• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. E-Book Kampanye Politik.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "1. E-Book Kampanye Politik.pdf"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3)

KAMPANYE POLITIK

Sebuah Pendekatan Fenomenologi

Fatmawati

(4)

KAMPANYE POLITIK

Sebuah Pendekatan Fenomenologi

Diterbitkan pertama kali oleh CV Amerta Media Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved

Hak penerbitan pada Penerbit Amerta Media

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit

Anggota IKAPI Cetakan Pertama: Juli 2021

15,5 cm x 23 cm ISBN:

978-623-6385-29-6 Penulis:

Fatmawati Editor:

Nur Asih Wulandari, M. Pd.

Desain Cover:

Adji Azizurrachman Tata Letak:

Ladifa Nanda Diterbitkan Oleh:

CV. Amerta Media NIB. 0220002381476

Jl. Raya Sidakangen, RT 001 RW 003, Kel, Kebanggan, Kec. Sumbang, Banyumas 53183, Jawa Tengah. Telp. 081-356-3333-24

Email: [email protected] Website: www.penerbitbuku.id

Whatsapp: 081-356-3333-24

Isi di luar tanggung jawab penerbit Amerta Media

(5)

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya buku ini dapat hadir di tangan pembaca. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita bisa mendapatkan syafa’atnya dan menjadi bagian dari umat yang senantiasa menyeru dalam kebaikan, mencerahkan semesta dengan karya, serta bermanfaat bagi sesama.

Buku ini merupakan suatu pengkajian ilmu komunikasi yang secara spesifik membahas terkait kampanye politik dalam pilkada.

Kajian komunikasi ini diambil dari hasil penelitian penulis dalam rangka meraih gelar doctoral di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Hasil penelitian disajikan dalam ide/gagasan yang dituangkan pada kampanye politik, dengan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh pasangan KarSa dalam memenangkan pemilu. Penulisan buku ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana pengalaman yang dilalui oleh Soekarwo – Saifullah Yusuf beserta tim suksesnya dalam melakukan kampanye politik pada Pilkada Jawa TImur 2013. Melalui pendekatan fenomenologi, buku ini mengeksplor pengalaman subyektif pasangan KarSa dan tim suksesnya dalam memenangkan Pilkada Jawa Timur 2013.

Terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang mendukung penulis dalam menyelesaikan buku ini, terutama keluarga tercinta dan guru dari berbagai elemen kehidupan yang telah membantu sampai tahap akhir. Diharapkan buku ini dapat membantu pembaca dalam memahami ilmu komunikasi melalui pengkajian kampanye politik pada pemilu. Saran dan kritik sangat diharapkan oleh penulis guna memperbaiki tulisan selanjutnya.

Purwokerto,

Penulis

(6)

HALAMAN JUDUL _______________________________ i TENTANG BUKU _________________________________ iv KATA PENGANTAR _______________________________ v DAFTAR ISI ______________________________________ vi BAB 1

Pengantar _________________________________________ 1 BAB 2

Komunikasi Politik __________________________________ 9 BAB 3

Strategi dan Ide Politik _______________________________ 17 BAB 4

Kajian Literatur _____________________________________ 27 BAB 5

Pemaknaan Kampanye Politik _________________________ 35 BAB 6

Pemaknaan Khalayak Pemilih di Jawa Timur _______________ 51 BAB 7

Fenomena Interaksi Simbolik dan Panggung Drama _________ 69 BAB 8

Pilkada Jawa Timur __________________________________ 111 BAB 9

Penutup ___________________________________________ 115 DAFTAR PUSTAKA ________________________________ 118 DALIL-DALIL ____________________________________ 124 GLOSARIUM _____________________________________ 125 PROFIL PENULIS ________________________________ 128

(7)

Bab 1

PENGANTAR

Berbicara tentang Pilkada, Jawa Timur menjadi provinsi yang mampu menyita perhatian publik di Indonesia. Pilkada Jawa Timur memiliki beragam keunikan tersendiri dibandingkan dengan peristiwa pilkada di daerah lain. Terutama terjadi pada Pilkada tahun 2008 dan 2013 yakni periode yang dimenangkan oleh Soekarwo – Saifullah Yusuf (KarSa). KarSa telah memenangkan dua kali periode masa pemilihan kepala daerah di provinsi Jawa Timur, sekaligus telah mencatatkan sejarah terkait pelaksanaan Pilkada tersebut. Penulis tertarik melihat dua sisi keunikan yang menonjol dari peristiwa pilkada dua periode tersebut, yakni pada sisi kampanye politik dan persaingan sengit antar kandidat yang berlaga di pilkada tersebut.

Pada sisi Kampanye politik, sebagai incumbent pasangan ini memiliki keragaman pendekatan kampanye politik. Beberapa penelitian terkait menilai KarSa menggunakan pendekatan nilai-nilai budaya lokal. Pendekatan ini tercermin dari karakter pribadi dua kandidat yang dicalonkan, Soekarwo sebagai sosok yang memahami secara utuh Budaya Jawa dan Saifullah Yusuf sebagai pribadi religius yang memang terlahir dari lingkungan pesantren. Pengamat politik menilai perencanaan kampanye politik dilakukan secara matang.

Sisi keunikan lainnya terletak pada persaingan sengit antar kandidat yang berlaga di Pilkada tersebut. Dua periode Pilkada yakni periode tahun 2008 – 2013 dan 2013 – 2018 menjadi momen persaingan yang kuat dalam memperebutkan kekuasan di tingkat provinsi. Hal ini karena munculnya dua kandidat yang sama-sama berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), dimana Jawa Timur adalah provinsi dengan basis massa terbesar dari organisasi keagamaan tersebut.

(8)

Di Indonesia, sistem pemilihan kepala daerah menganut sistem pemilihan secara langsung. Reilly (1999) dalam Hikmat (2010: 122) mengungkapkan, sistem pilkada langsung memiliki ciri-ciri dan kecenderungan yang menonjol. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mencakup implikasi terhadap legitimasi pemilihan, proses pemilihan, dan pembiayaan. UU Nomor 32 tahun 2004 merupakan landasan konstitusi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan mekanisme pemilihan secara langsung pemimpin eksekutif di daerah, mulai dari Walikota, Bupati, hingga Gubernur. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan konsekuensi dari tuntutan demokratis yang dilakukan dalam era-reformasi dalam rangka memilih pemimpin daerah yang benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat.

Pencalonan kepala daerah dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol secara berpasangan dengan persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD Kabupaten atau 5% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Selain itu juga dapat melalui jalur independen yang jumlah pendukungnya dapat ditunjukkan melalui KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Pilkada langsung gebrakan pertama di Indonesia mulai tahun 2005-2009. Tahun 2005, pilkada dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota dan 179 provinsi. Tahun 2006, pilkada dilaksanakan di 86 daerah, 79 kabupaten/kota dan 7 provinsi yang dibukalembaran kelam pilkada Tuban. Tahun 2007, pilkada dilaksanakan di enam provinsi, 22 kabupaten, dan 12 kota. Kendati sukses dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, tetapi pelaksanaan pilkada pada tahun 2007 masih tetap dibumbui hiruk pikuk dan kerikil konflik pemilihan Gubernur Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Tiada gading yang tak retak, meski pelaksanaan pilkada seringkali diwarnai konflik, namun negara masih terus mengupayakan pelaksanaan pilkada yang “sebaik mungkin”, baik dari proses pelaksanaan maupun aturan yang melandasinya.

(9)

Jawa Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia, juga telah beberapa kali melaksanakan pilkada secara langsung. Pilkada Jawa Timur tahun 2008 telah mencatat sejarah terpanjang dalam pelaksanaannya karena pilkada digelar dalam tiga kali putaran. Pilkada Jatim tahun 2008 merupakan momen pilkada yang melelahkan bagi masyarakat Jawa Timur. Pilkada Jatim 2008, harus melakukan putaran kedua karena perolehan suara masing-masing kandidat (pada Pilkada putaran 1) tidak memenuhi persyaratan untuk menang, yakni kurang dari 30% yang disyaratkan dalam undang-undang. Pelaksanaan pemilihan ketiga harus diulang karena terindikasi adanya kecurangan di wilayah Bangkalan dan Sampang, Madura.

