ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM VONIS RINGAN TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
PEMBUNUHAN BERENCANA
(Studi Putusan Perkara No. 798/Pid.B/2022/PN. JKT.SEL)
(Skripsi)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2024
Oleh : Syifa Nur Azizah NPM. 2012011182
ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM VONIS RINGAN TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
PEMBUNUHAN BERENCANA
(Studi Putusan No. 798/Pid.B/2022/PN. JKT SEL)
Oleh Syifa Nur Azizah
Keberadaan justice collaborator merupakan upaya yang baru bagi para penegak hukum dalam menegakkan hukum yang seringkali mengalami hambatan dalam pengungkapan suatu tindak pidana terkhusus pada tindak pidana pembunuhan berencana. Seorang justice collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian di perkuat dengan SEMA No. 4 Tahun 2011 berhak mendapatkan keringanan penjatuhan pidana. Namun penjatuhan pidana yang ringan bagi justice collaborator pembunuhan berencana menimbulkan pro dan kontra sebagaimana dalam Putusan No. 798/Pid.B/2022/PN. Jkt Sel. Permasalahan yang diajukan di dalam penelitian ini adalah: (1) Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis ringan terhadap justice collaborator pembunuhan berencana pada Putusan No. 798/Pid.B/2022/Pn. Jkt Sel. (2) Apakah putusan vonis ringan tersebut sudah memenuhi aspek keadilan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Narasumber pada penelitian ini ialah pihak Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mendapatkan simpulan dalam penelitian.
SYIFA NUR AZIZAH Hasil penelitian dan pembahasan, maka dengan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pada realisasi Putusan No. 798/Pid.B/2022/Pn. Jkt Sel dasar pertimbangan hakim dalam pemberian vonis ringan ialah karena Richard Eliezer merupakan seorang justice collaborator sehingga dalam hal ini sesuai dengan Pasal 10A Ayat (3) Richard Eliezer berhak mendapatkan keringanan pidana,, pengajuan amicus curiae yang diajukan terhadap Richard Eliezer, sikap penyesalan, permintaan maaf kepada keluarga korban Yosua dan sikap kooperatif selama persidangan dan keluarga korban yang sudah memaafkan. (2) Secara implisit Putusan No. 798/Pid.B/2022/Pn. Jkt Sel menyatakan bahwa vonis selama 1 tahun 6 bulan terhadap Richard Eliezer yang merupakan turut serta pembunuhan berencana dan berstatus justice collaborator ini belum memenuhi aspek keadilan.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Patut dikaji kembali mengenai peraturan yang mengatur mengenai justice collaborator serta ukuran keringanan pidana bagi justice collaborator. (2) Pemberian vonis ringan dibawah ancaman pidana harus lebih diperhatikan kembali oleh hakim. Pemberian vonis ringan ini harus dipertimbangkan dengan lebih matang agar keadilan tidak menimbulkan pro dan kontra dan terpenuhi tidak hanya pada korban melainkan seluruh pihak.
Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Vonis Ringan, Justice Collaborator.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM VONIS RINGAN TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR
PEMBUNUHAN BERENCANA
(Studi Putusan Perkara No. 798/Pid.B/2022/PN. JKT SEL)
Oleh
SYIFA NUR AZIZAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2024
Judul Skripsi : ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM VONIS RINGAN TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Perkara No. 798/Pid.B/2022/PN. Jkt Sel)
Nama Mahasiswa : SYIFA NUR AZIZAH Nomor Pokok Mahasiswa : 2012011182
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.
NIP. 196107151985032003 Sri Riski S.H., M.H.
NIP. 231701840326201
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Tri Andrisman, S.H., M.Hum.
NIP. 196112311989031023
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H. ...
Sekretaris/Anggota : Sri Riski, S.H., M.H ...
Penguji Utama : Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah S.H., M.H. ...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Muhamad Fakih. S.H., M.S.
NIP. 196412181988031002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 18 Januari 2024
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Skripsi dengan judul “ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM VONIS RINGAN TERHADAP JUSTICE
COLLABORATOR PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI PUTUSAN NO. 798/PID. B/2022/PN. JKT SEL)” adalah karya saya sendiri. Semua hasil tulisan yang tertuang dalam skripsi ini telah mengikuti kaidah penulisan karya ilmiah Universitas Lampung.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan salinan atau tidak sesuai ketentuan maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku.
Bandar Lampung, 18 Januari 2024
Syifa Nur Azizah NPM. 20122011182
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Syifa Nur Azizah, dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 24 Februari 2002. Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Imron Hasan dan Puji Handayani. Penulis menyelesaikan Pendidikan TK Aisyiyah 71 pada Tahun 2008, SDN Malaka Jaya 07 Pagi pada Tahun 2014, SMPN 252 Jakarta pada Tahun 2017, dan SMAN 44 Jakarta pada Tahun 2020. Selanjutnya penulis berhasil diterima sebagai Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2020 melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Semasa berkuliah di Fakultas Hukum penulis aktif mengikuti organisasi kampus, yaitu menjadi Anggota UKM-F Mahkamah dan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Pidana. Kemudian di Tahun 2024 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Hukum pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
MOTTO
ا َ
ل ا ُف ِّ
ل َ ك ُي اُ ٰ
للّا ا ًس ْ ف َ
ن ا َ
ل ِا ا َه َع ْس ُو
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
(Q.S Al-Baqarah: 286)
“Even if it takes time to make it through, keep on believing in yourself, keep on holding onto you.”
(Dhiman)
“It’s not always easy, but that’s life. Be strong because there are better days ahead.”
(Mark Lee)
PERSEMBAHAN
Teruntuk Bunda, Ayah, Kakak dan Adik ku tercinta,
Sebuah karya sederhana yang dapat kupersembahkan kepada kalian sebagai wujud pencapaian atas apa yang telah aku cita-citakan selama ini.
