• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear of Missing Out (Fomo) Pada ... - Unibos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear of Missing Out (Fomo) Pada ... - Unibos"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH HARGA DIRI TERHADAP FEAR OF MISSING OUT (FOMO) PADA REMAJA PENGGUNA MEDIA SOSIAL INSTAGRAM

DI KOTA MAKASSAR

DIAJUKAN OLEH :

A.RINA SYAHRINA 4516091099

SKRIPSI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2021

(2)

i

PENGARUH HARGA DIRI TERHADAP FEAR OF MISSING OUT (FOMO) PADA REMAJA PENGGUNA MEDIA SOSIAL INSTAGRAM

DI KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

A.RINA SYAHRINA 4516091099

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2021

(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH HARGA DIRI TERHADAP FEAR OF MISSING OUT (FOMO) PADA REMAJA PENGGUNA MEDIA SOSIAL INSTAGRAM

DI KOTA MAKASSAR

Disusun dan diajukan oleh:

A.RINA SYAHRINA 4516091099

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi (S.Psi)

Mengetahui:

Pembimbing I

Minarni, S.Psi., M.A NIDN: 0910078104

Pembimbing II

Sitti Syawaliyah G, M.Psi., Psikolog NIDN: 0903078502

Mengetahui:

Dekan Fakultas Psikologi

Musawwir.,S.Psi.,M.Pd NIDN: 0927128501

Ketua Program Studi Fakultas Psikologi

Andi Muhammad Aditya S.M.Psi.,Psikolog NIDN: 0905118703

(4)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN HASIL PENELITIAN

PENGARUH HARGA DIRI TERHADAP FEAR OF MISSING OUT (FOMO) PADA REMAJA PENGGUNA MEDIA SOSIAL INSTAGRAM

DI KOTA MAKASSAR

Disusun dan diajukan oleh:

A.RINA SYAHRINA 4516091099

Telah disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian pada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar

Menyetujui:

Pembimbing I

Minarni, S.Psi., M.A NIDN: 0910078104

Pembimbing II

Sitti Syawaliyah G, M.Psi., Psikolog NIDN: 0903078502

Mengetahui,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar

Musawwir S.Psi.,M.Pd NIDN: 0927128501

(5)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN HASIL PENGUJI

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian Hasil Penelitian pada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar untuk dilaksanakan seminar ujian Hasil Penelitian sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi program strata (S1) Psikologi terhadap atas nama:

Nama : A. Rina Syahrina NIM : 4516091099 Program Studi : Psikologi

Judul : Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out Pada (FoMO) Remaja Pengguna Media Social Instagram Di Kota Makassar

Tim Penguji Tanda Tangan 1. Minarni, S.Psi., M.A ( )

2. Sitti Syawaliyah G, M.Psi., Psikolog ( )

3. Hasniar A.Radde, S.Psi., M.Si ( )

4. Sulasmi Sudirman S.Psi.,M.A ( )

Mengetahui,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar

Musawwir S.Psi.,M.Pd NIDN: 0927128501

(6)

v

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini asli dibuat sendiri oleh yang bersangkutan. Adapun seluruh referensi telah dikutip langsung sumbernya dengan cara yang sesuai dengan kaidah ilmiah. Begitupun dengan data-data penelitian yang diambil merupakan data asli dari responden tanpa rekayasa.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, saya bertanggung jawab secara moril sebagai instan akademik atas skripsi ini.

Makassar, 08 Maret 2021 Peneliti

A.Rina Syahrina 4516091099

(7)

vi

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah,segala puji Allah SWT dengan kemurahan dan ridho-Nya, skripsi ini dapat ditulis dan lancar hingga selesai. Maka dari itu akan kupersembahkan skripsi ini untuk Diriku sendiri, kedua orang tuaku dan kakak-kakakku tersayang,

serta dosen-dosen dan teman-temanku.

(8)

vii MOTTO

Usaha adalah sesuatu yang harus kamu lakukan untuk menuju kesuksesan.

Tak ada kata terlambat untuk kamu yang ingin terus berusaha di dalam hidup ini, yang ada hanya penyesalan jika kamu tidak melakukannya sebaik mungkin”

(Jungkook BTS)

“ We re on some path thats set since we re born, but I still believe we can cange some things. So I believe in my faith but I still dont believe in my fate”

(Bangtan Sonyeondan)

Work hard in silence, let success be your noise (Frank ocean)

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrahim, dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat dan karunia Allah pemilik semesta alam, peneliti akhirnya bisa menyelesaikan proses perkuliahan dan skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan pada waktunya. Tak lupa pula salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW karena telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang berpendidikan ini. Pada kesempatan ini peneliti juga mengucapkan banyak terima kasih :

1. Kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, Ettaku Andi Muh Nur dan Mamaku Andi Nurhayati yang telah membesarkan, mengasihi, menjaga dan selalu memberi dukungan baik secara moril maupun materil dan juga doa-doa yang selalu dipanjatkan untuk yang terbaik bagi anak- anaknya.

2. Kepada kakak-kakakku yang sangat saya sayangi Andi Syahrul, Andi Junisman, Andi Kadri, Andi Syahlan, Andi Sofyan, Andi Hasnidar, Andi Indah dan yang terakhir itu semua kakak-kakak iparku yang selalu memberikan dukungan secara moril maupun material.

3. Kepada Omku Andi Hasan yang selalu memberikan dukungan secara moril maupun material.

4. Kepada dosen pembimbing akademik, Ibu Sulasmi Sudirman, S.Psi, M.A yang telah mendidik, mengarahkan dan memberi perhatian kepada anak didiknya, sehingga peneliti bisa menyelesaikan studi pada waktunya.

5. Kepada dosen pembimbing, Bapak Andi Budhy Rakhmat M.Psi, Psikolog, Ibu Minarni, S.Psi, MA dan Ibu Syawaliah M.Psi, Psikolog yang telah

(10)

ix

6. bersabar dengan sepenuh hati membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan pada waktunya, semoga kebaikannya dibalas oleh Allah SWT.

7. Kepada dosen penguji, Ibu Hasniar, S.Psi, M.Si dan Ibu Sulasmi Sudirman, S.Psi, M.A yang telah membantu memperbaiki skripsi peneliti agar dapat menjadi lebih baik, sehingga lebih menambah pengetahuan.

Semoga kebaikannya di balas oleh Allah SWT.

8. Kepada Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Musawwir, S,Psi, M.Pd, Wakil Dekan I, Ibu Sri Hayati, M.Psi, Psikolog, Wakil Dekan II, Ibu Titin Florentina, M.Psi, dan Ketua Program Studi, Bapak Syahrul Alim, S.Psi., M.A, serta jajaran dosen yang saya hargai, Bapak Arie Gunawan HZ,M.Psi, Psikolog, Bapak Muh. Aditya, M.Psi, Psikolog, Ibu hikmah dan Ibu Aulia.

9. Kepada Staf Tata Usaha, Ibu Jerniati dan Ibu Irawati Pak Ahmad yang telah mengurus semua administrasi ujian peneliti.

10. Kepada Kak Magvirah Aulia S.Psi, dan Kak Dian S.Psi telah mengizinkan peneliti untuk menggunakan skala yang telah dibuat, semoga kebaikannya dibalas Allah SWT.

11. Kepada sahabat SMA peneliti, Tutut Clara Rusdy S, Rostini dan Nur salam yang selalu memberikan motivasi, semangat dan selalu ada jika peneliti mulai jenuh.

12. Kepada Abnormal yang selalu ada maaf telah merepotkan dan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk semuanya, Munawwarah S.Psi, Tri Dayanti Tamrin, Andi Anggreani Tenri Pada, Fatimah Nas, Rachmadanty S.Psi, Ayu Andira Safitri, Dan Yessi Christiani Rerung yang bersedia

(11)

x

selalu bantu peneliti jika memiliki kesultan semasa kuliah, dan memberikan support, tanpa kalian peneliti tidak bisa apa, terima kasih sudah mau menerima peneliti yang begitu banyak memiliki kekurangan, peneliti sangat senang mengenal kalian.

13. Kepada teman kos, Nuraeni Jawi S.pt dan Yusni Suryana yang selalu menemani begadang, mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, Memotivasi peneliti untuk mengerjakan tugas dan menyeselaikan studi, yang terakhir adikku tersayang Nurauliya yang selalu datang memberikan hiburan dan juga sudah membantu saya dalam menyebarkan skala penelitian saya terimakasih untuk teman- teman kos peneliti yang selalu ada.

14. Kepada teman seperjuangan kak Ayu Andira Syafitri, Yusni Suryana, Ulan Safitri, Chintya Mustika Rimbun, yuks kita pasti bisa selama belum menyerah berarti kita bisa menyeselesaikannnya.

15. Kepada teman-teman Psycholove C, Dian, Yusni, Mayang, Muna, Tr, Danty, Anggi, Ima, kak Ayu, Fina, Tya, Ocik, Marja, Ulan, Yessi, Yuni, Dilla, Riswandi, Rudy, Andri, Fandi, yang sudah menjadi bagian dari peneliti selama perkuliahan, semoga bisa bertumbuh bersama lagi menjadi lebih baik di pengalaman berikutnya.

16. Kepada adik-adik remaja di Kota Makassar yang sudah bermurah hati untuk mengisi skala peneliti.

17. Kepada BTS, Jin, Rm, Suga, Jhope, Jimin, V, Jungkook, terkhusus Kim Taehyung (V) yang selalu menjadi hiburan, penyemangat dan membangkitkan mood peneliti di saat mulai jenuh, terima kasih sudah membuat konten-konten yang membangkitkan mood peneliti

(12)

xi

18. Kepada diriku sendiri yang sudah bertahan dan mau berjuang sampai saat ini.

Makassar, Maret 2021 Yang Menyatakan,

A.Rina Syahrina 4516091099

(13)

xii ABSTRAK

Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out (Fomo) Pada Remaja Pengguna Media Social Instagram Di Kota Makassar

A.Rina Syahrina 4516091099

Fakultas Psikologi_Universitas Bosowa rhynasyahrina@gmail.com

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah harga diri memberikan pengaruh terhadap fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna media social Instagram di Kota Makassar. Penelitian ini dilakukan pada 410 remaja yang berusia 12-17 tahun di Kota Makassar. Instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua. Yaitu skala harga diri yang di adaptasi oleh Magvirah Aulia (2019) sesuai dengan aspek Coopersmith (1981).

Sedangkan skala fear of missing out (FoMO) yang di adaptasi oleh Dian Pratiwi (2020) sesuai dengan aspek Wegman et,.al (2017). Data analisis menggunakan Teknik regresi sederhana. Hasil uji hipotesis yang di dapatkan yaitu harga diri tidak memberikan pengaruh terhadap fear of missing out (FoMO) dengan nilai sigifikan yang di dapatkan sebesar 0.069p > 0.05 yang menunjukkan tidak ada pengaruh. Dengan itu peneliti berasumsi bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi variable fear of missing out (FoMO)

Kata Kunci : Harga diri, Fear of missing out (FoMO), Remaja, Instagram

(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN HASIL PENELITIAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN HASIL PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

1. Manfaat Teoritis ... 14

2. Manfaat Praktis ... 14

BAB II TUJUAN PUSTAKA A. Fear Of Missing Out (FoMO) ... 16

1. Definisi Fear Of Missing Out (FoMO) ... 16

2. Aspek-Aspek Fear Of Missing Out (FoMO) ... 19

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Fear Of Missing Out (FoMO)…. ... 20

4. Dampak Fear Of Missing Out (FoMO) ... 22

5. Pengukuran Fear Of Missing Out (FoMO) ... 24

(15)

xiv

B. Harga Diri ... 24

1. Definisi Harga Diri ... 24

2. Aspek-aspek harga diri ... 28

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri... 29

4. Pengukuran ... 29

C. Remaja ... 30

1. Definisi Remaja ... 30

2. Ciri-Ciri Perkembangan Remaja ... 31

D. Instagram ... 33

1. Definisi Instagram ... 33

2. Fitur-Fitur Instagram ... 34

E. Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassa ... … 36

F. Kerangka Pikir ... 38

G. Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 40

B. Variabel Penelitian ... 40

C. Definisi Variabel ... 41

1. Definisi Teoritis ... 41

2. Definisi Operasionel ... 42

D. Populasi dan Sampel ... 42

1. Populasi ... 42

2. Sampel ... 42

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 43

E. Teknik Pengumpulan Data ... 44

(16)

xv

1. Skala Fear of missing out (FoMO) ... 44

2. Skala Harga diri ... 45

F. Uji Instrumen ... 46

1. Uji Validitas ... 46

2. Uji Reliabilitas ... 50

G. Teknik Analisis Data ... 51

1. Analisis Deskriptif ... 51

2. Uji Asumsi ... 51

3. Uji Hipotesis ... 53

H. Jadwal Penelitian ... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis ... 55

1. Deskriptif Subjek Berdasarkan Demografi ... 55

2. Deskriptif Variabel Berdasarkan Tingkat Skor ... 60

3. Deskriptif Variabel Berdasarkan Demografi ... 64

4. Hasil Uji Asumsi ... 92

5. Hasil Uji Hipotesis ... 93

B. Pembahasan ... 96

1. Gambaran Harga Diri Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassar ... 96

2. Gambaran Fear Of Missing Out (Fomo) Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassar ... 101

3. Pengaruh Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out (Fomo) Pada Remaja Pengguna Media Sosial Instagram Di Kota Makassar ... 104

C. Limitasi ... 108

(17)

xvi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 109 B. Saran ... 110 DAFTAR PUSTAKA ... 112

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blueprint skala fear of missing out (FoMO) ... 45

Tabel 3.2 Blueprint harga diri ... 46

Tabel 3.3 Blueprint skala harga diri setelah dilakukan uji coba ... 49

Tabel 3.4 Blueprint skala fear of missing out (FoMO) ... 50

Tabel 3.5 Blueprint Reliabilitas skala harga diri ... 51

Tabel 3.6 Blueprint Reliablitas skala fear of missing out (FoMO) ... 51

Table 3.7 Jadwal Penelitian... 54

Tabel 4.1 Kategorisasi Skor ... 60

Tabel 4.2 Hasil Analisis Harga Diri ... 60

Tabel 4.3 Kategorisasi Harga Diri ... 61

Tabel 4.4 Hasil analisis fear of missing out (FoMO) ... 62

Tabel 4.5 Kategorisasi fear of missing out (FoMO) ... 63

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas ... 92

Tabel 4.7 Hasil Uji Linearitas ... 93

Tabel 4.8 Pengaruh Harga Diri terhadap Fear of missing out (FoMO) ... 94

Tabel 4.9 Koefisien Tipe Harga Diri terhadap Fear of missing out (FoMO) ... 95

(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pikir ... 38

Gambar 4.1 Diagram Responden berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

Gambar 4.2 Diagram Responden berdasarkan Usia ... 56

Gambar 4.3 Diagram Responden berdasarkan Asal Sekolah ... 56

Gambar 4.4 Diagram Responden berdasarkan Kelas ... 57

Gambar 4.5 Diagram Responden berdasarkan Suku ... 58

Gambar 4.6 Diagram Responden berdasarkan Uang Jajan Perbulan ... 58

Gambar 4.7 Diagram Responden berdasarkan Uang Kouta ... 59

Gambar 4.8 Diagram Responden berdasarkan Durasi menggunakan media sosial Instagram perhari ... 59

Gambar 4.9 Diagram harga diri berdasarkan kategorisasi ... 61

Gambar 4.10 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan kategorisasi ... 63

Gambar 4.11 Diagram harga diri berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

Gambar 4.12 Diagram harga diri berdasarkan Usia ... 65

Gambar 4.13 Diagram harga diri berdasarkan Asal Sekolah ... 67

Gambar 4.14 Diagram harga diri berdasarkan Suku ... 69

Gambar 4.15 Diagram harga diri berdasarkan Uang Jajan Perbulan ... 71

Gambar 4.16 Diagram harga diri berdasarkan Uang kouta... 72

Gambar 4.17 Diagram harga diri berdasarkan Durasi Menggunakan Media Sosial Instagram ... 74

Gambar 4.18 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Jenis Kelamin ... 75

(20)

xix

Gambar 4.19 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Usia ... 77 Gambar 4.20 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Asal

Sekolah ... 78 Gambar 4.21 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Suku ... 80 Gambar 4.22 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Uang Jajan

Perbulan ... 82 Gambar 4.23 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Uang Kouta 85 Gambar 4.24 Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Durasi

Menggunakan Media Sosial Instagram ... 87 Gambar 4.25 Diagram Fear Of Missing Out (FoMO) berdasarkan Jumlah

Uang Kouta Perbulan ... 88 Gambar 4.26 Diagram Fear Of Missing Out (FoMO) berdasarkan Durasi

Menggunakan Media ... 90

(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh Item Pada Skala Peneliti ... 118

Lampiran 2 Input Data ... 121

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Uji Validitas ... 125

Lampiran 4 Hasil Analisis Desriptif Responden ... 133

Lampiran 5 Hasil Analisis Desriptif Variabel ... 137

Lampiran 6 Hasil Analisis Desriptif Variabel Berdasarkan Demografi ... 139

Lampiran 7 Hasil Uji Asumsi ... 147

Lampiran 8 Hasil Uji Hipotesis ... 149

(22)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era digital sekarang ini pertumbuhan dan perkembangan teknologi semakin pesat. Melalui kemajuan teknologi pola komunikasi yang awal mulanya berjalan searah tumbuh menjadi pola komunikasi yang interaktif.

