• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Justice Collaborator

Dalam dokumen Selamat Datang - Digital Library (Halaman 41-49)

25

keadilan maka ada kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua hal yang saling terikat dan berhubungan.51 Selain terikat kepada kepastian hukum, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari tujuan hukum itu sendiri. Kualitas hukum di suatu negara terlihat dari keadilan dan kepastian hukum itu sendiri. Penerapan keadilan dan kepastian hukum yang baik maka akan berdampak pada kualitas hukum sendiri. Keadilan sendiri tertuang dalam putusan hakim. Setiap mewujudkan putusan hakim yang berisi keadilan dan kepastian hukum tidaklah mudah sebab di Indonesia sendiri tidak mengenal sistem “dissenting opinion”.52 Putusan hakim yang dapat menghasilkan keadilan harus dapat membentuk “ius constitutum” dan “ius contituendum” melalui metode yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum.

Serikat yang bernama Joseph Valaci melanggar sumpah tutup mulut yang disebut dengan istilah “omerta”. Omerta ialah istilah yang digunakan oleh para mafia yaitu paham tutup mulut (code of silence) dimana omerta ini merupakan tanda kesetiaan terhadap kelompok mafia nya sendiri.53 Pemberian kesaksian yang dilakukan Joseph Valaci membuat ia diberikan perlindungan oleh pemerintahan Amerika Serikat melalui FBI (Federal Bureau of Investigation).

Penggunaan justice collaborator juga berkembang di tahun-tahun selanjutnya seperti di Italia pada Tahun 1979, Portugal pada Tahun 1980, dan Spanyol pada Tahun 1981.

Kedudukan saksi dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sangatlah penting sebab saksi tersebut yang paling mengetahui mengenai kejadian yang dilihat atau dialaminya.54 Seiring berjalannya waktu, untuk mempermudah dalam membongkar suatu tindak pidana munculah istilah justice collaborator. Istilah justice collaborator merupakan istilah yang baru di Indonesia. Istilah justice collaborator disetiap negara juga berbeda yaitu, whistleblower, pentiti, atau cooperative.

Indonesia hanya mengenal dengan istilah crown witness atau saksi mahkota.

Crown witness ialah seorang pelaku tindak pidana yang dijadikan sebagai saksi kunci untuk mengungkap suatu tindak pidana.55 Pengajuan crown witness biasanya diajukan oleh penuntut umum untuk memudahkan dalam mencari alat

53 A Djoko Sumaryanto, “The Implementation of Justice Collaborator at The Investigation Stage in East Java Regional Police”, Atlantis Press, Vol. 140, 2019, hlm. 21.

54 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta;

Penaku, 2012, hlm.16.

55 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta:

Penaku, 2012, hlm. 11.

27

bukti serta mencari pelaku utama dari suatu tindak pidana. Justice collaborator berarti saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap pelaku utama dengan memberikan keterangan-keterangan mengenai kejahatan yang dilakukan.

Penerapan sistem justice collaborator di Indonesia secara normative masih baru dan berawal dari ketentuan Pasal 37 Ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menegaskan bahwa “Each state party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases of mitigating punishment of an accused persons who provides substansial cooperation in the investigations or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”.56

Inti dari Pasal 37 Ayat (2) ialah bahwa masing-masing negara akan memberikan pertimbangan dalam kasus tertentu. Sedangkan pada Ayat (3) dinyatakan bahwa setiap negara harus memberikan pertimbangan sesuai dasar hukum nasionalnya untuk memberikan perlindungan bagi orang yang memberikan kerja sama dalam penyidikan ataupun penuntutan yang dalam hal ini disebut justice collaborator.

Terdapat istilah collaborator of justice di dalam Council of Europe Committee of Minister yakni, seseorang yang berkedudukan sebagai pelaku dari tindak

56 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Bandung: PT. Alumni, 2015, hlm. 4.

pidana yang dilakukan secara bersamaan atau kejahatan yang sudah terorganisir dan seseorang itu sanggup bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksiannya mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersamaan atau sudah terorganisir.

Istilah justice collaborator sering disamakan dengan whistleblower. Perbedaan justice collaborator dengan whistleblower terlihat pada status hukum nya sendiri yaitu whistleblower merupakan orang yang melaporkan sebuah tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan bukan bagian dari tindak pidana tersebut, sedangkan justice collaborator adalah seseorang yang melaporkan sebuah tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan ia merupakan pelaku dari tindak pidana tersebut namun bukan pelaku utama.57 Konsep dasar dari diterapkan nya justice collaborator di Indonesia ialah kerja sama yang dilakukan pelaku tindak pidana dimana ia bukan merupakan pelaku utama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana tersebut.58 Seorang justice collaborator yang bersedia membantu aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana, maka seorang justice collaborator harus mendapatkan penanganan khusus sebab ia dianggap memiliki keberanian yang kuat untuk membantu aparat penegak hukum dalam menemukan titik terang sebuah tindak pidana.

57 Lilik Mulyadi, “Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 3, 2014, hlm. 579.

58 https://indonesiabaik.id/infografis/justice-

collaborator#:~:text=Justice%20collaborator%20merupakan%20seseorang%20yang,kejahatan%20 terorganisir%20maupun%20kejahatan%20serius. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2023 Pukul 14.32.

