langsung menafsirkan objek yang dilihatnya. Semua objek yang dilihat
oleh seseorang akan langsung ditafsirkan oleh otak (pikirannya) dalam bentuk proposisi (Clark & Clark dikutip Juwita, 2009, p. 5). Akan tetapi, sebelum orang tersebut menghasilkan sebuah penafsiran, dia akan terlebih dulu melakukan persepsi terhadap objek itu. Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya (Pusat Bahasa, 2005, p. 675). Dalam proses persepsi, seseorang dapat menggunakan pengetahuan dan pengalamannya ataupun ingatannya untuk setidaknya mengenali objek tersebut terlebih dahulu. Pada dasarnya, ketika seseorang memberikan sebuah penafsiran, dia akan melakukan penamaan (naming) terhadap objek ataupun gambar yang dilihatnya.
Dalam tulisan ini peneliti akan meneliti hasil pendeskripsian gambar yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dari segi kosakatanya. Menarik untuk diketahui apakah dalam mempersepsikan sesuatu, jenis kelamin seseorang berpengaruh. Perempuan dan laki-laki memiliki kecendrungannya masing-masing yang dipengaruhi oleh faktor genetik, psikologis, sosial, dan budaya. Hal tersebut didorong dengan kenyataan bahwa dalam masyarakat ada stereotip yang diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu.
B. Perumusan Masalah
Menurut Nababan (2005, p. 75), hal pokok kedua yang dikaji dalam hubungan antara bahasa dan gender adalah apakah perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa yang berbeda ataukah cara berbahasa kedua pihak tersebut berbeda satu sama lain. Namun, Trudgill dalam Mesthrie, dkk (1995, p. 62) bahwa walaupun ada perbedaan yang jelas antara wicara laki-laki dan
perempuan, hanya sejumlah unsur kosakata yang dilibatkan.
Laki-laki dan perempuan tidak menggunakan bahasa yang berbeda. Sebaliknya, mereka menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa yang sama dan perbedaannya hanya dalam kosakata. Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perbedaan penggunaan kosakata responden laki- laki dan perempuan dalam memaknai objek yang dihubungkan dengan stereotip gender.
C. Tujuan Penelitian
Berikut ini adalah tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan perbedaan penggunaan kosakata responden laki-laki dan perempuan dalam objek yang dihubungkan dengan stereotip gender.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini akan ditemukan cara penamaan objek yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan melihat kosakata yang digunakan dalam mendeskripsikan gambar. Kemudian dari hasil penelitian ini dapat mengetahui kosakata seperti apa yang digunakan laki-laki dan perempuan.
II. LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori
1. Teori Wacana
Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian dalam wacana itu berhubungan secara padu (Yuwono, 2005, p. 92). Sementara itu, Marahimin (2005, p. 2)
mengartikan wacana sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan semestinya, serta merupakan komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.
Berdasarkan saluran komunikasi, wacana dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri antara lain adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang dituturkan, dan alih tutur (turn taking) yang menandai pergantian giliran bicara. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan, dan penerapan sistem ejaan (Yuwono, 2005, p. 94). Selain dibedakan berdasarkan saluran komunikasi, wacana juga dibedakan berdasarkan pemaparan. Berdasarkan pemaparan wacana dikelompokan menjadi tujuh buah. Secara umum wacana dikelompokan atas wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural (Yuwono, 2005, p.94).
Larson (1988, p. 391) membagi wacana menjadi enam jenis, yaitu tuturan, prosedur, pembeberan, pemerian, dorongan, dan percakapan. Tulisan yang berupa hasil deskripsi laki-laki dan perempuan dapat dikategorikan sebagai wacana pemerian. Wacana pemerian mirip dengan wacana pembeberan, tetapi sebutannya biasanya berupa proposisi keadaan, bukan proposisi kejadian. Temanya bukan sebuah proposisi, tetapi berupa benda atau kejadian (Larson, 1988, p.
392).
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa hasil deskripsi responden terhadap sebuah gambar yang diungkapkan dalam bentuk tulis. Berdasarkan pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di atas, data yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan saluran komunikasinya dapat dikelompokan sebagai wacana tulis. Kemudian, data penelitian ini jika dikelompokan berdasarkan pemaparannya dapat dikelompokan menjadi wacana deskriptif.
2. Teori Gambar
Dalam penelitian ini penulis menggunakan gambar sebagai instrumen penelitian. Data penelitian yang berupa wacana tulis deskriptif diperoleh dari hasil pendeskripsian gambar yang dilakukan oleh responden perempuan dan laki- laki. Oleh karena itu, landasan teoretis mengenai gambar dibutuhkan untuk mengetahui konsep apa yang dimiliki oleh sebuah gambar. Dengan demikian, akan diketahui apakah data yang berupa hasil deskripsi terhadap sebuah gambar mengikuti konsep yang dinyatakan dalam teori atau sebaliknya.
Pembahasan teori mengenai gambar ini berpedoman pada pendapat Kennedy (dikutip Juwita, 2009, p. 9) mengenai tema dan konsep sebuah gambar. Dengan teori tersebut, akan diketahui apakah konsep Kennedy mengenai gambar sesuai dengan data penelitian.
Kennedy (dikutip Juwita, 2009, p. 9) mengungkapkan empat hal yang dimiliki sebuah gambar, yaitu sebagai berikut.
