• Tidak ada hasil yang ditemukan

abstrak - etheses UIN Mataram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "abstrak - etheses UIN Mataram"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

3

(3)

4

(4)

5

PENGESAHAN PENGUJI

(5)

7

(6)

8 ABSTRAK Nama : Muh. Taufiqurrahman Nim : 180404023

Judul : Implementasi Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah (Rahn) Pada Pegadaian Syariah Unit Selong Kabupaten Lombok Timur

Pegadaian syariah Unit Gelang Selong Lombok Timur memiliki prinsip utama dalam pelayanannya yaitu membantu masyarakat untuk lebih sejahtera dan maju dengan menekankan pada ketentuan hukum Islam berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor 25 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa tindakan ekonomi seperti jual-beli, pinjam-meminjam, dan hutang- piutang harus memenuhi prinsip-prinsip: keadilan, keseimbangan, kemaslahatan, universalisme, tidak mengandung objek yang tidak jelas, tidak spekulatif, tidak mengandung riba, tidak zalim kepada pihak lain, tidak boleh ada tindakan suap atau sogok, dan bukan merupakan objek haram.

Masalah tersebut dilihat dan dianalisis dengan pendekatan teoretik- konseptual dan pendekatan empirik. Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode kualitatif dengan sumber data dari data primer yang merupakan subjek atau informan penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dan data sekunder berupa informasi yang berbentuk dokumen. Data sekunder lainnya diperoleh dari buku-buku, jurnal dan artikel lainnya yang membahas tentang gadai syariah. Pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman manajemen pegadaian syariah unit Gelang Lombok Timur terhadap Fatwa DSN Nomor 25 Tahun 2002 tentang gadai syariah cukup baik atau memadai sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang melekat dalam jabatannya dalam struktur organisasi pengelolaan unit. Sementara pemahaman nasabah terhadap gadai syariah yang meliputi: pengertian pegadaian syariah; hukum, rukun, ketentuan, dan akad gadai syariah; mekanisme pegadaian syariah; produk-produk pegadaian syariah; serta tujuan dan

(7)

9

manfaat pegadaian syariah, hanya sebagian kecil nasabah yang memiliki pemahaman cukup atau memadai, itupun terkait produk yang dimanfaatkan. Adapun sebagian besar nasabah hanya memahami nama produk, jenis produk, syarat yang sederhana, layanan yang cepat dan memuaskan.

Standar Fatwa Dewan Sayriah Nasional Nomor 25/DSN- MUI/III/2002 tentang Rahn, hendaknya dapat ditingkatkan fungsinya menjadi instrumen pengaturan untuk menjamin kepatuhan operasional pegadaian terhadap prinsip syariah, dan perlunya sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif mengenai produk-produk pegadaian syariah kepada masyarakat luas khususnya di Lombok Timur, dan kepada para praktisi lembaga keuangan syariah baik perbankan maupun non perbankan sehingga dapat dikembangkan lebih baik.

Kata Kunci : Implementasi, Fatwa DSN-MUI Nomor 25 Tahun 2002, Gadai Syariah

(8)

10 ABSTRACT Nama : Muh. Taufiqurrahman Nim : 180404023

Titel : The Implementation Fatwa of the National Sharia Council Number 25 of 2002 Concerning Sharia Pawn (Rahn) in Sharia Pawnshop Selong East Lombok Regency Unit

Sharia pawnshop Selong East Lombok Regency unit has a main principle in its service, namely helping the community to be more prosperous and advanced by emphasizing the provisions of Islamic law based on DSN-MUI Fatwa Number 25 of 2002 which states that economic actions such as buying and selling, borrow and give loans must meet the principles of: justice, balance, benefit, universalism, do not contain objects that are not clear, are not speculative, do not contain usury, do not tyrannical to other parties, there must be no bribery or bribery, and is not an unlawful object.

The problem is seen and analyzed with a theoretical-conceptual approach and an empirical approach. The method used in this thesis is a qualitative method with data sources from primary data which are research subjects or informants obtained from direct interviews and secondary data in the form of information in the form of documents. Other secondary data is obtained from books, journals and other articles that discuss sharia pawning. Collecting data through observation, interviews, and documentation.

The results showed that the understanding of sharia pawnshop management in the Selong East Lombok Regency unit of the DSN Fatwa Number 25 of 2002 concerning sharia pawning is quite good or adequate in accordance with the main tasks and functions inherent in the position in the organizational structure of unit management. Meanwhile, customers' understanding of sharia pawnshops includes: understanding of sharia pawnshops; sharia law, pillars, provisions, and pawn contracts; sharia pawnshop mechanism; sharia pawnshop products; as well as the objectives

(9)

11

and benefits of sharia pawnshops, only a small number of customers have sufficient or adequate understanding, and even then regarding the products used. Meanwhile, most of the customers only understand the product name, product type, simple terms, fast and satisfying service.

Standard of the National Sharia Council Fatwa Number 25/DSN- MUI/III/2002 concerning sharia pawn (Rahn), should be able to increase its function as a regulatory instrument to ensure operational compliance of pawnshops with sharia principles, and the need for more intensive socialization and education regarding sharia pawnshop products to the public. especially in East Lombok, and to practitioners of Islamic financial institutions, both banking and non-banking so that they can be developed better.

Kata Kunci : Implementation, Fatwa DSN-MUI Number 25 of 2002, Sharia Pawn

(10)

12 MOTTO:

“Hidup Berkah Tanpa Riba”

(11)

13 PERSEMBAHAN:

Tesis ini dipersembahkan untuk:

1. Ibundaku dan Ayahanda ku tercinta yang telah mendidik dan mendoakan ananda

2. Istriku tersayang yang selalu mendampingi dan memberikan motivasi sehingga tesis ini terselesaikan

3. Anak-anakku tercinta yang menjadi penerus dan penyemangat dalam menimba ilmu pengetahuan

4. Almamaterku tercinta

(12)

14

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu mencurahkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk tanpa pilih kasih.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang senantiasa ikhlas dan istiqomah dalam melaksanakan sunnahnya.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian tesis ini tidak akan pernah sukses tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu:

1. Dr. H. Muslihun, M.Ag sebagai pembimbing I dan Dr. Muhammad Yusuf, MSI sebagai pembimbing II yang senantiasa memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam suasana keakraban sampai selesainya tesis ini;

2. Dr. Baiq Ratna Mulhimmah, MH. Sebagai ketua program studi Ekonomi Syariah Program Magister Pascasarjana UIN Mataram;

3. Prof. Dr. H. Fahrurrozi, MA. selaku Direktur Pascasarjana UIN Mataram;

4. Prof. Dr. H. Masnun, MA. selaku Rektor UIN Mataram yang telah memberikan tempat bagi penulis untuk menimba ilmu pengetahuan dan memberi bimbingan untuk tidak berlama-lama di kampus;

5. Pimpinan Pegadaian Syariah Selong dan segenap siapa saja yang terlibat dalam pembuatan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu

(13)

15

Semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semesta.

Mataram, 28 Mei 2022 Penulis,

Muh Taufiqurrahman

(14)

16 5.

