• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Paku Resam Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus

N/A
N/A
Melwin Sunny Situmorang

Academic year: 2024

Membagikan "Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Paku Resam Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN PAKU RESAM (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw)

TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus

OLEH:

CAHAYA MARANATHA SIMAMORA 210205119

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA MEDAN

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw) terhadap bakteri staphylococcus aureus ini dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan proposal ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Obat Herbal pada program studi sarjana Farmasi.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari setiap pembaca. Semoga proposal ini dapat diterima dan bermanfaat bagi setiap pembaca.

Medan, Juli 2024 Penulis,

Cahaya Maranatha Simamora

(3)

KATA PENGANTAR...ii

BAB I...1

PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Hipotesis Penelitian...3

1.4 Tujuan Penelitian...3

1.5 Manfaat Penelitian...3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian...4

BAB II...5

TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1 Uraian Tumbuhan...5

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan... 5

2.1.2 Sinonim... 6

2.1.3 Nama Daerah... 6

2.1.4 Morfologi Tumbuhan... 6

2.1.5 Kandungan Kimia dan Manfaat... 6

2.2 Ekstrak... 8

2.2.1. Definisi Ekstraksi... 9

2.2.2 Metode Ekstraksi Cara Dingin...9

2.2.3 Ekstraksi Cara Panas... 10

2.3 Pelarut... 11

2.3.1 Pelarut Polar... 11

2.3.2 Pelarut Semipolar... 11

2.3.3 Pelarut Nonpolar...12

2.5. Uraian Bakteri... 12

2.6 Uji Aktivitas Antibakteri...13

2.6.1 Metode Difusi... 13

2.6.2 Metode Dilusi...14

BAB III...15

METODE PENELITIAN... 15

3.1 Metode Penelitian... 15

(4)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...15

3.2.1 Lokasi Penelitian...15

3.2.2 Waktu Penelitian...15

3.3 Populasi dan sampel... 15

3.3.1 Populasi... 15

3.3.2 Sampel... 15

3.4 Alat dan Bahan... 15

3.4.1 Alat...15

3.4.2 Bahan... 16

3.5 Penyiapan Sampel... 16

3.5.1 Teknik Pengambilan Sampel...16

3.5.2 Identifikasi Sampel... 16

3.5.3 Pengolahan Sampel... 16

3.6 Pembuatan Larutan... 17

3.6.1 Pereaksi Mayer... 17

3.6.2 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N...17

3.6.3 Pereaksi Bouchardat...17

3.6.4 Pereaksi Dragendroff...17

3.6.5 Pereaksi Molish... 17

3.6.6 Pereaksi Liebermann-Burchard...17

3.6.7 Larutan Besi (III) Klorida 1 %... 18

3.6.8 Larutan Asam Klorida 2 N...18

3.6.9 Larutan Aluminium (III) Klorida 5 %...18

3.6.10 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M...18

3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia...18

3.7.1 Pemeriksaan Makroskopik...18

3.7.2 Penetapan Kadar Air...18

3.7.3 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air...19

3.7.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol...19

3.7.5 Penetapan Kadar Abu Total... 20

3.8 Uji Skrining Fitokimia...20

(5)

3.9 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Paku Resam (Dicranopteris linearis (Burm.

f.) Underw...21

3.10 Uji Aktivitas Antibakteri...21

3.10.1 Sterilisasi Alat... 21

3.10.2 Pembuatan Media...21

3.10.3 Pembuatan Media Agar Miring...22

3.10.4 Pembuatan Larutan Standar McFarland 0,5...23

3.10.5 Pembiakan Stok Kultur Bakteri...23

3.10.6 Penyiapan Inokulum Koloni...23

3.10.7 Pembuatan Larutan Uji Dengan Berbagai Konsentrasi...23

3.11 Uji Antibakteri...24

3.12 Analisis Data...24

DAFTAR PUSTAKA...25

(6)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan yang banyak ditemukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi disebabkan oleh mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus, parasit atau jamur. Penyakit infeksi dapat menyebar, secara langsung atau tidak langsung, dari satu orang ke orang lain (WHO, 2017).

Bakteri penyebab infeksi dan penyakit banyak ditemui di lingkungan sekitar kita salah satunya bakteri Staphylococcus aureus yang juga merupakan bakteri gram positif. Penyakit pneumonia, luka, radang paru-paru, dan endokarditis atau sepsis adalah infeksi dan penyakit yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus.

aureus (Angelica 2013). Bakteri Staphylococcus aureus dapat menyebabkan terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari infeksi kulit ringan, keracunan makanan sampai dengan infeksi sistemik ( Herlina et al., 2015). Infeksi kulit oleh bakteri ditandai dengan adanya lesi bernanah, permukaan kulit yang mengeras, dan terdapat bintil berwarna kekuningan (Alexander et al., 2020).