SANWACANA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan rezeki, kesehatan, kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan Judul “Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Vonis Ringan Terhadap Justice Collaborator Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Perkara No. 798/Pid.B/2022/Pn. Jkt Sel)” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga sangat diharapkan saran serta kritik yang membangun dari seluruh pihak untuk pengembangan ke arah yang lebih baik lagi. Dalam pelaksanaan penelitian, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dukungan, dan saran dari berbagai pihak secara langsung maupun secara tidak langsung. Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan Terima Kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani D.E.A., I.P.M., selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.;
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;
5. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Terima Kasih atas kesediaan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan, pemikiran, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Ibu Sri Riski, S.H., M.H., selaku Pembimbing II Terima Kasih atas kesediaan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan, pemikiran, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
7. Bapak Dr. Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Penguji Utama pada ujian skripsi. Terima kasih untuk masukan dan saran- sarannya sehingga penulis dapat terus berusaha menyelesaikan skripsi ini hingga akhir;
8. Ibu Aisyah Muda Cemerlang, S.H., M.H., selaku Pembahas II Terima Kasih telah memberikan kritik, saran, serta masukan yang sangat membantu bagi penulis dalam melakukan perbaikan penulisan skripsi ini;
9. Bapak Ahmad Zazili, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing Akademik;
10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum serta para pendidik di Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuannya pada penulis;
11. Narasumber dalam penulisan skripsi ini Bapak Alimin Ribut Sujono, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ibu Indah Puspitarani, S.H., M.H., selaku Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas
Lampung yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi Narasumber dalam penelitian ini;
12. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Imron Hasan, S.H dan Puji Handayani S.Ap, Terima Kasih yang selalu memberikan doa, dukungan materiil dan moril, serta semangat dalam menyusun skripsi;
13. Terkhusus kakak dan adik-adik ku, Putri Salsabila Rahmadani, Shakira Alya Rahmawaty dan Muhammad Ichsan Fadhil yang paling baik hati, Terima Kasih telah memberikan semangat, dukungan moril dan materiil, serta penghiburan selama proses menyusun skripsi;
14. Teruntuk teman-temanku terkasih, Nur Regia Putri, Adira Kirana, Ria Agape dan Nuscha Natasha Danya, Terima Kasih telah selalu ada untuk memberikan dukungan, bantuan, semangat selama proses penyelesaian skripsi ini dan juga setia menemani dari awal perkuliahan dan memberikan banyak moment berharga selama perkuliahan;
15. Kepada sahabatku tersayang Tarisa Fenny yang selalu menuntun penulis kearah yang lebih baik serta menjadi penasihat terbaik penulis dari SMA hingga saat ini, semoga persahabatan ini akan selalu terjaga dan terjalin hingga akhir hayat.
16. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Desa Lebak Peniangan, Kecamatan Rebang Tangkas, Kabupaten Way Kanan; Nadila Agustin, Salma Ghina, Intan Rahmawati. Terima kasih kebersamaan nya telah meluangkan waktu, saling bertukar pikiran, semangat serta dukungan selama ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang berhasil dan membahagiakan kedua orang tua.
17. Seluruh teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Lampung
18. Mas Yudi, Mbak Tika, dan Mas Ijal Terima Kasih sudah banyak membantu penulis selama penulis mengurus seluruh persyaratan administrasi yang diperlukan;
19. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung;
20. Terima Kasih untuk diri sendiri atas segala kerja keras dan semangatnya sehingga tidak pernah menyerah dalam mengerjakan tugas akhir skripsi ini;
21. Terima Kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT selalu memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis.
Bandar Lampung, 18 Januari 2024
Syifa Nur Azizah
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA ... A. Pengertian Pembunuhan Berencana ... 16
B. Konsep Keadilan ... 21
C. Tinjauan Umum Justice Collaborator ... 25
D. Dasar Pertimbangan Hakim ... 33
E. Pengertian Vonis Ringan ... 38
III. METODE PENELITIAN... A. Pendekatan Masalah Penelitian ... 41
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
C. Penentuan Narasumber ... 42
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan data ... 43
E. Analisis Data ... 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... A. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Ringan terhadap Seorang Justice Collaborator Pembunuhan Berencana Pada Putusan No. 798/Pid.B/2022/PN. Jkt Sel. ... 45
B. Nilai Keadilan dalam Vonis Ringan ... 69
V. PENUTUP ...
A. Simpulan ... 84 B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Masa kini di Indonesia perkembangan kejahatan khususnya tindak pidana terhadap nyawa yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang semakin berkembang. Bentuk dari kejahatan terhadap nyawa yang sedang marak di kalangan masyarakat yaitu “pembunuhan”. Dalam menangani tindak pidana pembunuhan sangat sulit bagi para penegak hukum untuk menemukan siapa saja yang ikut andil dalam tindak pidana tersebut. Pembuktian dari kejahatan yang dilakukan merupakan salah satu kesulitan yang harus dihadapi oleh penegak hukum.
Kasus pembunuhan berencana yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat ialah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo terhadap bawahan nya yaitu Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada tanggal 8 Juli 2022 di kediaman rumah dinas Inspektur Polisi Ferdy Sambo, Kompleks Perumahan Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Kasus Ferdy Sambo ini banyak menarik perhatian masyarakat sebab banyak sekali hal- hal janggal dan upaya pembelokan fakta dalam menguak kasus yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dimana banyak sekali orang yang ikut turut serta dan menjadi pelaku nya yaitu diantaranya Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
Terhadap kasus pembunuhan ini sudah ada vonis yang dikeluarkan dan diantaranya terhadap terdakwa Bharada Richard Eliezer yang dikenakan Pasal 340 jo. Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” sedangkan Pasal 55 Ayat (1) KUHP menyatakan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana apabila mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dan mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau mertabat dengan kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Tujuan dari Pasal 55 KUHP adalah untuk menentukan pertanggungjawaban masing-masing pelaku tindak pidana. Pasal 55 KUHP mengenai keturutsertaan menyatakan bahwa pertanggungjawaban pada pembunuhan itu tidak hanya ditanggungjawabi oleh satu orang saja, melainkan ada kebersamaan yang dilakukan.1 Menurut konsep dari Pasal 55 KUHP ini, terdakwa Richard Eliezer juga merupakan pelaku yang turut serta melakukan (medeplegen) dalam kasus pembunuhan ini yang mana pertanggungjawaban pidana nya harus sesuai sebagaimana pembuat (dader).2
1 https://news.republika.co.id/berita/rg55hr409/arti-penerapan-pasal-55-dan-56-kuhp-terhadap- bharada-e-menurut-pakar. Diakses pada tanggal 16 Mei 2023 Pukul 20.49.
2 Firmansyah Hilipito, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Turut Serta (Medeplegen) Melakukan Tindak Pidana Menurut KUHP”, Lex Privatum, Vol. 4, No. 5, 2016, hlm. 130.
3
Terhadap terdakwa Bharada Richard Eliezer, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutan nya menuntut terdakwa dengan hukuman pidana 12 tahun penjara. Namun pada kenyataan nya dalam putusan perkara No.
798/Pid.B/2022/PN. JKT.SEL, majelis hakim menjatuhi terdakwa Richard denga hukuman pidana 1 tahun 6 bulan dikurangi masa penahanan dan sudah berkekuatan hukum tetap.3 Vonis yang diberikan majelis hakim ternyata lebih rendah dari apa yang Jaksa berikan bahkan sangat jauh dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHP.