29

Justice collaborator pada awalnya hanya digunakan untuk memberantas tindak pidana organized crime namun seiring berkembang nya kejahatan, justice collaborator digunakan juga untuk mencari titik terang sebuah tindak pidana pembunuhan berencana. Sebagai contoh kasus pembunuhan Brigadir Yosua dimana salah satu pelakunya ditetapkan sebagai seorang justice collaborator yaitu Bharada Richard Eliezer.

Peraturan mengenai justice collaborator di Indonesia belum diatur secara rinci.

Peraturan justice collaborator pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.59 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai justice collaborator, melainkan hanya mengatur mengenai pemberian hadiah kepada pihak yang mau bekerjasama serta memberi bantuan dalam menemukan titik terang tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, keberadaan justice collaborator diperlukan peraturan yang cukup.

Dasar hukum justice collaborator terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai justice collaborator sebagai payung hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 ternyata masih memiliki kekurangan seperti, tidak dijelaskan mengenai syarat-

59 Rusli Muhammad, “Pengaturan dan Urgensi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 22, No. 2, April 2015, hlm. 207.

syarat, pemberian penghargaan atas keberaniannya.60 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi, “saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.” Kesaksian justice collaborator sangat berguna dalam menemukan titik terang sebuah perkara tindak pidana. Kejujuran dari seorang justice collaborator diperlukan sebab tidaklah mudah bagi seseorang dalam mengungkapkan sebuah kasus tindak pidana yang ia sendiri lakukan. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 mengemukakan bahwa justice collaborator yang diatur dalam Pasal 10 UUPSK ialah :

A. Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

B. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

C. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlakku terhadap Saksi, Korban, dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Justice collaborator diatur juga dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia serta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia.61 Agar kementrian dalam menjalankan tugas serta fungsi dan kewenangan nya dapat mengambil jalan

60 Ni Nyoman Rina Desi Lestari, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, I Made Minggu Widyantara, Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Pembunuhan, Vol. 5 Nomor 1, 2023, hlm. 10.

61 Octo Iskandar, Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator, Yogyakarta: DeePublish, 2022, hlm. 24.

31

yang tepat sebagai rangka untuk mempercepat pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.62 Kemunculan pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam menemukan titik terang sebuah kasus tindak pidana merupakan alasan dibuatnya peraturan bersama tersebut.

Penetapan status sebagai justice collaborator harus memenuhi persyaratan yang mengacu pada Pasal 1 Ayat 26 KUHAP, yaitu :

1) Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tindak pidana;

2) Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana;

3) Orang yang mengalami sendiri dan atau orang yang langsung menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 menegaskan bahwa penetapan status seseorang sebagai justice collaborator harus memenuhi syarat bahwa tersangka mengakui segala perbuatan yang ia perbuat dan bukan merupakan pelaku utama dalam kasus tindak pidana tersebut dan bersedia memberikan kesaksian atas perbuatan yang ia lihat atau ia alami dengan memberikan alat bukti atau keterangan-keterangan yang signifikan.

62 Abdul Haris Semendawai, Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3, 2016, hlm.

484.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga dijelaskan mengenai syarat-syarat dapat ditetapkannya tersangka sebagai justice collaborator, yaitu :

1) Kesediaan memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

2) Kesediaan menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

3) Kesediaan saksi dan/atau korban tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

4) Kewajiban bagi saksi untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya.

Penetapan status seorang tersangka menjadi justice collaborator harus ditentukan oleh Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut dengan melihat apakah tersangka tersebut layak untuk dijadikan sebagai justice collaborator atau tidak. Seorang justice collaborator harus diberikan perlindungan hukum yang merupakan hasil dari penghargaan atas keberanian nya untuk memberikan kontribusi dalam mengungkapkan kejahatan yang complicated.63 Ketentuan tersebut menjadi acuan dan payung hukum bagi LPSK dalam memberikan perlindungan kepada seorang justice collaborator bahkan termasuk keluarga nya.64 Selain itu, LPSK wajib memenuhi hak-hak justice collaborator seperti hak memberikan kesaksian tanpa tekanan mental, hak bebas dari ancaman, serta hak untuk mendapatkan penasihat hukum.65

63 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator Organized Crime, Bandung: PT. Alumni, 2015, hlm. 52.

64 Bambang Sugiri, Nurini Aprilianda dan Hanif Hartadi, “The Position of Convict as Justice Collaborator in Revealing Organized Crime”, Padjadjaran Journal of Law, Vol. 8, No. 2, 2021, hlm. 258.

65 River Yohanes Manalu, Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Lex Crimen, Vol.

IV, 2015, hlm.152.

33

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa seorang terdakwa yang telah menjadi memenuhi persyaratan menjadi justice collaborator maka layak mendapat keringanan hukuman. Hal ini terdapat pada Pasal 10A Ayat (3) yang berisi “Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa:

a. Keringanan penjatuhan pidana; atau

b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.”

Dalam dokumen Selamat Datang - Digital Library (Halaman 41-49)

Dokumen terkait