Penikmat media tidak hanya menikmati konten yang disajikan melainkan sanggup mengisi konten di media sosial lewat koneksi internet yang ada.

Kemajuan media yang luar biasa ini sudah mempengaruhi kehidupan serta sikap manusia (Watie, 2011). Teknologi sekarang merupakan perihal yang tidak dapat kita jauhi didalam kehidupan saat ini, yang mempunyai teknologi yang sangat canggih serta terus berlanjut sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

We are Social (2018) menyatakan dizaman yang sekarang ini hampir semua kalangan menggunakan media sosial. Media sosial memiliki banyak fungsi seperti dengan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, seperti halnya dengan ketika berkumpul dengan teman-teman terkadang mereka sibuk dengan handphonenya masing-masing. Parker & Solis (2008) menyatakan media sosial merupakan sarana untuk berinteraksi orang-orang satu sama lain dengan cara bertukar informasi atau berbagi gagasan melalui gambar, video, dan kata-kata.

Di Indonesia sering berjalannya waktu kemajuan teknologi ditandai dengan tingginya pengguna internet yang penggunanya selalu. Melalui survey yang di luncurkan di tahun 2018 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2017 pengguna internet di Indonesia

(23)

mencapai 143, 26 juta jiwa atau setara 54,7 persen dari total populasi di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia telah mengenal dunia digital dan menggunakan internet secara aktif dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu situs yang sangat diminati serta selalu di akses oleh pengguna internet adalah situs media sosial.

Young (2011) yang mengatakan bahwa yang bisa diklasifikasikan sebagai penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menghabiskan waktu 40 sampai 80 jam perminggu. Sedangkan Dari data We are social Hootsuite (2019) menunjukkan bahwa jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia pada januari 2019 meningkat tajam dengan jumlah 130 juta pengguna atau sama dengan 48% dari populasi masyarakat Indonesia. Data ini meningkat 20% dari data sebelumnya dan pengguna media sosial berjumlah 150 juta jiwa atau sekitar 56% dari jumlah penduduk Indonesia.

Media sosial yang menyita perhatian pengguna internet dikarenakan dengan menggunakan media sosial penggunanya dengan mudah membagikan foto, video ataupun bercerita kepada orang lain secara online.

Media sosial juga memudahkan seseorang untuk selalu terhubung dengan orang lain di belahan dunia manapun. Media sosial yang paling populer digunakan oleh kalangan muda di Indonesia saat ini ialah Instagram.

Berdasarkan berita dari liputan 6 Pada bulan oktober 2010 lalu Instagram menerapakan fitur berbagi foto yang bisa membuat pengguna mengambil foto menggunakan filter digital. Dari data kompas.com (2015) pada tahun 2014 instagram telah memiliki 300 juta pengguna, yang mana telah melampaui penggunaan twitter. Pada tahun 2020, menurut data yang dirilis Januari hingga Mei 2020, jumlah pengguna Instagram di Indonesia mencapai

(24)

69,2 juta (69.270.000) pengguna. Pencapaian itu merupakan peningkatan dari bulan ke bulan atas penggunaan fitur berbagi foto tersebut.

Aplikasi Instagram memungkinkan penggunanya untuk mengekpresikan diri dan berinteraksi dengan orang lain terutama melalui berbagai foto/video.

Jejaring sosial ini berbeda dari situs media sosial yang lainnya karena mudah untuk orang mengakses dan meninggalkan komentar melalui foto yang diunggah oleh penggunannya, dengan membagikan foto di Instagram pengguna dapat mengekspresikan diri serta memberikan kesan yang sempurna kepada orang lain dengan cara melakukan sesuatu sebaik mungkin terlihat sempurna.

Hasil studi Royal Socienty for Public Health (2017) pada 1.500 remaja di inggris menyatakan jika instragram adalah media sosial yang tidak baik untuk kesehatan mental dan kesejahteraan, dikarenakan Instagram menunjukkan gambar untuk memberikan dorongan perasaan dewasa, remaja yang pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak stabil akan perilaku dan mental dari situ remaja tersebut mengetahui hal-hal baru. Remaja mengakses media sosial Instagram agar bisa mencari informasi, menambah banyak teman, tidak ketinggalan tren, ingin terlihat dan membagikan kegiatan yang dilakukan melalui media sosial (Mahendra, 2017).

Selama periode ini, anak mengalami tumbuh kembang dan perkembangan secara psikologis. Mereka bukan hanya mengalami pertumbuhan fisik, perilaku, atau mental anak-anak, tetapi saat ini mereka belum dewasa (Darajat, 1990). Usia remaja yang umum digunakan oleh para peneliti yaitu antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja biasanya dibedakan tiga bagian yaitu, 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 adalah masa

(25)

remaja akhir (Desmita, 2009). Remaja mempunyai salah satu tugas perkembangan yang penting untuk dipenuhi yaitu tercapainya hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan (Hurlock, 1990). Karena anak muda perlu disukai dan diterima oleh teman sebaya atau kelompok.

Oleh karena itu, anak muda lebih tertarik pada hal-hal yang dapat membantu mereka diterima dalam kelompok dan mendapatkan harga diri dari teman sebaya dan kelompoknya (Santrock, Marsden, Campbell, dan Haythornthwaite dalam Mesch, 2010). Survey dari Australian Psychological Society APS (2015) yang menyatakan bahwa remaja mengakses media sosial mereka sebanyak 5 kali atau lebih per-hari. Melalui media sosial, remaja menghabiskan lebih banyak waktunya untuk melakukan pengecekan, merefresh ataupun menggunakan media sosial, bahkan ketika mereka akan tidur, mengemudi, makan, berjalan kaki, dan ketika mengikuti kelas mereka tetap mengakses media sosial. Remaja yang tidak mendapatkan informasi dalam media sosial yang digunakan dapat memunculkan perasaan takut dan khawatir (Abel, Cheryl & Sarah, 2016).

Individu yang mengalami keadaan tersebut akan jatuh pada keadaan psikologis yang disebut dengan fear of missing out (FoMO) yang dicirikan adanya keinginan untuk tetap terhubung dengan orang teman atau kelompok melalui media sosial (Przybylski, 2013). Dalam penelitian JWT Intelligence (2011) menyatakan fear of missing out (FoMO) merupakan perasaan gelisah dan takut ketinggalan akan suatu momen berharga yang dilakukan teman ataupun kelompok sebaya mereka pada saat mereka membagikan postingan di media sosial. Sehingga memunculkan perasaan khawatir jika melewatkan berita tren yang ada dimedia sosial.

(26)

Dimana Fenomena tersebut terjadi saat ini, yaitu para remaja dengan mudah saja mengakses untuk mengetahui semua informasi/berita yang lagi trending dan mengetahui kegiatan apa yang dilakukan oleh teman sebayanya melalui media sosial. Fenomena ini didukung dari hasil wawancara, berdasarkan dari pengambilan data awal yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap enambelas subjek yang ada dikota Makassar. Hasil wawancara menunjukkan dari enambelas subjek menyatakan bahwa mereka menggunakan media sosial Instagram selama berjam-jam. Sembilan dari enambelas subjek menyatakan bahwa apabila tidak menggunakan media sosial Instagram itu akan membuat subjek merasa khawatir dan takut ketinggalan akan informasi/berita dan kegiatan yang menyenangkan yang dilakukan oleh teman sebayanya di media sosial instagram.

lima dari enambelas subjek menyatakan bahwa jika subjek ketinggalan mengenai informasi yang ada dimedia sosial instagram, subjek akan merasa bahwa dirinya kurang update dan ketinggalan terhadap suatu berita atau trend. Apabila subjek ketinggalan informasi mereka akan mencari tau kembali informasi tersebut melalui teman dan menelusuri kembali media sosial mereka. Dua dari enambelas subjek lainnya merasa aneh jika mereka tidak membuka media sosial dalam satu hari dikarenakan melalui media sosial mereka bisa mencari tau informasi apa yang sedang trending dan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-temannya, serta mencari tau update terbaru dari artis-artis yang mereka sukai. Subjek yang ketinggalan informasi/berita dari teman-temannya yang mengalami pengalaman yang berharga, merasa tersaingi dan tidak menerima ketika temannya lebih up date dan lebih memiliki pengalaman yang berharga dibandingkan dengan dirinya.

(27)

Tujuh dari enambelas subjek juga mengatakan bahwa mereka selalu memegang handphonenya untuk mengecek beberapa kali media sosialnya, apabila subjek tidak mengecek apa yang terjadi dimedia sosialnya, subjek akan merasa penasaran sehingga subjek selalu ingin terhubung. Apabila subjek tidak terhubung dengan media sosial mereka merasa khawatir dan takut apabila tidak mengetahui informasi/berita apa yang terjadi dimedia sosialnya dan kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan oleh temannya, karena dengan media sosial Instagram yang subjek gunakan sekarang bisa memantau apa yang dilakukan oleh teman atau kelompok sebanyaknya.

Hasil wawancara berdasarkan dengan waktu penggunaan media sosial perhari, enam dari enambelas subjek mengatakan bahwa rata-rata waktu yang mereka habiskan untuk bermain media sosial ialah kurang lebih 10 jam perhari. Sedang 5 dari enambelas subjek mengatakan bahwa rata-rata penggunaan media sosial Instagram yang digunakan perhari itu paling lama 7 perhari. Kemudian lebih dari subjek lainnya juga mengatakan bawah rata-rata jam penggunaan media sosialnya itu hanya 5 jam perhari.

Adapun dampak yang dirasakan dari ke enambelas subjek apabila terlalu sering menggunakan media sosial instagram, subjek menunda-nunda tugas sekolah, menunda pekerjaan rumah, lupa waktu karena terlalu faokus dengan media sosialnya, lupa makan, tidak mandi, begadang sampai subuh, menggunakan kata-kata kasar, disaat belajar online subjek membuka media sosial untuk update story dimedia sosialnya untuk memperlihatkan kegiatan yang dilakukan pada saat itu, mencari perhatian orang lain, melalui media sosial subjek terpengaruh untuk membeli barang-barang baru yang banyak digunakan oleh orang lain. Jika mengerjakan tugas muda tergoda untuk bermain media sosial, selalu memperhatikan handphone dan membuka

(28)

media sosial walaupun tidak ada pemberitahuan atau chat yang masuk di media sosialnya.

Menurut pendapat Florencia (2019) mengatakan ada beberapa dampak negatif dari fear of missing out (FoMO) yaitu membuat prestasi menurun, dikarenakan anak remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain media sosia. Pada saat belajarpun remaja menggunakan media sosial sehingga mereka mejadi kurang konsentrasi. Selanjutnya itu menyebabkan gangguan tidur, dikarenakan waktu yang digunakan untuk beristirahat di malam hari malahan digunakan untuk bermain media sosial, sehingga membuat individu kurang tidur. Dan yang terakhir itu kecanduan, individu yang menggunakan media sosial secara berlebihan membuat mereka akan sulit lepas dari godaan untuk terus aktif menggunakan media sosialnya.

Berdasarkan dari berita yang didapatkan peneliti di Tribunnews, pada tahun 2019 sosial pengamat menyebutkan 68 % Millennial Indonesia Terjangkit FOMO. FoMO dicirikan dengan terdapatnya kemauan yang tidak bisa dikontrol yang membuat remaja ingin terus terhubung dengan kegiatan yang dilakukan oleh teman atau kelompok sebayanya, remaja yang mengalami FoMO merasakan perasaan khawatir, serta takut kalau mereka tidak mengakses media sosial. Hal tersebut dikarenakan relasi yang terjadi di media sosial merupakan hal yang sangat berarti menurutnya. Keadaan semacam ini membuat remaja cenderung melakukan aksi berulang yang eksesif dalam mengakses media sosial (Wiesner, Rompay, & Jong, 2017).

Survey yang dilakukan oleh Global Web Index pada tahun 2014 melaporkan bahwa dari 27. 4 juta pengguna internet di Indonesia, kelompok umur 13-33 tahun merupakan kelompok usia yang mempunyai efek paling

(29)

tinggi terhadap FoMO. Survey ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Jones (2014) yang melaporkan bahwa dari 7, 4% individu yang tidak terhubung dengan internet, sebanyak 25,8% merasa tidak lengkap ataupun tertinggal serta 25,8% mengalami tekanan pikiran. Hal tersebut membuat mereka wajib meletakkan ponsel tidak jauh dari genggam mereka untuk merespons ataupun menjawab pada saat sahabat ataupun keluarga menghubungi.

Media sosial telah menciptakan tempat yang mudah diakses dan pusat bagi orang-orang yang ingin mencari tahu apa yang dilakukan orang lain pada saat itu dan menemukan bahwa orang-orang memiliki perasaan negatif ketika menggunakan media sosial karena mereka melihat kehidupan yang tampaknya sempurna dari teman-teman mereka. Orang yang pernah mengalami FoMO lebih cenderung menggunakan situs media sosial karena mereka percaya bahwa mereka perlu tetap berhubungan setiap saat.

Sebelum media sosial dan ponsel muncul, orang dulunya hanya tahu apa yang dilakukan oleh teman-teman mereka pada saat bersama mereka.

Namun saat ini, orang dapat mencari apa yang mereka lewatkan hanya dengan satu klik. Selain itu, survei terhadap 900 partisipan di Singapura dan Amerika Serikat dilakukan untuk memahami sikap mereka terhadap penggunaan media sosial. Alhasil, 684 peserta mengaku merasa tertinggal saat tidak mengecek akun media sosialnya. Hal ini berarti 72% partisipan mengalami FoMO sebagai akibat dari penggunaan media sosial.

Salah satu motif yang mendasari pengguna menggunakan media sosial adalah kebutuhan berelasi (Beyens, Nadkarni & Hofmann, 2012). Tuntutan ini didasarkan pada konsep bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga perlu menjalin hubungan dengan sesama (Baumester & Leary, 1995). Media

(30)

sosial menyediakan fasilitas bagi penggunanya untuk memenuhi kebutuhan berelasi melalui proses komunikasi dengan teman lama, menemukan kenalan baru, mencari infomas/berita terbaru, Kebutuhan dasar yang tidak terpuaskan ditandai dengan adanya perasaan kecemasan akibat dari buruknya kualitas hubungan yang dimilikinya hingga mem- buat individu berusaha untuk mengatasinya dengan lebih banyak menghabiskan waktu secara online (Ellison & Boyd, 2013).

Hato (2013) dalam tesisnya menyatakan kalau remaja senantiasa ingin berbicara dengan kelompok ataupun teman sebaya, ketika individu-individu tersebut tidak bertemu satu sama lain secara langsung mereka memakai handphone untuk berbicara dengan orang- orang yang bagi mereka berarti secara terus menerus. Hal ini bertujuan supaya komunikasi mereka tidak terputus serta memperoleh akses dengan cepat dan menggunakan fitur baru yang terdapat pada handphone serta layanan yang ada internet. Kemudahan koneksi yang diberikan kapan pun serta dimana pun, menimbulkan kebutuhan buat terus tersambung dengan internet.

Hasil riset yang dilakukan oleh Rosen (2012) membuktikan kalau remaja yang memakai internet pada handphonenya nyaris digunakannya setiap saat.

Remaja kurang mampu bertahan tanpa mengakses media sosial sedetik pun, sebab khawatir akan ketinggalan momen ataupun peristiwa tertentu. Oleh sebab itu, mereka akan cenderung terus-menerus mengecek media sosialnya sesering mungkin (Hato, 2013). Cellan (2010) menyatakan bahwa remaja yang mempunyai kekhawatiran hendak akan ketinggalan informasi, tidak bisa bertahan bila keluar rumah tanpa handphone.