Pemberian vonis ringan terhadap terdakwa Richard ternyata menimbulan respon positif dan negatif sebab diantara para terdakwa lain nya, vonis Richard lebih rendah daripada tuntutan yang diberikan jaksa. Salah satu bahan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis ringan bisa disebabkan karena timbulnya rasa keadilan yang ada di masyarakat dengan melihat dari pertimbangan publik. Meskipun Richard Eliezer dikatakan sebagai “eksekutor”
dalam kasus ini, tetapi sebagian masyarakat mendukung Richard atas keberanian nya dalam mengungkapkan hal-hal ganjal sehingga hal ini membuat masyarakat menjadi bersimpati dengan nya. Namun, sebagian masyarakat juga beranggapan keberanian dalam mengungkapkan hal-hal ganjal itu bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk meringankan vonis sebab hal itu memang sudah menjadi hal yang seharusnya.4 Selain itu, pertimbangan majelis hakim juga dilihat karena Richard Eliezer adalah seorang justice collaborator.
3 Putusan No. 798/Pid.B/2022/PN.JKT.SEL
4 Anton Purwanto dan Siti Maimunah, “Analisa Amar Putusan Richard Eliezer: Hubungan Hukum dan Kekuasaan Ditinjau Dari Teori Positivisme Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum dan
Masyarakat, Vol. 6, No. 1, hlm. 3.
Peran justice collaborator sangat penting demi tercapainya kesuksesan dalam menemukan titik terang dalam sebuah tindak pidana pembunuhan dan untuk mengatasi permasalahan maka muncul Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa justice collaborator merupakan sebutan baru yang digunakan untuk seorang saksi yang bukan merupakan pelaku utama dari tindak pidana organized crime.5 Justice collaborator pada awalnya digunakan hanya dalam tindak pidana korupsi bukan tindak pidana pembunuhan berencana.
Keberadaan justice collaborator merupakan upaya penegakan hukum oleh para penegak hukum sebab dalam menegakkan hukum seringkali memiliki hambatan utama dalam pengungkapan suatu tindak pidana.6 Justice collaborator juga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan pengoptimalan peran masyarakat dengan pihak terkait dalam mengungkapkan suatu tindak pidana. Dengan adanya justice collaborator, maka pengungkapan suatu tindak pidana dapat lebih mudah selain dapat memperoleh informasi yang bermanfaat, adanya justice collaborator juga dapat mempersingkat waktu dalam proses penyidikan dan persidangan.7 SEMA Nomor 4 Tahun 2011 menyatakan bahwa yang dapat diberikan sebagai justice collaborator ialah tindak pidana khusus yang sifatnya serius yang dapat mengancam stabilitasi nasional dan
5 Farhan Fauzie Achmad dan Taun Taun, “Peran Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana di Indonesia”, Jurnal Pendidikan dan Konseling, Vol. 4, No. 5 Tahun 2022, hlm.
7955.
6 Octo Iskandar, Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator, Yogyakarta: DeePublish, 2022, hlm. 4.
7 Dena Aji, “Analisis Terkait Justice Collaborator sebagai Faktor Yang Meringankan Sanksi Pidana Richard Eliezer”, KHIRANI: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol.1 No.2, Juni 2023.
5
supremasi hukum.8 SEMA Nomor 4 Tahun 2011 merupakan pijakan bagi para hakim dalam memberikan putusan berupa keringanan pidana serta perlindungan hukum lainnya.
Kedudukan Richard Eliezer sebagai justice collaborator, sebelumnya sudah diakui oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ketentuan mengenai pengenaan status sebagai justice collaborator yang digunakan oleh LPSK adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dijelaskan secara jelas mengenai definisi justice collaborator namun justice collaborator dianggap sebagai saksi ketika melaporkan suatu tindak pidana.
Keberanian dalam mengungkapkan suatu tindak pidana membuat seorang justice collaborator dilindungi keselamatan nya karena secara tidak langsung turut serta membantu tindak pidana.9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa terdakwa yang telah menjadi Justice Collaborator layak mendapat keringanan hukuman.
8 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Butir Kesatu.
9 Zatmika Nur Farhan, Deny Guntara, Muhamad Abas, dan Sartika Dewi, “Analisis Yuridis Terhadap Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Dihubungkan Dengan Putusan Nomor 798/Pid.B/2022/PN. JKT SEL, Jurnal Rechtscientia Hukum, Vol. 3, No.
1, Maret 2023, hlm. 167.
Hal ini terdapat pada Pasal 10A Ayat (3) yang berisi “Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa:
a. Keringanan penjatuhan pidana; atau
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.”
Namun demikian, penetapan status sebagai justice collaborator oleh LPSK ternyata tidak mengikat bagi Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim untuk sependapat dengan ketetapan LPSK mengenai kedudukan Richard Eliezer sebagai justice collaborator. Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim memiliki kewenangan masing-masing untuk menetapkan status seseorang sebagai justice collaborator. Penetapan status sebagai justice collaborator bagi terdakwa Richard Eliezer mengalami cacat kriteria sebab tercantum dalam Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa pembunuhan berencana bukan lah salah satu tindak pidana khusus atau tertentu sehingga pemberian status sebagai justice collaborator tidak dapat dilakukan.10 Selain itu juga, Richard Eliezer merupakan terdakwa utama atau eksekutor dalam kasus ini.
10 Andri Saubani, Status Justice Collaborator Richard Eliezer: Direkomendasikan LPSK, Dimentahkan Jaksa, Januari 2023, diakses melalui https://news.republika.co.id, diakses pada tanggal 1 May 2023, pukul 10.33 WIB.
7
Beberapa penjelasan dan uraian permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Pidana Pertimbangan Hakim dalam Vonis Ringan Terhadap Justice Collaborator Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Perkara No. 798/Pid.B/2022/PN. JKT.SEL).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis ringan terhadap seorang justice collaborator pembunuhan berencana pada Putusan No. 798/Pid.B/2022/PN. Jkt Sel.?
2. Apakah putusan vonis ringan tersebut sudah memenuhi aspek keadilan?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup pada 3 (tiga) hal, yaitu secara keilmuan, substansi, dan wilayah. Secara keilmuan berkaitan dengan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan Pertimbangan Hakim dalam Vonis Ringan Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Pembunuhan Berencana. Secara substansi berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam vonis ringan.