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB Huruf

Arab

Nama Huruf Latin Nama

أ

Alif dilambangkan Tidak

Tidak dilambangkan

ب

Ba B Be

ت

Ta T Te

ث

Ṡa es (dengan titik di atas)

ج

Jim J Je

ح

Ḥa ha (dengan titik di

bawah)

خ

Kha Kh ka dan ha

د

Dal d De

ذ

Żal ż Zet (dengan titik di

atas)

ر

Ra r er

ز

Zai z zet

(15)

17

س

Sin s es

ش

Syin sy es dan ye

ص

Ṣad es (dengan titik di

bawah)

ض

Ḍad de (dengan titik di

bawah)

ط

Ṭa te (dengan titik di

bawah)

ظ

Ẓa zet (dengan titik di

bawah)

ع

`ain ` koma terbalik (di atas)

غ

Gain g ge

ف

Fa f ef

ق

Qaf q ki

ك

Kaf k ka

ل

Lam l el

م

Mim m em

(16)

18

ن

Nun n en

و

Wau w we

Ha h ha

ء

Hamzah apostrof

ي

Ya y ye

(17)

19 DAFTAR ISI

KOVER LUAR ... i

LEMBAR LOGO ... ii

KOVER DALAM ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PERSETUJUAN PENGUJI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ... vii

ABSTRAK ... viii

MOTTO ... ix

PERSEMBAHAN ... x

KATA PENGANTAR ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... xiii

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan, Rumusan Masalah, dan Tujuan Penelitian... 5

C. Tujuan Penelitian ... ... 5

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian...6

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan...7

F. Kerangka Teori ... 9

G. Metode Penelitian...22

H. Sistematika Pembahasan...28

BAB II PEMAHAMAN PENGELOLA PEGADAIAN SYARIAH UNIT GELANG SELONG LOMBOK TIMUR TERHADAP FATWA DSN NO 25 TAHUN 2002 TENTANG GADAI SYARIAH (RAHN) A. Gambaran Umum Pegadaian Syariah Unit Gelang Lombok Timur...31

1. Sejarah Berdiri...31

2. Letak Geografis...32

3. Struktur Organisasi...32

B. Pemahaman Manajemen Pegadaian Syariah...33 a. Pemahaman Manajemen Terhadap Konsep Gadai Syariah

(18)

20 (Rahn).33

b. Pemahaman Manajemen Terhadap Hukum Rahn...34 c. Pemahaman Manajemen Terhadap Rukun dan Ketentuan Gadai

Syariah...37 d. Pemahaman Manajemen Terhadap Mekanisme Pegadaian

Syariah...38 e. Pemahaman Manajemen Terhadap Akad dalam Gadai

Syariah...39 f. Pemahaman Manajemen Terhadap Produk-Produk Pegadaian

Syariah...40 g. Pemahaman Manajemen Terhadap Tujuan dan Manfaat Pegadaian

Syariah...40 BAB III IMPLEMENTASI FATWA DSN NO.25 TAHUN 2002 TENTANG GADAI SYARIAH OLEH LEMBAGA PEGADAIAN SYARIAH

UNIT GELANG SELONG LOMBOK TIMUR

A. Produk-Produk yang dilaksanakan...42 B. Mekanisme Operasional Pelaksanaan...43 C. Ketentuan Sistem dan Prosedur Pemberian Pinjaman, Pelunasan Pinjaman...44 BAB IV PEMAHAMAN NASABAH PEGADAIAN SYARIAH UNIT GELANG LOMBOK TIMUR TERHADAP FATWA DSN NO. 25 TAHUN 2002 TENTANG GADAI SYARIAH

A. Pemahaman Nasabah Terhadap Pegadaian Syariah...47 B. Pemahaman Nasabah Terhadap Hukum, Rukun, Ketentuan dan Akad

Gadai

Syariah...48 C. Pemahaman Nasabah Terhadap Mekanisme Pegadaian Syaria...50 D. Pemahaman Nasabah Terhadap Produk-Produk Pegadaian Syariah.51

(19)

21

E. Pemahaman Nasabah Terhadap Tujuan dan Manfaat Pegadaian Syariah...52 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan...53 B. Implikasi Teoretik...53 C. Saran...,,,,,.54

(20)

22 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lembaga keuangan non perbankan dalam system ekonomi Indonesia seperti pegadaian sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Meskipun pemerintah kolonial Belanda mempunyai tujuan yang positif untuk menekan praktik pegadaian ilegal dan meminimalisir perilaku lintah darat yang sangat merugikan rakyat, namun kebijakan ekonomi yang diambil tetap bernuansa imperialisme yaitu dengan memonopoli usaha pegadaian dalam bentuk jawatan pegadaian.

Tahun 1930 dengan staatblaad 1930 Nomor 226, Jawatan Pegadaian seperti dijelaskan di atas mengalami perubahan bentuk menjadi perusahaan negara berdasarkan pasal 2 IBWI (donesche Bedrijven Wet) yang menyatakan bahwa: penunjukkan dari cabang-cabang dinas Negara Indonesia sebagai Perusahaan Negara dalam pengertian undang-undang ini, dilakukan dengan ordonansi.1

Semenjak Indonesia merdeka Perum Pegadaian merupakan sarana pendanaan alternatif yang sangat efektif dan efisien, serta telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia karena untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dari lembaga penyedia bantuan pembiayaan jangka waktunya cukup singkat dengan persyaratan yang relatif sederhana dan tidak banyak, cukup dengan menyiapkan jaminan, setiap orang mendapatkan uang chas berdasarkan harga taksiran barang yang digadaikan, sehingga sangat membantu masyarakat yang membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan primer yang mendesak atau modal usaha segera dapat diatasi.

Hal ini sejalan dengan semboyan pegadaian yang sangat terkenal yaitu

“mengatasi masalah tanpa masalah”.

Perkembangan selanjutnya, Perusahaan Umum Pegadaian mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terkait dengan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sudah selayaknya masyarakat muslim Indonesia dengan keyakinan agama yang dianut, leluasa menjalankan aktivitas bermuamalah di bidang ekonomi berdasarkan

1 Zaman, Aneka Hukum Bisnis. (Bandung: PT Alumni, 1995), hal. 153

(21)

23

syariat Islam, termasuk memanfaatkan jasa keuangan non perbankan yaitu jasa gadai yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Perkembangan sistem keuangan syariah, baik perbankan maunpun non perbankan ditandai dengan berdirinya berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrument keuanga berdasarkan syariah. Lembaga keuangan syariah pada prinsipnya berbeda denga lembaga keuangan konvensional dari sisi tujuan, mekanisme, prosedur, kekuasaan, dan ruang lingkup. Semua unit dalam institusi keuangan syariah menjadi bagian integral dari sistem keuangan syariah. Adapun tujuan didirikannya lembaga keuangan syariah adalah membantu mewujudkan tujuan sosial ekonomi masyarakat Islam.2

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian. Satu hal yang perlu dicermati bahwa PP Nomor 10 tahun 1990 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktek riba, dimana misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Setelah melalui kajian yang panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan devisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.3

Gadai Syari’ah atau rahn pada mulanya merupakan salah satu produk yang ditawarkan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syari’ah pertama di Indonesia. Bank Muamalat telah mengadakan kerjasama dengan Perum Pegadaian dan melahirkan Unit Layanan Gadai Syari’ah (kini, Cabang Pegadaian Syariah) yang merupakan lembaga mandiri berdasarkan prinsip syariah. Secara operasional definisi Gadai Syariah dalam hukum Islam adalah Rahn, yaitu meminta dan menahan salah satu harta (benda/barang) milik peminjam atau rahin, sebagai jaminan atas pinjaman yang diteriman dari pemberi pinjaman (murtahin).