Keunikan juga berlanjut pada pelaksanaan pilkada Jatim tahun 2013. Para pengamat politik menduga pertarungan sengit bakal terjadi pada pilkada ini karena incumbent turut berpartisipasi kembali melawan rival terberatnya dalam pilkada 2008.

Pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Timur periode 2013 – 2018 dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2013. Pilkada ini diikuti oleh 4 peserta, yakni (1) Soekarwo - Saifullah Yusuf yang diusung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR) dan 22 partai politik non-parlemen;

(2) Bambang Dwi Hartono - Said Abdullah yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); (3) Khofifah Indar Parawansa - Herman Surjadi Sumawiredja yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan 5 partai politik non-parlemen; dan (4) Eggi Sudjana - Muhammad Sihat yang maju dari jalur independen.

Peserta Pilkada Jawa Timur adalah para tokoh nasional yang telah dikenal masyarakat Indonesia. Persaingan memperebutkan kursi nomor satu di Jawa Timur semakin sengit karena perjalanan panjang pemilu sebelumnya yaitu persaingan antara Soekarwo versus Khofifah.

Pada tahun 2013, Khofifah sebagai pesaing terberat Soekarwo pada pemilu sebelumnya kembali berhadapan dalam ajang perebutan kekuasaan di Jawa Timur. Suhu politik sudah mulai memanas sejak awal pencalonan, yakni ketika adanya dualisme dukungan dari kalangan Nahdliyin. Masing-masing kubu baik Soekarwo – Saifullah

(10)

Yusuf maupun Khofifah – Herman Surjadi menyatakan telah mengantongi basis terbesar warga Nahdlatul Ulama di Jawa Timur.

Kekuatan Soekarwo (Sebagai calon Petahana) juga diduga banyak pihak telah mampu memengaruhi KPU untuk menggugurkan Khofifah sebagai pesaing utamanya. Dengan alasan kurang memenuhi persyaratan minimal partai pendukung yakni sebesar 15% kursi DPRD Jatim, pasangan khofifah dinyatakan tidak dapat mengikuti Pilkada. Namun Khofifah berhasil memenangkan gugatannya ke DKPP dan berhak mengikuti Pilkada 2013.

Pada akhirnya pemilihan kepala daerah di provinsi Jawa Timur tersebut dimenangkan oleh pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf dengan perolehan suara sebanyak 8.195.816 (47,25%). Posisi kedua ditempati oleh pasangan Khofifah – Herman Surjadi (37,76%);

pasangan Bambang DH – Said Abdullah (11,95%); sedangkan pasangan Eggi Sudjana – Muhammad Sihat (2,38%). Kemenangan yang diperoleh pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf (Karsa) hampir merata di seluruh wilayah di Jawa Timur (kecuali Surabaya dan Bojonegoro). Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga survei mengatakan bahwa pasangan Karsa tetap memimpin dibandingkan dengan pasangan lain karena tingkat kepuasan masyarakat Jatim terhadap calon incumbent ini masih cukup besar (mencapai 70%) (Tempo.co).

Kekuatan sebuah partai politik tidak dapat menjamin kemenangan salah satu kandidat peserta pemilu. Hal ini telah terbukti di berbagai pemilu di Indonesia. Beberapa survey membuktikan bahwa saat ini mesin Parpol sudah tidak berjalan dengan baik, sehingga dukungan parpol terhadap kemenangan kandidat pemilu juga tidak signifikan. Masyarakat Indonesia telah memiliki pendidikan politik semakin baik. Berbagai pertimbangan akan menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan terhadap calon pemimpinnya.

Masyarakat akan memilih calon Gubernur yang memberikan perubahan daerah kearah lebih baik, bukan yang lainnya. Figur calon kandidat menjadi pertimbangan terbesar dalam menentukan siapa calon yang akan dipilih.

(11)

Persaingan memperebutkan dukungan dari calon pemilih semakin terbuka dan transparan, kontestan memerlukan suatu strategi yang tepat guna menyampaikan ide/gagasan politik sehingga dapat memenangkan persaingan politik. Para politisi harus dapat melakukan komunikasi politik yang baik. Komunikasi politik sewajarnya dijalin kepada setiap pihak yang terkait. Dahlan (dalam Cangara, 2014: 29) mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Kemenangan calon pemimpin daerah sangat dipengaruhi oleh kesuksesan calon tersebut dalam melakukan komunikasi politik. komunikasi politik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, seperti retorika; agitasi politik; propaganda;

public relation; kampanye politik; lobi politik; dan yang lainnya.

Sebagai salah satu pilihan alternatif dari bentuk komunikasi politik, kampanye politik seringkali menjadi perhatian besar bagi para politisi yang akan maju dalam pemilihan umum. Dalam pemilu dikenal dengan istilah kampanye politik (Political Campaigns).

Pada umumnya, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang menyimpang tentang kampanye. Karena fenomena yang tampak, para politisi hanya mengoptimalkan masa kampanye yang diberikan dengan cara mengumpulkan massa di lapangan, konvoi kendaraan, pertunjukan hiburan dari para artis serta orasi yang bersifat propaganda. Pada beberapa peristiwa kampanye, penulis menemukan pemandangan yang cukup paritas. Setiap masa kampanye tiba, di berbagai daerah akan diramaikan dengan perang poster dan selebaran.

Poster dan selebaran itu berisi foto-foto para kandidat calon yang maju dalam Pemilu. Selain itu, berbagai pertemuan dan acara-acara tertentu digelar dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat. Dalam konteks komunikasi politik, menurut Chaffee (dalam Rice, 1981) kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang kandidat “political campaigns are aimed at the mobilization of support for one’s cause or candidate” (Cangara, 2014: 223). Untuk dapat memobilisasi dukungan bukan hanya perkara mengumpulkan sekelompok orang untuk menghadiri orasi politik tetapi lebih pada upaya persuasif untuk mengajak orang lain sepaham, dan bersedia bergabung untuk mendukungnya. Hal ini senada yang diungkapkan Venus, tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan

(12)

masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum. (Venus, 2009: 11).

Untuk mencapai sebuah tujuan besar dari kampanye politik, maka diperlukan sebuah perencanaan yang matang dan dari pihak yang memiliki keahlian dibidangnya. Dalam prakteknya, tidak sedikit kegiatan kampanye yang dilakukan menemui kegagalan, namun banyak juga yang berhasil karena dirancang dengan baik.

Pilihan strategis yang digunakan oleh setiap calon kandidat dalam kampanye politik akan menentukan kemenangan kandidat tersebut. Kandidat harus mampu mengidentifikasi berbagai elemen kampanye politik yang tepat sehingga hasilnya akan sesuai dengan tujuan dari kampanye politik.

Kampanye politik yang dilakukan oleh pasangan Gubernur terpilih, Soekarwo – Saifullah Yusuf dan Tim Sukses menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya mengedepankan citra dengan menonjolkan orientasi di masa depan, menampilkan keberhasilan di masa lalu dan juga menghadirkan figur atau tokoh sebagai penampil.

Di sisi lain, untuk mendekati masyarakat Jatim yang berkultur Islam dan Jawa, digunakan jargon “Pak De” dan membentuk grup shalawat.

Tak lupa sowan ke kyai pesantren tradisionalis juga dilakukan. Berbagai pilihan strategis yang dikemas melalui pesan adalah sebuah upaya dari calon Gubernur dan wakil gubernur beserta tim sukses agar dapat mengefektifkan kampanye politiknya.

Pesan yang disampaikan dalam kampanye merupakan salah satu strategi kandidat untuk menarik perhatian masyarakat. Pemilihan pesan yang tepat dan dapat diterima baik oleh masyarakat akan menjadikan kampanye politik efektif. Pelaksanaan Pilkada Jatim 2013 menjadi menarik untuk dikaji karena keberagaman masyarakat Jawa Timur baik secara sosio kultural maupun religi. Karakteristik masyarakat Jawa Timur yang unik merupakan tantangan bagi kandidat politik untuk mengemas pesan pada saat kampanye. Ketidakmampuan mengonstruksi pesan sesuai dengan khalayak sasaran yang dihadapi merupakan awal kegagalan sebuah program kampanye. Ketika program yang dicanangkan dalam kampanye gagal, hal ini mengindikasikan penghamburan dana kampanye. Padahal alokasi dana untuk kebutuhan kampanye tidak dapat dibilang kecil. KPUD telah

(13)

melansir bahwa budget kampanye Pilkada Jawa Timur 2013 adalah terbesar dalam catatan sejarah Pemilu di Indonesia.