Adapun wilayah penelitian akan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Tahun 2023.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis
ringan terhadap seorang justice collaborator pembunuhan berencana.
b. Untuk mengetahui bagaimana putusan vonis ringan tersebut sudah memenuhi aspek keadilan.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Kegunaan Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai hukum dalam analisis pertimbangan hakim dalam pemberian vonis ringan terhadap justice collaborator pembunuhan berencana.
b. Kegunaan Praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi penegak hukum khusus nya hakim dalam memberikan putusan.
9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis ialah urutan atau kumpulan dari pendapat-pendapat yang dapat dijadikan pedoman serta acuan dalam mencapai tujuan penelitian.
a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim merupakan instrumen penting dalam proses peradilan.11 Hakim memiliki kewajiban untuk menemukan hukum dan menetapkan hukum terhadap suatu perkara sehingga seorang hakim dalam memberikan suatu putusan pada perkara harus memuat dasar pertimbangan hukumnya sendiri (motivating plicht).12
Hakim sebagai salah satu penegak hukum memiliki peran penting dalam memutuskan sebuah perkara. Seorang hakim memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memutuskan suatu perkara pidana yang berdasarkan pada undang-undang serta mempertimbangkan putusan pengadilan.
Pertimbangan hakim ini merupakan aspek yang sangat penting untuk mewujudkan nilai keadilan. Hakim yang memiliki kekuasaan kehakiman dalam memberikan putusan nya dapat dijadikan tolak ukur agar tercapai kepastian hukum.
Maka dari itu, hakim yang dapat menghasilkan keadilan atau tidaknya sebuah putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Peranan hakim dalam menciptakan keadilan di dalam masyarakat sangatlah nyata. Untuk menciptakan keadilan itu, hakim perlu melakukan penemuan hukum.
11 Dr. Jonaedi Efendi, Rekontruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 9.
12 Ibid. hlm. 11.
Penemuan hukum (rechtvinding) adalah pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa- peristiwa yang konkret sehingga penemuan hukum merupakan hal yang bersifat umum.13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa tugas hakim untuk mengadili perkara dengan menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak boleh memihak salah satu pihak demi terjamin nya keadilan dalam penegakan hukum. Hakim juga dalam menjatuhkan hukuman tidak boleh menjatuhkan hukuman jauh lebih rendah ataupun lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
Agar putusan hakim mempresentasikan nilai keadilan maka dalam pemberian putusan tersebut harus memandang aspek yuridis, filosofis, sosiologis.14
Hakim diizinkan untuk berkaca pada yurisprudensi serta pendapat-pendapat para ahli atau doktrin. Hakim diharapkan tidak berkaca pada nilai-nilai hukum nya saja melainkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat juga seperti yang sudah tertuang dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
13 Ibid. hlm. 11.
14 Ibid. hlm. 12.
11
Hakim memerlukan suatu fakta hukum sangat diperlukan untuk memutuskan suatu perkara sebab fakta hukum memiliki peran yang sangat penting dalam putusan hakim. Fakta hukum merupakan conditio sine quanon yang mana untuk melahirkan putusan yang adil. Dalam memutuskan perkata, hakim harus berlaku adil yang berlandaskan fakta hukum yang ada. Hakim tidak dapat memutuskan suatu perkara apabila fakta hukum nya tidak ada. Secara normatif, fakta hukum itu harus mengindahkan fakta yang ada di persidangan baik saksi bukti ataupun pembelaan.15
b. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum. Sebuah hukum harus bersifat adil yang berarti menyamaratakan semua orang. Keadilan merupakan pilar terakhir sebagai tujuan hukum sehingga hukum yang diciptakan harus berprinsip pada moral sebab hukum harus sesuai dengan norma-norma moral.16 Keadilan akan terpenuhi apabila dalam proses menjalankan hukumnya sudah sesuai dengan norma-norma yang ada, yaitu :
1) Norma agama;
2) Norma kekusilaan;
3) Norma kesopanan;
4) Norma hukum.17
15 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 18.
16 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 5.
17 Ibid. hlm.8
Keadilan adalah sebuah perbuatan yang adil dimana tidak memihak para pihak manapun agar tidak berat sebelah. Keadilan berasal dari kata adil yang berarti tidak sewenang-wenang. Adil memiliki arti bahwa suatu keputusan harus berdasarkan pada norma yang bersifat objektif dan tidak bersifat subjektif.18
Keadilan dalam hubungan nya manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan bangsa, negara, serta hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hakikat keadilan yang perlu dijiwai.19 Keadilan pada dasarnya adalah suatu persepsi yang relatif. Keadilan setiap orang berbeda-beda. Adil menurut yang satu belum tentu adil bagi lainnya. Nilai keadilan sangat beraneka ragam. Nilai keadilan oleh masyarakat didefinisikan sesuai dengan ketertiban umum.
Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak boleh melupakan rasa keadilan.
Hakim tidak hidup diruang yang hampa, sehingga untuk melihat keadilan tidak hanya dilihat dari perspektif pelaku tindak pidana dan korban saja, melainkan melihat perspektif masyarakat yang dirugikan. Seorang hakim dalam melahirkan putusan yang menggambarkan rasa keadilan harus memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat. Hakim dianggap sebagai wakil Tuhan harus bisa memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan sehingga setiap putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan.20
18 Ibid. hlm. 85.
19 Ibid. hlm. 85.
20 Ibid. hlm. 119
13
Penegakan hukum memerlukan adanya keserasian antara das sollen dengan das sein atau dengan kata lain keserasian apa yang seharusnya dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Hakekatnya, hukum tidak boleh berjauhan dengan rasa keadilan. Hukum dan keadilan merupakan
“condition sine qua non” atau dua elemen yang saling berkaitan.21 Demi tercapainya kata keadilan tersebut, hakim perlu meninjau dari nilai-nilai dasar hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum. Hukum merupakan pelaksana ilmu keadilan yang menjadi tolak ukur tidak adilnya tata hukum.
2. Konseptual
Kerangka konseptual merupakan relasi antara teori atau konsep yang membantu penelitian dan dipergunakan sebagai arahan untuk mengembangkan penelitian yang sistematis.
a. Pertimbangan Hakim ialah pandangan atau pemikiran hakim dalam memberikan atau menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal- hal yang dapat meringankan atau memberatkan seorang pelaku tindak pidana.22
b. Vonis Ringan ialah putusan hakim terhadap terdakwa yang sudah paling ringan dari apa yang dituntutkan oleh penuntut umum. Vonis sering dikenal juga dengan istilah putusan hakim.23
21 Liani Sari, “Hakekat Keadilan dalam Hukum”, Legal Pluralis, Vol. 2 No. 2, 2012, hlm. 3.
22 Nurhafifah dan Rahmiati, “Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 66, Th. XVII, Agustus 2015, hlm. 343.
23 https://www.hukumonline.com/berita/a/perbedaaan-sidang-tuntutan-dan-vonis- lt63c69bfa7f71a/?page=2. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2023 Pukul 14.57 WIB.
c. Justice Collaborator dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seseorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya tetapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut.24
d. Pembunuhan Berencana seperti yang dijelaskan dalam Pasal 340 KUHP adalah kejahatan dengan merampas nyawa orang lain dengan perencanaan lebih dahulu mengenai waktu serta cara melakukan nya agar mencapai keberhasilan.25
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada judul skripsi ini bertujuan untuk memudahkan pembaca serta penulis dalam memahami materi penelitian, maka skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini memuat tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang tinjauan umum tentang pembunuhan berencana, tinjauan umum tentang justice collaborator, tinjauan umum tentang pertimbangan hakim, dan tinjauan umum tentang vonis ringan.
24 Dr. Lilik Mulyadi, Budi Suharyanto, Sudaryanto, “Perlindungan Hukum Terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Agustus 2013, hlm. 39.
25 Echwan Iriyanto dan Halif, “Unsur Rencana dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana”, Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 1, April 2021, hlm. 24.
15
III. METODE PENELITIAN
Memuat bahasan mengenai metode penelitian yang digunakan pada skripsi.
Dalam bab ini terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengelolaan data, serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Memuat hasil penelitian yaitu berupa penyajian dan pemabahasan data yang telah dilakukan saat penelitian. Di dalam hasil penelitan dan pembahasan terdiri dari dasar pertimbangan hakim dalam vonis ringan terhadap justice collaborator dalam pembunuhan berencana pada putusan Nomor 798/Pid.B/2022/PN. Jkt. Sel.
V. PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan. Dalam bab ini berisi mengenai garis besar pemikiran terhadap permasalahan dalam penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana
Pengertian pembunuhan berencana secara yuridis terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang selanjutnya disebut KUHP. Hal ini tercantum dalam Pasal 340 KUHP yang menyatakan, “Barangsiapa sengaja dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”26
Pembunuhan berencana berarti kejahatan dengan merampas nyawa orang lain dengan perencanaan lebih dahulu (voorbedachte rade) mengenai waktu serta cara melakukan nya agar mencapai keberhasilan. Untuk memenuhi unsur
“merampas nyawa orang lain” maka perlu ada perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain meskipun akibat dari perbuatan tersebut akan timbul kemudian.27 Pembunuhan berencana tergolong pada tipe pembunuhan yang paling serius dan tidak biasa sebab ada perencanaan terlebih dahulu serta pelaku yang dapat dijatuhi hukuman mati. Pasal 340 KUHP unsur-unsur yang dapat disimpulkan ialah :
26 Veronica Pratiwi, Nursiti, “Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Bersama- sama”, JIM Bidang Hukum Pidana, Vol. 2, No. 4, November 2018, hlm. 680.
27 Wahyu Adnan, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Bandung: Gunung Aksara, 2007, hlm.
45.
17
a. Unsur “barang siapa”
Unsur “barang siapa” disini ialah subjek hukum yang berarti ialah manusia (naturelijke personel) itu sendiri yang dapat dianggap sebagai subjek strafbaarfeit.
b. Adanya unsur “kesengajaan” atau dolus premidiatatus.
Kesengajaan yang dimaksud disini ialah menghendaki suatu terjadinya tindak pidana dengan perencanaan lebih dahulu (met voor bedachte rade).28 Kesengajaan itu muncul karena adanya keinginan untuk melakukan serta kesengajaan itu harus tampak saat itu juga.
Kesengajaan dalam teori kehendak berarti kesengajaan itu ditujukan pada terwujudnya perbuatan.29 Dikatakan adanya unsur kesengajaan apabila terdakwa memenuhi unsur kesengajaan dengan melakukan tindakan dengan disengaja serta menyadari kelakuan nya.30 Kesengajaan diklasifikasikan menjadi dua (dolus eventualis), yaitu kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Kesengajaan sebagai kepastian tidak akan menimbulkan kesulitan kecuali ia adalah kesengajaan sebagai kemungkinan.
Syarat yang harus dipenuhi untuk memenuhi unsur kesengajaan tersebut, yaitu:
1) Terdakwa mengetahui kemungkinan akibat keadaan yang merupakan delik;
2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar ada, maka akan berani dalam menghadapi resikonya.31
28 Tri Andrisman & Firganefi, Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP, Lampung, hlm. 183.
29 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 186.
30 Ibid. hlm. 188.
31 Ibid. hlm. 190.
Kesengajaan dalam hukum pidana tergolong menjadi 3 bentuk, antara lain:
1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) merupakan kesengajaan yang diperbuat oleh si pelaku yang memang benar merupakan tujuan utama nya dan tujuan itu dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku. Kesengajaan sebagai maksud berarti pelaku benar-benar melakukan tindakan disengaja dalam kondisi menyadari kelakuan nya.
2) Kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan (opzet met zekerheidsbewustzjin) merupakan perbuatan yang dilakukan pelaku dimana tidak bertujuan untuk mencapat akibat yang telat diperbuat tetapi pelaku tahu akibat yang akan mengikuti perbuatannya.32
3) Dolus eventualis ialah kesengajaan dengan kemungkinan yang mana dengan dilakukan perbuatan tersebut maka diyakini bahwa akan ada kemungkinan timbulnya akibat lain.
Kesengajaan dikenal dengan 2 (dua) teori yaitu teori kehendak (wilstheorie) dan teori pengetahuan/membayangkan (voorstelling-theorie).33 Teori ini menganggap bahwa arti sengaja ialah melakukan suatu tindak pidana apabila ia memang menghendaki perbuatan nya sendiri. Teori ini menganggap arti sengaja berarti ia membayangkan akan timbulnya perbuatan yang akan dilakukan.
32 https://konspirasikeadilan.id/artikel/unsur-kesengajaan-dalam-hukum-pidana0463. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2023 Pukul 21.18 WIB.
33 Marsudi Utoyo, Kinaria Afriani, Rusmini dan Husnaini, “Sengaja dan Tidak Sengaja Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Lex Librum, Vol. 7, No. 1, Desember 2020, hlm. 79.
