• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kelainan Refraksi Anak Usia 6-15 Tahun di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode 1 Januari 2012-31 Desember 2012.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kelainan Refraksi Anak Usia 6-15 Tahun di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode 1 Januari 2012-31 Desember 2012."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

iv

ABSTRAK

GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA

6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL

BANDUNG PERIODE

1 JANUARI 2012

31 DESEMBER 2012

Jason Alim Sanjaya, 2014, Pembimbing I : July Ivone, dr.,M.K.K.,MPd.Ked.

Pembimbing II : Yenny Noor, dr., SpM

Kelainan refraksi adalah gangguan penglihatan yang dapat mengganggu proses belajar anak dan menyebabkan kebutaan. Sebesar 10% dari 66 juta anak usia sekolah di dunia menderita kelainan refraksi, oleh karena itu kelainan refraksi menjadi permasalahan global yang perlu diperhatikan. Indonesia telah memberikan perhatian terhadap kelainan refraksi ini sejak tahun 2000.

Tujuan penelitian adalah mengetahui angka kejadian kelainan refraksi, gambaran kelainan refraksi berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, visus dan distribusi kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012.

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional deskriptif terhadap data sekunder rekam medik pasien berusia 6-15 tahun yang mengalami kelainan refraksi di Rumah Sakit Immanuel Bandung yang akan disajikan dalam bentuk tabel deskriptif dan dilakukan perhitungan secara persentase.

Hasil dari penelitian ini adalah didapatkan sebanyak 178 data, dengan 34 data yang tidak sesuai dengan kriteria penelitian, sehingga tersisa 143 data yang dapat diolah. Angka kejadian kelainan refraksi pada anak perempuan lebih tinggi dibanding anak laki-laki 1,4:1 dengan usia rata-rata 10,9±2,2 tahun. Distribusi kelainan refraksi didapatkan myopia 64,3%, astigmatisma 33,6% dan hipermetropia 2,1%. Penglihatan buram merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan, sedangkan yang melakukan pemeriksaan mata dini (tanpa keluhan) hanya berjumlah 10 anak. Didapatkan hasil visus >6/18 pada salah satu mata 54,5%, visus 6/18 – 3/60 pada salah satu mata 44,1%, visus <3/60 sebanyak 1,4%.

(2)

v

ABSTRACT

OVERVIEW OF REFRACTIVE ERRORS IN CHILDREN

AGED 6-15 YEARS AT THE IMMANUEL HOSPITAL BANDUNG

PERIOD OF

1 JANUARY 2012 - 31 DECEMBER 2012

Jason Alim Sanjaya, 2014, 1st Tutor : July Ivone, dr.,M.K.K.,MPd.Ked.

2nd Tutor: Yenny Noor, dr., SpM.

Refractive errors is vision impairment that can interfere with a child's learning process and lead to blindness. In the world 10% of the 66 million school-age children suffering from refractive errors therefore, refractive errors become a global issue that needs to be concerned. Indonesia has provided attention to the refractive errors since 2000.

The purpose of the study was to determine the incidence of refractive errors, refractive errors overview by age, gender, complaints, visual acuity and distribution of refractive errors in children aged 6-15 years at Immanuel Hospital Bandung period of 1 January 2012 - 31 December 2012

The research method used was a descriptive observational toward to secondary medical records data of patients aged 6-15 years who had refractive errors at Immanuel Hospital Bandung, which will be presented in the form of descriptive tables and calculation of percentage.

The results of this study were obtained as many as 178 data with 34 data incompatible with criteria of the study, leaving 143 data could be processed. The incidence of refractive errors in girls was higher than boys 1.4:1 with an average age of 10.9± 2.2 years. Distribution of refractive errors myopia obtained 64.3%, astigmatism 33.6% and hyperiopia of 2.1%. Blurred vision was the most frequent complaints, while the early eye examination (without complaint) amounted to only 10 children. Distribution of visual acuity results obtained with ≥ 6/18 in better eye was 54.5%, visual acuity 6/18-3/60 in better eye was 44.1%, visual acuity <3/60 was 1.4%.