(31)

Beyens, Nadkarni & Hofmann, (2012) menyatakan dalam satu kelompok siswa tidak diperbolehkan untuk menggunakan teknologi untuk berhubungan dengan orang lain selama seminggu. Hasilnya mereka merasa takut dan cemas sebab mereka akan ketinggalan informasi yang penting dan yang berarti. Salah satu motif yang mendasari pemakaian media sosial merupakan kebutuhan berelasi Kebutuhan didasarkan akan konsep bahwa manusia merupakan makhluk sosial, yang mempunyai keinginan untuk menjalin kedekatan dengan orang lain (Baumester & Leary, 1995). Media sosial menyediakan sarana untuk penggunanya buat penuhi kebutuhan berelasi lewat proses komunikasi dengan sahabat lama serta menciptakan kenalan baru (Ellison & Boyd, 2013).

Parker (dalam JWT Intelligence, 2011) menyatakan bahwa fear of missing out (FoMO) menyajikan pengalaman berbagi, dan semua. Orang merasa malu jika mengalami FoMO, sehingga tidak ada yang mau mengakui bahwa mereka memiliki FoMO. Namun, hidup dalam masyarakat saat ini, kecuali Anda berada dalam peradaban asing, hampir tidak mungkin untuk tidak mengalami FoMO. Bagi individu, aspek motivasi yang berarti adalah harga diri (Meskauskiene, 2013). Maka perkara harga diri bisa membuat individu mengalami FoMO. Harga diri didefinisikan sejauh mana orang menghargai diri mereka sendiri disaat mereka melakukan penilaian akan dirinya (Baumeister dkk 2003).

Berdasarkan dari data awal atau wawancara yang peneliti lakukan dua dari duabelas subjek menyatakan bahwa subjek merasa tersaingi tidak menerima ketika temannya lebih mengetahui informasi atau berita tren yang terjadi subjek merasa diremahkan oleh temannya apabila subjek ketinggalan akan informasi/berita terbaru, subjek akan menilai dirinya dengan temannya

(32)

karena subjek merasa tersaingi karena ketinggalan informasi, subjek akan membuktikan dirinya dan temannya bahwa subjek lebih bisa dibandingan dengan temannya, dengan mencari tau informasi dengan menghubungi teman-temannya atau langsung menanyakan secara langsung. Subjek satunya selalu update, jika nantinya teman-teman subjek membicarakan informasi/berita tren subjek bisa berkomunikasi dengannya temannya secara nyaman dan nyambung.

Enam dari duabelas subjek mengatakan bahwa subjek terkadang tidak mampu mengontrol perilaku dalam menggunakan media sosial instagram, karena dengan menggunakan media sosial subjek bisa mengetahui informasi/berita trending yang dimedia sosialnya, selain itu subjek juga mengatakan ketika subjek bermain media sosial Instagram berjam-jam subjek tidak memperdulikan lingkungan sekitar dan hanya memusatkan perhatiannya pada media sosial instagramnya. Empat dari duabelas subjek menyatakan selama bermain media sosial Instagram, kemampuan subjek dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah tidak mampu terselesaikan sedangkan pekerjaan rumah sering terabaikan dikarenakan subjek hanya fokus dengan media sosial instagramnya.

Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukkan harga diri sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya fear of missing out (FoMO). Hal ini sesuai dengan pendapat Khalek & Abdel (2016) yang menyebut bahwa harga diri pada individu secara subjektif berfungsi sebagai

"pengukur atau indikator psikologis" yang memantau reaksi orang lain terhadap individu. Oleh karena itu, dalam penggunaan media sosial oleh individu dengan harga diri rendah cenderung akan terus memantau dan khawatir atas respons orang lain ataupun kabar terbaru yang muncul serta

(33)

menghapus semua jika nantinya ada respons yang tidak menyenangkan (Dewi & Prawesti, 2016). Karena individu dengan harga diri rendah hanya pencari pengagum dalam rangka meningkatkan harga dirinya (Brandon, 1992). Sehingga setiap informasi yang masuk melalui akses media sosial mengarah pada proses penilaian diri pribadi orang lain melalui berita terbaru yang diunggah.

Individu yang mengalami FoMO akan merasakan kecemasan, dan harga diri yang baik dapat meningkatkan ego individu untuk mengatasi kecemasan yang dirasakannya (Leary dkk 2015). Oleh sebab itu, dalam pemakaian media sosial oleh orang dengan harga diri rendah cenderung akan terus memantau serta takut atas reaksi orang lain maupun berita terkini yang timbul (Dewi&Prawesti, 2016). Dampaknya, masing- masing data yang masuk oleh akses terhadap media sosial menimbulkan terbentuknya proses evaluasi diri orang atas orang lain lewat kabar- kabar terkini yang sudah diunggah oleh orang lain (Brandon, 1992)

Riset ini membuktikan hasil, bahwa orang dengan harga diri rendah lebih cenderung memakai media sosial lebih sering (Barker dkk 2009) didukung dengan riset Zywica & Danowski ( 2008) yang mengatakan kalau orang yang mempunyai tingkatan harga diri rendah teruji lebih banyak memakai media sosial bagaikan kompensasi sosial buat tingkatkan harga dirinya, begitu pula pada orang yang mempunyai tingkatan harga diri besar membuktikan kenaikan pemakaian media sosial dalam rangka buat mempertahankan serta melindungi harga dirinya.

Triani (2017) melakukan penelitian terhadap 309 remaja pengguna media sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri terbukti berhubungan dan dapat memprediksi FoMO. Selain itu, penelitian

(34)

longitudinal telah membuktikan bahwa harga diri merupakan prediktor penting dari munculnya FoMO pada remaja (Buglass et al. 2017). Terjadinya penurunan harga diri diasosiasikan dengan peningkatan FoMO (Buglass dkk, 2017). Individu yang mengalami penurunan harga diri akan menciptakan perasaan dikucilkan, ragu-ragu dan percaya bahwa ia ditinggalkan serta kehilangan sesuatu dan mendorong meningkatnya FoMO (Richter, 2018).

Berdasarkan dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tinggi atau rendahnya harga diri mempengaruhi kecendrungan FoMO seseorang, akan tetapi belum ada penelitian sebelumnya yang melihat secara spesifik bagaimana harga dir mempengaruhi FoMO. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh harga diri terhadap fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna media sosial Instagram di Kota Makassar”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat di rumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh harga diri terhadap fear of missing out (fomo) pada remaja pengguna media sosial Instagram yang ada di kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui “Pengaruh harga diri terhadap fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna media sosial instagram yang ada di kota Makassar”

(35)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memperluas pengetahuan dibidang psikologi dan juga sebagai referensi penelitian mengenai Pengaruh harga diri terhadap fear of missing out (fomo) pada remaja pengguna media sosial Instagram yang ada di kota Makassar dan ini juga dapat memberikan sumbangsi bagi perkembangan ilmu psikologi 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada:

a. Remaja dan Khalayak Umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada khalayak umum terutama remaja mengenai pengaruh harga diri terhadap fear of missing out pada remaja pengguna media sosial instagram, sehingga remaja dapat menjadi lebih peduli dan mengendalikan diri agar tidak sampai mengalami FoMO dan terlibat dalam penggunaan media sosial yang berlebihan.

b. Praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada praktisiseperti Psikolog, Konselor dan lainnya dalam memahami fenomena FoMO yang terjadi pada remaja saat ini, bagaimana pengaruh harga diri terhadap fear of missing out. Harapannya praktisi dapat mempertimbangkan berbagai metode yang mungkin dapat diberikan untuk membantu remaja

c. Peneliti

Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengaruh harga diri

(36)

terhadap fear of missing out pada remaja pengguna media sosial instagram, dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

(37)

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fear of Missing Out (FoMO)

1. Definisi Fear of Missing Out (FoMO)

Turkle dalam Przybylski et al (2013) menyatakan kemajuan teknologi komunikasi dan membawa dampak positif maupun negatif. Seseorang yang terdampat dengan teknologi akan selalu berusaha untuk berkomunikasi dan terhubung melalui teknologi tersebut sehingga seringkali mengganggu pengalaman sosial yang secara nyata sedang terjadi. Kecenderungan seseorang untuk berusaha selalu terhubung karena takut akan kehilangan momen disebut fear of missing out (FoMO).