Rahn lahir disebabkan oleh terjadinya transaksi tidak secara tunai atau perjanjian hutang-piutang. Jika bermuamalah (bertransaksi) tidak secara tunai atau hutang piutang, maka seharusnya ada catatan tertulis yang

2 Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana Pranada Group, 2017)

3 Anshari, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hal. 116

(22)

24

diketahui oleh kedua belah-pihak sebagai bukti agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Salah satu pendapat menjelaskan bahwa rahn adalah “menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut”4.

Untuk menjalankan rahn, pegadaian syariah yang bersemboyan

“Menyelesaikan Masalah Sesuai Syari’ah” berpedoman pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN), sebagai Badan Pengawas Lembaga Keuangan Syari’ah bank dan non-bank yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia5 (Anshari, 2006: 117). Kelahiran gadai Syari’ah di Indonesia masih tergolong muda. Lembaga ini beroperasi sejak tahun 2003, melayani hanya satu jenis akad yaitu ijrah atau penyewaan tempat untuk penitipan barang. Adapun mengenai fiducia dan hak jaminan atas tanah belum dilayani oleh pagadaian karena belum ada fatwa terkait dari Dewan Syariah Nasional MUI tentang hal tersebut.

Pegadaian Syariah Unit Selong Lombok Timur pada awalnya merupakan unit dari Cabang Pegadaian Syariah Praya Lombok Tengah yang dibentuk pada tahun 2007 oleh Kanwil VIII Perum Denpasar sebagai cabang-cabang perum lainnya yang ada di NTB. Berdasarkan PP No. 23 tahun 1994, Perum Pegadaian Syariah Cabang Praya Kabupaten Lombok Tengah berubah nama menjadi PT. Pegadaian Syariah Praya Lombok Tengah. Selanjutnya pada tahun 2010 dibuka Pegadaian Syariah Unit Gelang Lombok Timur sebagai salah satu strategi pengembangan usaha perusahaan dalam rangka menangkap peluang sekaligus memperluas jangkauan pelayanan.

Dibukanya Pegadaian Syariah Unit Selong di Lombok Timur yang mayoritas penduduknya muslim, pada satu sisi dimaksudkan untuk mengakomodir sebagian kelompok masyarakat yang masih ragu bahkan enggan untuk menggunakan layanan pegadaian konvensional yang sudah ada sebelumnya, sementara di sisi lain sebagian besar masyarakat Lombok Timur khususnya di Selong dan sekitarnya belum mengetahui atau memahami dengan baik bahwa Pegadaian Syariah dijalankan atas dasar fatwa DSN-MUI No. 25 Tahun 2002. Kondisi ini sangat memungkinkan

4 Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, terjnamahan Kamaluddin A.M. (Bandung: PT . Al- Ma’arif, 1988).

5 Anshari, Gadai Syariah di Indonesia:…….., hal. 117

(23)

25

juga disebabkan oleh tingkat pemahaman dan penafisiran pengelola Pegadaian Syariah Selong Lombok Timur atas fatwa DSN-MUI No. 25 dan 26 Tahun 2002 tentang sistem ekonomi atau keuangan syariah beserta produk-produk turunannya. Implementasi operasional pegadaian syariah pada dasarnya hampir sama dengan pegadaian konvensional, namun yang membedakannya adalah adanya permintaan biaya tambahan atas dana yang dipinjamkan (dikenal dengan istilah bunga), yang dipersepsi sebagai sistem riba. Sedangkan pada pegadaian syariah, biaya tambahan atau bunga tidak ada atau tidak dibolehkan.

Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 12 Oktober 2020, dilengkapi dengan hasil diskusi bersama rekan-rekan dosen ekonomi Universitas Hamzanwadi, Universitas Gunung Rinjani, dan dosen Syariah IAIH Pancor di Selong, serta wawancara pada tanggal 13-14 Oktober 2020 dengan Haji Muhammad Hamdan, Muhammad Tohari, Hajjah Siti Fatimah, Imam Khairuddin, Fajriatul Aini, dan Zurriatun Hasanah yang tinggal di Kelurahan Pancor dan Kelurahan Sekarteja, yang ada di sekitar kantor Pegadaian Syariah Unit Selong Lombok Timur, disampaikan bahwa masih cukup banyak kelompok masyarakat atau nasabah lembaga keuangan syariah berasumsi bahwa salah satu praktik prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti ijarah (biaya administrasi, jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan), secara teknis operasional terkesan sama dengan perbankan konvensional, padahal memiliki esensi dan tujuan berbeda yang tidak pahami dengan baik. Peneliti juga menemukan sebagian besar nasabah pegadaian syariah unit Selong pada saat membayarkan ijarah setiap bulannya, beranggapan sama dengan membayar bunga gadai, seperti membayar bunga bank di perbankan konvensional.

Terdapat sebagian masyarakat di Lombok Timur bersumsi bahwa pegadaian syariah dan pegadaian konvensional sama saja, hanya berbeda dari sisi tampilan luarnya semata, walaupun ada sebagian kelompok masyarakat memandang bahwa menggunakan jasa pegadaian syariah lebih aman dari sisi menghindari riba pada lembaga keuangan konvensional.

Berbagai macam anggapan atau persepsi masyarakat tentang produk dan sistem pegadaian syariah di Indonesia, termasuk di Selong Lombok Timur di atas, disebabkan oleh karena pengetahuan dan pemahaman serta sosialisasi atau promosi yang masih sangat terbatas. Sehingga sangat

(24)

26

diperlukan adanya program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait keberadaan, tujuan, dan fungsi lembaga keuangan Islam non-bank salah satunya pegadaian syariah yang dapat meyakinkan nasabah maupun masyarakat luas.

Menilik paparan latar belakang di atas yang menunjukkan masih terjadinya kesenjangan antara harapan yang dituju dengan kenyataan atau kondisi yang terjadi, padahal Pengadaian Syariah unit Selong Lombok Timur sudah beroperasi selama 10 tahun sejak didirikan, maka peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan ini dengan fokus tema

“Implementasi Dewan Syari’ah Nasional MUI No 25 Tahun 2002 Tentang Rahn (Gadai Syariah) Pada Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Lombok Timur”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kemampuan pihak manajemen Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur dalam memahami Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah?

2. Bagaimanakah implementasi Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah oleh lembaga Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur?

3. Bagaimanakah pemahaman nasabah Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur terhadap Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan permasalahan penelitian di atas, maka rumusan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui kemampuan pihak manajemen Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur dalam memahami Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah.

(25)

27

2) Untuk mendeskripsikan implementasi Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah oleh lembaga Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur.

3) Untuk mengeksplorasi pemahaman nasabah Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur terhadap Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25 Tahun 2002 Tentang Gadai Syariah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini dikelompok menjadi dua, sebagai berikut:

1) Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengembangan dan pengayaan ilmu pengetahuan di bidang sistem keuangan non perbankan berbasis syariah terkait dengan pelaksanaan fatwa DSN-MUI No. 25 tahun 2002 di lembaga Pegadaian Syariah.

2) Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak terutama masyarakat Lombok Timur yang terkait dengan implementasi fatwa DSN-MUI No. 25 tahun 2002 di lembaga Pegadaian Syariah Selong Lombok Timur.