(3)

viii

1.2. Identifikasi Masalah ... 2

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Karya Tulis Ilmiah ... 3

1.4.1. Manfaat Akademis ... 3

1.4.2. Manfaat Praktis ... 3

1.5. Landasan Teori ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Bola Mata ... 5

2.1.1. Konjungtiva ... 6

2.1.2. Sklera dan Episklera ... 6

2.1.3. Kornea ... 7

2.1.4. Uvea ... 8

2.1.4.1. Iris ... 8

2.1.4.2. Korpus Siliaris ... 9

(4)

ix

2.1.5. Lensa ... 10

2.1.6. Humor Aquaeus ... 10

2.1.7. Retina ... 11

2.2. Fisiologi Mata... 11

2.2.1. Pembiasan Pada Lensa ... 11

2.2.1.1. Lensa Konveks ... 11

2.2.1.2. Lensa Konkaf ... 12

2.2.1.3. Ukuran Daya Bias Lensa ... 12

2.2.2. Mata Sebagai Kamera ... 13

2.2.3. Akomodasi ... 13

2.2.4. Nervus Optikus ... 15

2.3.Tajam Penglihatan ... 16

2.3.1. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Secara Subjektif ... 16

2.4. Kelainan Refraksi ... 19

2.4.1. Miopia ... 19

2.4.1.1. Etiopatogenesis ... 20

2.4.1.2. Klasifikasi ... 21

2.4.1.3. Gambaran Klinis ... 21

2.4.1.4. Penatalaksanaan ... 22

2.4.2. Hipermetropia ... 23

2.4.1.1. Etiopatogenesis ... 24

2.4.1.2. Klasifikasi ... 24

2.4.1.3. Gambaran Klinis ... 25

2.4.1.4. Penatalaksanaan ... 25

2.4.3. Astigmatisma ... 26

2.4.1.1. Etiopatogenesis ... 27

2.4.1.2. Klasifikasi ... 27

2.4.1.3. Gambaran Klinis ... 28

2.4.1.4. Penatalaksanaan ... 28

2.5. Epidemiologi Kelainan Refraksi ... 29

(5)

x

2.5.2. Hipermetropia ... 30

2.5.3. Astigmatisma ... 31

2.6. Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi ... 32

BAB III BAHAN / SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Bahan dan Sampel Penelitian ... 33

3.1.1. Bahan Penelitian ... 33

3.1.2. Sampel Penelitian ... 33

3.1.3. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33

3.2. Metode Penelitian ... 34

3.2.1. Rancangan Penelitian... 34

3.2.2. Besar Sampel Penelitian ... 34

3.2.3. Alur Penelitian ... 34

3.3. Definisi Operasional ... 34

3.4. Rencana Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1. Simpulan ... 41

5.2. Saran ... 42

Daftar Pustaka ... 43

Lampiran ... 49

(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Data Penggolongan Visus

Ilyas (2006) ... 19 Tabel 4.1. Angka Kelainan Refraksi Anak 6-15 Tahun

Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37 Tabel 4.2. Gambaran Kelainan Refraksi Anak 6-15 tahun

Berdasarkan Penggolongan Usia ... 38 Tabel 4.3. Angka Kejadian Miopia, Hipermetropia, dan

Astigmatisma anak usia 6-15 tahun ... 39 Tabel 4.4. Gambaran Keluhan pada Kelainan Refraksi

Anak Usia 6-15 tahun ... 39 Tabel 4.5. Gambaran Visus pada Kelainan Refraksi

(7)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Mata Manusia ... 5

Gambar 2.2. Pembiasan pada Lensa ... 12

Gambar 2.3. Mata Sebagai Kamera. Berbagai Indeks Kekuatan Refraksi ... 13

Gambar 2.4. Mekanisme Akomodasi ... 14

Gambar 2.5. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus ... 16

Gambar 2.6. Snellen Chart. ... 18

Gambar 2.6. Miopia dan Koreksi Miopia dengan Lensa Minus ... 20

Gambar 2.7. Hipermetropia dan Koreksi Hipermetropia dengan Lensa Positif ... 23

(8)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian ... 48 Lampiran 2. Data Hasil Pengolahan Statistik One Sample t-test

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas H, 2004).