19
c. Adanya unsur “merampas nyawa orang lain”
Pembunuhan berencana merupakan salah satu kejahatan dengan cara merampas nyawa manusia lain atau kata lain membunuh setelah melakukan perencanaan terlebih dahulu untuk menunjang keberhasilan akan pembunuhan itu sendiri. Unsur unsur yang dapat “merampas nyawa orang lain” ialah : 1) Adanya suatu perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain;
2) Ada kesengajaan yang terpaku pada kematian orang lain;
3) Kesegeraan untuk merampas nyawa setelah muncul niat untuk membunuh;
4) Keterlibatan karena adanya “orang lain” sehingga membuktikan bahwa merampas nyawa orang lain merupakan perbuatan yang tepat dilakukan.
d. Ada waktu ketenangan pikiran
Ada waktu ketenangan pikiran saat muncul pemikiran untuk melakukan pembunuhan dan saat melakukan pembunuhan.34 Hal ini berbeda dengan pemikiran untuk membunuh yang muncul karena amarah, maka tidak ada perencanaan yang dilakukan terlebih dahulu. Ketenangan pikiran adalah waktu yang diperlukan untuk memikirkan perbuatan yang akan dilakukan.
Diperlukan tenggang waktu berpikir secara tenang oleh pelaku merupakan salah satu karakteristik dalam pembunuhan berencana. Pada dasar nya, tenggang waktu tersebut merupakan hal yang relatif sehingga persoalan utama dalam menentukan apakah ada waktu ketenangan pikiran dilihat dari tersedianya waktu untuk berpikir dengan tenang. Tersedianya waktu tersebut tidak boleh merujuk pada waktu yang terlalu singkat.35 Perbedaan pembunuhan berencana dengan pembunuhan biasa ialah keputusan untuk menghilangkan
34 Tri Andrisman, Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia Serta Perkembangan dalam Konsep KUHP 2013, Lampung: Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013, hlm. 183.
35 Salvadoris Pieter dan Erna Dwita Silambi, “Pembuktian dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Restorative Justice, Vol.
3, No. 1, Mei 2019, hlm. 81.
nyawa seseorang dengan pelaksanaan nya menjadi satu, sedangkan pembunuhan direncanakan diperlukan waktu untuk berpikir secara tenang dan matang mengenai pelaksanaannya serta berada di bawah hawa nafsu.36
Pembunuhan berencana atau yang direncanakan itu adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Pelaku dapat memikirkan apakah pembunuhan itu harus dilakukan atau tidak perlu dilakukan. Ada 3 (tiga) syarat yang perlu dipenuhi dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, yaitu :
1. Adanya wujud nyata perbuatan dari pelaku;
2. Adanya kematian yang disebabkan dari perbuatan pelaku tersebut;
3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian yang disebabkan oleh pelaku.
Pembunuhan berencana merupakan kejahatan yang melanggar asas kemanusiaan yang adil adan beradab. Diperlukan perencanaan yang matang dalam melakukan pembunuhan berencana ini, salah satunya diperlukan akal licik, alat yang memadai, serta waktu yang tepat untuk melakukan nya.
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana harus melakukan pertanggungjawaban pidana juga dan begitu sebaliknya, seseorang yang tidak melakukan suatu perbuatan pidana maka ia tidak bisa dilakukan suatu pertanggung jawaban pidana, hal ini mengacu pada penggunaan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi, “tiada suatu perbuatan
36 Faud Brylian Yanri, “Pembunuhan Berencana”, Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 1, Maret 2017, hlm. 38.
21
pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan pidana dilakukan.” Seseorang yang dapat dimintakan pertanggungajawaban nya ialah seseorang yang mempunyai akal sehat dimana ia dapat membedakan mana yang baik mana yang tidak, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.37
Ancaman bagi pelaku pembunuhan berencana sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 340 KUHP yaitu, “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Penjatuhan hukuman mati bagi sebagian orang diakui sangat berat,38 oleh karena itu beberapa ahli yang setuju dengan pidana mati mengemukakan syarat-syarat, yaitu :
1) Hukuman mati sebagai suatu alternatif yang berupa ancaman;
2) Hukuman mati hanya diperbolehkan dijatuhkan apabila ada kesalahan dapat dibuktikan.
B. Konsep Keadilan
Suatu negara tanpa hukum akan mengalami berbagai masalah sehingga diperlukan hukum itu sendiri. Hukum merupakan sebuah pijakan yang paling dasar dalam suatu kehidupan manusia. Untuk menegakkan hukum maka hukum
37 Abd Razak Musahib, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Hilangnya Nyawa Orang Yang Dilakukan Secara Bersama-sama”, Jurnal Inovasi Penelitian, Vol. 2, No. 9, Februari 2022, hlm.
2990.
38 Azhar Hafid, Kajian Hukum tentang Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 KUHP, Lex Crimen. Vol. IV, No. 4, 2015, hlm. 89.
merupakan alat kontrol sosial yang ada di dalam masyarakat.39 Selain itu, hukum memiliki tujuan yaitu keadilan. Pengertian mengenai keadilan sudah banyak dibicarakan oleh ahli filsafat hukum dan diantaranya telah menjadi perdebatan, namun makna keadilan itu sendiri tidaklah mudah untuk dipahami.40
Keadilan dalam perspektif hukum merupakan konsep yang mengacu pada keseimbangan, kesetaraan dan perlakuan yang adil tanpa memandang ras, suku, status sosial, budaya dan orientasi seksual masyarakat.41 Keadilan memiliki aspek restoratif dimana keadilan bertujuan untuk memulihkan keadaan dan membawa rasa damai yang ditimbulkan dengan pelanggaran hukum. Selain itu, keadilan juga memiliki 3 (tiga) aspek, yaitu:
1) perlakuan yang sama dan setara bagi setiap individu;
2) setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum;
3) keputusan hukum harus didasarkan pada keadilan dimana hakim tidak bertindak memihak ke salah satu pihak atau berlaku netral.
Keadilan merupakan suatu landasan munculnya institusi sosial seperti institusi peradilan sebab keadilan merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Patokan mengenai keadilan sendiri berbeda-beda.42 Setiap ada keadilan maka selalu dikaitkan dengan adanya ketidakadilan. Menurut Anthon
39 Samsul Wahidin, “Hakim Agung Sebagai Agent Of Change Menuju Law And Legal Reform”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, hlm. 160.
40 Subhan Amin, “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum terhadap Masyarakat”, El-Afkar, Vol. 8, No. I, Januari-Juni 2019, hlm. 01.