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah tentang implementasi, pemahaman pengelola unit, dan pemahaman nasabah Pegadaian Syariah unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur terhadap fatwa Dewan Syari’ah Nasional No 25 Tahun 2002 tentang rahn (gadai syariah).

2. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pegadaian Syariah unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur. Ada beberapa alasan peneliti melakukan penelitian di Pegadaian Syariah unit Selong adalah sebagai berikut:

1) Peneliti memilih pegadaian syariah karena di melalui pegadaian syariah masyarakat dapat memperoleh dana yang dibutuhkan dalam waktu

(26)

28

yang singkat, syarat yang sederhana, bebas dari riba, dan sesuai dengan mottonya yaitu “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah Sesuai Syariah”

2) Peneliti memilih Pegadaian Syariah unit Gelang Selong Lombok Timur karena merupakan daerah yang paling banyak penduduknya di provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mayoritas beragama Islam lebih dari 99%.

3) Peneliti memilih pegadaian syariah karena merupakan lembaga keuangan non perbankan yang mampu membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan dana atau pembiayaan, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan mikro, serta membantu meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian Maman Surahman dan Panji Adam (2017) tentang

“Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn di Lembaga Pegadaian Syariah”. Hasil penelitian ini menjabarkan konsep gadai dalam literatur fikih klasik dan konsep syariah pada pegadaian syariah. Konteks literatur fikih klasik, konsep gadai disebut dengan rahn, yaitu perjanjian penyerahan barang sebagai bentuk jaminan atau hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang. Dasar hukum rahn terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Baqaroh: 283, serta hadist Nabi dan beberapa kaidah-kaidah fikih yang dipakai para ulama. Prinsip-prinsip syariah yang diberlakukan di lembaga pegadaian syariah terdapat tiga prinsip yaitu:

tauhid, tolong-menolong (ta’awun), dan bisnis (tijari).6

Penelitian dari Habib Wakidatul Ihtiar (2016), dengan judul “Analisis Fatwa DSN Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai Rahn”. Hasil penelitian ini tentang latar belakang DSN-MUI mengeluarkan fatwa tersebut adalah fatwa-fatwa tentang rahn yang sudah ada belum mengakomodir pengembangan usaha berbasis rahn yang masih berkutat pada hukum-hukum dan mekanisme yang sempit dan alasan lain yaitu kebutuhan lembaga keuangan syariah akan fatwa yang mendukung pengembangan usaha berbasis rahn. Metode istinbat yang dipakai DSN- MUI dalam mengeluarkan fatwa dalam penelitian ini adalah maslahah-

6 Maman S., Panji A. Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn Di Lembaga Pegadaian Syariah, Jurnal Law And Justice, Vol. 2, No. 2, 2017

(27)

29

mursalah. Pembiayaan-pembiayaan boleh disertakan dengan rahn sebagai penguat terpenuhinya maqasid al-aqad.7

Penelitian yang dilakukan oleh Khurin Fijria Nuzula dan Irham Zaki (2016) tentang “Tinjauan Implementasi Fatwa DSN No.25/DSN- MUI/III/2002 Pada Pelaksanaan Penjualan Barang Gadai Yang Tidak Ditebus Di Bank Jatim”, menyimpulkan bahwa terdapat ketidaksesuaian penjualan barang gadai (marhun) di Bank Jatim Syariah dengan fatwa tersebut, terkait dengan jual paksa/ekskusi penjualan barang gadai (marhun).8

Kontradiksi berbentuk adanya pasal dalam Pedoman Pelaksanaan Pembiayaan Gadai Bank Jatim Syariah yang mengizinkan adanya proses penjualan tidak melalui lelang syariah, tetap dijual di bawah tangan, dalam praktik penjualannya pun tidak pernah melakukan lelang pada barang yang tidak ditebus seperti disebutkan dalam fatwa tersebut di atas.

Penjualan barang gadai tersebut dianalisis dari empat pola yaitu: 1) masa jatuh tempo, 2) ekskusi penjualan barang gadai, 3) hasil penjualan barang gadai, dan 4) kelebihan dan kekurangan hasil penjualan barang.

Penelitian tesis yang dilakukan oleh Tri Pudji Susilowati (2008) dengan judul “Pelaksanaan Gadai dengan Sistem Syariah Di Perum Pegadaian Semarang”, yang salah satu hasil atau temuan penelitiannya adalah Perlindungan hukum bagai para pihak dalam pelaksanaan gadai syariah dapat dilihat dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) No. 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai), yang disahkan pada tanggal 26 Juni 2002.9

Penelitian di atas membuktikan bahwa fatwa tersebut dilaksanakan untuk mengatur hal-hal berikut: a) penerima barang gadai mempunyai hak untuk menahan barang gadaian tersebut sampai semua utang dilunasi, b) apabila jatuh tempo, pegadaian harus mengingatkan rahin untuk segera

7 Wakidatul I., Habib. Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 92/DSN- MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai dengan Rahn, Jurnal An-Nisbah, Vol.

03, No. 01. 2016.

8 Khurin Fijria Nuzula, Irham Zaki. Tinjauan Implementasi Fatwa DSN No.

25/DSN-MUI/III/2002 Pada Pelaksanaan Penjualan Barang Gadai yang tidak ditebus di Bank Jatim Syariah. Jurnal Ekonomi Syariah: Teori dan Terapan. Vol. 3 No. 5, 2016

9 Susilowati, Tri P. Pelaksanaan Gadai dengan Sistem Syariah Di Perum Pegadaian Semarang. (Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008).

(28)

30

melunasi utangnya, jika rahin tetap tidak mampu melunasi utangnya, maka barang gadaian dijual paksa atau ekskusi, c) akad transaksi di Pegadaian Syariah harus sesuai dengan Syariah Islam, seperti akad tidak mengandung syarat bathil, pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemilik barang gadai, barang gadaian dapat dijual dan nilainya seimbang dengan jumlah pinjaman, memiliki niai, jelas ukurannya, kepemilikan penuh dari peminjam, tidak terkait dengan hak orang lain, dan dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya.

F. Kerangka Teori 1. Definisi Implementasi

Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penerapan atau pelaksanaan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu aktivitas seseorang atau sekelompok orang yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Salah satu upaya mewujudkan suatu tujuan dalam sebuah sistem adalah implementasi. Suatu konsep atau kebijakan yang telah diputuskan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya implementasi.

Kamus Webster merumuskan secara singkat bahwa implementasi berarti menyiapkan sarana untuk melakukan suatu hal, suatu hal yang melahirkan dampak tertentu. Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus disertai sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu tersebut10

Berdasarkan pengertian kata implementasi tersebut, maka imlementasi fatwa DSN-MUI No. 25 tahun 2002 dapat dimaknai sebagai proses pelaksanaan Pegadaian Syariah berdasarkan hukum Islam yang diberlakukan oleh lembaga Pegadaian Syariah Unit Selong Lombok Timur kepada masyarakat selaku nasabah dengan menerapkan akad murabahah dan akad rahn atau gadai.

2. Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 25 Tahun 2002 a. Definisi Rahn (Gadai Syariah)

10 Suyanto, B., Masalah Sosial Anak. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 182

(29)

31

Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, atas dasar suatu kepercayaan dari setiap orang yang berutang, maka orang yang berutang menyerahkan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya. Barang jaminan tersebut tetap menjadi milik orang yang berhutang, tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Konsep tersebut dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.11

Gadai merupakan jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang kepada pemberi hutang. Pemberi hutang mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu lagi membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan, tetapi dikuasai olej penerima gadai.

Praktik seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong.12

Merujuk pada pandangan beberapa ulama, yang dimaksud dengan gadai (rahn) adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang sehingga seseorang boleh mengambil utang (Panji, 2018). Sesungguhnya memberikan pinjaman dalam bentuk utang untuk membantu atau menolong seseorang yang membutuhkan merupakan suatu tindakan kebajikan. Namun, untuk ketenangan hati, pemberi utang meminta suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh yang berutang.13

Gadai bermaksud agar pemberi utang percaya kepada pihak yang berutang dengan suatu barang sebagai jaminan. Pada prinsipnya barang jaminan (gadaian) menjadi kewajiban orang yang menggadaikan (rahin) untuk penyimpanan dan pemeliharaannya, tetapi kewajiban tersebut dapat juga dilimpahkan kepada pihak penerima gadai dan biaya pemeliharaan menjadi tanggungan pihak penggadai. Terkait dengan besarnya biaya pemeliharaan tidak ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu keputusan atau pendapat yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia

11 Firdaus, M. dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer. (Jakarta:

Renaisan, Cet. 1, 2005), hal. 68

12 Imam Mustofa. Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers., 2016)

13 Panji Adam. Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah: Konsep, Metodologi, dan Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018)

(30)

32

tentang suatu masalah kehidupan umat Islam. Fatwa ini tidak mengikat atau memaksakan harus ditaati oleh umat Islam. Penelitian ini dibatasi pada fatwa Dewan Syariah Nasional MUI NO. 25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002 oleh ketua dan sekretaris DSN tentang Rahn (gadai syariah).

Secara etimologis Gadai Syariah berasal dari kata ar-Rahn yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam istilah hokum positif disebut dengan istilah barang jaminan, agunan, dan rungguhan.

Konteks nilai-nilai Islam, ar-Rahn merupakan sarana dan cara saling tolong-menolong atau ta’awun bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan jasa.14 Sedangkan secara terminology, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.15

Sejalan dengan pendapat di atas, dijelaskan bahwa gadai syariah (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Pada dasarnya gadai menurut Islam hukumnya boleh (jaiz).16 Al-Qur’an surat Al-Baqaroh ayat 283 menjelaskan bahwa gadai pada hakekatya merupakan salah satu bentuk dari konsep muammalah, yang sangat menonjolkan sikap saling menolong dan sikap amanah. Maka secara umum, hakekat dan fungsi pegadaian dalam Islam adalah semata- mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.17

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Rahn adalah sejenis jaminan atas utang atau pinjaman, yang dalam konteks lembaga keuangan non perbankan disebut Gadai. Menuurt syariat

14 Haroen, N. Fiqih Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Cet. Ke-1,

hal 251

15 Antonio, M. Syafi’i. Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 128

16 Rais, S. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional. (Jakarta:

Universitas Indonesia, 2005), hal. 38

17 Rais, S. Pegadaian Syariah, ………, hal. 41

(31)

33

Islam penggadaian merupakan suatu tanggungan atau jaminan atas utang yang diterima apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya. Barang yang dijaminkan boleh dijual apabila dalam tempo yang telah disepakati kedua belah pihak utang tidak mampu dilunasi. Oleh karena itu hak pemberi utangan hanya terkait dengan barang jaminan. Jika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka orang yang memegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lain.18

b. Hukum Rahn (Gadai Syariah)

Gadai Syariah (rahn) merupakan konsep yang sejalan dengan ketentuan syariat, terutama disebabkan oleh karena bentuknya skim qardhul hasan dengan pemanfaatan untuk keperluan yang bersifat sosial.

Pinjaman dari pegadaian syariah diberikan dengan maksud meningkatkan kesejahteraan masyarakat muslim, seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan primer lainnya yang bersifat darurat, terutama diperuntukkan dalam rangka membantu meringankan beban ekonomi orang-orang yang berhak menerima zakat atau mustahiq.19

Pegadaian syariah memiliki prinsip utama membantu masyarakat untuk lebih sejahtera dan maju dengan menekankan pada ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa DSN-MUI yang menyatakan bahwa tindakan ekonomi seperti jual-beli, pinjam-meminjam, dan hutang-piutang harus memenuhi prinsip-prinsip berikut: keadilan, keseimbangan, kemaslahatan, universalisme, tidak mengandung objek yang tidak jelas, tidak spekulatif, tidak mengandung riba, tidak zalim kpada pihak lain, tidak boleh ada tindakan suap atau sogok, dan bukan merupakan objek haram.20

Beberapa prinsip hukum Rahn, sebagai berikut:

1. Barang gadai harus berada di tangan murtahin dan bukan di tangan rahin. Jika rahin meminta pengembalian Rahn dari tangan murtahin,

18 Antonio, M. S. Bank Syari’ah, dari Teori ke Praktek……….., hal. 252

19 Sutedi, A. Hukum Gadai Syariah (Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 71

20 Abubakar, L. dan Handayani, T., Telah Yuridis Perkembangan Regulasi dan Usaha Pegadaian Sebagai Pranata Jaminan Keadilan. Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No. 1, September 2017, hal. 83

(32)

34

maka tidak diperbolehkan. Murtahin diperbolehkan mengembalikan Rahn kepada pemiliknya, karena ia mempunyai hak di dalamnya.

2. Barang-barang yang tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di pohon yang belum masak karena penjualan kedua barang tersebut haram, diperbolehkan digadaikan.

3. Jika masa gadai telah jatuh tempo, maka murtahin meminta rahin melunasi utangnya. Jika rahin mampu melunasi utangnya, maka murtahin mengembalikan barang jaminannya. Jika rahin tidak dapat melunasi utangnya, maka murtahin mengambil piutangnya dari hasil barang yang digadaikan Rahn merupakan amanah murtahin, apabila rahn mengalami kerusakan tidak disebabkan oleh kekeliruannya, maka ia tidak wajib mengganti dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin.

4. Barang yang digadai boleh dititipkan ke orang yang dapat dipercaya, sebab yang pokok dalam rahn adalah perawatannya.

5. Apabila peminjam mensyaratkan rahn tidak boleh dijual ketika sudah jatuh tempo, maka status rahn menjadi batal. Demikian sebaliknya jika pihak gadai syariah mensyaratkan kepada peminjam dengan pernyataan “jika pembayaran hutang telah jatuh tempo dan anda tidak melunasi hutang, maka rahn menjadi milik kami”, maka hal itu tidak sah sebagaimana sabda Rasululloh SAW, “rahn tidak boleh dimiliki dan rahn itu orang yang menggadaikannya” (H.R. Ibnu Majah).

6. Jika rahin berselisih dengan murtahin tentang besarnya hutang, maka pengakuan yang dapat diterima adalah pengakuan rahin di atas sumpah, kecuali jika rahin mampu menghadirkan barang bukti.

Demikian juga sebaliknya jika murtahin menyatakan sangkaannya kepada rahin, maka pernyataannya harus di bawah sumpah atau dengan barang bukti yang dapat menguatkan dakwaannya.