Di negara maju angka yang menunjukkan kasus kelainan refraksi mudah didapatkan, sedangkan di negara berkembang masih dalam tahap awal penelitian. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang betapa pentingnya kesehatan mata, sehingga angka kejadian yang ada di rumah sakit tidak mewakili jumlah angka kelainan refraksi yang ada di masyarakat. Faktor lain yang berpengaruh pada kurangnya perhatian masyarakat adalah ketidakmampuan untuk membayar biaya pemeriksaan atau operasi, serta rasa takut apabila harus menjalani operasi (Hartanto, 2010).

Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakanpenyebab paling sering dari gangguan visual di seluruh dunia dan merupakan penyebab kedua terbesar dari kebutaan yang dapat disembuhkan (Dandona & Dandona, 2001; World Health Organization, 2007). Menurut Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK), penyebab lain kebutaan dan gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi dengan prevalensi 22,1% dari total populasi, dan sebanyak 15% di antaranya diderita oleh anak usia sekolah (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Sebesar 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) di dunia menderita kelainan refraksi (Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020, 2005).

(10)

2

aktivitas sosial, kemampuan menyerap materi pembelajaran, bahkan aspek psikologis anak. Kesehatan indera penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas, produktif, maju, mandiri, dan sejahtera lahir batin (Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020, 2005).

Dalam upaya menanggulangi kebutaan di Indonesia, Kemenkes telah me-

ngembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes nomor 473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai VISION

2020 yang program prioritasnya adalah upaya penanggulangan kebutaan akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi, dan xeroftalmia (Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020, 2005).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Immanuel Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah penelitian ini adalah : 1. Berapa angka kejadian kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun di Rumah

Sakit Immanuel Bandung periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012.

2. Bagaimana gambaran kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun

(11)

3

6. Bagaimana gambaran visus pada kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui angka kejadian kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun di Rumah Sakit Immanuel Bandung periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012.

2. Mengetahui gambaran kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui gambaran kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun berdasarkan usia.

4. Mengetahui distribusi miopia, hipermetropia, dan astigmatisma pada anak usia 6-15 tahun.

5. Mengetahui gambaran keluhan pada kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun. 6. Mengetahui gambaran visus pada kelainan refraksi anak usia 6-15 tahun.

1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada dunia akademis mengenai angka kejadian kelainan refraksi pada anak 6-15 tahun.

1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat dan tenaga medis mengenai angka kejadian kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun.

1.5 Landasan Teori

(12)

4

hipermetropia, dan astigmatisma. Hal tersebut dapat disebabkan oleh: panjang bola

mata yang abnormal (axial ametropia), kelengkungan kornea/lensa yang abnormal

(curvature ametropia), media refraksi yang abnormal (index ametropia), dan kelainan

pada posisi lensa (Miller, 1984).

World Health Organization (WHO) mengangkat masalah kelainan refraksi pada

World Sight Day tanggal 12 Oktober 2006 dengan penemuan 153 juta orang

mengalami kebutaan akibat kelainan refraksi tak terkoreksi (Holden, 2007).

Meningkatnya kesadaran akan kebutuhan koreksi dari kelainan refraksi, kondisi ini

dianggap sebagai salah satu prioritas dari inisiatif global yang dilaksanakan untuk

mengeliminasi avoidable blindness melalui program Vision 2020-The Right to Sight

(Mansour, Kassak, Chaya, Hourani, Sibai, & Alameddine, 1997).

Indonesia telah menjalankan program WHO-Vision 2020 sejak 15 Februari 2000.

Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya

yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan

kerja (15-55 tahun). Pencanangan ini berarti pemberian hak bagi setiap warga negara

Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal (Rencana Strategi Nasional

Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020,

2005).

