BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata merupakan organ penglihatan yang diciptakan Tuhan dan merupakan salah satu organ vital yang penting nilainya. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, sering kali kesehatan mata kurang diperhatikan sehingga banyak penyakit yang menyerang mata sehingga tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan.
Salah satu gangguan pengelihatan yang sering terjadi ialah kelainan refraksi.
(Angelia V. Adile, 2016) .
Berdasarkan laporan World Health Organization atau WHO (2017) diketahui bahwa penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi sebesar 53%, katarak yang tidak dioperasi sebesar 25%, dan degenerasi macular sebesar 4%. Indonesia mempunyai prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan nomor 2 tertinggi di dunia setelah Ethiopia.
Delapan Studi Kelainan Refraktif pada Anak-anak (RESC) dilakukan di Nepal, Cina, Chili, India, Afrika Selatan, dan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir. Studi-studi ini meneliti hubungan antara kelainan refraksi dan gangguan penglihatan. Semua studi ini menekankan temuan bahwa kelainan refraksi yang tidak dikoreksi adalah salah satu penyebab paling umum dari
gangguan penglihatan. Namun, studi ini terutama dilakukan pada populasi perkotaan dan pedesaan. (Jiangnan He, 2014)
Mengingat tingginya prevalensi penglihatan yang tidak dikoreksi di antara anak-anak di China, termasuk (mungkin terutama) anak-anak pekerja migran, penting untuk menentukan prevalensi dan penyebab gangguan penglihatan dan tingkat pemakaian kacamata. Gangguan penglihatan yang tidak terkoreksi memiliki dampak negatif pada prestasi akademik karena efeknya pada persepsi sensorik dan keterhubungan sekolah. (Jiangnan He, 2014) .
Dari data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan RI (2013) dalam survei, tidak mungkin untuk membedakan secara meyakinkan antara prevalensi laki-laki dan perempuan kasus kelainan refraktif yang tidak dikoreksi untuk kelompok umur mana pun. Sekitar 12,8 juta pada kelompok umur 5-15 tahun mengalami gangguan penglihatan dari kelainan refraksi yang tidak dikoreksi atau tidak cukup, prevalensi global 0,96%, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan di daerah perkotaan yang sangat maju di Asia Tenggara dan Cina.
Gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia mengalami peningkatan dengan prevalensi 1,5% dan tertinggi dibandingkan dengan angka kebutaan di negara–negara regional Asia Tenggara seperti Bangladesh sebesar 1%, India sebesar 0,7%, dan Thailand 0,3% (Fauzi, Anggorowati, & Heriana, 2016). Hasil Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014-2016 di 15 provinsi menunjukkan penyebab utama
gangguan penglihatan dan kebutaan adalah katarak 70-80% dan kelainan refraksi 10-15%. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
World Health Organization (WHO) memperkirakan 153 juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan 12,7%
adalah populasi anak. Anak usia sekolah merupakan kelompok usia yang rentan, dimana gangguan penglihatan dapat berdampak serius terhadap kemampuan belajar, prestasi akademis, kualitas hidup, dan kepercayaan dirinya. Penatalaksanaan kelainan refraksi pada anak menjadi sangat penting untuk mencegah berbagai dampak negatif tersebut, mengingat merupakan anak merupakan aset berharga bagi masa depan suatu bangsa. (Yankes, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019) .
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama gangguan penglihatan di dunia, atau mencakup 53% dari seluruh penyebab gangguan penglihatan derajat sedang dan berat. Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab terbanyak kedua kebutaan setelah katarak, atau sebanyak 21% dari seluruh penyebab kebutaan di dunia pada tahun 2015.
Angka kebutaan dan gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2020. Angka kelainan refraksi di Indonesia, mencakup 20.7% dari seluruh penyebab kebutaan dan 25% dari seluruh penyebab gangguan penglihatan sedang dan berat. Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dapat mengurangi pencapaian potensi edukasi yang maksimal, membatasi kesempatan kerja, menurunkan
produktivitas, serta menurunkan kualitas hidup seseorang secara umum.
(Yankes, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018) .
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat diidentifikasi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu “Menganalisis Angka Kejadian Kelainan Refraksi Yang Tidak Terkoreksi Pada Anak”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Melakukan kajian literatur untuk menganalisis angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak berdasarkan usia.
b. Untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak berdasarkan jenis kelamin.
c. Untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak berdasarkan jenis kelainan refraksi.
d. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak.
e. Untuk mengetahui dampak kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil dari kajian literatur ini diharapkan memberikan gambaran angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi Orang Tua
Penulis berharap kajian literatur ini dapat memberikan informasi kepada orang tua tentang pentingnya kelainan refraksi yang tidak dikoreksi pada anak agar dapat memeriksakan mata anaknya sehingga tidak terganggung prestasi belajarnya jika kelainan refraksi tidak terkoreksi.
b. Manfaat Bagi Sekolah Dasar
Penulis berharap kajian literatur ini dapat memberikan informasi mengenai angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan edukasi skrining awal kepada guru-guru sekolah dasar agar bisa mendeteksi adanya kelainan refraksi pada anak didiknya.
c. Manfaat Bagi Petugas Kesehatan
Penulis berharap kajian literatur ini dapat dijadikan patokan untuk petugas kesehatan agar ditingkatkan lagi skrining awal pada anak
dan mengadvokasikan pentingnya kelainan refraksi yang tidak dikoreksi melalui media-media kesehatan.
E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Masalah
Materi yang di bahas dalam kajian literatur ini adalah angka kejadian kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak serta faktor-faktor yang menyebabkan kelainan refraksi tidak terkoreksi.
2. Ruang Lingkup Keilmuan
Dalam kajian literstur ini menggunakan keilmuan refraksi klinik.
3. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode literature review matrix yaitu dengan menggabungkan berbagai jurnal baik jurnal nasional maupun jurnal internasional.