7. Murtahin berhak mengendarai rahn yang dapat dikendarai dan memerah Rahn yang bisa diperah sesuai dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk Rahn tersebut. Namun ia harus adil dalam hal tersebut, artinya tidak memanfaatkannya lebih banyak dari biaya yang dikeluarkan untuk Rahn tersebut, karena Rasulullah saw bersabda,

“punggung hewan bisa dinaiki dengan mengeluarkan biaya untuknya jika hewan tersebut digadaikan. Air susu bisa diperah dengan

(33)

35

mengeluarkan biaya jika digadaikan. Orang yang mengendarai dan memerah harus menanggung pembiayaannya, “(H.R. Al-Bukhori).

8. Anak rahn jika berjenis hewan, hasil panen jika berjenis tanaman, dan lain sebagainya menjadi milik rahin oleh karena itu ia berhak memberi air dan semua kebutuhannya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Rahn itu milik orang yang menggadaikannya. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya.”

9. Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk perawatan barang gadaian tanpa seizin rahin, maka murtahin tidak boleh meminta rahin mengganti biaya tersebut. Jika murtahin tidak bisa meminta izin rahin karena lokasi yang jauh, maka meminta ganti biaya rahn kepada rahin dibolehkan, sedangkan jika lokasinya dekat tetapi tidak meminta izin, maka meminta ganti biaya kepada rahin tidak dibolehkan.

10. Jika murtahin memperbaiki barang yang digadaikan tanpa seizing rahin, maka biaya perbaikan yang dikeluarkan boleh minta diganti oleh rahin, kecuali jika barang gadaian tersebut berbentuk alat-alat yang tidak bisa dicabut.

11. Jika peminjam (nasabah pegadaian) meninggal dunia atau mengalami pailit, maka pihak pegadaian lebih berhak atas barang gadaian dari semua peminjam. Jika pembayaran atau pelunasan hutang telah jatuh tempo, kemudian barang gadaian dijual oleh pegadaian dan hasil penjualan mendapat surplus, maka pegadaian mengembalikannya kepada peminjam, dan jika hasil penjualannya tidak cukup untuk melunasi hutang, maka pegadaian dan peminjam memiliki hak yang sama terhadap sisa rahn.21

3. Penerapan Gadai Syariah

Penerapan gadai syariah di Indonesia merujuk pada dasar hukum yang telah diputuskan atau tetapkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI melalui Fatwa No: 25/DSNMUI/III/2020 tentang Rahn. Fatwa tersebut menjelaskan tentang keputusan-keputusan yang telah disepakati oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai berikut:

21 Hidayat, E. Transaksi Ekonomi Syariah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016).

(34)

36

1. Hal-hal mendasar tentang hak dan kewajiban para pihak baik pemberi gadai (rahin) maupun pemegang gadai (murtahin), dimana pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan marhun (barang gadaian) sampai pemberi gadai mampu melunasi semua hutangnya.

2. Pemanfaatan barang gadaian (marhun) oleh kedua belah pihak. Secara prinsip, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, sehingga tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali atas izin rahin.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun merupakan kewajiban rahin, tetapi dapat dipindahtangankan menjadi kewajiban murtahin atas kesepakatan kedua belah pihak.

4. Pembebanan biaya pemeliharaan dan penyimpanan tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya biaya pinjaman yang diajukan.

5. Keputusan penjualan marhun, dilakukan apabila rahin tidak dapat melunasi hutangnya, tetapi tidak boleh dijual langsung, karena harus didahului oleh peringatan oleh murtahin bahwa akad akan jatuh tempo.

Apabila rahin tetap tidak mampu melunasi hutangnya, pihak pegadaian dapat menjual barang gadaian dengan prinsip syariah yaitu melaksanakan lelang syariah. Hasil penjualan tersebut tersebut digunakan untuk melunasi hutang rahin, jika terdapat sisa maka menjadi hak rahin, namun jikamasih kurang, maka rahin tetap berkewajiban untuk melunasi hutangnya.

Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN- MUI/III/2002, yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002 oleh Ketua dan Sekretaris DSN tentang rahn, menetapkan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:22

1. Pihak pegadaian (murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang jaminan sampai semua hutang nasabah (rahin) dilunasi.

2. Barang jaminan (rahn) dan manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (rahin).

3. Penyimpanan dan pemeliharaan barang jaminan pada dasarnya menjadi kewajiban nasabah (rahin), namun dapat juga dilakukan oleh pihak

22 Manahar, P. Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang Perekonomian Masyarakat di Indonesia, Jurnal Dialogia Iuridica, Vol. 10, No. 2, April 2019, hal. 101

(35)

37

pegadaian. Sedangkan biaya penimpanan dan pemeliharaan tetapmenjadi kewajiban nasabah.

4. Jumlah biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan barang gadai.

6. Jika terjadi sengketa antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Nasional, setelah tercapai kesepakatan dengan musyawarah.

Pendapat serupa tentang pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan atas hutang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:23

1. Murtahin mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semua hutang rahin dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.

3. Penyimpanan dan pemeliharaan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya penyimpanan dan pemeliharaan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besaran biaya penyimpanan dan pemeliharaan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan barang gadai (marhun):

a. Apabila akad sudah jatuh tempo, pihak pegadaian berkewajiban memperingatkan nasabahnya untuk segera melunasi hutangnya.

b. Apabila nasabah tetap tidak mampu melunasi hutangnya, maka barang gadai dijual paksa/diekskusi melalui lelang syariah.

c. Hasil penjualan barang gadai tersebut digunakan untuk melunasi hutang nasabah, yakni mengganti biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayarkan, termasuk biasa penjualan.

d. Surplus atau kelebihan hasil penjualan barang gadai tersebut menjadi milik nasabah dan kekurangannya menjadi kewajiban nasabah juga.

23 Suhendi, H. Fiqh Muamalah. Ed.1. Cet. ke-10. (Jakarta: Rajawali Press, 2016), hal. 107

(36)

38 4. Pegadaian Syariah

a. Definisi

Pegadaian Syari’ah adalah salah satu lembaga keuangan non perbankan yang menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah. Payung hukum gadai syari’ah dalam hal pemenuhan prinsip- prinsip syari’ah berpegang pada fatwa DSN-MUI No.

25/DSNMUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan, paying hukum formilnya tetap menginduk kepada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.24

b. Tujuan dan Manfaat

Secara umum sifat usaha pegadaian sebagai lembaga keuangan non perbankan pada prinsipnya adalah menyediakan pelayanan yang bermanfaat untuk masyarakat umum dan sekaligus mendapatkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu Perum Pegadaian bertujuan sebagai berikut:

1 Ikut serta melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran bantuan pembiayaan atau pinjaman atas dasar hukum gadai.

2. Mencegah praktik-praktik seperti ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

3. Menciptakan efek jaring pengaman sosial melalui pemanfaatan gadai yang bebas bunga, agar masyarakat yang membutuhkan dana mendesak tidak terjerat kepada pinjaman atau pembiayaan berbasis bunga.

4. Membantu masyarakat yang membutuhkan pinjaman atau pembiayaan dengan syarat yang mudah dan sederhana.

Adapun manfaat Pegadaian antara lain:

1. Bagi Nasabah: tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan perbankan. Di samping itu nasabah juga mendapat manfaat

24 Ramadhani, D.T. Analisis Gadai Emas Berdasarkan Fatwa DSN-MUI Pada Pegadaian Syariah: Studi Pegadaian Syariah Uniat Pasar Sentral Makassar, Tesis Program Pascasarjana Bidang Ekonomi Syariah UIN Alaudian Makassar, (Makassar:

Pascasarjana UIN Alaudin, 2020), hal. 27

(37)

39

dari taksiran nilai suatu barang bergerak secara profesional, serta mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan terpercaya.