Pertumbuhan bakteri penyebab infeksi dan penyakit perlu dihambat dengan antibakteri. Antibakteri merupakan zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat membunuh bakteri patogen (Paju et al., 2013).

Penelitian zat yang berkhasiat sebagai antibakteri perlu dilakukan untuk menemukan produk antibiotik baru yang berpotensi untuk menghambat atau membunuh bakteri yang resisten antibiotik dengan harga yang terjangkau (Tanauma, 2016). Saat ini pengembangan untuk penemuan antibakteri dari tumbuhan dianggap penting dan memberikan harapan baru untuk penelitian selanjutnya (Bueno, 2012).

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat adalah (Dicranopteris linearis

(Burm. F.) Underw) yang dikenal dengan sebutan paku resam. Hal ini dibuktikan pada

(7)

Asia Tenggara, daun paku resam secara tradisional digunakan untuk menurunkan suhu tubuh dan dapat digunakan untuk mengontrol demam (Chin, 1992; Derus, 1998). Selain itu, dibelahan dunia lain paku resam digunakan untuk mengobati luka luar dan bisul oleh masyarakat Papua Nugini, untuk menghilangkan cacingan oleh masyarakat Indochina, dan untuk mengobati asma dan kemandulan perempuan oleh suku-suku yang tinggal di pegunungan india (Chin, 1998). Secara ilmiah, ekstrak daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antimikroba, dan anthelmintic yang tinggi (Rajest et al, 2016).

Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan uji efektivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis

(Burm. F.) Underw) yang di ekstraksi dengan metode maserasi terhadap bakteri

Staphylococcus aureus.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apa saja senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw)

2. Apakah terdapat aktivitas antibakteri etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka hipotesis penelitian ini adalah:

(8)

1. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw)) adalah alkaloid, saponin, flavonoid, tanin dan steroid/triterpenoid.

2. Terdapat aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

2. Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis sebagai bahan untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang pengaruh ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

2. Bagi keilmuan sebagai sumber informasi dan sumber referensi bagi praktisi yang tertarik untuk menguji pengaruh ekstrak etanol daun paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. F.) Underw) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

(9)

3. Bagi masyarakat penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan masukan yang berarti bagi masyarakat mengenai khasiat tumbuhan daun paku resam sebagai obat tradisional untuk melawan bakteri/antibakteri.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Serbuk simplisia daun

paku resam

Karakteristik simplisia daun

paku resam

1. Makroskopik 2. Kadar air

3. Kadar sari larut air 4. Kadar sari larut

etanol

5. Kadar abu total

ekstrak etanol daun paku

resam Skrining

1. Alkaloida

2. Flavonoid

3. Glikosida

4. Steroid/Tripernoid

5. Saponin

6. Tanin

Aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus

aureus Konsentrasi

ekstrak etanol daun paku

resam 300,200,100,

50, 25 12,5 6,25 3,125 dan

1,5 mg/ml

Diameter zona hambat/

zona bening

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi klasifikasi tumbuhan, sinonim, nama daerah dan nama asing, morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan manfaat paku resam.

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Klasifikasi Paku Resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw) menurut Herbarium Medanense (MEDA) USU (2022) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisio : Pteridophyta Class : Felicinae Ordo : Gleicheniales Famili : Gleicheniaceae Genus : Dicranopteris

Spesies : Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw

(11)

2.1.2 Sinonim

Sinonim dari Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw adalah Gleichenia linearis (Burm. f.) Underw (Nasution, 1986).

2.1.3 Nama Daerah

Nama umum Indonesia : Paku rasam, reusan, paku rotan, paku resam (Tampubolon, 1995). Nama lokal dari paku resam adalah pakis kawat dan sampilpil (Nasution, 1986)

2.1.4 Morfologi Tumbuhan

Batang tumbuhan paku berbentuk merayap, biasanya berbentuk jalinan

“sheet‟ yang rapat. Sebagian jenis paku yang yang hidup di tanah mempunyai batang yang tumbuh sejajar dengan tanah sehingga tidak terlalu kelihatan. (Nelson, 2000). Paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw) mempunyai daun yang majemuk, menjari, anak daun menyirip gasal, bentuk garis, ujung tumpul, tepi rata, panjang 3-8 cm, lebar 2-4 mm, permukaan licin, dan daun berwarna hijau.

Daun panjang dengan bagian-bagian menyirip (Tjitrosoepomo, 2009). Tajuk daun berbentuk pita memanjang, panjangnya 18-75 mm, licin, tepinya rata, ujungnya tumpul dan sedikit menggulung. Pada tiap tajuk daun umumnya terdapat sorus lebih dari satu (Nasution, 1986).

