• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Gambaran Umum harga diri pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di kota Makassar

Berdasarkan Hasil analisis deskriptif diperoleh gambaran secara umum bahwa harga diri pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di kota Makassar di dapatkan data yaitu 410 responden, hasil yang didapatkan ada sebanyak 35 orang atau 8.5% yang memiliki tingkat harga diri yang sangat tinggi, selanjutnya ada sebanyak 80 atau 19.5%

orang yang memiliki tingkat harga diri yang tinggi, kemudian ada sebanyak 163 atau 39.8% orang yang memiliki tingkat harga diri yang sedang, ada 107 atau 26.1% orang yang memiliki tingkat harga diri yang rendah dan yang terakhir ada 25 atau 6.1% orang yang memilki tingkat harga diri yang sangat rendah.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga diri pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di kota Makassar sangat bervariasi, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pramesti (2015) yang menyatakan bahwa dari seluruh subjek yang berjumlah 72 orang, sebanyak 30 orang atau 41.67% termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 42 orang atau 58.33% termasuk dalam kategori sedang, dan dalam kategori rendah tidak ada.

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Susanto (2015) yang menyatakan bahwa dari seluruh subjek yang berjumlah 40 orang, sebanyak 9 orang atau 22.5% termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 27 orang atau 67.5% termasuk dalam kategori sedang, dan sebanyak 4 orang atau 10% termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Ellison, Steinfield & Lempe (2007) menyatakan bahwa penggunaan media sosial instagram bisa memberikan pengaruh tinggi dan rendahnya harga diri penggunaanya.

Dikarenakan kurang spesifiknya responden dalam penelitian ini, yang akan menyebabkan responden jarang menggunakan Instagram namun memilki harga diri yang tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Ting (2014) penggunaan Instagram kebanyakan termotivasi untuk melakukan atau mencari informasi, seperti mencari tau apa yang orang lain lakukan melalui media sosialnya, melihat kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan oleh teman-temanya. Sedangkan berdasarkan yang dikatakan oleh Mehdizadeh (2010) mengatakan kalau harga diri individu merupakan kebutuhan vital yang harus dipertahankan dan ditingkatkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memiliki harga diri rendah lebih memilih untuk terus aktif sehingga bisa meningkatkan harga diri mereka.

Salah satu perkembangan psikologis yang dialami oleh remaja adalah perkembangan sosio-emosi yang salah satunya harga diri yang merupakan keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri kita, dimana harga diri merupakan perbandingan antara ideal-self dengan real-self (Santrock, 2012). Harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan dalam sikap terhadap diri sendiri. Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, berharga menurut standart dan nilai pribadinya (Coopersmith dalam Andarini, Susandari, & Rosiana, 2012).

Harga diri merupakan evaluasi individu tentang dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya sendiri apa adanya. Pada masa pubertas individu, harga diri sering kali mengalami penurunan harga diri penurunan harga diri dapat berlangsung pada masa transisi pertengahan (remaja tengah 15-18 tahun) dan masa transisi akhir (remaja akhir 18-21 tahun), dari sekolah menengah atas bahkan hingga di bangku kuliah (Santrock, 2007).

Sebuah studi longitudinal di Selandia Baru mendapatkan hasil bahwa orang dewasa yang lebih berkompeten dan berhasil menyesuaikan diri memiliki harga diri yang positif saat masih remaja, sebaliknya orang dewasa yang dicirikan oleh kesehatan fisik dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruk, dan tingkat perilaku kriminal yang tinggi memiliki tingkat harga diri yang negatif atau rendah saat remaja (Trzesniewski dkk, 2006).

Oleh karena itu, harga diri yang positif pada masa remaja sangat diperlukan. Salah satu prediktor yang memengaruhi terbentuknya harga diri adalah kondisi fisik (Ghufron dan Risnawita, 2010). Harga diri memiliki beberapa aspek yang dikemukan oleh Coopersmith (1981) bahwa harga diri memiliki empat aspek, yaitu aspek kekuatan (power), keberartian (significance), kebajikan (virtue) dan kemampuan (competence).

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat harga diri seperti social comparison, prestasi akademik dan self acceptance. Faktor pertama adalah social comparison. Hasil penelitian yang mengungkapkan

adanya pengaruh antara harga diri dan social comparison yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2018) yang mengemukakan bahwa ada pengaruh harga diri terhadap social comparison secara signifikan dan memberikan sumbangan efektif 10.6%. hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hasanati & Aviani (2020) menyatakan bahwa terdapat hubungan harga diri dan social comparison secara signifikan dan memberikan sumbangan efektif sebesar 13.6%.