Gambar hanyalah sebuah konvensi. Gambar hanya serupa dengan sesuatu yang diwakilinya. Gambar mengungkapkan elemen-elemen yang sama dari objek ataupun peristiwa yang diwakilinya. Gambar mengungkapkan informasi yang sama dari objek ataupun peristiwa yang diwakilinya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita simpulkan bahwa sebuah gambar sebenarnya mewakili informasi dari sebuah objek atau peristiwa. Persepsi seseorang dapat
mempengaruhi informasi yang ia peroleh dari gambar.
Sehingga sangat mungkin informasi yang diterima seseorang dari sebuah gambar berbeda dengan informasi yang diterima orang lain. Walaupun demikian, tidak ada seorangpun yang dinilai salah dalam menafsirkan sebuah gambar. Oleh karena itu, Kennedy (dikutip Juwita, 2009, p. 11) juga memberikan pandangannya mengenai konsep gambar berdasarkan sifatnya yang dapat memengaruhi persepsi terhadap gambar tersebut.
Kennedy membaginya menjadi empat buah konsep sebagai berikut.
Konsep kesepakatan yang bersifat manasuka (arbitrary convention) menyatakan bahwa sebuah gambar dapat ditafsirkan secara bebas (manasuka) oleh orang yang melihatnya. Konsep menyerupai dan menggambarkan (similarity and pictures) menyatakan bahwa sebuah gambar dapat mewakili bentuk aslinya dan ditafsirkan persis seperti bentuk aslinya. Konsep nilai penempatan dan penggambaran (stasion points and pictures) menyatakan bahwa sebuah gambar dapat mewakili efek penglihatan yang sama, tetapi susunan yang dihasilkan dalam penafsirannya berbeda. Konsep informasi dan penggambaran (information and pictures) menyatakan bahwa sebuah gambar dapat memuat sebuah informasi di dalamnya.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Kennedy tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat memberikan persepsi yang sama atau berbeda terhadap sebuah gambar.
3. Teori Persepsi Gambar
Ketika melihat sebuah objek, tanpa sadar orang tersebut sedang melakukan penafsiran terhadap objek tersebut. Dengan demikian, secara tidak sadar ketika mendeskripsikan sebuah gambar seseorang akan menafsirkan gambar tersebut. Namun, sebelum orang tersebut menafsirkan gambar, dia akan terlebih dahulu melakukan persepsi terhadap objek (gambar) tersebut.
Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorang mengatahui beberapa hal dari panca indranya (Pusat Bahasa, 2005, p. 675). Dalam proses persepsi, seseorang dapat menggunakan pengetahuan atau ingatan yang dimilikinya untuk setidaknya mengenali objek tersebut terlebih dahulu. Seseorang akan melakukan pencarian ingatan (memori) atas objek atau peristiwa serupa dan mencocokannya dengan objek atau peristiwa yang dihadapinya sekarang.
Dunia ini dipenuhi oleh objek dan peristiwa yang menghasilkan begitu banyak informasi bagi kita. Dari begitu banyak informasi, hanya sebagian informasi yang dapat kita manfaatkan secara efektif. Sebelum memanfaatkan informasi- informasi tersebut, kita terlebih dahulu menyaring informasi yang kita butuhkan dengan menggunakan persepsi sehingga dapat diketahui informasi mana yang penting atau tidak penting bagi kita. Persepsi adalah satuan atau perangkat yang berasal dari sebuah proses yang kita kenali, lalu disusun, dan diterima akal kita berdasarkan sesuatu yang kita dapatkan dari lingkungan sekitar kita (Sternberg dikutip Juwita, 2009, p. 16).
Dengan melihat secara penuh dan teliti semua objek/bentuk akan mendapatkan penilaian yang tepat (Kennedy dikutip Juwita, 2009, p. 10). Objek/bentuk yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah sebuah gambar. Sebuah gambar yang pertama kali kita lihat akan lebih memiliki pemaknaan yang beragam dibandingkan bahasa yang menggambarkannya.
Oleh karena itu, seseorang akan lebih bebas menafsirkan sebuah gambar dari pada menafsirkan sebuah wacana (bentuk tulis). Siapa pun boleh menafsirkan apa pun terhadap sebuah gambar berdasarkan pemahaman dan persepsi mereka masing- masing. Kebebasan dalam menafsirkan sebuah gambar akan menghasilkan penafsiran yang beragam. Hal tersebut dapat terjadi karena tiap-tiap pengamat memiliki pengetahuan, ingatan, dan pengalaman yang berbeda terhadap sebuah objek.
Pada dasarnya, ketika seseorang memberikan penafsiran terhadap sebuah gambar, dia akan melakukan penamaan (naming) terhadap objek ataupun gambar yang dilihatnya. Proses penamaan tersebutlah yang sangat dipengaruhi oleh pesepsi seseorang berdasarkan pengetahuan dan ingatannya. Hasil penafsiran melalui penamaannya akan menjadi berbeda karena pengaruh tersebut. Clark & Clark (dikutip Juwita, 2009, p. 10) mengungkapkan strategi seseorang dalam memilih nama untuk objek yang dilihatnya dibagi menjadi dua tahap sebagai berikut.
Tahap 1: Mengidentifikasi (mengenali) objek yang akan dinamai.
Tahap 2: Memilih kata yang tepat terhadap identifikasi tersebut.
Sternberg (dikutip Juwita, 2009, p. 11) membagi persepsi menjadi persepsi langsung dan persepsi konstruktif.
Persepsi langsung adalah segala sesuatu yang ditanggapi dan langsung diungkapkan tanpa penambahan (apa adanya).
Persepsi konstruktif atau persepsi aktif adalah jenis persepsi