2.1.5 Kandungan Kimia dan Manfaat

Menurut (Peres, Silva, Faccenda, & Hess, 2005) kandungan yang terdapat pada paku resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw) antara lain adanya beberapa senyawa kimia metabolit sekunder berupa flavonoid, triterpenoid, saponin, tanin, alkaloid dan steroid. Dimana beberapa komponen aktif tanaman berpotensi sebagai insektisida yaitu alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida, sterol dan minyak atsiri (Robinson, 1995).

(12)

Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada paku resam yang berperan sebagai antioksidan dalam tubuh manusia dan dapat menghambat proses oksidasi molekul di dalam tubuh (Septinus, 2011). Salah satu flavonoid yang terdapat dalam paku resam adalah kaempferol. Kaempferol memiliki aktivitas anti biologis yang beragam diantaranya sebagai antioksidan, mencegah aterosklerosis, mencegah pembentukan sel kanker, dan dapat menghambat aktivitas enzim HIV-1 integrase dan enzim hyaluronidase.

Pemanfaatan kaempferol dalam pengobatan sangat tinggi mengingat aktivitas kaempferol yang sangat beragam (Syafni, 2011). Kaempferol yang terdapat pada paku resam yaitu Na-Kaempferol Sulfate dan Na-Kaempferol 7-sukfate-3- glucopyranoside (Jubahar J.,et al. 2006).

Pada akar dan batang paku resam mengandung saponin, kardenolin dan tanin yang memiliki khasiat sebagai obat infeksi saluran kencing, obat batuk, dan obat untuk luka memar. Untuk obat infeksi saluran kencing bagian tanaman paku resam yang digunakan adalah akar dengan kemudian direbus dengan air sampai mendidih, disaring, dan air rebusan akar paku resam tersebut diminum cara pemakaian akar paku resam diambil, dicuci, sekaligus. Sedangkan untuk obat batuk 13 bagian tanaman paku resam yang digunakan adalah batang dengan cara pemakaian batang paku resam segar diambil, dicuci bersih, direbus sampai mendidih, disaring, setelah dingin air rebusan tersebut diminum dua kali sehari pagi dan sore (Widyaningrum, 2019).

Daun paku resam dapat digunakan sebagai obat demam dan keluarkan campak. Cara penggunaannya, daun muda paku resam direbus lalu diminum airnya atau ditumbuk kemudian ditempel pada dahi (Balai TNBG, 2011). Selain itu, tanaman ini juga digunakan oleh orang-orang Papua Nugini untuk mengobati luka bakar, bisul, oleh orang-orang Indochina untuk mengatasi infeksi cacing usus dan oleh suku-suku di gunung India dalam pengobatan asma dan sterilitas wanita. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Zakaria (2008), tentang aktivitas ekstrak dari daun paku resam dalam model hewan percobaan. Daun paku resam yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Selangor, Malaysia. Penelitian

(13)

tersebut dilakukan dengan beberapa pengujian diantaranya uji antinosiseptif, uji antiinflamasi, dan uji antipiretik yang dilakukan terhadap hewan percobaan. Dari hasil penelitian tersebut ekstrak daun paku resam diketahui memiliki aktivitas antinosiseptif, antiinflamasi dan antipiretik sehingga penelitian tersebut menegaskan bahwa penggunaan tanaman paku resam dapat digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit (Zakaria, 2008).

Pemanfaatan tanaman paku resam secara tradisonal lainnya adalah sebagai bahan baku kerajinan tangan seperti kerajinan anyaman yang bernilai jual. Hal ini terjadi karena paku ini mempunyai zat tanduk, anti rayap dan tahan terhadap udara lembab yang mampu melebihi kekuatan rotan (Tampubolon, 1995).

2.2 Ekstrak

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai ,kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI, 2014).

Berdasarkan sifatnya ekstrak dapat dibagi menjadi empat, yaitu ekstrak encer, ekstrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair. Ekstrak encer (Extractum 12 tenue) merupakan sediaan yang memiliki konsistensi seperti cairan madu yang mudah mengalir. Ekstrak kental (Extractum spissum) merupakan sediaan kental yang apabila dalam keadaan dingin dan kecil kemungkinan bisa dituang.

Kandungan airnya berjumlah sampai dengan 30%. Ekstrak kering (Extractum siccum) merupakan sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dihancurkan dengan tangan (Depkes RI, 2014).

Melalui penguapan dan pengeringan sisanya akan terbentuk suatu produk, yang sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%. Ekstrak cair (Extractum fluidum) merupakan sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet.

(14)

Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat (Depkes RI, 2014).

2.2.1. Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penyaringan zat aktif dari bagian tumbuhan yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut (Marjoni, 2016).

2.2.2 Metode Ekstraksi Cara Dingin 1) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu.

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes R.I, 2000). Keuntungan metode ini adalah mudah dan tidak perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak atau terurai (Susanty dan Bachmid, 2016).

2) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai didapat hasil yang sempurna, umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) sampai diperoleh ekstrak .Kelebihannya adalah sampel selalu dialiri dengan pelarut baru sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu (Mukhrani, 2014).

(15)

2.2.3 Ekstraksi Cara Panas 1) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut dengan suhu titik didihnya, selama waktu tertentu, dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes R.I, 2000). Kerugian metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Mukhrani, 2014).

2) Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes R.I, 2000).Keuntungan metode sokletasi yaitu menghasilkan ekstrak yang lebih banyak, pelarut lebih sedikit, waktu yang digunakan lebih cepat, dan diekstraksi secara sempurna karena dilakukan berulang-ulang (Puspitasari dan Prayogo, 2016).

3) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (Depkes R.I, 2000). Digesti adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama dengan maserasi, hanya saja digesti menggunakan pemanasan rendah pada suhu 30-40oC (Marjoni, 2016).

4) Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes R.I, 2000). Infus merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Marjoni, 2016).

(16)

5) Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Depkes R.I, 2000). Proses penyarian hampir sama dengan infus, perbedaannya hanya terletak pada lama waktu pemanasan (Marjoni, 2016).

2.3 Pelarut

Pelarut adalah zat digunakan sebagai media untuk melarutkan zat lain.

Pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi haruslah merupakan pelarut terbaik untuk zat aktif yang terdapat dalam sampel atau simplisia, sehingga zat aktif dapat dipisahkan dari simplisia dan senyawa lainnya yang ada dalam simplisia tersebut.

Kesuksesan ekstraksi senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat tergantung pada jenis pelarut yang digunakan (Marjoni, 2016).

2.3.1 Pelarut Polar

Pelarut polar adalah senyawa yang memiliki 2 kutub elektrostatik yaitu kutub positif dan kutub negatif, misalnya R-OH dimana R merupakan kutub positif dan OH merupakan kutub negatif. Pada molekul air (H-OH) maka merupakan kutub positif dan merupakan kutub negatif. Contoh pelarut polar antara lain: Air, metanol, etanol dan asam asetat (Marjoni, 2016).

2.3.2 Pelarut Semipolar

Pelarut semipolar adalah pelarut yang memiliki molekul yang tidak mengandung ikatan OH. Pelarut dalam kategori ini, semuanya memiliki ikatan dipol yang besar. Pelarut ini baik digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang juga bersifat semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut semipolar antara lain:

Aseton, etil asetat, DMSO dan diklorometana (Marjoni, 2016).

(17)

2.3.3 Pelarut Nonpolar

Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memiliki konstanta dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Pelarut ini baik digunakan untuk menarik senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar seperti minyak.

Contoh pelarut nonpolar antara lain: Heksana, kloroform, eter (Marjoni, 2016). 2.4 Rotary evaporator Rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan di putar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) 16 dan ditampung pada suatu tempat. Setelah pelarutnya diuapkan, ekstrak dapat berbentuk ekstrak kental atau cair (Prijono, 1999).

2.5. Uraian Bakteri

Menurut Syahrurahman et al., (2010) klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria Kingdom : Eubacteria Ordo : Eubacteriales Famili : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-Positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.

Terdapat pada kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, bakteri ini

(18)

Membentuk koloni warna abu-abu sampai kuning emas tua dan dapat Menyebabkan infeksi kulit, jerawat, bisul.

Berdasarkan bakteri yang tidak membentuk spora, maka Staphylococcus aureus termasuk jenis bakteri yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring dapat tetap hidup sampai berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu kamar. Dalam keadaan kering pada benang, kertas, kain dan dalam nanah dapat tetap hidup selama 6-14 minggu (Syahrurahman et al., 2010).

2.6 Uji Aktivitas Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi dua macam yaitu aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh bakteri patogen) dan aktivitas bakteri (dapat membunuh bakteri patogen). Zat aktif yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan dapat menghambat beberapa mikroba patogen maupun perusak makanan (Triwati, 2014).

2.6.1 Metode Difusi

Metode difusi adalah pengukuran dan pengamatan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar cakram, dilakukan pengukuran setelah didiamkan selama 18-24 jam dan diukur menggunakan jangka sorong (Sari, dkk., 2013). Metode ini dibedakan menjadi:

1). Metode disc diffusion atau metode Kirby Baure, metode ini menggunakan kertas cakram yang berisi zat antimikroba dan diletakkan pada media agar yang telah

(19)

2). Metode E-Test digunakan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu konsentrasi minimal zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Metode ini menggunakan strip plastik yang telah berisi zat antibakteri dan diletakkan pada media agar.

3). Ditch plate technique, zat antimikroba diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan bakteri uji digoreskan ke arah parit.

4). Cup-plate technique, metode ini hampir sama dengan metode disc diffusion namun bedanya tidak menggunakan kertas. Pada media agar dibuat sumur, dan pada sumur tersebut diberi zat antimikroba.

5). Gradient-plate technique, media agar dicairkan dan ditambahkan larutan uji kemudian campuran tersebut dituangkan ke dalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring.

2.6.2 Metode Dilusi

1). Metode Dilusi cair/ broth dilution test, digunakan untuk mengukur KHM dan KBM. Zat antimikroba diencerkan pada medium cair yang telah ditambahkan bakteri uji. Larutan antimikroba dengan kadar terkecil dan terlihat jernih ditetapkan sebagai KHM. KHM dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan bakteri dan zat antimikroba, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap cair ditetapkan sebagai KBM.

2). Metode dilusi padat/ solid dilution test, metode ini hampir sama dengan metode dilusi cair, namun menggunakan media padat/solid. Metode dilusi padat dapat menguji beberapa macam bakteri dalam satu konsentrasi zat antimikroba.

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Tahapan-tahapan penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak etanol dengan cara maserasi, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dengan KLT, serta uji aktivitas antibakteri.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Sari Mutiara Indonesia.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan februari sampai Juli 2025.

3.3 Populasi dan sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah tumbuhan paku resam yang diambil dari provinsi Sumatera Utara.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah berupa tumbuhan paku resam yang diambil dari Kecamatan Sijamapolang, Humbang Hasundutan provinsi Sumatera Utara.

3.4 Alat dan Bahan 3.4.1 Alat

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangkaian alat refluks, rotary evaporator (Heidolph), oven (Marmer), incubator (Marmer), blender

(21)

erlenmeyer, lemari pengering, autoklaf, jangka sorong, cawan petri, jarum ose, neraca analitis, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet volume, corong pisah, botol vial, hot plate, kertas cakram, batang pengaduk, bunsen, spatula, labu destilasi.

3.4.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Paku Resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw. Bahan kimia yang digunakan yaitu akuades, pereaksi bouchardat, pereaksi dragendorf, pereaksi meyer, pereaksi molisch, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, iodium, n-heksan, etil asetat, metanol, Mueller Hinton Agar (MHA), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Dietil sulfoksida (DMSO), kloramfenikol, klorheksidin. Biakan Staphylococcus aureus.

3.5 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel, identifikasi sampel, dan pengolahan sampel.

3.5.1 Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yang dikenal dengan sampling pertimbangan, di mana sampel ditentukan atas dasar pertimbangan bahwa sampel yang diambil dapat mewakili populasi (Depkes RI, 2000).

3.5.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanese (MEDA).

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Jln. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan.

3.5.3 Pengolahan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun paku resam yang telah dikumpulkan dan dicuci bersih dengan air mengalir kemudian ditiriskan lalu setelah itu bahan ditimbang dan dipotong-potong. Kemudian sampel dikeringkan dengan cara dimasukkan kedalam lemari pengering. Berat dari sampel yang kering

(22)

ditimbang kemudian disimpan dalam kantong plastik kedap udara dan di tempat yang terlindungi dari sinar matahari (Depkes RI, 2000).

3.6 Pembuatan Larutan

Pereaksi Proses pembuatan larutan pereaksi yang dibutuhkan dalam skrining fitokimia antara lain (Marjoni, 2016):

3.6.1 Pereaksi Mayer

Dilarutkan 5 g kalium iodida dalam 10 ml aquades, kemudian ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan kemudian dikocok dan ditambahkan aquades sampai 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.2 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Ditimbang NaOH sebanyak 8 g, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.3 Pereaksi Bouchardat

Dilarutkan kalium iodida dan 2 g iodium sebanyak 4 g dalam air suling secukupnya hingga 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.4 Pereaksi Dragendroff

Sebanyak 8 g bismuth nitrat dilarutkan dalam 20 ml HNO3, kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling.

Campuran dibiarkan sampai memisah secara sempurna. Ambil larutan jernih dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.5 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam HNO3 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.6 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan harus dibuat baru (Marjoni, 2016).

(23)

3.6.7 Larutan Besi (III) Klorida 1 %

Sebanyak 1 gram besi (III) klorida dilarutkan sedikit demi sedikit dalam akuades dan volume dicukupkan hingga volume 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.8 Larutan Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dalam akuades hingga volume 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.9 Larutan Aluminium (III) Klorida 5 %

Sebanyak 5 gram aluminium (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam metanol hingga 100 ml (Marjoni, 2016).

3.6.10 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M

Ditimbang timbal asetat sebanyak 15,17 g, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida hingga 100 ml (Marjoni, 2016).

3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Meliputi pemeriksaan makroskopik, pemeriksaan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam (Eliyanoor, 2012).

3.7.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, bau, ukuran dan tekstur simplisia. Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa alat. Cara ini dilakukan untuk mencari kekhususan morfologi dan warna simplisia (Eliyanoor, 2012).

3.7.2 Penetapan Kadar Air

Sebanyak 200 ml toluena dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 ml air suling, setelah alat dipasang, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Ke dalam labu

(24)

berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit.

Setelah toluena mendidih, kecepatan toluena diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdistilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik. Setelah semua air terdistilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai 25 dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 2011).

3.7.3 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia batang pugun tanoh, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1 L air suling) dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 2011).

3.7.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 2011).

(25)

3.7.5 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dimasukkan ke dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselen dipijar perlahan- lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500-600°C selama 6 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. 26 Kadar Universitas Sumatera Utara 25 abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 2011).

3.8 Uji Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan dengan metode kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya senyawa fitokimia pada daun paku resam ini. Siapkan KLT 10 x 5 cm dibuat masing-masing garis penotolan 1 cm dari tepi atas dan 1,5 cm dari tepi bawah.

Ekstrak ditotolkan pada plat KLT dan dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak etil asetat: n-heksana (2:8). Tutup chamber dan biarkan sampai fase gerak mencapai garis atas pada plat. Chamber dibuka, plat KLT diambil dan dikeringkan/dianginkan. Kemudian plat KLT disemprot untuk melihat kandungan senyawa secara kualitatif dengan beberapa reagen yaitu reagen dragendorff untuk deteksi alkaloid, FeCl3 untuk deteksi tanin dan sitroborat untuk deteksi flavonoid. Noda diamati di bawah sinar tampak dan UV 274 nm. Hitung nilai RF (Misfadhila, S, dkk., 2019).

Pemeriksaan pada saponin dan glikosida setiap ekstrak pada plat dielusi pada jarak 1 cm dari batas atas plat. Selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan menggunakan anisaldehid asam sulfat memberikan warna ungu pada sinar tampak.

Glikosida dan saponin tanpa perlakuan kimia (pereaksi semprot) di bawah sinar UV 254 nm tidak terjadi peredaman bercak dan di bawah sinar UV 365 nm bercak tidak berfluoresensi (Dewi, dkk., 2018). 27

(26)

3.9 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Paku Resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw

Sampel diekstraksi dengan pelarut etanol 70%. Sampel daun Paku Resam (Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw yang telah kering ditimbang sebanyak 300 gram dimasukkan ke dalam wadah maserasi, kemudian ditambahkan etanol 70% sebanyak 1,5 liter hingga terendam seluruhnya. Wadah maserasi ditutup dan disimpan selama 24 jam di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung sambil sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, dipisahkan antara ampas dan filtrat.

Ampas diekstraksi kembali dengan etanol 70% yang baru dengan jumlah yang sama. Hal ini dilakukan selama 3 x 24 jam. Filtrat etanol 70% yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan diuapkan cairan penyarinya dengan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak etanol kental.

3.10 Uji Aktivitas Antibakteri 3.10.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan disterilkan terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan. Cawan petri dibungkus dengan kertas perkamen. Untuk alat-alat gelas (tabung reaksi, gelas beker, erlenmeyer) ditutup mulutnya dengan kapas steril yang dibalut dengan kain kasa steril, kemudian dibungkus dengan kertas perkamen, disterilkan dalam oven pada suhu 150 C, selama 2 jam. Kasa, kapas, tali, gelas⁰ ukur, pipet tetes dan kaca objek juga dibungkus dengan kertas perkamen dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 C dengan tekanan 1 atm selama 15⁰ menit (Silva, 2013).

3.10.2 Pembuatan Media

Media yang digunakan terbagi 2 yaitu: nutrient agar dan nutrient broth.

Pembuatan media sebagai berikut (Oxoid, 2013):

(27)

a. Nutrient agar

Komposisi : Lab-Lemco powder 1,0 g Yeast extract 2,0 g

Peptone 5,0 g

Sodium chloride 5,0 g

Agar 15,0 g

Cara pembuatan

Sebanyak 28 g nutrient agar dilarutkan dalam air suling steril ad 1000 ml kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit (Silva, 2013).

b. Larutan NaCl 0,9 %

Komposisi : Natrium Klorida 9 g Air suling hingga 1000 ml Cara pembuatan

Ditimbang natrium klorida 9 g, lalu dilarutkan didalam air suling sedikit demi sedikit dalam labu ukur 1000 ml sampai larut sempurna. Lalu ditambahkan air suling sampai garis tanda. Disterilkan di autoklaf dengan suhu 1210C selama 15 menit (Silva, 2013).

3.10.3 Pembuatan Media Agar Miring

Sebanyak 3 ml media nutrient agar cair, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diletakkan pada sudut kemiringan 30°– 45°, dibiarkan memadat, kemudian disimpan di lemari pendingin (Silva, 2013).

(28)

3.10.4 Pembuatan Larutan Standar McFarland 0,5 Komposisi : Larutan BaCl2 1,175% b/v 0,5 ml

Larutan H2SO4 v/v 99,5 ml Cara pembuatan:

Kedua larutan dicampur dalam tabung reaksi steril, dikocok sampai homogen lalu ditutup. Larutan standar McFarland 0,5 setara dengan suspensi bakteri konsentrasi 108 CFU/ml (Silva, 2013).

3.10.5 Pembiakan Stok Kultur Bakteri

Biakan Staphylococcus aureus dari biakan murni diambil dengan jarum ose yang sudah disterilkan di api bunsen lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring, kemudian diinkubasikan di inkubator pada suhu 35- 36°C selama 24 jam (Silva, 2013).

3.10.6 Penyiapan Inokulum Koloni

Bakteri diambil dari stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan ke dalam 10 ml larutan NaCl 0,9% steril dan diukur kekeruhannya dengan menggunakan standar 0,5 Mc. Farland, kemudian dilakukan pengenceran suspensi bakteri dengan memipet 0,1 inokulum bakteri, dimasukkan dalam tabung reaksi berisi larutan nutrient agar (NA) sebanyak 9,9 ml dan di vortex hingga homogen, didapat konsentrasi suspensi bakteri 106CFU/ml (Silva, et al., 2013).

3.10.7 Pembuatan Larutan Uji Dengan Berbagai Konsentrasi

Sebanyak 2,5g ekstrak ditimbang seksama dengan neraca analitik.

Dilarutkan dalam DMSO 10% hingga 5 ml dan diperoleh konsentrasi ekstrak 500 mg/ml. selanjutnya larutan tersebut diencerkan kembali dengan penambahan DMSO hingga di dapat konsentrasi 300mg/ml, 200mg/ml, 100mg/ml, 50mg/ml, 25 mg/ml, 12,5 mg/ml, 6,25 mg/ml, 3,125 mg/ml, dan 1,5 mg/ml (Silva, et al., 2013).

(29)

3.11 Uji Antibakteri

Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah dituang media Nutrient Agar (NA) yang telah dicairkan sebanyak 15 ml dengan suhu 370C dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat.

Dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi cakram kertas yaitu dengan meletakkan cakram kertas yang telah direndam dalam beberapa konsentrasi larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi bakteri dan di biarkan 15 menit. Kemudian diinkubasi pada suhu 37-38 0C selama 18-24 jam. Selanjutnya diukur diameter daerah hambat disekitar larutan bahan uji dengan menggunakan jangka sorong (Silva, et al., 2013).

3.12 Analisis Data

Data-data diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri disajikan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku kemudian dilakukan uji distribusi normalitas Jika data terdistribusi normal maka selanjutnya data dianalisis dengan uji ANOVA satu arah. Analisis statistika aktivitas antibakteri ekstrak daun paku resam menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17.0 dengan taraf kepercayaan 95% (Silva, et al., 2013).

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Abdi Redha. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif Dan Peranannya Dalam Sistem Biologis.

Agustina, Riza Putri. (2017). Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Waru Gunung (Hibiscus macrophyllus Roxb, ex Hornem) Terhadap Bacillus cereus. Fakultas Farmasi: Universitas Jember

Alexander et al., 2020. The Role of Bacterial Skin Infections in Atopic Dermatitis: Expert Statement and Review From The International Eczema Council Skin Infection Group. British Journal of Dermatology Vol 182 (6): 1331–1342.

Angelica, N. (2013). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun dan Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) (Nees & The. Nees) Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.

Arini, D. I. D., & Kinho, J. (2012). Keragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) Di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara.

(The Pteridophyta Gunung Ambang Nature Reserve North Sulawesi). Journal BPK Manado, 2(1), 24-37.

Balafif, R. A., Andayani, Y., dan Gunawan, E. R. (2013). Analisis Senyawa Triterpenoid Dari Hasil Fraksinasi Ekstrak Air Buah Buncis (Phaseolus vulgaris Linn). Chem. Prog., 6(2), 56–61.

Bueno, J.M., Sáez-Plaza, P., Ramos-Escudero, F., Jimenez, Fett R. dan Asuero A.G. 2012. Analysis and Antioxidant Capacity of Anthocyanin Pigments. Part II: Chemical Structure, Color and Intake of Anthocyanins. Critical Reviews in Analytical Chemistry 42 (2): 126-151.

(31)

Departemen kesehatan RI, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat jenderal pengawasan obat dan makanan:Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2014. Farmakope Indonesia Edisi V, Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 4.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta : 13-37.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Farmakope Herbal Indonesia. Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes Republik Indonesia. (1977). Materia Medika Indonesia (Jilid I).

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dewi, Dian Ayunita (2018) “Uji Validitas Dan Reliabilitas,” 7(1), pp. 17–

23..

Eliyanoor, B., 2012, Penuntun Praktikum Farmakognosi, Edisi II, Buku EGC, Jakarta, Indonesia.

Harahap F. et al. 2013, Mangosteen DNA Analysis (Garcinia mangostana L.) with Molecular Markers after Gamma Ray Irradiation Treatment, Am.-Eurasian J. Sustain. Agric, 7(2): 37-44.

Haryati, D., Widiyantoro, A., dan Ardiningsih, P. (2019). Karakterisasi Senyawa Steroid Dari Fraksi Diklorometana Bunga Nusa Indah (Mussaenda rythtopylla) dan Aktivitas Sitotoksiknya Terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7. Jurnal Kimia Khatulistiwa, 8(2), 67–72.

Hasbullah, U. H. A. (2016). kandungan Senyawa Saponin pada Daun, Batang dan Umbi Tumbuhan Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). Planta Tropika Journal of Agro Science, 4(1), 21–24.

(32)

Herlina N, Fifi A, Aditia DC, Poppy DH, Qurotunnada dan Baharuddin T.

2015. Isolasi dan identifikasi Staphylococcus aureus dari susu mastitis subklinis di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(3): 413-417.

Khotimah, K. (2016). Skrining Fitokimia dan Identifikasi Metabolit Sekunder Senyawa Karpain Pada Ekstrak Metanol Daun carica pubescens Lenne & K.Koch Dengan LC/MS (Liquid Chromatography-tandem Mass Spectrometry). [Skripsi].

Marjoni R. Dasar-Dasar Fitokimia Untuk Diploma III Farmasi. Jakarta:

Trans Info Media; 2016

Meilina & Hasanah. (2018). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garnicia Mangostana L.) terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. ,Farmaka, 16(2), 322-328.

Melda hariyanti, 2021 “ Potensi antikanker tumbuhan poguntano (Picria fel- terrae Lour ), Medan, Universitas Sumatera Utara.

Mulyani, Y. W. T., Hidayat, D., Isbiyantoro, & Yeny Fatimah. (2017).

Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus (L) Merr) sebagai Antibakteri Terhadap Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis. Jurnal Farmasi Lampung, 6(2), 46–

54.

Noer, S., Pratiwi, R. D., dan Gresinta, E. (2018). Penetapan Kadar Senyawa Fitokimia angustifolia L.). Eksakta: Jurnal Ilmu-Ilmu MIPA, 18(1), 19–29. (Tanin, Saponin, dan Flavonoid Sebagai Kuersetin) Pada Ekstrak Daun Inggu (Ruta

Nuzulia, R. and Santoso, O. 2017. Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi ( Ocimum Basilicum Linn ) Pada Berbagai Konsentrasi Terhadap Viabilitas Bakteri Streptococcus Mutans : Studi Pada Mahasiswa

(33)

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. J urnal Kedokteran Diponegoro, 6(4), pp.1565–1571.

Paju N, Yamlean PV, Kojong N (2013). Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia Steenis.) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Pharmacon 2(1):51–61.

Prayoga, E. 2013. Perbandingan Efek Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L.) Dengan Metode Difusi Disk Dan Sumuran Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus.dysentriae Dengan Metode Difusi Sumuran.Jurnal Analis Farmasi Vol.1 No.4. Hal 238-243.

Rijai, L. (2016). Senyawa Glikosida Sebagai Bahan Farmasi Potensial Secara Kinetik. J. Trop. Pharm. Chem., 3(3), 213–218.

Syahrurachman, dkk. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara Publishers 2010.

Tanauma, H, A., Citaningtyas, G., Lolo W, A., 2016. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Biji Kopi Robusta (coffea canephora) Terhadap Bakteri Escherichia coli.Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. Vol. 5 No. 4.

ISSN 2302-2493.

Triwati. (2014). Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skells. Universitas Sumatera Utara Medan.

Viroj, T. (2017). Lessons from the Antimicrobial resistance : from global agenda to national strategic. Bull World Health Organ, June 2016, 599–603.

World Health Organization(WHO) 2017. Mental disorders fact sheets.

World Health Organization.

(34)

World Health Organization (WHO),2011 Quality control methods for herbal materials. Malta, Switzerlan

Referensi

Dokumen terkait

4.7 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Nano Simplisia dan Ekstrak Etanol Serbuk Simplisia Daun Sirih Merah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan

Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Serta Fraksi-Fraksi Bunga Belimbing Wuluh ( Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol biji kelor (Moringa oleifera Lam.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pirdot terhadap bakteri Staphylococcus aureus diperoleh KHM 10 mg/ml dengan diameter 6,48 mm dan bakteri Escherichia coli

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pirdot terhadap bakteri Staphylococcus aureus diperoleh KHM 10 mg/ml dengan diameter 6,48 mm dan bakteri Escherichia coli

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun Kelor ( Moringa oleifera, Lamk) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan mengetahui

4.7 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Nano Simplisia dan Ekstrak Etanol Serbuk Simplisia Daun Sirih Merah Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ekstrak etanol daun seledri memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus Aureus, sehingga nantinya dapat