Remaja memiliki kecenderungan lebih besar melakukan social comparison ketika mengevaluasi dirinya (Santrock, 2007). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Jones (2001) didapatkan hasil bahwa remaja paling sering melakukan social comparison pada teman sebayanya baik dalam hal fisik, penampilan dan kepintaran. Social comparison merupakan proses individu membandingkan kemampuan, pendapat sifatnya dengan orang lain (Buunk & Vugt, 2013).

Faktor kedua adalah konsep diri. Hasil penelitian yang mengungkapkan adanya pengaruh antara harga diri dan konsep diri yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ayu & Prayitno (2018) yang mengemukakan bahwa ada pengaruh harga diri terhadap konsep diri secara signifikan dan memberikan sumbangan efektif sebesar 9.4%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Samaedam (2016) yang menyatakan bahwa ada hubungan secara signifikan dan memberikan sumbangan efektif sebesar 7.5%.

Konsep diri pada dasarnya harapan seseorang mengenai diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dan harapan seseorang mengenai dirinya yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realitas yang sesungguhnya baik secara fisik maupun psikologis (Hurlock, 1978).

Konsep diri merupakan cara pandang individu mengenai dirinya, baik fisik, emosi, intelektual sosial dan spiritual (Pambudi, 2012). Konsep diri merupakan wadah individu dalam menunjukkan harga dirinya pada putusan yang diambilnya dinilai secara negatif, positif atau netral.

Faktor ketiga yaitu self acceptance. Hasil penelitian yang mengungkapkan adanya pengaruh antara penerimaan diri dan harga diri yaitu penelitian yang dilakukan oleh Resty (2015) yang mengemukakan bahwa ada pengaruh penerimaan diri terhadap harga diri secara signifikan dan positif dan memberikan sumbangan efektif sebesar 34%.

Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2019) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara self acceptance dengan harga diri secara signifikan dan memberikan sumbangan efektif sebesar 27.3%.

Penerimaan diri (Self Acceptance) merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat- bakat sendiri dan pengakuan akan keterbatasan sendiri (Chaplin, 2012).

Germer (2009) juga menjelaskan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu.

Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Penerimaan diri juga merupakan sejauh mana seseorang mampu menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakan dalam menjalani kelangsungan hidupnya (Helmi, dalam Nurviana, 2010).

2. Gambaran Umum Fear Of Missing Out (Fomo) Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassar

Berdasarkan Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di kota Makassar, didapatkan hasil yaitu ada sebanyak 32 ata 7.8% orang yang memiliki tingkat fear of missing out yang sangat tinggi, selanjutnya ada sebanyak 90 atau 22.0%

orang yang memiliki tingkat fear of missing out yang tinggi, kemudian ada sebanyak 161 atau 39.3% orang yang memiliki tingkat fear of missing out yang sedang, ada 104 atau 25.4% orang yang memiliki tingkat fear of missing out yang rendah dan yang terakhir ada 23 atau 5.6% orang yang memilki tingkat fear of missing out (FoMO) yang sangat rendah.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat fear of missing out (FoMO) pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di kota Makassar sangat bervariasi mulai dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Dalam penelitian remaja yang menggunakan media sosial Instagram didominasi dengan tingkat fear of missing out kategori sedang.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh peneliti sebelumnya oleh Siddik, Mafaza, Sembiring (2020) mendapatkan hasil yang bervarian dimana ditemukan hasil kategorisasi menunjukkan sebagian besar remaja memiliki dengan kategori sedang 51.3%, sedangkan remaja memiliki fear of missing out (FoMO) dengan kategori tinggi 9,7%, dan kategori rendah itu 39,0%. Remaja yang berada pada kategori sedang, dengan artian remaja cukup khawatir dan merasa kehilangan apa bila tidak terhubung dengan teman atau kelompok sebayanya, keadaan ini yang membuat remaja selalu ingin terhubung di media sosial.

Berdasarkan dari hasil durasi menggunakan media sosial Instagram ditemukan bahwa ada sebanyak 185 remaja menggunakan media sosial Instagram dengan jangka waktu 1 jam-3 jam perhari, kemudian ada 107 orang yang menggunakan jangka waktu 3j am-6 jam perhari, selanjutnya 6 jam-9 jam perhari ada 64 orang dan terakhir >10 jam perhari 54 orang.

(Hetz, Dawson & Cullen, 2015) menyatakan individu yang tinggi durasi dalam menggunakan media sosial tidak memilik banyak teman dekat.

Sebab orang yang mengalami fear of missing out (FoMO) tinggi individu tersebut selalu sibuk untuk memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh teman-temannya.

Fear of Missing Out (FoMO) mengacu pada seseorang yang tidak ingin melewatkan informasi atau peristiwa yang membuat seseorang tersebut merasa lebih baik jika mengetahuinya dan merasa khawatir bahwa orang lain memiliki waktu mengetahui informasi lebih baik dibandingkan dirinya. Dimana dari hasil penelitian ini, semua responden yang terlibat memiliki kecenderungan mengalami fear of missing out dan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya yang mendukung hasil penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Salim, dkk, 2017) mengenai fear of missing out juga menunjukkan bahwa tingkat fear of missing out pada remaja pengguna media sosial Instagram memiliki tingkat sedang dengan jumlah responden 375 orang dan tingkat fear of missing out pada remaja pengguna media sosial Instagram memiliki tingkat yang rendah dengan jumlah responden hanya 44 orang.

Penelitian yang dilakukan oleh Barry & Wong (2020) mengenai fear of missing out yang mengatakan bahwa fear of missing out (FoMO) memiliki potensi negatif, karena individu akan menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk mencari informasi apalagi pada individu yang terlibat dengan media sosial yang dimana media sosial sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Terutama pada remaja, dalam studi ini menjelaskan bahwa fear of missing out memiliki korelasi dengan usia.

Roberts & David (2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa fear of missing out berkaitan dengan intensitas individu bermain media sosial.

Penelitian ini juga menemukan bahwa paling banyak yang memiliki kecenderungan fear of missing out (FoMO) berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan dari sedang hingga sangat tinggi sebanyak 217 orang atau lebih dari setengah jumlah responden, dimana hasil didukung oleh hasil penelitian yang juga ditemukan oleh Bestari & Widayat (2018) bahwa hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa responden dengan tingkat fear of missing out yang dimiliki oleh perempuan dalam kategori sedang hingga tinggi yaitu sebanyak 34 dari dari 52 artinya lebih dari 50%.

Penelitian yang dilakukan oleh Akbar, Dkk (2018) dengan pendekatan kualitatif, hasilnya yaitu dari 8 responden yang merupakan individu remaja memiliki kecenderungan mengalami fear of missing out memiliki faktor atau latar belakang alasan yang berbeda-beda. Diantaranya yaitu, individu memiliki kecenderungan mengalami fear of miising out karena kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi akan relateness dan self, karena tidak memiliki hubungan dekat dengan orang lain, merasa kurang nyaman atau bahkan karena tidak memenuhi kebutuhannya sendiri.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Carolina (2018) menemukan bahwa individu mengalami fear of missing out paling banyak memanfaatkan flatform dimana ia dapat memamerkan kehidupannya

sehingga mereka dapat memiliki kepuasan tersendiri dan merasa dianggap oleh lingkungannya, menjadi unik dengan melakukan sosmed editing , thematic, dan lainnya termasuk menambah relasi pengguna.

3. Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassar

Berdasarkan hasil analisis terkait pengaruh harga diri terhadap fear of missing out pada remaja pengguna media sosial Instagram di Kota Makassar mendapatkan hasil uji hipotesis sebesar 0.008. Dengan arti hipotesis awal yang ditentukan peneliti bahwa ada pengaruh harga diri terhadap fear of missing out pada remaja yang menggunakan media sosial Instagram di Kota Makassar di tolak. Maka Ho yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh harga diri terhadap fear of missing out pada remaja pengguna media sosial Instagram di Kota Makassar diterima.

Sehingga dapat dikata jika terdapat faktor lain yang ikut mempengaruhi variabel fear of missing out (FoMO).

Faktor yang mempengaruhi harga diri terhadap fear of missing out (FoMO) yaitu kategori usia dimana responden yang berada pada usia transisi tengah memiliki harga diri yang sedang, dikarenakan di usia remaja transisi pertengahan, kemampuan dan mengontrol tingkah laku masih sangat sulit, kemudian perhatian dan kepedulian kepada orang lain masih kurang. Kemudian dari aspek ketaatan dalam mengikuti norma masih kurang, selanjutnya aspek kemampuan masih kurang, kemudian aspek kebajikan masih kurang dan terakhir itu aspek kekuatan juga masih kurang. Sehingga penjelasan diatas sesuai dengan hasil teori yang dikemukan oleh (Santrock, 2007). Berdasarkan hasil survei dari JWT Intelligence (2012) menyatakan bahwa individu yang berada pada usia13-

33 tahun memiliki kecenderungan fear of missing out (FoMO), dikarenakan pada rentang usia 13-33 seseorang akan cenderung update dan mengoperasikan media sosial dengan mudah.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi yaitu durasi waktu dalam menggunakan media sosial 1-3 jam perhari, dimana hasil penelitian menunjukkan rata-rata remaja di Kota Makassar berada pada kategori sedang menunjukkan rata-rata remaja di Kota Makassar berada pada kategori 1-3 jam perhari. Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Young (2011) yang mengatakan bahwa yang bisa diklasifikasikan sebagai pengguna media sosial yang berlebihan dapat menghabiskan waktu 40 sampai 80 jam perminggu, sedangkan hasil penelitian menunjukkan 3 jam perhari dikali seminggu didapatkan hasil 21 jam perminggu, hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah waktu perminggu di gunakan untuk media sosial, sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja di Kota Makassar memilki kecenderungan fear of missing out (FoMO).