41 https://fahum.umsu.ac.id/apa-itu-keadilan-dalam-
hukum/#:~:text=Keadilan%20dalam%20hukum%20adalah%20prinsip,semua%20individu%20dal am%20sistem%20hukum. Diakses pada tanggal 24 Juli 2023 Pukul 21.06.
42 Inge Dwisvimiar, “Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, September 2011, hlm. 522.
23
F. Susanto, keadilan akan selalu berkaitan dengan ketidakadilan dan keraguan bahwa pada hakekatnya keadilan tidak akan berdaya apabila tidak ada ketidakadilan dan keraguan.43 Keadilan, ketidakadilan dan keraguan membentuk suatu wilayah yang labil serta mudah goyah (melee) sebab konsep keadilan yang dikaitkan dengan ketidakadilan memasuki wilayah non sistematik atau yang lebih dikenal dengan anti sistematik. Keadilan yang berkaitan dengan ketidakadilan dan keraguan ini menganggap hukum bersifat plural dan plastik. 44
Teori keadilan pertama kali dirumuskan oleh seorang filsuf bernama Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa keadilan memberikan hak kepada siapapun yang memang menjadi hak nya (fiat jutitia bereat mundus). Ia juga beranggapan bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan dan bersifat umum sebab Aristoteles menganggap keadilan dalam arti persamaan. Keadilan tidak dapat dikategorikan sebagai keutamaan apabila dalam ukuran nya tidak berkaitan dengan aspek sosial, khususnya dalam hubungan antar manusia. 45 Keadilan yang cukup tidak hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri melainkan juga kebahagiaan orang lain.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif merupakan keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang nya sendiri. Keadilan distributif ini memberikan
43 Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1 Tahun 2010, hlm. 23.
44 Erlyn Indarti, “Demokrasi dan Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum”, Aequitas Juris, Vol. 2, No. 1, 2008, hlm. 33.
45 Citra Ayu Kishardian Salsabila, “Konsep Hukum dan Keadilan Dalam Perspektif Aristoteles”, Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral, 2023,hlm. 3.
keadilan kepada seseorang sesuai dengan porsinya.46 Keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin dari adanya serangan-serangan illegal. Keadilan korektif ini memberikan ganti rugi bagi pihak yang telah dirugikan sehingga dikatakan ganti rugi dan sanksi merupakan salah satu bentuk dari keadilan itu sendiri. Selain Aristoteles, Plato juga menganggap keadilan hanya terdapat dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat khusus oleh para ahli.
Plato juga menganggap bahwa keadilan didasarkan pada pengetahuan tentang sesuatu yang baik.47
John Rawls mengemukakan keadilan ialah fairness. Ia membagikan beberapa pendapat mengenai keadilan, yaitu :48
1. Keadilan berasal dari pilihan yang adil.
2. Keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan yang prosedural murni sehingga tidak ada standar untuk menentukan apakah sudah adil. Keadilan dilihat tidak hanya dari hasilnya, melainkan juga dari prosesnya sendiri.
Leibniz memberikan pandangan nya mengenai keadilan ialah iustitia est coritas sapientis atau cinta kasih seseorang bijaksana yang menandakan kebaikan hati serta pengertian praktir dalam segala bidang hidup.49 Menurut Satjipto Rahardjo, keadilan berarti bagaimana cara seseorang memperlakukan manusia serta menggambarkan bagaimana hakikatnya manusia.50 Setiap
46 Ana Suheri, “Wujud Keadilan dalam Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Hukum Nasional”, Jurnal Morality, Vol. 4, No. 2, Juni 2018, hlm. 62.
47 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hlm. 118.
48 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Tepat, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2015, hlm.
246.
49 Urip Sucipto, Filsafat Hulum, Yogyakarta: Deepublish, 3029, hlm. 11.
50 Rommy Haryono Djojorahardjo, “Mewujudkan Aspek Keadilan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata.” Jurnal Media Hukum dan Peradilan, hlm. 89.
25
keadilan maka ada kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua hal yang saling terikat dan berhubungan.51 Selain terikat kepada kepastian hukum, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari tujuan hukum itu sendiri. Kualitas hukum di suatu negara terlihat dari keadilan dan kepastian hukum itu sendiri. Penerapan keadilan dan kepastian hukum yang baik maka akan berdampak pada kualitas hukum sendiri. Keadilan sendiri tertuang dalam putusan hakim. Setiap mewujudkan putusan hakim yang berisi keadilan dan kepastian hukum tidaklah mudah sebab di Indonesia sendiri tidak mengenal sistem “dissenting opinion”.52 Putusan hakim yang dapat menghasilkan keadilan harus dapat membentuk “ius constitutum” dan “ius contituendum” melalui metode yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum.
C. Tinjauan Umum Justice Collaborator
Menentukan sebuah tindak pidana harus berdasarkan hukum. Apabila sebuah tindak pidana dapat dideteksi, maka yang menjadi tantangan utama bagi para penagak hukum ialah mencari pembuktian untuk kebenaran. Agar penegak hukum tidak melanggar hak asasi manusia maka, kunci utama dalam mencari kebenaran itu adalah dengan pembuktian.
Negara Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali menemukan istilah justice collaborator serta menerapkan sistem justice collaborator sebagai saksi dalam suatu persidangan sekitar Tahun 1970-an. Seorang mafia Amerika
51 Yustinus Suhardi Ruman, “Keadilan Hukum dan Penerapannya Dalam Pengadilan”, Humaniora, Vol. 3, No. 2, Oktober 2012, hlm. 346.
52 H. Muslihin Rais, “Nilai Keadilan Putusan Hakim Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Al- Daulah, Vol. 6, No. 1, Juni 2017, hlm. 125.
Serikat yang bernama Joseph Valaci melanggar sumpah tutup mulut yang disebut dengan istilah “omerta”. Omerta ialah istilah yang digunakan oleh para mafia yaitu paham tutup mulut (code of silence) dimana omerta ini merupakan tanda kesetiaan terhadap kelompok mafia nya sendiri.53 Pemberian kesaksian yang dilakukan Joseph Valaci membuat ia diberikan perlindungan oleh pemerintahan Amerika Serikat melalui FBI (Federal Bureau of Investigation).
Penggunaan justice collaborator juga berkembang di tahun-tahun selanjutnya seperti di Italia pada Tahun 1979, Portugal pada Tahun 1980, dan Spanyol pada Tahun 1981.
Kedudukan saksi dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sangatlah penting sebab saksi tersebut yang paling mengetahui mengenai kejadian yang dilihat atau dialaminya.54 Seiring berjalannya waktu, untuk mempermudah dalam membongkar suatu tindak pidana munculah istilah justice collaborator. Istilah justice collaborator merupakan istilah yang baru di Indonesia. Istilah justice collaborator disetiap negara juga berbeda yaitu, whistleblower, pentiti, atau cooperative.
Indonesia hanya mengenal dengan istilah crown witness atau saksi mahkota.
Crown witness ialah seorang pelaku tindak pidana yang dijadikan sebagai saksi kunci untuk mengungkap suatu tindak pidana.55 Pengajuan crown witness biasanya diajukan oleh penuntut umum untuk memudahkan dalam mencari alat
53 A Djoko Sumaryanto, “The Implementation of Justice Collaborator at The Investigation Stage in East Java Regional Police”, Atlantis Press, Vol. 140, 2019, hlm. 21.
54 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta;
Penaku, 2012, hlm.16.
55 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Jakarta:
Penaku, 2012, hlm. 11.
27
bukti serta mencari pelaku utama dari suatu tindak pidana. Justice collaborator berarti saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap pelaku utama dengan memberikan keterangan-keterangan mengenai kejahatan yang dilakukan.
Penerapan sistem justice collaborator di Indonesia secara normative masih baru dan berawal dari ketentuan Pasal 37 Ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menegaskan bahwa “Each state party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases of mitigating punishment of an accused persons who provides substansial cooperation in the investigations or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”.56
Inti dari Pasal 37 Ayat (2) ialah bahwa masing-masing negara akan memberikan pertimbangan dalam kasus tertentu. Sedangkan pada Ayat (3) dinyatakan bahwa setiap negara harus memberikan pertimbangan sesuai dasar hukum nasionalnya untuk memberikan perlindungan bagi orang yang memberikan kerja sama dalam penyidikan ataupun penuntutan yang dalam hal ini disebut justice collaborator.
Terdapat istilah collaborator of justice di dalam Council of Europe Committee of Minister yakni, seseorang yang berkedudukan sebagai pelaku dari tindak
56 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, Bandung: PT. Alumni, 2015, hlm. 4.
pidana yang dilakukan secara bersamaan atau kejahatan yang sudah terorganisir dan seseorang itu sanggup bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksiannya mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersamaan atau sudah terorganisir.
Istilah justice collaborator sering disamakan dengan whistleblower. Perbedaan justice collaborator dengan whistleblower terlihat pada status hukum nya sendiri yaitu whistleblower merupakan orang yang melaporkan sebuah tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan bukan bagian dari tindak pidana tersebut, sedangkan justice collaborator adalah seseorang yang melaporkan sebuah tindak pidana kepada aparat penegak hukum dan ia merupakan pelaku dari tindak pidana tersebut namun bukan pelaku utama.57 Konsep dasar dari diterapkan nya justice collaborator di Indonesia ialah kerja sama yang dilakukan pelaku tindak pidana dimana ia bukan merupakan pelaku utama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana tersebut.58 Seorang justice collaborator yang bersedia membantu aparat penegak hukum dalam membongkar suatu tindak pidana, maka seorang justice collaborator harus mendapatkan penanganan khusus sebab ia dianggap memiliki keberanian yang kuat untuk membantu aparat penegak hukum dalam menemukan titik terang sebuah tindak pidana.
57 Lilik Mulyadi, “Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 3, 2014, hlm. 579.
58 https://indonesiabaik.id/infografis/justice-
collaborator#:~:text=Justice%20collaborator%20merupakan%20seseorang%20yang,kejahatan%20 terorganisir%20maupun%20kejahatan%20serius. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2023 Pukul 14.32.
29
Justice collaborator pada awalnya hanya digunakan untuk memberantas tindak pidana organized crime namun seiring berkembang nya kejahatan, justice collaborator digunakan juga untuk mencari titik terang sebuah tindak pidana pembunuhan berencana. Sebagai contoh kasus pembunuhan Brigadir Yosua dimana salah satu pelakunya ditetapkan sebagai seorang justice collaborator yaitu Bharada Richard Eliezer.
Peraturan mengenai justice collaborator di Indonesia belum diatur secara rinci.
Peraturan justice collaborator pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.59 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai justice collaborator, melainkan hanya mengatur mengenai pemberian hadiah kepada pihak yang mau bekerjasama serta memberi bantuan dalam menemukan titik terang tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, keberadaan justice collaborator diperlukan peraturan yang cukup.
Dasar hukum justice collaborator terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai justice collaborator sebagai payung hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 ternyata masih memiliki kekurangan seperti, tidak dijelaskan mengenai syarat-
59 Rusli Muhammad, “Pengaturan dan Urgensi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 22, No. 2, April 2015, hlm. 207.
syarat, pemberian penghargaan atas keberaniannya.60 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi, “saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.” Kesaksian justice collaborator sangat berguna dalam menemukan titik terang sebuah perkara tindak pidana. Kejujuran dari seorang justice collaborator diperlukan sebab tidaklah mudah bagi seseorang dalam mengungkapkan sebuah kasus tindak pidana yang ia sendiri lakukan. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 mengemukakan bahwa justice collaborator yang diatur dalam Pasal 10 UUPSK ialah :
A. Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
B. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
C. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlakku terhadap Saksi, Korban, dan Pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Justice collaborator diatur juga dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia serta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia.61 Agar kementrian dalam menjalankan tugas serta fungsi dan kewenangan nya dapat mengambil jalan
60 Ni Nyoman Rina Desi Lestari, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, I Made Minggu Widyantara, Justice Collaborator dalam Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Pembunuhan, Vol. 5 Nomor 1, 2023, hlm. 10.
61 Octo Iskandar, Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator, Yogyakarta: DeePublish, 2022, hlm. 24.
31
yang tepat sebagai rangka untuk mempercepat pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.62 Kemunculan pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam menemukan titik terang sebuah kasus tindak pidana merupakan alasan dibuatnya peraturan bersama tersebut.
Penetapan status sebagai justice collaborator harus memenuhi persyaratan yang mengacu pada Pasal 1 Ayat 26 KUHAP, yaitu :
1) Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tindak pidana;
2) Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana;
3) Orang yang mengalami sendiri dan atau orang yang langsung menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 menegaskan bahwa penetapan status seseorang sebagai justice collaborator harus memenuhi syarat bahwa tersangka mengakui segala perbuatan yang ia perbuat dan bukan merupakan pelaku utama dalam kasus tindak pidana tersebut dan bersedia memberikan kesaksian atas perbuatan yang ia lihat atau ia alami dengan memberikan alat bukti atau keterangan-keterangan yang signifikan.
62 Abdul Haris Semendawai, Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3, 2016, hlm.
484.