Dengan mengetahui pentingnya koreksi pada kelainan refraksi untuk mencegah

kebutaan, peneliti ingin mengetahui angka kejadian kelainan refraksi pada anak usia

6-15 tahun di Rumah Sakit Immanuel.

Pemilihan sampel anak usia 6-15 tahun didasari oleh penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Murthy di India pada anak yang menyatakan bahwa miopia (rabun

jauh) mulai berkembang pada anak usia 6 tahun (Murthy, 2000) dan dihubungankan

dengan program pemerintah wajib belajar 12 tahun dalam Undang-Undang nomor 12

tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang menetapkan usia wajib belajar pendidikan

(13)

41

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Pasien Kelainan Refraksi di Rumah Sakit Immanuel (RSI) Bandung Periode 1 Januari - 31 Desember 2012 didapatkan sebanyak 178 data, dengan 34 data yang tidak sesuai dengan kriteria penelitian, sehingga tersisa 143 data yang dapat diolah.

2. Angka kejadian kelainan refraksi pada anak perempuan lebih tinggi dibanding anak laki-laki 1,4:1

3. Kelainan refraksi pada anak 6-15 tahun di Rumah Sakit Immanuel berdasarkan penggolongan usia didapatkan bahwa usia 12 tahun merupakan usia dengan jumlah kelainan refraksi paling banyak dengan 20,98% dan usia rata-rata terkena kelainan refraksi adalah 10,9±2,2 tahun.

4. Distribusi kelainan refraksi pada anak usia 6-15 tahun di Rumah Sakit Immanuel adalah miopia 64,3%, astigmatisma 33,6% dan hipermetropia 2,1%. 5. Keluhan-keluhan yang dirasakan anak usia 6-15 tahun yang datang ke Rumah Sakit Immanuel untuk memeriksakan mata mengeluhkan penglihatan menjadi buram; silau; mata terasa berat; pusing; susah melihat jauh; mata gatal. Penglihatan buram merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan ,sedangkan yang melakukan pemeriksaan mata dini (tanpa keluhan) hanya berjumlah 10 anak.

(14)

42

5.2 Saran

 Bagi para pekerja di bagian rekam medis dan tenaga dokter di Rumah Sakit Immanuel penulis mengharapkan pencatatan rekam medis yang lebih baik disertai dengan identitas pasien baik nama, umur, jenis kelamin, diagnosis yang lengkap, dan hasil pemeriksaan tajam penglihatan.

 Untuk penelitian selanjutnya dapat diteliti lebih lanjut mengenai angka kejadian kelainan refraksi pada berbagai rentang usia di beberapa rumah sakit untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dalam menggambarkan kelainan refraksi pada daerah tertentu. Dapat pula diteliti mengenai penyebab angka kejadian kelainan refraksi pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki,serta hubungan antara kebiasaan anak terhadap kelainan refraksi.

(15)

43

Daftar Pustaka

Agung, W., & Prillia, T. (2007). MIOPIA PATOLOGI. Jurnal Oftalmologi Indonesia, 5, 19-26.

Alpins, N. (1997, Januari). New method of targeting vectors to treat astigmatism.

Journal of cataract and refractive surgery , 65-75.

American Academy of Ophthalmology. (2007). Basic and Clinical Science course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology.

American Optometric Association. (2008, Oktober). Retrieved September 10, 2013, from Care of the Patient with Miopia: http://www.aoa.org.

American Optometric Association. (2009). About Us: American Optometric Association. Retrieved November 29, 2013, from American Optometric Association Web site: http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eye-and-vision-conditions/astigmatism

Arevalo, J. F., & Espinoza, J. V. (2009, Juli 22). LASIK for Myopia: The Risks to the Retina. Retrieved Januari 5, 2014, from Review of Ophthalmology: http://www.revophth.com/content/d/features/i/1214/c/22877/

Asano, K., Nomura, H., Iwano, M., Ando, F., Niino, N., Shimokata, H., et al. (2005, Maret). Relationship Between Astigmatism and Aging in Middle-aged and Elderly Japanese. Japanese Journal of Ophthalmology , 127-133. Basuki, E. (2012). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan BPPAUDNI Regional II Surabaya. Retrieved Januari 23, 2013, from Wajib Belajar 12 Tahun, Upaya Cerdas Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia: http://www.bppnfi-reg4.net/index.php/wajib-belajar-12-tahun.html

Chandran, S. (1972). Comparative study of refractive errors in West Malaysia. J Brit Ophthalmol.

(16)

44

Czepita, D., & Filipiak, D. (2005). The effect of the type of astigmatism on the incidence of myopia. Klinika oczna , 73-74.

Dandona, R., & Dandona, L. (2001). Refractive error blindness. Bulletin World Health Organization , 76;237-243.

David, G. A. (1987). Myopia, In: John F. Amos, OD ed. Diagnosis and Management in Vision Care Butterworth. USA.

Dorland WA, N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Duke, E. (1970). Ophtalmic Optics and Refraction,System of Ophthalmology. The C.V. Mosby Company.

Dunaway, D., & Berger, I. (2006, Agustus 31). Worldwide Distribution of Visual Refractive Errors and What to Expect at a Particular Location. Retrieved

November 12, 2013, from

http://www.infocusonline.org/WORLDWIDE%20DISTRIBUTION%20O F%20VISUAL%20REFRACTIVE%20ERROR1.doc

Elaine, N., & Marieb, R. (1994). Essentials of Human Anatomy & Physiology.

U.S.A.: Benjamin-Cummings Pub Co.

Froetscher, M., & Baehr, M. (2005). Duus Topical Diagnosis in Neurology (Vol. IV). Stuttgart: Thieme.

Goldschmidt, E. (1969). Refraction in the newborn. Acta Ophthalmol , 570-578. Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:

Penerbit buku kedokteran EGC.

Hartanto, W. (2010, Januari-Maret). Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di RSUP dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari 2002 - 31 Desember 2003.

Media Medika Muda .

(17)

45

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012, Oktober 11). Retrieved Januari 21, 2013, from Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Web site: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2082-mata-sehat-di-segala-usia-untuk-peningkatan-kualitas-hidup-masyarakat-indonesia.html Kempen, J., Mitchell, P., & Lee, K. (2004). The prevalence of refractive errors

among adults in the United States, Western Europe, and Australia. Arch. Ophthalmol.

Khalaj, M., Gasemi, M., & Zeidi, I. M. (2009). Prevalence of Refractive Errors in Primary School Children(7-15) of Qazvin City. European Journal of Scientific Research , 174-185.

Kleinstein, R., Jones, L., & Hullett, S. (2003, Agustus). NCBI. Retrieved November 15, 2013, from Refractive error and ethnicity in children: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12912692

Mansour, A. M., Kassak, K., Chaya, M., Hourani, T., Sibai, A., & Alameddine, M. N. (1997). National survey of blindness and low vision in Lebanon.

British Journal of ophthalmology , 81:905-906.

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2004). Neurologi klinis dasar (Vol. V). Jakarta: Dian Rakyat.

Miller, S. (1984). Parsons disease of the eye (17th ed.). Edinburgh: Churchill Livingstone.

(18)

46

National Eye Institute. (2013). Retrieved September 1, 2013, from http://www.nei.nih.gov/healthyeyestoolkit/factsheets/Astigmatism.pdf.

National Health Service. (2013, November 28). Retrieved Februari 5, 2014, from http://www.nhs.uk/Conditions/Short-sightedness/Pages/Symptoms.aspx National Research Council Commission. (1989). Myopia: Prevalence and

Progression. Washington D.C: National Academy Press.

PERDAMI. (2010, Oktober 22). Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Retrieved Januari 29, 2013, from Persatuan Dokter Spesialis Mata

Indonesia web site:

http://www.perdami.or.id/?page=news_seminat.detail&id=3

Pi, L., Chen, L., Liu, Q., Ke, N., Fang, J., Zhang, S., et al. (2010). Refractive Status and Prevalence of Refractive Errors in Suburban School-age Children. International Journal of Medical Sciences , 342-353.

Podos, S., & Yanoff, M. (1994). Spectacle Lenses, In: Textbook of Ophtalmology

(Vol. 9). London: Mosby-Year Book Europe.

Read, S., Collins, M., & Carney, L. (2007). A review of astigmatism and its possible genesis (Vol. 90). Clin Exp Optom.

Remington, L. A. (2012). Clinical Anatomy and Physiology of the Visual System 3rd edition. In L. A. Remington, Clinical Anatomy and Physiology of the Visual System 3rd edition (pp. 93-106). St.Louis: Butterworth Heinemen Elsevier.

Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020. (2005). Jakarta.

Riordan-Eva, P., & Whitcher, J. P. (2004). Lange. In T. Asbury, P. Riordan-eva, J. H. Sullivan, J. P. Whitcher, J. Ausburger, R. Biswell, et al., Vaughan & Asbury's General Ophthalmology (Vol. XVI, p. 3). London: McGraw-Hill. Sherwood, L. (2008). Human Physiology: From Cells to Systems,Seventh Edition.

(19)

47

Sihota, R., & Tandon, R. (2007). Parson's Disease Of The Eye (21st ed.). New Delhi: Elsevier.

Singh, D., & Verma, A. (2005, Agustus 19). Myopia, Phakic IOL. Retrieved November 25, 2013

Specialeyes Optometrists. (2013). Retrieved November 25, 2013, from Specialieyes Web site: www.specialeyes.com

Sue, S. (2007, September). Retrieved Mei 20, 2013, from Community Eye Health: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2040251/

Suhardjo. (2007, Maret 5). Universitas Gadjah Mada. Retrieved September 21, 2013, from Penanganan Glaukoma dan Myopia dengan Teknologi Laser:

http://ugm.ac.id/id/berita/1530-penanganan.glaukoma.dan.myopia.dengan.teknologi.laser

Suhardjo, S., & Hartono. (2007). Anatomi Mata dan Fisiologi Penglihatan.

Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.

United Nation. (2010, Juni). Children's Right Alliance. Retrieved Januari 16, 2013, from www.childrensrights.ie/sites/default/files/UNCRCEnglish.pdf Vaughan, & Asbury. (2008). General Ophtalmology, Seventieth Edition.

McGraw-Hill.

Williams, W., L. A., Hannington, L., & Watkins, D. (2005, Februari). Hyperopia and educational in a primary school cohort. Arch Dis Child , 150.

World Health Organization. (2013, 10). Retrieved 2 18 , 2014, from Visual

impairment and blindness:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/

(20)

48

World Health Organization. (2007). Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness : action plan 2006-2011. World Health Organization 2007 , 1-3.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai elastisitas transmisi harga (b1) sebesar 0,850 pesen (lebih kecil dari satu) juga mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk antara pasar

pada angka 2 huruf b) telah habis masa berlakunya, tetap dinyatakan memenuhi syarat administrasi dan ditindaklanjuti dengan verifikasi faktual. 5) Dalam hal alamat

Karena alas balok berbentuk persegi panjang maka cara menghitung volume adalah..... Meningkatkan hasil belajarnya tentang volum kubus dan balok,

Penataan sistem manajemen SDM aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur BPOM yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur

b. Karakteristik individu adalah potensi insani yang masih “tertanam” pada diri setiap individu dan siap untuk dimunculkan. Karakteristik individu diukur melalui alat

Informasi yang diberikan dirancang hanya sebagai panduan untuk penanganan, penggunaan, pemrosesan, penyimpanan, pengangkutan, pembuangan, dan pelepasan secara aman dan tidak

 penanggulangan HIV/AIDS harus dapat dijamin apat dijamin kesinambungannya sangat ditentukan kesinambungannya sangat ditentukan oleh komitmen politik, kepemimpinan yang kuat

terhadap perubahan (kebutuhan- kebutuhan baru). 5) Selain dengan menggunakan desain logic dan DFD, tidak cukup tool yang digunakan untuk mengkomunikasikan dengan pengguna,