Menurut Przybylski et al. (2013), FoMO adalah kecemasan yang dialami ketika teman atau kelompok teman sebaya telah mengalami pengalaman berharga tetapi individu tidak. FoMO ditandai dengan keinginan untuk tetap berhubungan dengan tindakan orang lain melalui media sosial. Definisi lainnya adalah FoMO selalu merasa cemas akan ditinggalkan atau kehilangan suatu momen berharga. Orang yang pernah mengalami FoMO tidak akan terlalu memahami momen apa yang hilang, tetapi ketika orang lain memiliki momen berharga, mereka akan merasa khawatir (JWT Intelligence, 2012).

Hodkinson & Poropat (2014) menyatakan bahwa fear of missing out (FoMO) atau takut kehilangan sebagai ketakutan individu akan ditinggalkan dan kehilangan momen yang dialami seseorang. Dalam Kamus Oxford, ketakutan akan hilang diartikan sebagai kecemasan tentang peristiwa menarik atau hal-hal menarik yang terjadi di tempat lain.

(38)

Fear of missing out (FoMO) yang dialami oleh sesuatu yang ada di media sosial seseorang merupakan sindrom masyarakat modern yang selalu terobsesi untuk tetap terhubung dengan media sosial.

Alt dan Boniel-Nissim (2018) mendefinisikan fear of missing out (FoMO) sebagai kecemasan, di mana seseorang memaksa dirinya untuk khawatir akan kehilangan kesempatan untuk interaksi sosial, momen berharga, atau peristiwa memuaskan lainnya. Orang yang paling mungkin melewatkan media sosial akan secara aktif mencari peluang untuk berpartisipasi di media sosial (Przybylski et al., 2013). fear of missing out (FoMO) dapat menyebabkan ketergantungan orang pada media sosial karena mereka khawatir bahwa individu yang tidak dapat terhubung ke Internet akan mengembangkan kebiasaan dan mengembangkan kecanduan dari waktu ke waktu (Griffith & Kuss, 2017).

Wortham (2011) menyatakan FoMO mungkin merupakan sumber perasaan negatif atau perasaan depresi karena dapat melemahkan perasaan bahwa seseorang telah membuat keputusan terbaik dalam hidupnya. FoMO merupakan perasaan tidak nyaman dan kadang-kadang membuat perasaan bahwa anda kehilangan. Lebih lanjut, media sosial membuat orang menyadari hal-hal yang mungkin tidak mereka ketahui.

Hal ini dapat memicu keinginan untuk berpartisipasi dalam diri seseorang.

Oxford (2013).

Fear of Missing Out (FoMO) didefinisikan sebagai kecemasan akan adanya peristiwa menarik yang terjadi di tempat lain, di mana kecemasan ini terstimulasi oleh hal-hal yang ditulis di dalam media sosial seseorang.

FoMO merupakan bentuk perkembangan kecemasan sosial baru yang

(39)

muncul karena perkembangan media sosial (JWT Intelligence, 2013).

Kecemasan sosial adalah hal yang dianggap lumrah dan setidaknya individu pernah mengalaminya. Namun tindakan strategi koping yang salah pada individu menyebabkan kecemasan sosial berkembang menjadi fobia sosial dan akan menetap dalam individu (Ruscio, Brown, 2008).

Menurut Griffith dan Kuss (2017), fear of missing out (FoMO) dapat meningkatkan kecanduan media sosial. Dikarenakan ketakutan bahwa individu yang tidak dapat terhubung ke jaringan mereka dapat mengembangkan kebiasaan untuk terus aktif dimedia sosial, dan seiring waktu, mereka akan mengembangkan kecanduan. Menurut Young (2017) faktor psikologis risiko kecanduan internet, ketika menghadapi emosi atau situasi yang tidak menyenangkan, perilaku kompulsif merupakan dasar dari perilaku adiktif.

Menurut Przybylski, dkk (dalam Dossey, 2014) mengemukakan fakta tentang Fear of Missing Out (FoMO), salah satunya ialah kekuatan seseorang dalam menggunakan internet khususnya media sosial, tingkat tertinggi FoMO lebih rentan dialami remaja dan dewasa awal. Pengguna media sosial menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan dan juga mendapatkan dorongan didalam dirinya, sehingga penggunaan media sosial dianggap sebagi tempat untuk bisa mendapatkan pengalaman-pengalaman yang positif dan menghindari masalah (Wegman, et., al,.2017)

Berdasarkan penjelasan diatas yang telah di paparkan dapat di simpulkan bahwa fear of missing out (FoMO) adalah khawatir dan

(40)

ketakutan yang muncul ketika teman-teman atau kelompok sebaya mendaptakan pengalaman-pengalam yang menyenakan, maka dari muncul keinginan untuk terus bisa terhubung, melalui media sosial dari sana bisa memantau dan melihat apa-apa yang di lakukan oleh teman.

2. Aspek-Aspek Fear Of Missing Out (FoMO)

Berikut merupakan aspek-aspek dari fear of missing out (FoMO), diantaranya berdasarkan dari teori yang dikemukan oleh Wegman et., al (2017) sebagai berikut:

a. State-FoMO

State-Fear of missing out (FoMO) adalah kombinasi dari kecenderungan tertentu seperti kesepian, depresi, atau kecemasan sosial dan preferensi layanan komunikasi online untuk memenuhi kebutuhan sosial dapat mengarah pada FoMO khusus online yang lebih tinggi dapat mengganggu kontrol pengguna atas penggunaan aplikasi ini. Hal ini tampaknya terutama terjadi ketika individu juga memiliki harapan untuk melarikan diri dari masalah atau kenyataan kehidupan nyata di jejaring sosial online, atau untuk menghindari kesepian atau tugas yang mengganggu, yang juga dipengaruhi oleh psikologis.

b. Trait - FoMO

Trait - Fear of missing out (FoMO) adalah penguatan subskala positif dari skala harapan penggunaan Internet yang dimodifikasi untuk aplikasi komunikasi Internet. kecanduan yang selalu terhubung dengan internet yang nantinya akan menimbulkan rasa takut, cemas dan khawatir ketika ketinggalan atau peristiwa yang dialami oleh teman atau kelompok sebaya.

(41)

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Fear of Missing Out

JWT Intelligence (2012) menyebutkan ada enak factor pendorong yang mempengaruhi munculnya fear of missing out (FoMO) antara lain:

a. Keterbukaan informasi di media sosial

Media sosial, gadget dan fitur pemberitahuan lokasi sesungguhnya menjadikan kehidupan saat ini semakin terbuka dengan cara memamerkan apa yang sedang terjadi disaat ini. Laman media sosial terus dibanjiri dengan pembaharuan informasi yang real-time, obrolan terhangat dan gambar atau video terbaru. Keterbukaan informasi saat ini mengubah kultur budaya masyarakat yang bersifat privasi menjadi budaya yang lebih terbuka.

b. Usia

Usia muda yaitu 13-33 tahun merupakanusia yang memiliki level FoMO tertinggi berdasarkan survey dari JWT Intelligence (2012).

Masyarakat digital natives, yaitu masyarakat yang mahir menggunakan dan mengintegrasikan teknologi internet, merupakan salah satu ciri khasdari kelompok usia muda yang pada saat ini berumur 13-33 tahun. Keberadaan kelompok masyarakat digital nativesmemiliki jumlah terbanyak di media sosial dibandingkan generasi lainnya dan menjadikan dunia internet adalah bagian dari kehidupan sehari-hari generasi tersebut.

c. Social one-upmanship

Berdasarkan kamus daring Merriam-Webster (“One up-manship,”

n.d), social one-upmanship merupakan perilaku dimana seseorang berusaha untuk melakukan sesuatu seperti perbuatan, perkataan atau

(42)

mencari hallain untuk membuktikan bahwa dirinyalebih baik dibandingkan orang lain. FoMO disebabkan karena dipengaruhi adanya keinginan untuk menjadi paling hebat atau superior dibanding orang lain. Aktivitas “memamerkan” secara daring di media sosial menjadikan pemicu munculnya FoMO pada orang lain.

d. Peristiwa yang disebarkan melalui fitur hashtagMedia sosial memiliki fitur hashtag (#) yang memungkinkan pengguna untuk memberitahukan peristiwa yang sedang terjadi saat ini. Misalnya, pada saat reuni 212 yang dilakukan di tugu monas. Ketika pada saat yang bersamaan banyak pengguna media sosial memamerkan aktivitasnya dengan menuliskan #Reuni212, maka peristiwa tersebut akan masuk kedaftar topik pembicaraan yang sedang marak dibicarakan, sehingga pengguna media sosial lainnya dapatmengetahui. Hal demikianakan mengakibatkan perasaan tertinggal bagi individu yang tidak ikut serta dalam melakukan aktivitas tersebut.

e. Kondisi deprivasi relatifKondisi deprivasi relatif adalah kondisi yang menggambarkan perasaan ketidakpuasan seseorang saat membandingkan kondisinya dengan orang lain. Festinger (dalam Eddleston, 2009) mengatakan dalam teori perbandingan sosialnya, individu melakukan penilaian atas dirinya dengan cara membandingkan dengan orang lain. Perasaan missing out dan tidak puas dengan apa yang dimiliki, muncul ketika para penggunanya saling membandingkan kondisi diri sendiri dengan orang lain di media sosial.