Pilkada Jatim 2013 merupakan momen pemilu dengan budget terbesar selama sejarah pemilu yang diadakan di Indonesia. Bahkan melebihi dana kampanye pemilu presiden 2004. KPUD Jatim menganggarkan biaya perhelatan tersebut tidak kurang dari Rp 500 miliar. Sementara itu, tim pemenangan "Karsa" (pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf), melalui sebuah media mengakui biaya politik yang sudah dibelanjakan bisa lebih dari Rp 1,3 triliun. Bisa-bisa total dana yang dibelanjakan lima pasangan calon plus KPUD Jatim mencapai Rp 5 triliun.

Umumnya Petahana memiliki peluang cukup besar dalam memenangkan pemilu. Namun berbeda dengan pengalaman pasangan Soekarwo – Saifullah Yusuf. Mereka menjumpai banyak upaya penjegalan yang menjadikan perjuangan mencapai kemenangan Karsa II susah-susah gampang. Dalam melakukan kampanye politiknya, para lawan politik yang bersaing pada Pilkada Jatim 2013 seringkali menggunakan berbagai isu miring terkait kepemimpinan Soekarwo – Saifullah Yusuf. Isu yang dilontarkan terutama terkait penggunaan APBD yang tidak sesuai. Namun pasangan ini justru meyakinkan kembali masyarakat Jawa Timur dengan tetap mengangkat isu APBD sebagai tema kampanye.

Model dan pesan kampanye politik dapat saja paritas, karena itu dibutuhkan sebuah strategi yang tepat bagaimana menyampaikannya kepada masyarakat. Pengalaman ini juga dialami oleh pasangan Sukarwo – Saifullah Yusuf dan Tim Suksesnya. Namun mereka menggunakan strategi “Human Approach” dalam berkampanye dengan masyarakat. Pendekatan ini dimaknai “pelayanan dengan hati”.

Penulisan buku ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana pengalaman yang dilakukan oleh calon Petahana yakni Soekarwo – Saifullah Yusuf beserta tim suksesnya dalam melakukan kampanye politik pada Pilkada 2013. melalui pendekatan fenomenologi, penulis mengeksplor pengalaman subyektif pasangan KarSa dan tim suksesnya dalam memenangkan Pilkada Jawa Timur 2013.

(14)
(15)

Bab 2

KOMUNIKASI POLITIK

Komunikasi politik lahir dari berbagai disiplin ilmu, terutama Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi. Karena itu banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli terkait Komunikasi Politik. Dalam buku ini, penulis merujuk pada definisi Komunikasi Politik yang dikemukakan oleh Meadow dalam Nimmo (2004: 79) yakni “Political Communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system”. Disini Meadow memberi tekanan bahwa simbol-simbol atau pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik. Definisi ini juga sejalan dengan apa yang disimpulkan oleh Hafied Cangara, bahwa komunikasi politik dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik (Cangara, 2014: 30).

Pada momen Pilkada, para aktor politik (Calon Kepala Daerah) akan gencar melakukan komunikasi politik kepada pihak-pihak yang memiliki keterkaitan terhadap tujuan yang hendak dicapainya. Tujuan komunikasi politik yang dilakukan adalah untuk memenangkan Pilkada.

Menurut Arifin (2003: 65) bentuk-bentuk komunikasi politik yang dapat dilakukan komunikator politik adalah:

1. Retorika, atau seni berbicara, perdebatan-perdebatan di ruang sidang untuk saling mempengaruhi, atau berpidato kepada orang banyak (khalayak).

2. Agitasi, politik yang beroperasi untuk membangkitkan rakyat kepada suatu gerakan politik, baik secara lisan maupun tulisan dengan merangsang dan membangkitkan emosi khalayak.

3. Propaganda dilakukan oleh politikus atau kader partai politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan sugesti kepada khalayak

(16)

dan menciptakan suasana yang mudah terkena sugesti (suggestivitas).

4. Public Relation adalah hubungan timbal balik (dua arah) secara rasional.

5. Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan orang atau kelompok (organisasi) dalam waktu tertentu untuk memperoleh dan memperkuat dukungan politik dari rakyat atau pemilih.

6. Lobi politik terjadi dialog dengan tatap muka (komunikasi antar persona) secara informal, namun penting karena dari hasil lobby itu biasanya ada kesepahaman dan kesepakatan bersama yang akan diperkuat melalui pembicaraan formal dalam rapat atau sidang politik yang akan menghasilkan keputusan dan sikap politik tertentu.

7. Media massa pun baik cetak maupun elektronik dapat menjadi instrumen komunikasi yang efektif. Calon kepala daerah dapat menyampaikan pesan-pesan politiknya, baik dalam bentuk pemberitaan, himbauan, maupun promosi politik lainnya melalui media massa.

Sementara itu McNair (2011: 4) menyatakan bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang ditujukan tentang politik yang mencakup:

1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh para politikus dan pelaku lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

2. Komunikasi yang ditujukan kepada para pelaku-pelaku politik oleh yang bukan politikus seperti para pemilih dan kolumnis koran.

3. Komunikasi tentang para pelaku-pelaku politik dan aktivitas mereka seperti yang terdapat pada laporan berita (news report), editorial, dan bentuk lain dari pembahasan media tentang politik.

Penulisan buku ini hanya fokus pada salah satu bentuk komunikasi politik yakni kampanye politik. Sebagai salah satu bentuk komunikasi politik, para aktor politik pada Pilkada (Jawa Timur), mengoptimalkan kegiatan kampanye politik sebagai salah satu upaya mempengaruhi masyarakat Jawa Timur agar mau mendukung pasangan KarSa.

(17)

KAMPANYE POLITIK

Kampanye politik adalah salah satu bentuk dari komunikasi politik. Di Indonesia, Kampanye politik seringkali diartikan sebagai peristiwa hura-hura atau pesta pora yang dilakukan dengan cara pawai motor, orasi jurkam di tengah kerumunan publik, dan lain sebagainya.

Istilah kampanye di dunia Ilmu pengetahuan sangat berbeda dengan peristiwa tersebut, misalnya di bidang kesehatan dikenal dengan Penyuluhan, di bidang Sosiologi dikenal dengan Sosialisasi. Sedangkan di bidang Ilmu Komunikasi disebut dengan istilah Kampanye.

Kampanye yang dimaksud dalam kajian Ilmu Komunikasi adalah penyebarluasan informasi atau ide atau gagasan. Herbert Siemens menyebutkan Campaign is organized of people thrught a series of message (kampanye adalah kegiatan terorganisir oleh orang-orang yang melalui serangkaian pesan). William Paisley menyebutkan “campaign or communication campaign are only means of influencing public knowledge, attitude, and behavior” kampanye atau kampanye komunikasi dapat diartikan mempengaruhi pengetahuan publik, sikap dan prilaku publik (Rice dan Paisley, 1981: 23).

Sedangkan dalam konteks komunikasi politik, kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang kandidat. “political campaigns are aimed at the mobilization of support for one’s cause or candidate” (Steven Chaffe dalam Changara, 2014: 223).

Definisi Kampanye yang paling populer adalah yang dikemukakan oleh Rogers dan Storey (1987) yaitu “Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu (Venus, 2009: 7).

Merujuk pada definisi ini maka setiap aktivitas kampanye komunikasi setidaknya harus mengandung 4 hal yakni: (1) tidakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, (2) jumlah khalayak sasaran yang besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu dan (4) melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir. Disamping keempat hal tersebut kampanye juga memiliki karakter yaitu sumber yang jelas yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggungjawab suatu produk kampanye, sehingga setiap individu

(18)

yang menerima pesan kampanye dapat mengindentifikasi bahkan mengevaluasi kredibilitas sumber pesan tersebut setiap saat. (Venus, 2009:7).

Buku ini memberikan definisi kampanye politik yang disarikan dari beberapa ahli yakni upaya persuasif penyampaian ide/gagasan terbaik yang diorganisir untuk memperoleh dukungan publik dalam rangka memenangkan kandidat. Oleh karena itu setiap ide/gagasan yang dikeluarkan oleh KarSa dan Tim Suksesnya dalam rangka memperoleh dukungan masyarakat Jawa Timur sebagai upaya memenangkan pasangan KarSa pada Pilkada Jawa Timur dikategorikan sebagai aktivitas kampanye politik. Kegiatan-Kegiatan tersebut direncanakan oleh KarSa dan Tim Sukses kemudian diimplementasikan dalam masa kampanye, baik masa yang ditentukan oleh KPU ataupun di luar masa kampanye tersebut.

Kampanye politik adalah sebuah peristiwa yang didramatisasi (Cangara, 2014: 229). Layaknya sebuah drama, maka peristiwa tersebut memerlukan perencanaan yang matang. Karena itu beberapa aspek perlu direncanakan agar kampanye politik efektif dan efisien.

Berikut adalah tahap-tahap proses perencanaan kampanye (Gregory, dalam Venus, 2009: 145):

(19)

Gambar 2.1. Tahap-tahap Proses Perencanaan Kampanye Merumuskan perencanaan kampanye berdasarkan pada lima pertanyaan sederhana yaitu: apa yang ingin dicapai? Siapa yang akan menjadi sasaran? Pesan apa yang akan disampaikan? Bagaimana menyampaikannya? Bagaimana mengevaluasinya? Kelima pertanyaan tersebut dapat dituangkan kedalam tahap-tahap perencanaan berikut:

1. Analisis masalah. Yaitu tahap penyajian seputar latar belakang program kampanye, analisis kondisi lingkungan baik bersifat positif maupun negatif.

2. Penyusunan tujuan. Yaitu tujuan kampanye yang diinginkan.

Tujuan harus jelas, spesifik dan terukur.

3. Identifikasi dan segmentasi sasaran. Mengidentifikasi dengan jelas sasaran kampanye yang dituju.

4. Menentukan pesan. Pesan kampanye merupakan sarana yang akan membawa sasaran mengikuti apa yang diinginkan dari program kampanye yang pada akhirnya akan sampai pencapaian tujuan kampanye.

(20)

5. Strategi dan taktik. Strategi adalah pendekatan keseluruhan yang akan diterapkan dalam kampanye. Strategi ini kemudian dituangkan secara lebih konkret dalam bentuk taktik.

6. Alokasi waktu dan sumberdaya. Kampanye selalu dilakukan dalam rentang waktu tertentu. Pada kampanye pemilu, rentang waktu ditentukan oleh penyelenggara pemilu (KPU). Sedangkan kampanye politik rentang waktu ditentukan oleh pelaku kampanye yakni politisi yang berkampanye. Sumberdaya kampanye terdiri atas tiga bagian, yakni sumberdaya manusia, dana operasional dan peralatan.

7. Evaluasi dan tinjauan. Evaluasi berperan penting untuk mengetahui sejauhmana pencapaian yang dihasilkan kampanye.

8. Menyajikan rencana kampanye. Bagian akhir dari seluruh proses perencanaan adalah dengan menyajikan rencana tersebut. penyajian rencana kampanye harus dituangkan dalam format yang baik agar pihak-pihak yang berkepentingan dengan kampanye dapat melihat dan memahami rencana kampanye dengan mudah.

Pada aspek perencanaan kampanye politik yang digunakan dalam penulisan buku ini mengacu pada beberapa tahapan kampanye yang dikemukakan oleh Gregory. Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh KarSa dan Tim suksesnya pada perencanaan kampanye politik diantaranya terdiri dari analisis terhadap lima komponen kampanye politik, yakni organisasi kampanye, pelaku kampanye, pesan kampanye, khalayak kampanye dan anggaran kampanye.

Organisasi kampanye suatu tim kampanye sangat beragam, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dari organisasi tersebut. Organisasi kampanye politik dalam buku ini bertugas merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi proses-proses aktivitas kampanye politik yang dilakukan KarSa dan Tim Suksesnya dalam rangka memenangkan Pilkada di Jawa Timur.

Pelaku kampanye politik adalah semua pihak yang tergabung dalam organisasi kampanye KarSa dan Tim suksesnya. Pelaku kampanye politik adalah siapapun yang terlibat dalam menggagas, merancang, mengorganisasikan, dan menyampaikan pesan dalam sebuah kegiatan kampanye (Venus, 2009: 54). Jadi yang dimaksud pelaku kampanye politik adalah pasangan KarSa dan Tim suksesnya.

(21)

Pesan Kampanye adalah ide/gagasan bermuatan politik yang disampaikan dalam kampanye politik KarSa dan Tim Suksesnya.

Pesan tersebut tertuang dalam iklan politik, visi misi dan program yang dibuat oleh pasangan KarSa dan Tim Suksesnya. Dalam hal ini semua bentuk pesan politik disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai saluran media, baik media cetak, media elektronik, dan Media tradisional.

Bettinghaus (1973; Applbaum & Anatol (1976); Shimp dan Delozier (1986) serta Johston (1994) dalam Venus (2004: 71) aspek yang diperlukan agar dapat mendesain pesan dengan efektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu aspek isi pesan dan struktur pesan.

Banyak hal yang terkait dengan isi pesan, mulai dari mengenali pendukungnya, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. Sedangkan struktur pesan merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan kampanye yakni sisi pesan (message sideness), susunan penyajian (Order of presentation) dan pernyataan kesimpulan (drawing conclusion).

Khalayak Kampanye adalah masyarakat Jawa Timur sebagai calon pemilih pada Pilkada Jawa Timur tahun 2013. Khalayak menjadi publik yang menerima pesan politik pada kampanye politik KarSa. Di Jawa Timur, masyarakatnya sangat heterogen, meskipun dalam aspek tertentu memiliki homogenitas yang cukup tinggi, misalnya aspek religi. Masyarakat Jawa Timur adalah warga Nahdliyin terbesar di Indonesia, dan sebagian besar pemeluk Islam di Jawa Timur adalah Nahdliyin. Keragaman khalayak inilah yang menjadikan para pelaku politik harus mampu mengidentifikasi dan memberikan segmentasi yang jelas agar pesan politik yang disampaikan kepada khalayak menjadi tepat sasaran.

Sedangkan anggaran kampanye adalah dana yang dibutuhkan oleh pelaku kampanye dalam melakukan kegiatan kampanye politik.

Anggaran kampanye dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya:

sumbangan pribadi pasangan calon, partai politik atau sumbangan pihak lain yang tidak mengikat (baik perseorangan/badan hukum swasta).

(22)
(23)

Bab 3

STRATEGI DAN IDE POLITIK

PILKADA JAWA TIMUR

Pemilihan Kepala Daerah atau disingkat Pilkada menjadi momen menarik di setiap daerah karena hajat besar ini akan melahirkan pemimpin daerah yang nantinya dapat membawa daerah ke arah lebih baik. Provinsi Jawa Timur telah mengalami pergantian Gubernur sebanyak 13 kali. Berikut nama-nama Gubernur dan wakilnya:

Tabel 3.1. Nama-nama Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur

No Nama Gubernur Nama Wakil

Gubernur Periode

1 R. M. T. Ario Soerjo 1945 -1947

2 Dr. Moerdjani 1947 – 1949

3 R. Samadikun 1949 – 1957

4 R. T. A. Milono 1957 – 1959

5 R. Soewondo Ranuwidjojo 1959 – 1963

6 Moch. Wijono 1963 – 1967

7 R.P. Mohammad Noer 1967 – 1978

8 Soenandar Prijosoedarmo 1978 – 1983

9 Wahono 1983 – 1988

10 Soelarso 1988 – 1993

11 Basofi Sudirman Harwin Wasisto 1993 – 1998

12 Imam Utomo Imam Supardi

dan Soenaryo 1998 – 2003 2003 – 2008 13 Soekarwo Saifullah Yusuf 2008 – 2018 Sumber: Dokumentasi Kantor Gubernur Jawa Timur (2017)

(24)

Sejarah pelaksanaan Pilkada menjadi lebih menarik karena sejak tahun 2008, Pilkada Jawa Timur dilakukan secara langsung. Ini menjadi tugas berat buat para politisi yang berkeinginan menjadi calon pemimpin Jawa Timur. Jika sebelumnya, Pilkada diwarnai negosiasi &

lobby kepada anggota legislatif sebagai penentu kepala daerah, maka sejak dilakukannya Pilkada secara langsung, para calon Gubernur dan wakil Gubernur harus giat melakukan komunikasi kepada warga masyarakat yang akan memilih secara langsung calon pemimpin tersebut.

Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 merupakan pemilihan Gubernur secara langsung pertama kali bagi warga Jawa Timur. Masyarakat Jawa Timur memang sudah memiliki pengalaman mengikuti pemilu langsung yakni Pemilu legislatif 2004. Beberapa kabupaten juga menyelenggarakan pemilihan kepala daerah kabupaten/kota pada 2005–2006. Meski sama-sama pemilihan langsung namun terdapat perbedaan proximity (kedekatan) politik antara memilih presiden dan bupati/walikota dengan Gubernur, sebab masyarakat pemilih merasa tak pernah bersentuhan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi.

Rendahnya proximity politik ini memengaruhi antusiasme politik masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan Gubernur, juga terdapat kepedulian mereka mengenali kontestan beserta produk politiknya. Itu artinya, untuk memenangi pemilihan Gubernur – disamping cukup populer di kalangan masyarakat pemilih- kandidat juga harus mampu membangkitkan greget politik mereka untuk peduli dan bersedia berpartisipasi dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Kontenstasi pemilihan Gubernur Jawa Timur dimulai pada saat pendaftaran calon. Awalnya, diikuti tujuh bakal calon. Ketujuh pasangan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur Jatim periode (2008 – 2013) itu adalah: Soenarjo – Ali Maschan Moesa (Partai Golkar), Sutjipto – Ridlwan Hisjam (PDIP), Khofifah Indar Parawansah – Mudjiono (Koalisi 12 Parpol), Achmady – Suhartono (PKB Kubu Gusdur), Soekarwo – Saifullah Yusuf (Partai Demokrat, PAN), Sumiatun – Arif Darmawan (PKB Kubu Muhaimin Iskandar) dan Djoko Subroto – Wahid Hasyim (koalisi 6 Parpol). Yang mengambil formulir namun tidak mengembalikan adalah mantan Dankormar Mayjen. Mar (Purn) Ahmad Rifai dari Jakarta yang berniat

(25)

mencalonkan diri dari jalur perseorangan.

Selanjutnya KPU Jawa Timur melakukan verifikasi berkas dan menetapkan dua pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan, yaitu Samiatun – Arif Darmawan (Sadar) dan Djoko Subroto – Wahid Hasyim (Jos) yang diusung koalisi PBB, Partai Merdeka, PNI Marhaenisme dan PBR. Penetapan lima nama pasangan ini berdasarkan kesepakatan seluruh anggota KPUD Jatim yang tertuang dalam SK KPU Jatim 821.1/70/KPU-jtm/VI/2008. Djoko Subroto – Wahid Hasyim (Jos) dinyatakan tidak memenuhi syarat karena SK kepengurusan DPW PKB yang mengusung pasangan Sadar tidak sesuai hasil verifikasi administratif dan faktual KPU Jatim ke Depkumham dan DPP PKB memberikan dukungan dan mengusung Khofifah – Mudjiono (Kaji).

Berdasarkan berita acara KPU Jawa Timur Nomor:

821.1/71/KPU-jtm/VI/2008 tentang penentuan dan penetapan nomor urut pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasangan calon Gubernur yang dapat berkompetisi sebanyak 5 pasang calon. Berikut gambarnya:

Gambar 3.1. Foto Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur tahun periode tahun 2008 – 2013

Sumber: KPU Jatim, 2008

Pemilihan Gubernur Jawa Timur dilakukan sampai tiga kali putaran. Putaran I hasil perolehan suara tidak ada satu pasangan yang memeroleh hasil lebih dari 50% jumlah suara. Putaran II dilakukan karena ada indikasi kecurangan di Sampang, Madura. Setelah melakukan pemungutan suara yang ketiga di Madura, maka KPU telah berhasil mengambil keputusan pemenang Pilgub Jatim tahun 2008.

1 2 3 4 5

(26)

Pemilihan Gubernur putaran I pada Pilgub Jatim dilakukan pada tanggal 23 Juli 2008. Pemilihan diikuti oleh 5 pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU. Berikut adalah hasil perolehan suara Putaran I pada Pilgub Jatim tahun 2008:

Tabel 3.2 Hasil Perolehan Suara Pilkada Jatim Putaran I tahun 2008

Pasangan calon Jumlah

suara % Unggul di

kabupaten/kota Khofifah – Mudjiono 4.223.089 24.82 6

Sutjipto – Ridwan Hisyam 3.605.106 21.18 7 Soenarjo – Ali Maschan 3.290.448 19.34 6 Achmady – Suhartono 1.397.291 8.21 2 Sukarwo – Saifullah Yusuf 4.498.332 26.43 17 Sumber: KPUD Jatim, 2008

Pemilihan Gubernur putaran kedua diikuti oleh dua pasangan gubernur yakni: Khofifah – Mudjiono dan Soekarwo – Saifullah Yusuf. Pemungutan suara dilakukan kembali pada tanggal 4 November 2008. Hasil perolehan suara putaran II pada Pilgub Jatim tahun 2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3. Hasil Perolehan Suara Pilkada Jatim Putaran II tahun 2008

Pasangan calon Jumlah

suara % Unggul di

kabupaten/kota Khofifah – Mudjiono 7.669.721 49.8 16 Sukarwo – Saifullah

Yusuf 7.729.944 50.2 22

Sumber: KPUD Jatim, 2008

Hasil perolehan pemungutan suara pada Pilkada Jatim tahun 2008 dimenangkan oleh pasangan Sukarwo – Saifullah Yusuf. Rapat pleno terbuka rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU Provinsi Jatim menyatakan, Ka-Ji (Khofifah – Mudjiono) memperoleh 7.669.721 suara atau 49,80 persen dan Karsa 7.729.944 suara atau 50,20 persen. Dengan demikian, Karsa mengungguli Ka-Ji dengan

(27)

selisih tipis 60.223 suara atau 0,40 persen. KPU Jatim menyatakan, 506.343 suara sebagai tidak sah.

KPU memutuskan menyelenggarakan Putaran ketiga Pilgub Jawa Timur karena adanya indikasi kecurangan perolehan suara di Madura. Pada putaran ketiga dilakukan pemungutan suara ulang hanya di kabupaten Bangkalan dan Sampang, serta melakukan penghitungan ulang di Pamekasan. Putaran III Pilgub Jatim ini diselenggarakan pada 23 Januari 2009. Dari hasil rekapitulasi penghitungan suara KPUD Jatim, Karsa dinyatakan memenangkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang di Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Berikut adalah rekapitulasi hasil perolehan suara ulang di Madura:

Tabel 1.5. Hasil Perolehan Suara Pilkada Jatim Putaran III 2008 Pasangan calon Bangkalan Sampang Pamekasan Khofifah – Mudjiono 141.238 146.360 195.117 Sukarwo – Saifullah Yusuf 253.981 210.052 216.293 Sumber: KPUD Jatim, 2008

Setelah pemungutan suara dan penghitungan suara dilakukan di Madura, maka berikut adalah hasil akhir kompetisi Pilkada Jawa Timur tahun 2008:

Tabel 1.6. Hasil Akhir Pilkada Jatim tahun 2008

No Pasangan calon Jumlah suara %

1 Khofifah – Mudjiono 7.626.757 49.89 2 Sukarwo – Saifullah Yusuf 7.660.861 50.11

Karsa unggul 34.104 suara Sumber: KPUD Jatim, 2008

Tahun 2013, kembali Jawa Timur mencatatkan sejarah terkait Pilkada. Pemilihan kepala daerah kembali digelar secara langsung.

Pilkada ini memberikan beberapa keunikan sama halnya dengan pilkada sebelumnya. Pertama, Petahana kembali mencalonkan diri bersama wakil yang sama yakni Soekarwo – Saifullah Yusuf. Kedua, pesaing ketat yang merupakan lawan politik di tahun 2008 kembali maju untuk meraih simpati masyarakat Jawa Timur, yakni Khofifah

(28)

Indar Parawansah. Namun kali ini Khofifah tidak lagi bersanding dengan pasangannya di tahun 2008 (Mudjiono) tetapi dengan Herman S. Sumawireja. Ketiga, para calon kandidat berasal dari tokoh-tokoh nasional yang cukup terkenal di Indonesia. Keempat, sama halnya dengan periode sebelumnya, Jawa Timur memiliki kondisi wilayah yang luas dan keberagaman masyarakat dari aspek sosio-kultural.

Pemungutan suara pada pemilihan Gubernur periode 2013 – 2018 dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2013. Pemilihan Gubernur Jatim 2013 diikuti oleh 4 pasangan calon, yakni: (1). Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA). Pasangan petahana ini diusung oleh sejumlah partai besar, di antaranya Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, dan sejumlah partai non parlemen di Jatim. (2). Eggi Sudjana- Mochammad Sihat (BERES). Pasangan ini adalah pasangan yang maju dari jalur perseorangan alias independen. (3). Bambang Dwi Hartono- Muhammad Said Abdullah (JEMPOL). Pasangan ini diusung oleh PDI Perjuangan. (4). Khofifah Indar Parawansa-Herman Surjadi Sumawiredja (BERKAH). Pasangan ini diusung oleh PKB, PKNU, dan sejumlah partai kecil lainnya.

Berikut adalah foto keempat pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Jatim Periode 2013 – 2018 beserta profilnya:

Gambar 1.3. Foto Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur tahun periode tahun 2013 – 2018

Berikut adalah profil dari masing-masing calon Gubernur dan wakilnya periode tahun 2013 – 2018:

1. Sukarwo – Saifullah Yusuf

Pasangan nomor urut 1 adalah Sukarwo dan Saifullah Yusuf.

Sebagai calon Gubernur tahun 2013, Soekarwo dilahirkan di Madiun, 16 Juni 1950. Sukarwo menikah dengan Nina Kirana

(29)

Madiun, dan melanjutkan pendidikan tinggi di kota Surabaya.

Jenjang pendidikan S3-nya ditempuh di Kota Semarang (Universitas Diponegoro). Sukarwo aktif dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan didalam kampus maupun di luar kampus.

Sebagai calon wakil Gubernur pada Pilkada tahun 2013 adalah Saifullah Yusuf atau akrab dipanggil dengan Gus Ipul. Gus Ipul dilahirkan di Pasuruan, 28 Agustus 1964. Istrinya bernama Ummu Fatma dengan 3 orang anak. Jenjang pendidikan Gus Ipul berlatar belakang pesantren.

Visi dan Misi: Menciptakan Jawa Timur yang lebih Sejahtera, Berakhlak, Berkeadilan, Mandiri, dan Berdaya Saing.

2. Eggi Sudjana – Muhammad Sihat

Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.Tokoh yang akrab dipanggil Bang Eggi ini lahir di Jakarta pada tgl 3 Desember 1959. Eggy adalah calon Gubernur dengan nomor urut 2 pada Pilkada Jawa Timur tahun 2013. Kehidupan Bang Eggi tidak jauh dari aksi unjuk rasa dan aktivitas politik, berikut aksi demonstrasi yang pernah diikutinya: Memimpin 10 ribu massa ummat Islam menduduki Istana Presiden menuntut pembubaran SDSB, Menjelang Sidang Istimewa MPR th 1999, memimpin long march Forum Bersama Ormas Islam menuju gedung DPR-MPR, Mendirikan PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia) dan menjadi presiden pertamanya untuk masa 1998-2004, Menjadi Tim Ahli Menakertrans RI, Anggota Majelis Pakar DPP PPP, Ketua Majelis Syuro PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), Ketua penasehat SPDSI (Serikat Pedagang Seluruh Indonesia), Panglima LEPAS (Laskar Empati Pembela Bangsa), dan Wakil Presiden KAI (Kongres Advokat Indonesia). Latar belakang Pendidikannya dari SD sampai SMA di Jakarta, kemudian melanjutkan kuliah Strata 1 Jurusan Hukum, pada Fakulas Hukum Universitas Jayabaya Universitas Jakarta. Strata 2 dan Strata 3 pada Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Pertanian Bogor (IPB).

Sebagai calon wakil Gubernur pada Pilkada Jatim tahun 2013 adalah Muhammad Sihat. Sosok ini memang tidak banyak dikenal masyarakat luas. Sihat kelahiran Sumenep, Madura adalah

(30)

pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) Pemkot Surabaya. Karier terakhirnya adalah Camat Benowo, setelah sebelumnya menjabat Camat Sukomanunggal.Sihat menekuni profesinya sebagai abdi negara sejak 1968. Sihat adalah alumni Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) 1982.

Visi dan Misi: Memanfaatkan kekayaan alam Jawa Timur dan Meningkatkan pelayanan public di Masyarakat.

3. Bambang DH – Said Abdullah

Pasangan calon Gubernur Jatim Tahun 2013 adalah Bambang Dwi Hartono atau sering disingkat Bambang D.H.

dengan Said Abdullah. Bambang DH sebagai calon Gubernur lahir di Desa Tegalombo, Pacitan, 24 Juli 1961. Perjalanan karirnya pernah menjabat Wakil Walikota Surabaya dan mengundurkan diri karena mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur dan wakilnya.

Sebelumnya pernah menjabat sebagai Walikota sejak tahun 2002- 2005 dan 2005-2010 (2 periode). Wakil Walikota Surabaya masa jabatan 2010-2013, mendampingi Walikota Tri Rismaharini.

Sebagai wakil dari Bambang DH adalah MH Said Abdullah.

Namanya cukup familiar dalam dunia perpolitikandi Indonesia.

Said dilahirkan di Madura, 22 Oktober 1962 dan dikenal sangat nasionalis. Jejak karirnya adalah sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan XI Madura, Jawa Timur, anggota Komisi VIII DPR RI.

Pendidikan tingkat dasar dan SMA diselesaikan di Madura. Said aktif berorganisasi sejak SMA. Pengalaman organisasinya sudah ditunjukkan dari mulai sekolah. Said adalah ketua DPC Banteng Muda Indonesia, Kabupaten Sumenep (1982-1985), Ketua DPC Majelis Muslimin Indonesia Kabupaten Sumenep. Jurkam Nasional tahun 1987 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), anggota DPR RI.

Visi dan Misi: Menuju kesejahteraan masyarakat Jawa Timur yang memiliki kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, berkehidupan yang demokratis, rukun, aman dan damai.

(31)

4. Khofifah Indar Parawansah – Herman S. Sumawireja

Pasangan nomor urut 4 adalah Khofifah Indar Parawansah dan Herman S Sumawireja. Khofifah sebagai calon Gubernur pada Pilkada Jatim tahun 20013, dilahirkan di Surabaya, 19 Mei 1965.

Riwayat pendidikan dasar sampai Pendidikan Tinggi di Surabaya.

Strat I di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya. Strata II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta. sedangkan jenjang Karier Khofifah juga sangat beragam, mulai dari sebagai Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997), Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997), Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998), Wakil Ketua DPR RI (1999), Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001), Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999- 2001), Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006), Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006), Anggota Komisi VII DPR RI (2006). Khofifah adalah sosok perempuan yang sangat aktif dalam berbagai organisasi, terutama Fatayat Nahdlatul Ulama (NU).

Calon wakil Gubernur yang mendampingi Khofifah adalah Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja. Perjalanan karirnya di dunia militer cukup cemerlang, dimulai dari jabatan Kapolda di Bengkulu, Wakil Panglima Pengendali Aceh, Direktur Samapta Mabes Polri, Kapolda Sumatera Selatan dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur.

Visi dan Misi: Mewujudkan jawa timur yang berkah sosial, berkah budaya, berkah ekonomi, berkah pula secara politik dengan semangat gotong royong, religiusitas, adil dan sejahtera.

(32)

Hasil rekapitulasi penghitungan suara di 38 KPU Kabupaten dan Kota se-Jawa Timur sebagai berikut:

Tabel 3.4. Hasil Perolehan Suara Pilkada Jatim tahun 2013

No Pasangan calon Jumlah

suara %

1 Sukarwo – Saifullah Yusuf 8.187.862 47.25 2 Eggi Sudjana-Mochammad Sihat 419.760 2.42 3 Bambang Dwi Hartono-Muhammad

Said 2.198.921 12.69

4 Khofifah Indar Parawansa-Herman Surjadi

6.522.531 37.64 Sumber: KPUD Jatim, 2013

(33)

Bab 4

KAJIAN LITERATUR

FENOMENOLOGI

Secara etimologis, fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos. Kata logos (yang disini menjadi logi) lazimnya menunjuk pada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu, seperti yang melekat pada disiplin psikologi, sosiologi, antropologi, atau etnologi.

Dalam pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjuk pada suatu teori spekulatif tentang penampilan pengalaman; dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “phenomenon-noumenon”, suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon).

Istilah fenomenologi digunakan berbeda oleh para ahli, diantaranya: Bertens (1987: 3) melihat fenomenologi menjadi rigorus (rigorous, ketat) jika yang dipermasalahkan adalah status itu sendiri dari penampakan benda-benda (dalam arti luas). Fenomenologi Husserl adalah usaha spekulatif yang menentukan hakikat yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak.

Hal dan Lindzey mengatakan fenomenologi sebagai deskripsi tentang data (Secara harfiah disebut the givens, yang terberi) tentang pengalaman langsung.

Dari rentang makna fenomenologi tersebut, Deetz 1973 dalam Littlejohn & Foss, 2008) menyimpulkan tiga konsep dasar fenomenologi: pertama, pengetahuan diperoleh secara langsung lewat pengalaman sadar– kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya. Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Ketiga, bahasa pada dasarnya merupakan kendaraan makna. Kita memahami dunia lewat bahasa yang kita gunakan guna mendefinisikan serta mengekspresikan dunia tersebut. (Sobur, 2014: 19).

(34)

Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomenologi dalam memahami fenomena atau realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan interpretasi subjek.

Dalam buku ini, fenomenologi digunakan sebagai sebuah pendekatan pengkajian. Penulis mengeksplorasi pengalaman individu- individu secara langsung yang dialami oleh pasangan KarSa dan Tim sukses terkait dengan kampanye politik pada pilkada Jawa Timur tahun 2013. Penulis memulai kajiannya dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari pengalaman informan.

Dalam fenomenologi juga dikenal dengan konsep motif yang dikemukakan oleh Schutz, bahwa motif seseorang terdiri dari dua, yakni motif sebab (because motive) dan motif tujuan (in order to motive).

Motif “sebab” adalah yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan tertentu. Sedangkan motif “tujuan” adalah tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang yang melakukan suatu tindakan tertentu.

Penulis ini berusaha menemukan motif-motif yang terdapat dalam setiap tindakan yang diambil oleh pasangan KarSa dan Tim sukses pada kampanye pilkada di Jawa Timur.

Dengan menggunakan fenomenologi, penulis dapat mengetahui lebih dalam pengalaman sadar informan kemudian menggali makna yang terkandung dalam tindakan-tindakan yang diambil oleh informan tersebut. Para fenomenolog, menfokuskan untuk mendeskripsikan apa yang sama/umum dari semua partisipan ketika mereka mengalami fenomena. Demikian pula dalam buku ini, penulis mendeskripsikan apa yang sama atau umum yang dialami oleh pasangan KarSa dan Tim sukses dalam merencanakan, menjalankan kampanye politik dalam Pilkada Jawa Timur tahun 2013.

(35)

Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal (“pemahaman tentang sifat yang khas dari sesuatu”). Prosedurnya yang terkenal adalah epoche (pengurungan) yakni suatu proses dimana penulis harus mengesampingkan seluruh pengalaman sebelumnya untuk memahami semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan. Analisisnya berpijak pada horizonalisasi, dimana penulis berusaha memeriksa data dengan menyoroti pernyataan penting dari partisipan. Pada aspek ini, fenomenologi digunakan oleh penulis untuk menemukan tema-tema umum dan dianggap penting dalam kaitannya dengan kampanye politik yang dilakukan oleh pasangan KarSa dan Tim suksesnya pada Pilkada Jatim tahun 2013.

INTERAKSI SIMBOLIK

Interaksi Simbolik adalah salah satu bidang kajian Fenomenologi. Seorang sosiolog bernama George Herbert Mead (1934) yang mengembangkan teori ini. Mead percaya, keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama.

Dalam waktu bersamaan, dia juga mengakui, individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda.

Mead tidak setuju pandangan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia melihat aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama social behaviorism.

Walau Mead menyarankan aspek internal juga dikaji untuk memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, dimana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi

(36)

Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting (a significant symbol). Kata-kata dan suara lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body language), baju, status, semuanya merupakan simbol yag bermakna.

Kampanye Politik yang dibahas dalam buku ini adalah bentuk interaksi sosial, dimana individu-individu yang berinteraksi berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, KarSa dan Tim Sukses mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, KarSa dan Tim Sukses menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut, kemudian dimaknai sama sehingga memeroleh kesepahaman dari simbol-simbol tersebut (a significant simbols). Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka.

Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak- pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan/simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus terus-menerus mencocokkan makna dan merencanakan cara tindakan mereka. dalam Hal ini KarSa dan Tim Sukses berusaha menggunakan berbagai pendekatan (baik kultural maupun religi) dalam rangka memperoleh kecocokan makna dalam interaksi yang dilakukan kepada masyarakat.

Dalam pandangan interaksi simbolik, manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan struktur atau situasi objektif, tetapi setidaknya merupakan aktor yang bebas. Pendekatan ini memperhatikan interpretasi subjektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus objektif, bukan aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Menurut interaksi simbolik, manusia memainkan berbagai peran dan mengansumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki dan perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan

(37)

definisi situasi.

Salah satu proposisi dalam teori interaksi simbolik adalah persepsi cermin diri (looking glass perception), yang melihat kaitan antara persepsi diri pribadi seseorang dengan pendapat orang lain. Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Melihat cerminan diri, artinya dalam setiap interaksi manusia selalu dipenuhi simbol-simbol dan interaksi baik dalam kehidupan sosial maupun dengan kehidupan diri sendiri, dengan memperlakukan individu sekaligus diri sosial.

Selanjutnya, pernyataan dalam teori interaksi simbolik mengemukakan bahwa setiap aksi dan interaksi manusia selalu menggunakan bahasa, isyarat dan bermacam-macam simbol, interpretasi sesuai kehendak yang mendefinisikan sekaligus memberikan batasan kebebasan definisi bagi yang lain. Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain, hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain. Proses itu mempunyai implikasi pada proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.

Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai subjek utama dalam percaturan sosial, meletakkan individu sebagai pelaku aktif dan proaktif, memaknai seluruh tindakan bahkan sekaligus mengonstruksi alam kehidupan kebersamaannya secara kolektif dengan masyarakatnya lewat aksi dan interaksinya yang komunikatif. Ia menyajikan pembahasan soal diri sendiri (the self) dengan segala atribut dunia luarnya dengan menekankan sifat simboliknya dari manusia (Mulyana, 2002: 90).

Salah satu teoritisi interaksi simbolik George Herbert Mead menyatakan manusia mempunyai kemampuan menanggapi diri sendiri secara sadar. Kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya tindakan manusia muncul karena reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran. Kesadaran diri merupakan hasil dari proses reflektif yang tidak kelihatan. Pikiran reflektif merupakan percakapan dalam batin, percakapan antara “aku” dengan “yang lain”. Dalam konsep tentang

“diri” dinyatakan bahwa individu adalah subyek.

(38)

Teori interaksi simbolik berikutnya adalah Herbert Blumer. Dia mengemukakan, proses interpretasi terjadi bila terdapat interaksi yang memiliki makna bagi dirinya dan ia mampu memainkan peran penting dalam interaksi tersebut. Teori interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis utama, yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka (2) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain, (3) makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Blumer, 1969: 535).

Tiap-tiap aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke mana arah tindakan dilakukan.

Individuberupaya mengkreasi objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya. Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain (Blumer, 1969: 544).

Di dalam konsepsi teori interaksionisme simbolik didapati adanya dialektika antara diri sendiri (Self) dan pikiran (mind).

Representasi pikiran adalah “I” sementara representasi diri adalah

Me”. Antara “I” dan “Me” digambarkan dalam pernyataan Mead:

bahwa “diri” pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan. Hanya saja, “I” dan “Me

adalah proses yang terjadi di dalam proses diri yang lebih luas, keduanya bukanlah sesuatu (things). Mind dan self adalah proses dialektis yang melibatkan impulse (dorongan hati), persepsi (reaksi terhadap rangsangan) dan manipulasi (kemampuan memiilih sesuatu).

DRAMATURGI

Teori dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman. Dramaturgi adalah salah satu teori sosiologi yang mengkaji tindakan sosial dari individu atau kelompok masyarakat. Tindakan sosial seorang individu atau kelompok masyarakat didasarkan atas motif-motif tertentu.

(39)

Pada prinsipnya dramaturgi merupakan bagian dari kajian ilmu yang terdapat dalam pembahasan mengenai diri seorang komunikator yang berperan penting dalam proses penyampaian pesan kepada komunikan. Dramaturgi memaparkan bagaimana seorang komunikator dalam hal ini kandidat memainkan peran dalam dua bagian kehidupan mereka, yakni front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang) mereka yang semata-mata agar menimbulkan suatu suasana dan kesan dihadapan para pendengarnya.

Dengan demikian, mereka dapat menyesuaikan diri dengan tujuan stasiun radio siaran yang menaunginya. Sebagaimana dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dramaturgi membagi dua wilayah yakni front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang).

Impression management sendiri merupakan bagian dari kajian Dramaturgi yang sama-sama dikembangkan Goffman. Impression management atau pengelolaan kesan merupakan usaha individu mernciptakan kesan atau persepsi tertentu atas dirinya dihadapan khalayaknya. Pengelolaan kesan tersebut dilakukan baik terhadap simbol verbal maupun simbol non verbal yang melekat didirinya.

Pada konteks Pilkada, seorang calon kandidat seringkali menggunakan impression management di kehidupan front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Sebagaimana yang telah dipaparkan pada kerangka teoritis bahwasannya Goffman membagi dua wilayah dari aktor yang diibaratkan memainkan peran tersebut, yakni:

1. Front Stage (Panggung Depan)

Front stage terdiri dari aspek appearance (penampilan) dan manner (gaya). (a) appeareance (penampilan), pengelolaan kesan ditinjau dari aspek penampilan yang dilakukan kandidat yang meliputi make-up (tata rias), dan pakaian. Bagaimana make up (tata rias) dan pakaian kandidat ketika berada pada bagian front stage (panggung depan) yang dikelola sehingga menimbulkan kesan yang diinginkan dikalangan audiens atau orang-orang disekitarnya yang menjadi bagian dari pertunjukan di panggung depannya. (b) manner (gaya), pengelolaan kesan ditinjau dari aspek gaya yang dilakukan kandidat yang meliputi sikap dan prilaku, bahasa tubuh, mimik wajah, isi pesan, dan cara bertutur atau gaya bahasa saat sedang menjalani posisinya sebagai kandidat.

(40)

2. Back Stage (Panggung Belakang)

Persiapan seorang kandidat ditinjau dari aspek-aspek yang telah dipaparkan sebelumnya untuk terjun ke kehidupan front stage- nya. Ada perbedaan yang signifikan dari proses pengelolaan kesan dari kehidupan back stage-nya jika dibanding kehidupan front stage.

Terdapat beberapa aspek penting yang menjadi bagian dari kehidupan back stage seorang kandidat, antara lain: (1) Make Up (Tata Rias), (2) Pakaian, merupakan salah satu aspek yang dapat mencitrakan siapa individu yang menggunakannya. (3) Sikap dan Perilaku. (4) Bahasa Tubuh, merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan identitas atau ciri khas seseorang. (5) Mimik wajah, dewasa ini bukan hanya bagian kecil yang dapat dihiraukan begitu saja. Banyak individu yang mulai memperhatikan mimik wajah mereka ketika berinteraksi dengan individu lainnya. Begitupun dengan seorang kandidat karena pada kehidupan back stage nya ia tetap melakukan interaksi dengan individu lainnya, meski dengan individu yang memilikiikatan emosional sekalipun. (6) Isi Pesan. Isi pesan dari konteks komunikasi yang dilakukan seorang kandidat untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari pengelolaan kesan yang dilakukan pada front stage dan back stage ini. (7) Cara Bertutur atau Gaya Bahasa.

Bagi Goffman, dunia lebih merupakan sebuah panggung daripada realitas yang selama ini difahami. Panggung atau pentas adalah ruang yang digunakan untuk menampilkan atau memerankan peran-peran tertentu dalam kehidupan. Namun demikian, kehidupan diatas panggung bukanlah kehidupan sesungguhnya melainkan sebagai imitasi dan replika dari kehidupan di luar panggung.

Kampanye politik adalah sebuah panggung drama yang dimainkan oleh para tokoh/pemeran. Pemerannya adalah para politisi yang berlaga dalam berbagai pemilihan umum dalam rangka merebut simpati masyarakat. Drama dimainkan melalui impression management di panggung politik.

Gambar

Gambar 2.1. Tahap-tahap Proses Perencanaan Kampanye  Merumuskan  perencanaan  kampanye  berdasarkan  pada  lima  pertanyaan  sederhana  yaitu:  apa  yang  ingin  dicapai?  Siapa  yang  akan  menjadi  sasaran?  Pesan  apa  yang  akan  disampaikan?  Bagaiman
Tabel 3.1. Nama-nama Gubernur dan  Wakil Gubernur Jawa Timur
Gambar 3.1. Foto Pasangan Calon Gubernur dan Wakil  Gubernur Jawa Timur tahun periode tahun 2008 – 2013
Gambar 1.3. Foto Pasangan Calon Gubernur dan Wakil  Gubernur Jawa Timur tahun periode tahun 2013 – 2018
+7

Referensi

Dokumen terkait

Partai Golkar Kabupaten Lebak menjadi partai peserta pemilu tahun 2014, Partai Golkar melakukan kampanye politik untuk mencapai perolehan suara yang besar, namun untuk mencapai

Kampanye politik merupakan bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh sekelompok orang, seseorang atau organisasi politik di waktu tertentu dengan maksud untuk

Tiga segmen khalayak sasaran kampanye merupakan sub-sub kelompok untuk dianalisa dalam survei, meliputi: (1) petani yang melakukan perladangan berpindah tabas bakar

Untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi pemasaran politik dalam kampanye calon legislatif terpilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada khalayak di masing-masing

tindakan kampanye berbasis Al- Qur‟an dan Sunnah yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu. jumlah khalayak sasaran

Alasan untuk kegiatan : Tokoh masyarakat seperti, Kepala Desa dan Ulama mendapatkan tempat terhormat sebagai sumber informasi yang dipercaya oleh khalayak terget Kampanye Pride di

Pada pertanyaan mengena i pesan yang paling diingat oleh khalayak, pesan ‘Selamatkan Dolok Surungan, Dongan !’, slogan kampanye di logo, menempati peringkat paling tinggi dari

d Bagi Penerima Kuasa yang hadir fisik yang diberikan wewenang oleh Pemegang Saham untuk mengeluarkan suara TIDAK SETUJU atau suara ABSTAIN, tetapi pada waktu pengambilan keputusan oleh