2. Bagi Perusahaan Pegadaian:

a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.

b. Penghasilan yang bersumber dari biaya yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi Bank Syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah, mendapatkan keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.

c. Pelaksanaan misi Perum Pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa bantuan kepada masyarakat yang membutuhkandana dengan prosedur yang sederhana.

d. Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1990, keuntungan yang diperoleh dari Pegadaian Syariah digunakan untuk:

1) Danan Pembangunan Semesta (55%) 2) Cadangan Umum (20%)

3) Cadangan Tujuan (5%) 4) Dana Sosial (20%)

c. Rukun dan Ketentuan Syariah Adapun rukun ar-rahn adalah:25

1. Pelaku terdiri atas: pihak yang menggadaikan barang (rahin) dan pihak menerima gadai (murtahin).

2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan hutang (marhun bih).

3. Ijab-Kabul atau Serah-Terima

Adapun ketentuan syariah ar-rahn, yaitu:

1. Pelaku harus cukup umur (hukum baligh) 2. Objek yang digadaikan (marhun)

a. Barang Gadai (marhun)

1) Dapat dijual dan memiliki nilai seimbang;

2) Harus bernila dan dapat dimanfaatkan;

25 Surepno, Studi Implementasi Akad Rahn Pada Lembaga Keuangan Syariah.

Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, Vol. 1, No. 2, September 2018, hal. 179

(38)

40

3) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik;

4) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)

b. Hutang (marhun bih), nilai hutang harus jelas, demikian juga tanggal jatuh temponya.

3 Ijab kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling reda atau rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.26 d. Mekanisme

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat dideskripsikan sebagai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan. Akibat yang ditimbulkan oleh proses penyimpanan adalah dikeluarkannya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini maka dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari biaya sewa tempat yang dipungut, bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingg hal ini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di pegadaian.

e. Akad

Akad secara hukum syar’i dibagi menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad ghairu shahih. Akad shahih adalah akad yang sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya menurut syariah dan berlaku akibat yang ditimbulkan oleh akad serta mengikat secara pasti terhadap pihak-pihak yang berakad,27 sedangkan akad ghairu shahih adalah akad yang tidak sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya menurut syariah dan tidak mengikat secara pasti pihak-pihak yang berakad.

Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, akad yang berlaku dalam Pegadaian Syariah adalah qardh, rahn, dan ijarah seperti penjelasan fatwa DSN tersebut, yaitu:

26 Sri Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 258

27 Darsono, Ali Sakti, dkk., Dinamika Produk dan Akad Keuangan Syariah di Indonesia, (Depk: Raja Grafindo Persada, 2017)

(39)

41

“akad yang digunakan adalah akad Qardh wal Ijarah, yaitu akad pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang diserahkan,” dengan perincian sebagai berikut:

a) Qardh; dimana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai muqridh (pihak yang meminjamkan uang) dan nasabah sebagai muqtaridh (pihak yang menerima pinjaman)

b) Rahn; dimana LKS sebagai murtahin (pihak yang menerima agunan) dan nasabah sebagai rahin (pihak yang menyerahkan agunan).

c) Ijarah, dimana LKS sebagai musta’jir (pihak yang menyewakan) dan nasabah sebagai muajir (pihak yang menyewa).

Ketiga rangkaian transaksi tersebut termasuk dalam kategori transaksi multiakad karena akad pertama (akad qardh) tergantung kepada akad kedua (akad rahn) dan akad ketiga (akad ijarah). Karena semua pihak dan objek akad dalam ketiga akad tersebut adalah sama. Pihak kreditor adalah pihak yang menyewakan dan menerima jaminan, sedangkan pihak debitur adalah penyewa dan pihak yang menyerahkan jaminan.28

Akad rahn akan berakhir jika terjadi hal-hal berikut:

1) Barang sudah diserahkan kembali kepada pemiliknya;

2) Rahin membayar atau melunasi semua utangnya;

3) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin;

4) Pembebasan utang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujua dari pihak rahin;

5) Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak lain;

6) Rusaknya barang gadaian oleh tindakan atau penggunaan murtahin;

7) Memanfaatkan barang gadai dengan penyewaan, hibah, atau sedekah, baik dari pihak rahin maupun murtahin;

8) Meninggalnya rahin (sesuai mahzab Malikiah) dan/atau murtahin (sesuai mahzab Hanafiah), sedangkan menurut mazhab Syafiah dan

28 Sahroni, Oni, dan Hasanuddin. Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017),hal 217-218.

(40)

42

Hambali menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn.29

f. Produk-produk Pegadaian Syariah 1. Gadai Syariah

Gadai syariah merupakan produk gadai yang berprinsip syariah, dimana nasabah hanya akan dibebani biaya administrasi dan biaya jasa simpan dan pemeliharaan barang jaminan atau ijarah.30

Keuntungan gadai syariah antara lain: a) produktif, meningkatkan daya guna barang berharga dan asset serta tetap menjadi milik anda; b) praktis, prosedur sederhana, syarat mudah dan cepat; c) optimal, barang jaminan dinilai dengan tingkat akurasi tinggi oleh penilai berpengalaman, asset setiap orang tetap memiliki nilai ekonomi yang wajar karena nilai taksiran yang optimal; d) jangka waktu pinjaman fleksibel, nasabah bebas menentukan pilihan metode dan masa angsuran; e) menentramkan hati, dikelola secara syariah, barang aman dan terjaga di lembaga terpercaya.

2. Arrum

Arrum adalah skema pinjaman bagi para pengusaha kecil dan mikro untuk pengembangan usaha melalui sistem pengembalian dengan angsuran menggunakan jaminan BPKB mobil maupun motor untuk produk Arrum umum atau emas untuk produk Arrum Emas.31 Adapun keuntungan produk Arrum antara lain: a) menambah modal kerja usaha untuk memperbesar skala bisnis; b) kendaraan yang menjadi jaminan tetap dapat digunakan untuk faktor produksi; c) prosedur dan syarat yang mudah dan waktu dari survey sampai pencairan cepat; d) biaya ijarah relatif ringan dan biaya administrasi yang tidak memberatkan; e) jangka waktu pembiayaan fleksibel, serta bebas menentukan pilihan pembayaran (angsuran atau sekaligus).

3. Mulia

29 Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. (Jakarta:

Kencana, 2015), hal. 185

30 Totok Budisantoso, Nuritomo. Bank dan Keuangan Lainnya. (Jakarta: Salemba Empat, 2014), 216

31Nasution, Rachmad Saleh. Sistem Operasional Pegadaian Syariah Berdasarkan Surah Al-Baqarah 283 pada PT. Pegadaian (Persero) Cabang Syariah Gunung Sari Balikpapan, Al-Tijary Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 1, No. 2, 2016, hal. 93-119 DOI prefix: 10.21093/at.v1i2.529

(41)

43

Logam mulia atau emas mempunyai beberapa aspek yang menyentuh kebutuhan manusia disamping memiliki nilai estetis yang tinggi juga merupakan jenis investasi dengan nilai stabil, likuid dan aman secara riil. Mulia memfasilitasi kepemilikan emas batangan melalui penjualan logam mulia oleh pegadaian kepada masyarakat secara tunai atau dengan pola angsuran dengan proses cepat dalam jangka waktu tertentu yang fleksibel.

Keberadaan produk Mulia yang saat ini dimiliki oleh Pegadaian Syariah diperuntukkan kepada masyarakat bukan hanya untuk yang memiliki ekonomi tingkat atas Tapi juga dimiliki oleh ekonomi menengah ke bawah dengan membeli emas secara kredit. Pegadaian syariah memperkenalkan produk Mulia melalui media cetak, spanduk, dan juga secara cross selling.32

Keuntungan Mulia antara lain: a) pilihan investasi yang aman untuk menjaga portofolio asset dan pengembangan usaha; b) sarana mewujudkan niat suci untuk menunaikan ibadah umroh, haji, dan amal sholeh lainnya, mempersiapkan biaya pendidikan anak di masa depan dan mewujudkan cita-cita memiliki rumah dan kendaraan yang memadai, merupakan asset yang sangat cair untuk memenuhi kebutuhan dana yang mendesak, serta memenuhi kebutuhan modal kerja atau modal usaha.

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan

Metode dalam suatu penelitian merupakan komponen strategis untuk memberikan rambu-rambu dan berfungsi sebagai pedoman dalam memahami baik subjek maupun objek penelitian, sehingga kesesuaian dan konsistensi metode kelancaran proses penelitian mulai dari tahap penyusunan proposal sampai dengan penyusunan laporan hasil. Melalui metode yang tepat atau memadai diharapkan penelitian akan mendapatkan hasil yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Konteks penelitian ini, metode dimaknai sebagai suatu cara untuk memecahkan masaah yang ada dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan dan menginterpretasi data lapangan.

32 Fauziah, Mita Rahmawati. Investasi Logam Mulia (Emas) Di Penggadaian Syariah Dalam Persfektif Hukum Ekonomi Syariah, Jurnal Tahkim, Vol. XV, No. 1, Juni 2019, hal. 63-73

(42)

44

Terkait tema yang diangkat dalam penelitian ini yaitu tentang implementasi fatwa DSN-MUI No. 25 Tahun 2002, studi di lembaga Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Lombok Timur, untuk memdapatkan pemahaman yang utuh, maka digunakan penelitian yang bersifat deskriptif dalam bentuk penelitian evaluatif, yaitu suatu kajian yang dilaksanakan jika seorang peneliti akan menilai program-program, kebijakan, atau keputusan yang dijalankan,33 oleh suatu lembaga. Adapun menurut jenisnya penelitian ini termasuk metode atau pendekatan kualitatif.

Penelitian kualitatif merupakan salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diteliti. Pendekatan atau metode kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang pernyataan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, organisasi dan atau institusi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.34

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Lombok Timur sebagai bagian dari pengembangan dan perluasan PT. Pegadaian Syariah Cabang Praya Lombok Tengah. Dasar penentuan lokasi penelitian di Unit Gelang, tepatnya Kelurahan Pancor-Kecamatan Selong-Kabupaten Lombok Timur-Nusa Tenggara Barat, dengan beberapa alasan sebagai berikut: pertama, lembaga pegadaian syariah (lembaga keuangan non perbankan) pertama yang didirikan di wilayah Kabupaten Lombok Timur. Kedua, Kabupaten Lombok Timur merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk terbesar di NTB dan mayoritas beragama Islam (90% lebih). Ketiga, berada pada lokasi strategis di jantung ekonomi ibu kota kabupaten, yang dikenal masyarakat luas sebagai kota santri

33 Setiono. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Materi Kuliah pada Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, (Surakarta:

Universitas Sebelas Maret, 2005), hal. 6

34 Bogdan & Biklen. Qualitatif Research for Education. (Boston, MA: Allyn and Bacon, 1992), hal. 21-22

(43)

45

tempat lahir dan berkembangnya organisasi sosial keagamaan terbesar di Nusa Tenggara Barat yaitu Nahdlatul Wathan (NW).

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini akan menggali dan mengumpulkan 2 (dua) jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun dta yang digali dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Data Primer.

Data primer merupakan keterangan atau informasi yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu pihak-pihak yang terlibat langsung sebagai pelaku sosial-ekonomi yang dipandang mengetahui obyek penelitian. Penentuan subjek penelitian yang dipilih menjadi informan ini didasarkan pada kriteria sebagai berikut: pertama, ahli hukum Islam yang memahami dan menguasasi secara mendalam ketentuan-ketentuan hukum ekonomi syariah, terutama yang terkait dengan akad rahn. Kedua, Dewan Pengawas Syariah atau Pimpinan Cabang atau Pimpinan Unit Pegadaian Syariah yang memahami sistem pembiayaan pada lembaga pegadaian syariah dengan akad rahn. Ketiga, masyarakat yang menjadi nasabah atau pemanfaat produk-produk pegadaian syariah seperti Ketiga, masyarakat yang menjadi nasabah atau pemanfaat produk-produk pegadaian syariah seperti Rahn, Arrum dan Mulia dengan akad rahn pada Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Kabupaten Lombok Timur.

b. Data Sekunder.

Data sekunder merupakan data yang sifatnya mendukung data primer, yang bersumber dari: a) dokumen, yaitu arsip-arsip Pegadaian Syariah Unit Gelang Selong Lombok Timur yang berkaitan dengan akad rahn, b) produk-produk hukum lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, c) referensi pendukung seperi jurnal, majalah, berita cetak maupun online yang relevan dengan tema atau permasalahan penelitian.

4. Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini akan menggunakan metode snowball sampling yaitu penentuan subjek penelitian dengan model bola salju, karena peneliti tidak memiliki informasi memadai tentang anggota populasi. Oleh karena itu peneliti akan mencari satu anggota populasi

Gambar

Tabel 1. Data Informan  No

Referensi

Dokumen terkait

Kurangnya minat nasabah Pegadaian Syariah bahwa tidak hanya produk Rahn (gadai), Arrum (Ar-Rahn untuk usaha Mikro Kecil), serta Amanah (Murabahah untuk

a) Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah (rahn), yaitu pegadaian syariah mensyaratkan penyerahan barang gadai oleh nasabah (rahin) untuk mendapatkan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah prinsip gadai syariah (rahn) berdasarkan Hukum Islam yang diberlakukan pada produk gadai syariah di Pegadaian adalah; Tidak memungut bunga

Abdul Muiz, Konsep Syarth Jaza’i Dalam Perbankan Syariah (Analisa Terhadap Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional MUI). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan

Pegadaian Syariah CPS Banda Aceh menjalankan kegiatan operasionalnya berdasarkan kepada prinsip syariah, seperti menjalankan usaha gadai syariah (rahn), sejak

a) Lina Pusvisasari “Pelakasanaan Gadai Emas (Rahn) dengan akad qardh berdasarkan Fatwa DSN Nomor 26/MUI/III/2002 di Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami pengelolaan pembiayaan Rahn dalam transaksi gadai emas yang diterapkan oleh PT Pegadaian Syariah Cabang Sentral dan mengetahui

Penggunaan jaminan ini didukung oleh keputusan MUI Tentang Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn.16 Dalam hal ini maka maslahah