(43)

f. Banyak stimulus untuk mengetahui suatu informasiDi zaman yang serba digital saat ini, sangat memungkinkan seseorang untuk terus dibanjiri dengan topik-topik menarik tanpa perlu adanya usaha keras untuk mendapatkannya. Disisi lainnya munculnya stimulus-stimulus yang ada mengakibatkan keingintahuan untuk tetap mengikuti perkembangan terkini. Keinginan untuk terus mengikuti perkembangan saat inilah yang memunculkan Fear of Missing Out.

4. Dampak Fear of Missing Out

Przybylski et al (2013) memberikan beberapa ciri khusus tentang dampak FoMO.

1) Pertama, individu selalu mewajibkan diri untuk mengecek media sosial. Seorang yang FoMO memiliki rutinitas untuk melihat media sosial milik rekan lain. Ia merasa harus selalu up to date dengan apa yang sedang diperbincangkan, apa yang dilakukan, dan apa yang dipublikasikan di media sosial oleh user lainnya. Misalnya, mereka memiliki rasa takut yang berlebihan apabila dikatakan sebagai „kudet‟

(kurang update). Juga, mereka akan menderita jika status media sosialnya sepi dari pengunjung, sedikitnya jumlah like dan komentar.

Mereka akan merasa senang bahkan bangga jika ada yang memberikan komentar di akun media sosialnya dan mereka memiliki kebutuhan untuk selalu eksis dan „ada‟ setiap saat di dunia virtual.

Kebutuhan ini seolah-olah menjadi hantu yang selalu muncul setiap bangun dan menjelang tidur.

2) Kedua, individu selalu memaksa diri berpartisipasi dalam semua kegiatan. Mendatangi sebuah acara atau sebuah tempat merupakan suatu perlombaan bagi seorang FoMO yakni untuk meningkatkan

(44)

harga dirinya melalui berbagai posting terkait dengan kegiatan yang diikutinya. Pengidap FoMO melakukannya untuk mendapat pujian dan eksistensi diri yang berlebihan. Bahkan, tidak hanya menghadiri, ia juga akan berusaha membuat keberadaannya diakui dan berbeda dari yang lainnya dengan cara ikut berpartisipasi dalam acara tersebut. Ada kebutuhan untuk menuliskan semua yang diikuti dimedia sosial.

3) Ketiga, individu selalu membuat “panggung pertunjukan” sendiri.

Panggung itu bisa di front-stage (online) bisa juga di back-stage (offline), dan di panggung itulah individu merepresentasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengidap FoMO menunjukkan bahwa media sosial adalah panggung pertunjukan baginya guna memberikan kesan yang berbeda dan unik dibandingkan dengan user lainnya. Oleh karena itu, semua status Facebook, cuitan di Twitter, foto di Path dan Instagram, bahkan data diri di Linkedin pun berjejer dengan prestasi dan capaian dirinya. Hal ini dikarenakan individu yang tidak ingin eksistensinya dikalahkan oleh orang lain.

4) Keempat, individu selalu merasakan diri yang berkekurangan dan menginginkan yang lebih. FoMO muncul salah satunya karena adanya keterasingan diri di dunia offline sehingga pengidap FoMO mencari pengakuan di dunia online. Namun, ketika di dunia online pun ia tetap merasa terasing, maka timbul keinginan yang bersifat destruktif seperti mencoba mengganggu user lain, bahkan membuat akun palsu sampai meretas akun lainnya. Selain itu keterasingan tersebut akan menggerogoti jiwa pengidap FoMO yang bisa mengakibatkan stres, depresi, dan kelainan mental lain.

(45)

5. Pengukuran Fear of missing out (FoMO)

Pada penelitian ini, peneliti mengukur Fear of missing out (FoMO) menggunakan adaptasi dari alat ukur yang dikembangkan oleh Wegman et. al dalam pratiwi (2021) yaiti menggunakan fear of missing out (FoMO) scale. Intrumen ini memiliki 10 aitem dengan nilai reliabilitas crobach alpha sebesar 0.833.

B. HARGA DIRI

1. Definisi Harga diri

Salah satu perkembangan psikologis yang dialami oleh remaja adalah perkembangan sosio-emosi yang salah satunya adalah harga diri, yang merupakan keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri kita, dimana harga diri merupakan perbandingan antara ideal-self dengan real-self (Santrock, 2012). Harga diri adalah sikap yang dimiliki tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Rosenberg, 1965).

Menurut Coopersmith (1981) mengatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan dalam sikap terhadap diri sendiri. Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, berharga menurut standart dan nilai pribadinya. Harga diri adalah gagasan mengenai diri secara global yang mengacu pada keseluruhan evaluasi diri sebagai individu, atau bagaimana orang merasakan mengenai diri mereka sendiri dalam arti yang komprehensif (Verkuyten, 2003).

Santrock (2007) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi individu tentang dirinya sendiri secara positif atau negatif.

(46)

Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya sendiri apa adanya.

Sementara, Burns (1993) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Baron & Byrne (2012) juga menyatakan bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang dilakukan oleh setiap orang, dan sikap individu terhadap diri sendiri berada pada rentang positif atau negatif. Baron &

Byrne menekankan bahwa harga diri mengacu pada sikap seseorang terhadap diri sendiri, mulai dari yang sangat negatif hingga yang sangat positif, dan individu yang ditampilkan tampaknya memiliki sikap negatif terhadap diri sendiri. Harga diri yang tinggi berarti seseorang menyukai diri sendiri. Evaluasi positif ini sebagian didasarkan pada pendapat orang lain dan sebagian lagi berdasarkan pengalaman tertentu, sikap terhadap diri sendiri dimulai dari interaksi paling awal antara bayi dan ibu atau pengasuh lainnya.

Individu dengan harga diri yang positif akan menerima dan menghargai diri sendiri apa adanya, dan tidak akan cepat menyalahkan diri sendiri atas kekurangan dan kekurangannya, selalu merasa puas dan bangga dengan pekerjaannya, serta selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Orang yang sombong merasa bahwa mereka tidak berguna dan tidak berharga, dan selalu disalahkan atas ketidaksempurnaan mereka, dan mereka sering kali tidak percaya diri

(47)

dalam setiap tugas dan tidak yakin dengan ide mereka sendiri (Santrock, Desmita, 2010).

Frank (2011) mengatakan harga diri sebagai penghargaan atau penghargaan terhadap diri sendiri. Seseorang yang merasa positif tentang dirinya dianggap memiliki harga diri yang tinggi. Namun, harga diri dapat merujuk pada area yang sangat spesifik dan perasaan umum tentang diri Anda. Misalnya, seseorang mungkin kurang percaya diri untuk daya tarik fisik tetapi kurang percaya diri untuk kemampuan dalam melakukan sesuatu.

Menurut Burns (1993), harga diri adalah rasa mementingkan diri sendiri dan keefektifan, serta melibatkan seseorang yang sadar akan dirinya sendiri. Pemikiran evaluasi diri mengandung arti bahwa rasa harga diri seseorang berasal dari memiliki karakteristik yang memenuhi standar tertentu, dan standar yang mencakup aspirasi seseorang dan orang lain merupakan rasa harga diri bagi dirinya.

Menurut Kwan dan Singelis (dalam Baron & Byrne, 2012) harmoni dalam hubungan interpersonal merupakan elemen yang penting bagi budaya individualis. Tingkah laku individu dengan harga diri yang relatif rendah lebih mudah diprediksikan dari pada individu dengan harga diri yang tinggi, hal ini dikarenakan skema diri yang negatif diorganisasikan lebih ketat dari pada skema diri yang positif (Malle & Horowitz dalam Baron & Byrne, 2012).

Pada masa pubertas individu, harga diri sering kali mengalami penurunan harga diri penurunan harga diri dapat berlangsung pada masa transisi pertengahan (remaja tengah 15-18 tahun) dan masa transisi akhir (remaja akhir 18-21 tahun), dari sekolah menengah atas bahkan hingga

(48)

di bangku kuliah (Santrock, 2007). Sebuah studi longitudinal di Selandia Baru mendapatkan hasil bahwa orang dewasa yang lebih berkompeten dan berhasil menyesuaikan diri memiliki harga diri yang positif saat masih remaja, sebaliknya orang dewasa yang dicirikan oleh kesehatan fisik dan mental yang rendah, prospek ekonomi yang buruk, dan tingkat perilaku kriminal yang tinggi memiliki tingkat harga diri yang negatif atau rendah saat remaja (Trzesniewski dkk, 2006). Oleh karena itu, harga diri yang positif pada masa remaja sangat diperlukan. Salah satu prediktor yang memengaruhi terbentuknya harga diri adalah kondisi fisik (Ghufron dan Risnawita, 2010). Gross (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa para remaja seringkali tidak puas dengan keadaan tubuhnya dikarenakan bertambahnya lemak tubuh pada diri mereka.

Parker (Camilla, 2013) mengatakan harga diri berarti bahagia, bahagia, dan bangga pada diri sendiri. Artinya mencintai diri sendiri, Saya senang dan bangga dengan siapa saya. Jika individu memiliki harga diri, maka individu tersebut akan senang menjadi dirinya sendiri dan percaya pada nilai intrinsik dirinya sebagai individu yang unik. Oleh karena itu, pembentukan harga diri juga melibatkan citra diri yang positif dan kesadaran diri yang akurat.

Berdasarkan dengan penjelasan-penjelasan di atas maka dari itu dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi positif atau negatif seseorang terhadap diri sendiri, Orang dengan kemampuan penilaian diri yang positif akan dapat menerima kekurangan dan kelebihannya serta mempertahankan keadaannya sendiri. Di sisi lain, individu dengan harga negatif tidak akan menerima kelemahan dan kelemahannya.

(49)

2. Aspek- Aspek harga diri

Menurut Coopersmith (1981) mengemukakan empat aspek dalam harga diri, yaitu:

a. Kekuatan (Power)

Kekuatan (Power) adalah Kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku, dan mendapatkan pengakuan tingakah laku tersebut dari orang lain.

b. Keberartian (Significance)

Keberartian (Significance) Kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain, hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya.

c. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan (Virtue) Ketaatan mengikuti kode moral, etika, dan prinsip- prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan oleh moral, etika, dan agama. Dianggap memiliki sikap yang positif terhadap diri yang artinya seseorang telah mengembangkan harga diri yang positif pada dirinya sendiri.

d. Kemampuan (Competence)

Kemampuan (Competence) Sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda.

(50)

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri

Menurut Michener, DeLamater & Myers (dalam Anggraeni, 2010) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor dari harga diri, yaitu family experience, performance feedback, dan social comparison.

a. Dalam family experience, hubungan orang tua-anak dikatakan penting untuk perkembangan harga diri. Pengaruh keluarga terhadap harga diri menunjukkan bahwa self-concept yang dibangun mencerminkan gambaran diri yang dikomunikasikan atau disampaikan oleh orang-orang terpenting dalam hidupnya (significant others).

b. Dalam performance feedback, umpan balik yang terus menerus terhadap kualitas performa kita seperti kesuksesan dan kegagalan, dapat mempengaruhi harga diri. Kita memperoleh harga diri melalui pengalaman kita sebagai tokoh yang membuat sesuatu terjadi di dunia, yang dapat mencapai cita-cita dan dapat mengatasi rintangan.

c. Dalam social comparison, sangat penting untuk harga diri karena perasaan memiliki kompentesi tertentu didasarkan pada hasil performa yang dibandingkan baik dengan hasil yang diharapkan diri sendiri maupun hasil performa orang lain.

4. Pengukuran Harga Diri

Pada penelitian ini, peneliti mengukur harga diri menggunakan skala adaptasi Self esteem inventory oleh Coopersmith pada tahun 1967. Alat ukur ini mengukur harga diri secara global. Intrumen ini memiliki 25 aitem dengan nilai reliabilitas crobach alpha sebesar 0.988.

(51)

C. Remaja

1. Definisi remaja

Menurut Erikson (1963), masa remaja merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap remaja ini semakin luas dan tidak hanya area keluarga serta sekolah, namun dengan masyarakat yang berada di lingkungannya. Tetapi jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang hidup bersama dalam lingkungannya.

Erikson (1963) menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme.

Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara, maupun jalannya merupakan pilihan yang terbaik.

Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebutnya dengan sebutan pengingkaran.

Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akbibatnya mereka akan mencari identitas ditempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang mengikat serta mau menerima dan mengakaui mereka sebagaian dari kelompok.

Aktor perkembangan sosial remaja dipengaruhi oleh faktor di luar keluarga, dimana teman sebaya memegang peranan penting dalam pertumbuhan remaja (Santrock, 2008). Lebih lanjut, Santrock menyebutkan remaja lebih tertarik terhadap hal-hal yang dapat membantunya untuk memperoleh penerimaan dalam kelompok serta penghargaan diri oleh teman sebaya dan kelompok sehingga sering kali

(52)

remaja melakukan konformitas kelompok dalam memutuskan suatu tindakan perilaku.

Menurut Zakiah (1990) masa remaja yang berada pada rentang usia 12-22 tahun yang mana pada usia tersebut akan mengalami pantangan secara fisik maupun psikologis pada setiap individu, remaja seperti ini membuat remaja merasa tidak memiliki tempat yang jelas karena berada diposisi antara remaja dengan dewasa. Dari hasil urain diatas dapat ditarik kesimpulan remaja adalah masa perubahan dari kanak-kanak ke dewasa di sertai dengan perubahan fisik dan sikis yang berkaitan dengan sosio emosional individu.

Pembagian usia pada remaja dibedakan menjadi tiga bagian menurut Deswita (2006) yaitu:

1. Masa remaja awal berada pada usia 12 hingga 15 tahun 2. Mara remaja tengah berada pada usia 15 tingga 18 tahun 3. Masa remaja akhir berada pada usia 18 hingga 21 tahun

Dari penjelasan di atas bahwa usia remaja rata-rata di Indonesia mencakup usia 12 hingga 21 tahun.

2. Ciri-ciri Perkembangan Remaja

Setiap manusia mengalami perkembangan yang berbeda-beda terhadap ciri-ciri yang dilewati. Adapun Hurlock (1980) menjelaskan ciri- ciri perkembangan remaja sebagai berikut;

a. Masa yang utama

Individu yang berada pada periode ini mengalami perubahan pada inividu mengenai perkembangan fisik mencakup perkembangan psikis inidividu yang secara cepat yang akan

Gambar

Gambar 4.19  Diagram Fear of missing out (FoMO) berdasarkan Usia ............   77  Gambar 4.20  Diagram  Fear  of  missing  out  (FoMO)  berdasarkan  Asal
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Tabel 3.1 Blueprint skala fear of missing out (FoMO)
Tabel  3.2 Blueprint harga diri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner menggunakan instrumen Fear of missing out scale (FoMOs) dan Internet addiction Test (IAT) yang telah diterjemahkan,

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara fear of missing out (FoMO) dengan kecenderungan kecanduan internet pada emerging adulthood..

Artinya, bahwa self esteem dianggap tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya fear of missing out siswa, (2) terdapat hubungan positif

Peneliti melakukan wawancara terhadap 3 subjek untuk meninjau fear of missing out (FoMO) pada remaja pengguna media sosial, peneliti melakukan wawancara pada

(2013) mendefinisikan Fear of Missing Out (FoMO) adalah suatu ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat

Selain itu, insight yang didapatkan dari kegiatan psikoedukasi yaitu responden lebih memahami tentang fenomena Fear of Missing Out dan bagaimana cara mengatasinya, isi poster dapat

Muhasabah as a Regulative Effort for Digital Natives who Identified Fear of Missing Out FoMO Zunea Farizka Azyza Harro Uasni1, Qurotul Uyun2, Libbie Annatagia3 Master of Professional

The Phenomenon of Fear of Missing Out FoMO in West Sumatra PTKIN Students Desmita* Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatra Barat, Indonesia E-mail: