• Tidak ada hasil yang ditemukan

artikel buaday positif

N/A
N/A
YULI ANGGRAYANI

Academic year: 2023

Membagikan "artikel buaday positif"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam proses pendidikan, lingkungan belajar merupakan salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi keberhasilan dari tujuan pendidikan yang dilakukan. Lingkungan belajar yang positif akan memacu proses belajar peserta didik menuju ke arah yang ingin dicapai. Lingkungan belajar yang positif yaitu lingkungan belajar yang kondusif, aman, nyaman, dan menyenangkan serta menunjukkan keberpihakan pada peserta didik sehingga membuat peserta didik merasa aman, bahagia, bersemangat, antusias dan tidak mengalami tekanan selama proses pembelajaran. Dengan demikian peserta didik dapat menggali potensi dirinya, menunjukkan kemampuannya dalam bidang- bidang tertentu, lebih berani mengekspresikan diri dalam menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif berdasarkan minat dan bakatnya dan menjadi individu -- individu yang memiliki karakter baik seperti yang diharapkan sesuai dengan profil Pelajar Pancasila.

Lingkungan belajar yang positif, tidak tercipta begitu saja. Hal ini harus diupayakan secara terus menerus melalui kolaborasi semua pihak yang terkait dalam pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah, juga lingkungan yang menjadi tempat tumbuh kembang anak. Dalam lingkungan belajar yang positif, setiap orang yang ada di dalamnya merasakan bahwa kehadiran mereka diakui dan diterima, ada rasa saling menghargai dan menghormati, anak merasa aman dan nyaman, adanya harapan untuk pertumbuhan kemampuan peserta didik, dan guru mengajar sebagai upaya mereka untuk mengantarkan peserta didik pada kesuksesan yaitu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Lingkungan belajar yang positif ini akan meluas dan jika kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam lingkungan belajar tersebut dilakukan secara terus-menerus akan tumbuh menjadi suatu budaya positif.

Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan-keyakinan dalam bentuk kebiasaan- kebiasaan yang seringkali atau bahkan selalu diterapkan di suatu lingkungan, contohnya di sekolah.

Budaya positif tumbuh dari lingkungan belajar yang positif. Budaya positif ini diawali dari disiplin positif yang dikenal setelah adanya perubahan paradigma tentang teori stimulus respon menuju pada teori kontrol/pilihan dari Dr. William Glasser. Jika pada teori stimulus respon kita mencoba mengubah orang lain agar berpandangan sama dengan kita, melihat perilaku buruk dilihat sebagai suatu kesalahan, menganggap bahwa orang lain bisa mengontrol saya dan saya bisa mengontrol orang lain, melakukan pemaksaan pada saat bujukan gagal, dan menggunakan model berpikir menang/kalah, maka pada teori kontrol/pilihan kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia, melihat bahwa semua perilaku memiliki tujuan, Anda tidak bisa mengontrol orang lain, hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda, melakukan kolaborasi dan konsensus untuk menciptakan pilihan-pilihan baru, dan menggunakan model berpikir menang/menang. Dari perubahan paradigma ini, muncullah istilah disiplin diri (self discipline) atau disiplin positif yaitu bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna.

(2)

Pembuatan Keyakinan kelas bersama dengan peserta didik (Sumber: pribadi)

Untuk dapat menerapkan disiplin positif tentunya diperlukan motivasi seseorang dalam berperilaku.

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia, yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika seseorang melakukan sesuatu karena untuk menghindari hukuman atau mengharapkan memperoleh penghargaan dari orang lain, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik). Dan seseorang jika melakukan sesuatu berdasarkan dorongan dari dalam diri untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri atas nilai-nilai yang mereka percaya akan dikatakan memiliki motivasi intrinsik.

Hal yang sangat penting dilakukan untuk bisa menerapkan disiplin positif di sekolah adalah

menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri peserta didik. Ini tentu saja tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak dapat diupayakan. Guru, sebagai seseorang yang bertugas menuntun tumbuh

kembangnya kodrat peserta didik untuk menjadi manusia yang merdeka, yang tidak tergantung pada orang lain dan dapat berdiri diatas kekuatan sendiri hendaknya mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasar apa saja yang peserta didik ingin penuhi melalui tindakan atau perilakunya. Dengan memahami kebutuhan dasar yang ingin dipenuhi oleh peserta didiknya, guru dapat menuntun atau

mengarahkan peserta didiknya dengan baik sehingga dapat menstimulus peserta didik membangun motivasi di dalam dirinya untuk dapat menerapkan disiplin positif tersebut. Adapun lima (5) kebutuhan dasar yang menjadi motivasi manusia dalam berperilaku adalah kebutuhan untuk bertahan hidup, kebutuhan akan kasih sayang dan rasa diterima, kebutuhan atas penguasaan (pengakuan atas kemampuan), kebutuhan kebebasan (pilihan) dan kebutuhan kesenangan.

Selain memahami kebutuhan dasar peserta didik sebagai motivasi mereka dalam berperilaku, guru pun seyogyanya dapat menempatkan diri pada posisi kontrol yang sesuai agar dapat memfasilitasi peserta didik mencapai identitas suksesnya. Seperti kita ketahui ada lima posisi kontrol guru, yaitu sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Guru yang berperan sebagai penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal sebagai cara agar

pembelajaran bisa berhasil, menurutnya. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Pada posisi teman, guru tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Guru sebagai pemantau bertindak berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Sebagai manajer, guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid

mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Guru yang baik diharapkan bergerak pada posisi pemantau dan manajer sehingga dapat mendorong peserta didik untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang diyakininya sehingga dapat memperkuat karakter peserta didik. Dan Ketika peserta didik merbuat kesalahan, guru tidak langsung menghakimi baik dengan perkataan kasar, atau hukuman-hukuman fisik, tetapi sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut dengan menerapkan segitiga restitusi.

(3)

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Budaya Positif Bermula dari Disiplin Positif", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/atiatunchasanah2748/653cce56110fce029a310ac2/budaya-positif- bermula-dari-disiplin-positif

Kreator: Ati Atun Chasanah

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk menjadikan manusia tumbuh dan berkembang, berkepribadian,

Pendidikan adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk menjadikan manusia tumbuh dan berkembang, berkepribadian,

Pendidikan adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk menjadikan manusia tumbuh dan berkembang, berkepribadian,

E Tujuan Umum Peserta didik/konseli dapat merumuskan tipe-tipe kepribadian manusia serta dapat tumbuh menjadi pribadi yang matang (P4) F Tujuan Khusus 1.. Peserta

hanya terdapat 6 orang hal ini dikarenakan peserta didik masih malu-malu dan belum terbiasa dengan model pembelajaran tersebut. Peserta didik mengajukan pertanyaan. Pada

Oleh karena itu, untuk membangun kesadaran peserta didik sebagai manusia yang merdeka dan memiliki kebebasan, metode pembelajaran tidak bisa dilakukan secara searah,

Saya dan guru di sekolah saya, paham bahwa … Pendidikan karakter sangat diperlukan untuk menuntun peserta didik menjadi manusia yang bertanggung jawab Setiap anak itu unik di mana

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengerti,