• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB I"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata dengan ketajaman penglihatan normal disebut emetropia. Emetropia berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau dalam keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal.

Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh difokuskan sempurna di daerah makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada makula lutea disebut ametropia. (Ilyas, 2017).

Pertumbuhan dan perkembangan bola mata, media refraksi, dan makula lutea pada anak yang bergantung pada faktor tumbuh kembang akan sangat menentukan kondisi penglihatannya sampai dewasa. Rongga orbita mulai terbentuk sejak usia 22 hari kandungan dan organ dalam mata termasuk media refraksi terbentuk lengkap pada usia 9 bulan kandungan. (American Academy of Ophthalmology, 2016).

Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada perkembangan tubuh anak pada keseluruhan, mulai dari daya membedakan sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat. Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir, mielinisasi akan terus berjalan sesudah lahir. (Ilyas, 2017).

Setelah lahir, ketajaman penglihatan atau visus bayi pada usia 2 bulan yaitu 20/400 akan terus membaik hingga optimal pada usia 3 tahun yaitu 20/20.

Sebanyak 10% anak mengalami kelainan refraksi yang memerlukan koreksi sebelum usia 7-8 tahun. Miopia biasanya muncul pada usia 6-9 tahun dan akan terus berkembang hingga dewasa terutama pada usia pubertas (Vaughan and Asbury, 2011).

(2)

2 Penglihatan sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan menjadikan mata sebagai organ indra yang mempunyai fungsi sangat penting. Kelainan refraksi yang sering terjadi pada mata akan membatasi fungsi tersebut. Kelainan ini meliputi rabun dekat (miopia) dan rabun jauh (hipermetropia) dengan atau tanpa astigmatisma. Kondisi ini bisa diperbaiki dengan koreksi optik yang tepat yang akan sangat bermanfaat dalam memperbaiki kualitas hidup (Hugh R Taylor, Angus W Turner, in Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease (Ninth Edition), 2013).

Miopia, juga disebut rabun jauh, yaitu keadaan refraksi mata dimana bayangan objek yang jauh jatuh di depan retina saat sistem akomodasi berelaksasi.

Peningkatan panjang mata, terutama perpanjangan ruang vitreous, adalah penyebab utama miopia. Miopia yang tidak dikoreksi menyebabkan orang tersebut kesulitan melihat benda-benda yang jauh dengan jelas. Miopia dapat dikoreksi dengan lensa cekung (minus), menggunakan kacamata atau lensa kontak, atau dengan operasi refraktif. Miopia biasanya berkembang sejak usia sekolah dan berlanjut sampai dewasa. Berbagai teknik bedah refraktif saat ini tersedia untuk mengoreksi miopia. Namun, tindakan ini mahal dan terdapat risiko terkait dengan operasi (F.A. Vera-Diaz, in Encyclopedia of the Eye, 2010).

Hipermetropia adalah mata yang sumbu antero-posteriornya pendek. Saat mata beristirahat, benda-benda yang jauh akan terfokus di belakang retina. Ketika ini terjadi, otot-otot siliaris berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung, membantu memusatkan perhatian pada objek. Namun, ini akan mengakibatkan mata menjadi lelah dan bisa mengakibatkan juling konvergen pada anak-anak. Koreksi dilakukan dengan lensa cembung yang membantu membawa gambar ke depan agar jatuh tepat pada retina (Paul Rea, in Clinical Anatomy of the Cranial Nerves, 2014).

(3)

3 Astigmatisma biasanya adalah hasil penyimpangan radius kelengkungan kornea.

Astigmatisma bukanlah keadaan patologis, melainkan variasi anatomi mata.

Kebanyakan orang memiliki derajat astigmatisma. Trauma pada kornea juga dapat menyebabkan perubahan struktur, yang menyebabkan astigmatisma tidak teratur (ireguler). Sebagian besar gejala meliputi buram penglihatan dan sulitnya melihat detail halus. Astigmatisma biasa (silindris/reguler) dapat dikoreksi dengan lensa kacamata atau dengan lensa kontak kaku, sedangkan astigmatisma tidak teratur memerlukan lensa kontak kaku. Beberapa bentuk astigmatisma juga dapat dikoreksi dengan ablasi laser kornea (Myron Yanoff, Douglas Cameron, in Goldman's Cecil Medicine (Twenty Fourth Edition), 2012).

Pada anak dengan kelainan refraksi yang tidak atau terlambat dilakukan koreksi, dapat terjadi ambliopia. Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan tanpa sebab penyakit lain (seperti katarak, retinoblastoma atau penyakit kongenital lain).

Biasanya terjadi pada anak dengan hanya salah satu mata saja yang mengalami kelainan refraksi. Otak menerima informasi dari mata yang normal dan mata yang

‘abnormal’. Jika ini terjadi terus menerus akan menimbulkan ambliopia atau disebut juga lazy eye pada mata yang ‘abnormal’. (American Academy of Ophthalmology, 2016).

Anisometropia juga dapat terjadi pada anak dengan kelainan refraksi.

Anisometropia merupakan perbedaan jenis dan derajat kelainan refraksi pada kedua mata. (R. Jogi, 2009).

Menurut data WHO pada tahun 2004, sekitar 12,8 juta pada kelompok usia 5-15 tahun mengalami gangguan penglihatan karena kelainan refraksi yang tidak dikoreksi dengan prevalensi global sebesar 0,96%. Prevalensi tertinggi dilaporkan di daerah perkotaan yang sangat maju di Asia Tenggara dan China. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu kurangnya skrining, dan ketersediaan serta keterjangkauan koreksi refraksi. Namun, peran budaya juga berperan, seperti

(4)

4 pada survei yang dilakukan di negara-negara dimana skrining rutin dan pemberian koreksi tidak dipungut biaya dan mudah diakses, namun kepatuhan masyarakat untuk memeriksakan diri tetap rendah (S Wedner, pengamatan yang tidak dipublikasikan, 2006).

Pada studi yang dilakukan di Nampula, Mozambik pada tahun 2015 dari 3.437 responden yang mengisi kuisioner penilaian kualitas hidup berdasarkan terdapatnya gangguan penglihatan berupa kelainan refraksi dan presbiopia dengan nilai maksimum 92 poin ditemukan hasil bahwa responden yang sehat tanpa kelainan penglihatan memiliki nilai kualitas hidup tertinggi diikuti pasien dengan kelainan penglihatan yang secara statistik memiliki nilai kualitas hidup lebih rendah. Pada pasien buta, didapatkan nilai kualitas hidup dengan rata-rata 50.4±24.7. (James Loughman, et al 2015).

Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama untuk penyakit mata dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahun. Terdapat 25%

penduduk Indonesia yang mengalami kelainan refraksi atau sekitar 55 juta jiwa.

Menurut Dirjen BUK, penyebab lain kebutaan dan gangguan penglihatan selain katarak adalah kelainan refraksi dengan prevalensi 22,1% dari total populasi, dan sebanyak 15% diantaranya diderita oleh anak usia sekolah. Kelainan refraksi dapat ditemukan pada semua kelompok umur, tapi kondisi ini sangat bermasalah dan perlu diperhatikan pada anak-anak usia sekolah. Pada tahun 2017, Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa penyebab utama kebutaan di Indonesia adalah katarak (70-80%). Sedangkan penyebab utama gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi (10-15%). (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012).

Gambaran kelainan refraksi mata pada anak merupakan salah satu penyakit pada mata yang paling banyak diderita anak-anak. Penyakit mata ini menyebabkan penglihatan buram atau biasa disebut rabun. Pada hakikatnya, mata merupakan

(5)

5

“jendela” yang menghubungan dengan dunia luar. Faktor risiko terjadinya penyakit ini sebagian besar merupakan faktor keturunan. Semakin cepat disadari oleh orangtua, penyakit kelainan refraksi mata pada anak dapat di koreksi dengan cepat sehingga hasilnya akan baik bagi penglihatan sang anak. Sebagai seorang Muslim, penting bagi orangtua menyadari kelainan refraksi mata pada anak dan mengikuti anjuran berobat yang dianjurkan Islam dalam Alquran dan hadits.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syuara ayat 80 “Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku”.

Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut diatas dan belum pernah ada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Puri Cinere, maka penulis tertarik untuk membahas tentang gambaran kelainan refraksi pada anak di Rumah Sakit Puri Cinere tahun 2017 ditinjau dari kedokteran dan Islam yang akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini.

1.2 Perumusan Masalah

Kelainan refraksi terdiri dari miopia, hipermetropia, dan astigmatisma merupakan kelainan yang menyebabkan sinar jauh yang datang tidak difokuskan tepat pada retina sehingga menimbulkan penglihatan yang kabur. Pada anak-anak jika terjadi keterlambatan koreksi kelainan refraksi dapat menimbulkan ambliopia dan anisometropia yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi penglihatannya hingga dewasa.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Berapa angka kejadian miopia, hipermetropia, dan astigmatisma pada pasien anak di RS Puri Cinere tahun 2017?

2. Berapa distribusi kelainan refraksi pada anak berdasarkan jenis kelamin di RS Puri Cinere tahun 2017?

3. Berapa distribusi kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia di RS Puri Cinere tahun 2017?

(6)

6 4. Berapa distribusi penderita miopia pada anak berdasarkan klasifikasi di RS

Puri Cinere tahun 2017?

5. Berapa angka kejadian ambliopia pada pasien anak dengan kelainan refraksi di RS Puri Cinere tahun 2017?

6. Berapa angka kejadian anisometropia pada pasien anak dengan kelainan refraksi di RS Puri Cinere tahun 2017?

7. Bagaimana tinjauan Islam terhadap gambaran kelainan refraksi mata pada anak di RS Puri Cinere tahun 2017?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi pada pasien anak di RS Puri Cinere.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui angka kejadian miopia, hipermetropia dan astigmatisma pada pasien anak di RS Puri Cinere tahun 2017.

2. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui distribusi kelainan refraksi pada anak berdasarkan jenis kelamin di RS Puri Cinere tahun 2017.

3. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui distribusi kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia di RS Puri Cinere tahun 2017.

4. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui distribusi penderita miopia berdasarkan klasifikasi di RS Puri Cinere tahun 2017.

5. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui angka kejadian ambliopia pada pasien anak dengan kelainan refraksi di RS Puri Cinere tahun 2017.

6. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui angka kejadian anisometropia pada pasien anak dengan kelainan refraksi di RS Puri Cinere tahun 2017.

(7)

7 7. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tinjauan Islam

terhadap gambaran kelainan refraksi mata pada anak di RS Puri Cinere tahun 2017.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Penulis

Menambah pengetahuan tentang angka kejadian kelainan refraksi pada pasien anak di RS Puri Cinere, menambah keterampilan, dan kemampuan dalam menulis ilmiah, serta memenuhi salah satu persyaratan kelulusan sebagai sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.

1.5.2 Bagi Universitas YARSI

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan bagi Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, menjadi bahan masukan mengenai penelitian-penelitian selanjutnya mengenai kelainan refraksi pada anak.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah sebagai informasi untuk mengetahui kejadian kelainan refraksi pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi dan mempelajari gambaran deskriptif pasien kelainan refraksi di Rumah Sakit PHC

Dari uraian tersebut diatas diididentifikasi suatu rumusan masalah penelitian, bagaimana profil budaya organisasi yang ada saat ini dan yang diinginkan di RS

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang ada pada tabel diatas terletak pada perbandingan antara dua kelainan refraksi, yaitu astigmatisma miopi dan miopi yang

STIKes Dharma Husada Bandung Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah ini dengan judul “Angka kejadian Refraksi Myopia Pada Anak Usia Sekolah”

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode Studi literatur, yang mana topik yang diangkat mengenai Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Orang Tua Terhadap Kelainan Refraksi Pada

STIKes Dharma Husada Bandung Masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah gambaran pengetahuan dan sikap orang tua tentang kelainan refraksi pada anak di SDIT Daarul Huda

Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan orang tua tentang kelainan refraksi pada anak di SDN Ciheuleut 1 Desa Mekarlaksana Kecamatan Cikancung