Daniswara 159
Dhammasattha National Legal Opinion Competition
2024
I. FAKTA HUKUM
1. Bahwa Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) merupakan Menteri Perdagangan yang dilantik oleh Presiden Jokowi pada tanggal 12 Agustus 2015 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 79/P Tahun 2015 tentang Penggantian Beberapa Menteri Negara Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019 dan menjabat hingga 27 Juli 2016.
2. Bahwa pada tahun 2015, Tom Lembong memberikan Persetujuan Impor Gula Kristal Mentah (GKM) kepada PT Angel Product (PT AP) sebanyak 105.000 ton gula.
3. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang diperkenankan memperoleh izin impor Gula Kristal Putih (GKP) hanyalah BUMN.
4. Bahwa berdasarkan legalitas perusahaan, PT AP bukanlah perusahaan BUMN.
5. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tidak ada larangan bagi menteri perdagangan untuk memberikan Persetujuan Impor GKM kepada perusahaan gula non-BUMN.
6. Bahwa stok gula untuk konsumsi masyarakat pada tahun 2016 hanya tersisa 816 ribu ton dan hanya cukup untuk 3,5 bulan.
7. Bahwa pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Persero yang merupakan BUMN untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula.
8. Bahwa PT PPI Persero bekerja sama dengan delapan perusahaan swasta untuk mengolah GKM menjadi GKP dalam rangka melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula karena perusahaan gula BUMN belum memasuki musim giling.
9. Bahwa perusahaan yang digandeng oleh PT PPI pada prinsipnya merupakan perusahaan yang mengolah GKM menjadi Gula Kristal Rafinasi (GKR).
10. Bahwa karena perbuatan Tom Lembong tersebut, harga gula di pasaran pada awal 2016 menjadi melonjak tinggi, menyentuh angka Rp16.300/kg.
11. Bahwa pada tahun 2023, Kejaksaaan Agung menemukan dugaan kasus korupsi impor gula dalam kurun waktu tahun 2015-2016.
12. Bahwa pada bulan Oktober 2023, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Pernyataan Dimulainya Penyidikan (Sprindik) untuk penyidikan korupsi impor gula.
13. Bahwa Tom Lembong telah diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
14. Bahwa pada tanggal 29 Oktober 2024, setelah menjalani pemeriksaan untuk yang ke-empat kalinya sebagai saksi, Kejaksaan Agung memberikan BAP bahwa Tom Lembong diperiksa sebagai tersangka dengan Surat Pemberitahuan Penyidikan Perkara tertanggal 29 Oktober 2024.
15. Bahwa ketika ditetapkan menjadi tersangka, Tom Lembong tidak sempat menghubungi penasihat hukumnya dan kemudian didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh Kejaksaan Agung.
II. ISU HUKUM
1. Apakah kebijakan impor yang diambil oleh Tom Lembong dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum?
2. Apakah penunjukan Tom Lembong kepada PT PPI Persero merupakan bagian dari diskresi atau justru bentuk penyalahgunaan wewenang?
3. Bagaimana penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dalam kasus ini, terutama terkait unsur kerugian negara dan keuntungan pihak ketiga?
4. Apakah penetapan tersangka terhadap Lembong telah memenuhi prosedur hukum yang sah atau terdapat celah yang dapat dipersoalkan melalui praperadilan? Berikan argumen hukum yang mendukung atau menentang validitas penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
III. SUMBER HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Publik
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
4. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula sebagai Barang dalam Pengawasan
5. Peraturan Menteri Dagang Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula
6. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula sebagai Barang Dalam Pengawasan
7. Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 soal impor gula
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
IV. ANALISIS HUKUM
1. Mengenai Kewenangan Tom Lembong dalam Kebijakan Impor Gula
Tom Lembong, dalam kapasitasnya sebagai seorang menteri perdagangan pada tahun 2015, diberikan sebuah kewenangan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula sebagai Barang dalam Pengawasan yang ditindaklanjuti melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula, untuk memberikan Persetujuan Impor kepada perusahaan ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hendak melakukan kegiatan impor Gula Kristal Mentah (GKM) dan Gula Kristal Putih (GKP).1
Untuk melakukan kewenangan tersebut, Tom Lembong dibebani sebuah kewajiban untuk menjalankan rapat koordinasi terlebih dahulu bersama kementerian terkait. Koordinasi ini juga berkaitan dengan jumlah gula yang hendak diimpor agar sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri.2 Harapannya, kesesuaian jumlah impor dengan kebutuhan gula ini dapat menjaga agar stabilitas harga di pasaran tetap terjaga dan tidak membebani masyarakat.
Dalam rangka memenuhi kewajibannya sebelum memberikan Persetujuan Impor GKM kepada PT AP, Tom Lembong terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan menteri koordinator bidang perekonomian. Dengan persetujuan yang dikeluarkan oleh menteri koordinator bidang perekonomian pada tahun 2015, kewajiban Tom Lembong sebelum menerbitkan Persetujuan Impor untuk PT Angels Product (PT AP) sejatinya telah gugur dan tidak menimbulkan ganjalan hukum terkait permasalahan prosedural yang menjadi tanggungannya.
Merujuk pada pengertian penyalahgunaan wewenang di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang mengartikan
1 Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula
2 Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula
penyalahgunaan wewenang sebagai segala perbuatan yang dilakukan oleh Badan dan/atau Lembaga Pemerintahan dalam rangka pengambilan sebuah keputusan atau kebijakan dengan cara yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau sewenang-wenang,3 perbuatan Tom Lembong tidak dapat serta merta dikatakan sebagai sesuatu yang menyalahgunakan kewenangannya karena pada prinsipnya, Persetujuan Impor yang ia berikan telah sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula yang menjadi pijakan hukum bagi Tom Lembong dalam memberikan persetujuan impor gula.
2. Mengenai Kewenangan Tom Lembong dalam Memberikan Mandat Pengolahan GKM menjadi GKP kepada PT PPI Pada prinsipnya, tidak ada satu pun klausul di dalam peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit an rigid melarang dilakukannya pengolahan GKM menjadi GKP oleh perusahaan selain BUMN. Ketiadaan aturan ini menunjukkan bahwa dalam medio 2015 sampai 2016, telah terjadi suatu kekosongan hukum yang membutuhkan kebijakan segera guna menutup kekosongan tersebut.
Kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka mengisi kekosongan hukum itu dikenal dengan istilah diskresi. Diskresi diatur di dalam Undang-Undang Administrasi Publik yang pada prinsipnya memberikan keleluasan bagi setiap pejabat publik untuk mengeluarkan suatu kebijakan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dalam situasi yang mendesak dan tidak melanggar kepentingan umum.
Kemendesakan situasi dalam kasus impor gula yang menjerat Tom Lembong sejatinya dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa ketika surat persetujuan yang Tom Lembong tanda tangani untuk PT PPI agar dapat bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam pengelolaan GKM menjadi GKP, perusahaan gula milik BUMN belumlah masuk masa giling. Masa giling baru dimulai pada bulan Juni, sedangkan persediaan gula dalam negeri sudah sangat menipis. Untuk melakukan impor GKP ke dalam negeri pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pembiaran stok GKP yang dikonsumsi oleh masyarakat menipis di pasaran tentu akan mengganggu stabilitas harga di pasaran dan akhirnya kepentingan umum pun akan terdampak. Dalam rangka memenuhi
3 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Publik
kepentingan umum, pengolahan GKM menjadi GKP tentu begitu dibutuhkan.
Seringkali, dalam hal pejabat publik melakukan sebuah diskresi, mereka mendapatkan tudingan melampaui kewenangan.
Untuk mengetahui apakah diskresi yang dikeluarkan oleh Tom Lembong termasuk sebagai suatu perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan ataukah tidak, tentu dibutuhkan suatu penilaian lebih lanjut yang berkaitan dengan mens rea Tom Lembong pada saat mengeluarkan kebijakan tersebut.
Mens rea dalam kasus ini terlihat dari ada atau tidaknya keuntungan yang Tom Lembong peroleh dari usahanya yang disebut memperkaya korporasi. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh kejaksaan, sampai detik tulisan ini dibuat, tidak ada aliran dana sama sekali yang mengerucut kepada Tom Lembong. Oleh sebab itu, sudah semestinya perbuatan Tom Lembong dalam rangka mengeluarkan diskresi terkait pengolahan GKM menjadi GKP, tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
3. Mengenai Unsur ‘Kerugian Keuangan Negara’ dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/ 2015 telah membatalkan delik formil dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut berimplikasi terhadap kata
‘dapat’ di dalam pasal a quo yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, untuk dapat dijerat menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seorang pejabat publik haruslah benar-benar terbukti melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara yang masih bersifat potensial tidak dapat digunakan sebagai rujukan untuk mendakwa seseorang menggunakan pasal ini.
Sampai detik di mana Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional memegang wewenang untuk menyatakan bahwa sebuah perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik menyebabkan kerugian keuangan negara atau tidak, belum memberikan kesimpulan apakah kerugian sebesar Rp400 miliar yang disebabkan oleh penjualan GKP oleh delapan perusahaan swasta tersebut merupakan kerugian negara ataukah bukan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya diberikan wewenang untuk melakukan audit dan investigasi terkait perbuatan penyalahgunaan kewenangan, tanpa diberikan wewenang untuk
memutuskan apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik tersebut menyebabkan kerugian ataukah tidak.
Sementara itu, kerugian keuangan negara harus merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perbuatan melawan hukum dalam konteks yang dilakukan oleh pejabat pada dasarnya harus memuat tiga unsur berikut :
1) unsur kesalahan, yaitu perbuatan lalai dan pembiaran;
2) unsur bertentangan dengan hukum, berupa tidak melaksanakan kewajiban, tugas, dan tanggung jawab sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan;
3) unsur merugikan hak konstitusional dan hak asasi manusia.4 Perbuatan yang dilakukan oleh Tom Lembong terkait kebijakan impor gula dan pemberian izin untuk mengolah GKM menjadi GKP kepada PT PPI tidak memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang.
Hal itu berarti bahwa Tom Lembong telah melaksanakan kewajiban, tugas, dan tanggung jawabnya sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait sehingga tidak memenuhi unsur bertentangan dengan hukum.
Dengan demikian, maka dugaan adanya kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tidak dapat terbukti selama BPK tidak menetapkan apakah perbuatan Tom Lembong termasuk kerugian negara dan tidak dipenuhinya unsur perbuatan melawan hukum, maka tidak bisa dianggap kerugian keuangan negara.
4. Mengenai Keabsahan Penetapan Tersangka Tom Lembong Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 terkait perluasan objek praperadilan telah memberikan alas hak bagi tersangka untuk mengajukan praperadilan dengan objek penetapan status tersangka. Putusan tersebut menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia karena dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka, maka penyidik dapat melakukan penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahan terhadap tersangka tersebut. Oleh karena itu, penetapan tersangka harus dilakukan dengan sesuai hukum acara pidana yang telah diatur
4 Nafiatul Munawaroh, “Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa,” Hukum Online, 23 Desember 2022, Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) | Klinik Hukumonline, diakses pada 14 Desember 2024.
untuk melindungi hak-hak seseorang dari tindakan sewenang- wenang penyidik.
Pada penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan hukum acara pidana sehingga menimbulkan adanya kecacatan hukum formil, yaitu sebagai berikut :
1) Pada prinsipnya, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 (Perkap 6/2019), penyidikan dilakukan dengan berdasarkan pada Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Sprindik tersebut paling sedikit harus memuat dasar penyidikan, identitas tim penyidik, perkara yang dilakukan penyidikan, waktu dimulainya penyidikan, dan identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah. Setelah Sprindik diterbitkan, kemudian dibuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). SPDP dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Sprindik harus dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor. Akan tetapi, pada penetapan tersangka Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula, Sprindik yang menjadi dasar penyidikan tertanggal 3 Oktober 2023, sedangkan SPDP yang diterima oleh Tom Lembong dengan No. R-3163/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 29 Oktober 2024.5 SPDP yang diterima oleh Tom Lembong tersebut telah melebihi batas waktu 7 (tujuh) hari setelah Sprindik diterbitkan merupakan hal yang menyimpang dari Perkap 6/2019.
2) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dan berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum yang dipilih sendiri oleh tersangka tersebut merupakan salah satu upaya untuk menghindari terjadinya proses peradilan yang sewenang-wenang dan melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa.
Namun, berdasarkan pengakuan Tom Lembong, pada tanggal 29 Oktober 2024, ketika di-BAP sebagai tersangka, Tom Lembong tidak sempat meminta kuasa
5 kumparanNEWS, “Gula-Gula Pidana Tom Lembong”, Gula-Gula Pidana Tom Lembong | kumparan.com, diakses pada 14 Desember 2024
hukumnya untuk datang.6 Sebaliknya, Kejaksaan Agung telah menyiapkan pengacara untuk Tom Lembong. Hal tersebut melanggar Pasal 55 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka memiliki hak tersangka untuk memilih sendiri kuasa hukumnya. Penyidik seharusnya memberitahukan secara jelas terkait hak tersebut terhadap Tom Lembong.
Adanya ketidaksesuaian antara penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dengan hukum acara pidana yang berlaku, khususnya pada penerbitan SPDP dan hak untuk memilih penasihat hukum, maka secara hukum, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula tersebut tidak sah.
Sebagai upaya hukum untuk melindungi hak Tom Lembong, Tom Lembong atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka tersebut.
V. KESIMPULAN
1. Perbuatan Tom Lembong terkait pemberian izin impor gula tidak termasuk sebagai perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan karena berdasarkan hasil audit BPK, Indonesia memang tidak pernah mengalami surplus gula sehingga menjadi benar apabila Tom Lembong memberikan persetujuan impor GKM kepada PT PPI Persero;
2. Perbuatan Tom Lembong terkait pemberian mandat kepada PT PPI Persero untuk menunjuk perusahaan swasta sebagai rekan pengelolaan GKM menjadi GKP merupakan bagian dari diskresi yang ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum. Ketiadaan aturan yang mengatur secara jelas dan konkret terkait dapat atau tidaknya perusahaan selain BUMN mengolah GKM menjadi GKP menjadi salah satu alasan mengapa diskresi yang dikeluarkan Tom Lembong tidak termasuk sebagai sebuah perbuatan melawan hukum;
3. Sebagaimana yang disebutkan di dalam poin nomor 2, untuk dapat membuktikan suatu diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat publik menyalahgunakan wewenang atau tidak, harus ditemukan dilihat mens rea-nya terlebih dahulu. Mens rea ini dapat diidentifikasi dari ada atau tidaknya keuntungan yang diperoleh Tom Lembong ketika dia berhasil memperkaya korporasi tersebut. Berdasarkan keterangan dari pihak kejaksaan, sampai detik ini belum ditemukan aliran dana ke Tom Lembong;
6 CNN Indonesia, “Tom Lembong Disebut Tak Diberi Kesempatan Tunjuk Kuasa Hukum Sendiri”, Tom Lembong Disebut Tak Diberi Kesempatan Tunjuk Kuasa Hukum Sendiri, diakses pada 14 Desember 2024
4. Penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai aturan yang digunakan untuk mendakwa Tom Lembong dalam hal ‘kerugian keuangan negara’ pun tidak tepat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/ 2015, kata ‘dapat’ di dalam pasal tersebut telah dibatalkan sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak lagi memiliki delik formil, melainkan hanya delik materiil semata. Delik materiil ini mensyaratkan harus adanya kerugian yang dapat dibuktikan secara nyata melalui penghitungan yang dilakukan oleh BPK sebagai lembaga konstitusional yang memiliki wewenang untuk melakukan pengauditan dan dinyatakan secara spesifik bahwa perbuatan Tom Lembong memang benar-benar merugikan keuangan negara. Dalam hal ini, BPK tidak menyebutkan hal tersebut secara spesifik. Adapun terkait hasil pengauditan yang dilakukan oleh BPKP, tetap dianggap benar dan konkret selama kegiatan tersebut dilakukan berdasarkan mandat yang diberikan oleh BPK. Namun, BPKP tetap tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara;
5. Dalam hal penetapan tersangka yang dilakukan kepada Tom Lembong, terdapat kecacatan hukum formil yang dapat digunakan sebagai celah untuk melakukan praperadilan. Pemberian SPDP yang lebih lambat dari 7 (tujuh) hari setelah penerbitan Sprindik dan tidak diberikannya kesempatan bagi Tom Lembong untuk menggunakan haknya sebagai tersangka untuk memilih penasihat hukum merupakan bentuk kecacatan hukum formil yang dialami oleh Tom Lembong sebagai tersangka. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait perluasan objek praperadilan telah memberikan alas hak bagi tersangka untuk mengajukan praperadilan sebagai upaya hukum terkait apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka tersebut sehingga Tom Lembong, keluarganya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan praperadilan.
VI. REKOMENDASI HUKUM
Sebagaimana upaya untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa yang akan datang, maka Penulis memberikan beberapa rekomendasi hukum sebagai berikut :
1. Evaluasi dan Penyempurnaan Regulasi Pemerintah perlu memperbarui dan memperjelas regulasi terkait impor gula, khususnya mengenai kewenangan pejabat publik dalam memberikan izin impor kepada entitas non-BUMN. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang dapat menimbulkan potensi diskresi yang berlebihan.
2. Peningkatan Transparansi dalam Proses Diskresi Diskresi yang dilakukan oleh pejabat publik harus disertai dengan dokumentasi yang jelas, transparan, dan dapat diakses oleh publik untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut diambil sesuai dengan kepentingan umum tanpa adanya konflik kepentingan.
3. Peningkatan Pengawasan oleh Lembaga Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu meningkatkan pengawasan terhadap kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Selain itu, koordinasi antara BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus diperkuat untuk memastikan bahwa hasil audit memiliki landasan hukum yang kuat.
4. Penyempurnaan Prosedur Hukum Acara Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya harus memastikan bahwa seluruh prosedur hukum acara, seperti penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan hak tersangka untuk memilih penasihat hukum, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk menghindari kecacatan hukum formil yang dapat merugikan proses penegakan hukum.
5. Peningkatan Kapasitas dan Integritas Pejabat Publik Pejabat publik harus diberikan pelatihan terkait pengambilan keputusan yang berbasis hukum dan kepentingan publik. Selain itu, integritas mereka harus dijaga melalui mekanisme evaluasi berkala dan sanksi tegas terhadap pelanggaran.
6. Pembentukan Preseden Hukum
Kasus ini dapat dijadikan preseden untuk membangun kerangka hukum yang lebih jelas terkait batasan diskresi dan penyalahgunaan wewenang. Keputusan hukum yang diambil harus memuat panduan yang dapat digunakan dalam kasus serupa di masa depan.
7. Peningkatan Komunikasi Publik
Dalam kasus yang melibatkan kebijakan publik, seperti impor gula, pejabat terkait harus memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat untuk menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
CNN Indonesia. “Tom Lembong Disebut Tak Diberi Kesempatan Tunjuk Kuasa Hukum Sendiri”, Tom Lembong Disebut Tak Diberi Kesempatan Tunjuk Kuasa Hukum Sendiri, diakses pada 14 Desember 2024
kumparanNEWS. “Gula-Gula Pidana Tom Lembong”, Gula-Gula Pidana Tom Lembong | kumparan.com, diakses pada 14 Desember 2024
Munawaroh, Naifatul. “Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa.” Hukum Online, 23 Desember 2022, https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbuatan-melawan- hukum-oleh-penguasa-ionrechtmatige-overheidsdaad-i-lt4d1cdbcfd06b6.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Publik