Hal ini sejalan dengan Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Triani (2017) pada 309 remaja pengguna media sosial, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa harga diri terbukti tidak memiliki hubungan dan dapat memprediksi kecendrungan feaf of missing out (FoMO). Hal ini juga berdasarkan penelitian yang dilakukan Wicaksono dan Hadiyati (2019) ditemukan juga hasil dari uji linearitas bahwa hubungan antara harga diri dengan fear of missing out (FoMO) tidak linier, dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,082 dengan signifikansi 0.355 (p>0.05), hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan harga diri dengan fear of missing out (FoMO). Rendahnya harga diri bisa membuat remaja mengalami fear of missing out (FoMO), dikarenakan harga diri rendah

merupakan salah satu penyebab munculnya perasaan yang dikucilkan dari lingkungan sosial.

Berdasarkan dari hasil analisis deskriptif didapatkan hasil bahwa sebagian besar remaja yang mengalami fear of missing out (FoMO) berada pada kategori sedang. Hasil ini menunjukkan jika remaja cukup merasa khawatir dan juga kehilangan apabila remaja tersebut tidak terhubung dengan teman atau anggota kelompoknya, melalui media sosial Instagramnya remaja tersebut bisa melihat dan memantau kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan oleh teman-teman atau anggota kelompoknya. Keadaan seperti ini yang membuat remaja ingin terus menggunakan media sosial. Akan tetapi remaja yang mengalami fear of missing out (FoMO) pada kategori sedang, remaja terus masih bisa mengendalikan diri dalam menggunakan media sosialnya.

Remaja dalam menggunakan media sosial tidak hanya untuk agar terus terhubung dengan teman-temannya akan tetapi ada juga alasan – alasan lain, seperti mencari hiburan atau menonton video-video yang ada di media sosial, mencari informasi dan juga mencari berita-berita hal tersebut juga sesuai dengan yang temukan oleh Smock et al (2011).

Sedangkan hasil analisis deskriptif harga diri juga menunjukkan bahwa berada di kategorisasi sedang, hasil tersebut menunjukkan kalau sebagian besar remaja mengevaluasi dirinya dengan positif, bahwa remaja tersebut mampu dan bisa untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

Ketika remaja mengevaluasi dirinya secara negatif remaja tersebut akan merasa tidak berharga, tidak diperhatikan, merasa terkuncilkan. Remaja yang harga diri rendah tidak bisa bersosialisasi dengan baik secara sosial dan tidak dapat menyesuaikan diri (Tafarodi dan Swann, 2001).

Berdasarkan data yang diperoleh pada durasi menggunakan media sosial instagram perhari ditemukan hasil bahwa rata-rata berada pada tingkat sedang dan rendah, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Salim, Rahardjo, Tanaya, & Qurani, 2017) yang menyatakan bahwa tingkat fear of missing out pada remaja pengguna Instagram memilki tingkat sedang dan rendah, tandanya remaja pengguna Instagram merasa cukup khawatir jika kehilangan dan ketinggalan informasi dan tidak terhubung oleh temannya di Instagram.

Namun remaja yang mengalami fear of missing out (FoMO) cukup mampu mengatasi ketidakseimbangan dalam dirinya meskipun belum sempurna.

Menurut Przybylski et. Al (2013) individu yang mengalami fear of missing out (FoMO) yang tinggi akan selalu mencari informasi terbaru dan kemungkinan akan terus terlibat dalam menggunakan media sosialpun tinggi, bahkan ketika dalam kondisi berbahaya akan terus menggunakan media sosialnya. Individu dengan fear of missing out (FoMO) juga sering membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih baik, akibatnya dapat memicu atau meningkatkan gelaja depresi.

Sedangkan, pada variabel harga diri didapatkan hasil remaja dalam durasi menggunakan media sosial rata-rata berada pada kategori sedang dan rendah, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Ibrahim (2019) yang menyatakan bahwa hasil penelitiannya pengguna media sosial instagram juga berada pada kategori sedang dan rendah,hal ini menandakan bahwa sebagian remaja memiliki harga diri yang baik, sedangkan remaja yang memiliki harga diri yang rendah remaja tersebut akan kehilangan kepercayaan dirinya dan tidak mampu untuk menilai

kemampuannya, remaja tersebut tidak yakin dengan kemampuan yang dimilikinya. Individu dengan harga diri yang sehat akan menerima dirinya apa adanya.

Dokumen terkait