BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini dilatar belakangi oleh pengalaman penulis yang masih mendapatkan data adanya klien penyakit kusta dan pada saat dilakukannya penelitian terhadap klien kusta pada tahun 2016, peneliti mendapatkan hasil bahwa tugas kesehatan keluarga sangat penting dalam proses pengobatan dan perawatan, sehingga anggota keluarga klien kusta dapat merawat klien kusta dan membantu anggota keluarga klien kusta menyelesaikan pengobatannya sampai tuntas. Dari pengalaman tersebut peneliti menemukan data bahwa keluarga tersebut masih kurang pengetahuan dalam menangani atau mengurus anggota keluarga klien kusta (Negara, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara terhadap keluarga yang memiliki anggota keluarga klien kusta, didapatkan bahwa pengetahuan tentang keluarga mengenai perawatan yang rutin dan non rutin yang harus dilakukan oleh anggota keluarga terhadap klien pengidap kusta sudah baik, ditandai dengan pengetahuan mengenai obat yang dianjurkan dan Tindakan medis serta control Kesehatan ke Puskesmas terdekat
Responden 1 :
“Setelah mengetahui bahwa anak saya menderita penyakit kusta, saya dan istri saya berusaha untuk merawat nya, dengan selalu mengingatkan untuk meminum obat secara teratur, mengantar nya ke Puskesmas untuk kontrol, mengingatkan untuk menjaga kebersihan diri, kendala yang saya alami selama
merawat anak saya adalah saya harus bekerja pada saat anak saya diharuskan kontrol ke puskesmas pada saat obatnya habis, pernah suatu waktu dikarenakan obatnya habis anak saya tidak minum obat dalam kurun waktu 1 hari. anak saya juga sekarang bekerja karena kekurangan ekonomi jadi saya tidak dapat memantau kondisi anak saya dan merawatnya apabila terjadi sesuatu pada anak saya”
Klien Responden 1 :
“Saat saya dan orang tua saya mengetahui bahwa saya menderita kusta, mereka selalu memperhatikan saya dengan selalu mengingatkan untuk meminum obat nya secara teratur, mengantar setiap harus kontrol ke puskesmas, mengingatkan untuk menjaga kebersihan diri, mengingatkan untuk selalu memakai alat perlindungan diri agar tidak mendapatkan luka, pernah suatu ketika saya telat meminum obat tetapi setelah kontrol ke puskesmas itu tidak apa apa kata pihak puskesmas, lalu dikarenakan masalah ekonomi pada keluarga, saya harus bekerja di perusahan kayu untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga, apabila saya terluka saya mengobati luka saya sendirian”
Permasalahan yang dialami oleh klien penyakit kusta dapat menyebabkan dampak fisik yang parah serta bersifat permanen. Untuk menghindari hal-hal tersebut terdapat langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan melalui perawatan diri. Kementrian RI (2012) membagi perawatan diri klien kusta untuk pencegahan cacat menjadi tiga bentuk yakni perawatan mata, perawatan tangan dan perawatan kaki dari trauma fisik serta merawat diri.
Pengalaman lain yang disampaikan oleh keluarga dan klien kusta yaitu cara penanganan luka dari klien pengidap kusta,selain itu pengalaman keluarga dari pengidap kusta pada responden 2 ini lebih menekankan kepada minimnya Kerjasama dengan kader puskesmas karena control dari perawatan sangat jahu sehingga 1spasien tidak terawasi dengan baik dan berdampakn pada minimnya pasien yang selamat ketika mengalami luka pada bagian tubuhnya sebagai berikut :
Responden 2 :
“Bapa saya menderita penyakit kusta sudah lumayan lama, terkadang bapa saya mendapatkan luka saat beraktifitas tapi terkadang Bapa tidak sadar mengalami luka karena tidak terasa. Biasanya bapa mengobati luka nya sendiri bila masih dapat menggapai tempat luka nya, tapi jika lukanya tidak dapai digapai oleh sendiri, Bapa suka minta tolong ke saya untuk mengobati lukanya tersebut kendala dalam merawat bapa adalah bapa saya sangat sulit untuk meminum obat kusta kadang dia juga suka lupa apakah dia sudah minum obatnya atau belum, dan apabila obatnya sudah habis sangat sulit untuk mengambil obat kusta ke puskesmas dikarenakan jarak antara puskesmas dari rumah lumayan jauh dan terkadang bertepatan dengan hari dimana saya harus bekerja jadi tidak ada yang dapat mengantarnya ke puskesmas.”
Klien Responden 2 :
“Saya menderita penyakit kusta sudah lumayan lama, terkadang saya mendapatkan luka tapi tidak terasa. Apabila ada luka, saya biasa merawat luka
sendiri bila luka masih bisa di gapai, namun jika letak lukanya sulit digapai, saya minta tolong anak saya untuk mengobati luka saya, terkadang saya suka lupa apa hari ini sudah minum obat apa belum kadang sehari saya dapat meminum obatnya 2 kali, kadang tidak sama sekali, saya juga suka merasa kalau minum obat tidak di perlukan dikarenakan tidak ada efek kesembuhan yang signifikan, lalu kalau obatnya habis susah kalo harus ambil ke puskesmas soalnya jauh dari rumah”
Berdasarkan dari hasil wawancara dan pengalaman penulis diatas didapatkan bahwa tugas kesehatan keluarga sangat di butuhkan dalam merawat anggota keluarga dengan penyakit kusta, seperti tidak untuk menyepelekan penyakit, memanfaatkan fasilitas kesehatan terdekat seperti puskesmas, mengingatkan tentang pentingnya mengkonsumsi obat tepat pada waktunya, merawat luka anggota keluarga dengan kusta, mengingatkan untuk menggunakan alat perlindungan diri apabila ingin beraktifitas atau bekerja, menciptakan lingkungan yang bersih. Hal ini dikarenakan pada pasien kusta apabila penanganan terlambat dapat memperburuk keadaan pasien dengan kusta dan apabila pengobatan terlewat harus di ulangi dari awal dengan dosis obat yang lebih tinggi dari sebelumnya (Kafiluddin, 2010).
Penyakit kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi juga diantaranya masalah sosial, ekonomi, fisik dan psikologis. Dampak yang timbul pada klien kusta yaitu pada aspek fisik klien akan mengalami kecacatan, pada aspek mental klien
kusta akan mengalami perasaan malu serta depresi, pada aspek ekonomi klien kusta cenderung kehilangan pekerjaan dan mengalami kemiskinan dan pada aspek sosial yaitu klien kusta dikucilkan dan diabaikan oleh masyarakat (Brakel,2010). Perilaku masyarakat cenderung mengucilkan dan isolasi sosial kepada klien kusta sehingga menyebabkan stress dan depresi pada klien kusta (Brakel, 2010).
Dalam penelitian Soenoe (2017) terdapat beberapa kasus diskriminasi atau adanya pemberian kesempatan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya pada klien kusta, contohnya saat menjalin hubungan dengan masyarakat, sempat merasakan takut dan sedih karena sikap masyarakat yang menjauhinya. Namun dengan adanya hal itu, klien kusta menjalani penyesuaian diri dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan individu yaitu dengan mengubah diri dengan keadaan lingkungannya.
Keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah satu anggota keluarga memerlukan bantuan terus-menerus karena masalah kesehatan kronik, seperti pada klien kusta. Maka daripada itu, menurut Friedman (2012) keluarga mempunyai peran penting dalam proses pengobatan, karena keluarga bisa memberikan dukungan baik dari segi fisik maupun psikologis untuk klien.
Keterlibatan keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu mencegah kecacatan, mengingat keluarga berperan sebagai pengambil keputusan untuk mencegah masalah kesehatan dan memelihara atau meningkatkan status kesehatan anggota keluarga, karena apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya serta dapat
mempengaruhi produktifitas keluarga (Friedman, 2012). Semuanya berawal dari keluarga, karena keluarga itu sendiri merupakan unit yang paling kecil dan paling dekat dengan klien kusta, yang mampu memberikan perawatan, sehingga peran keluarga sangat dibutuhkan dalam memberikan peran dalam menjalani pengobatan dan perawatan (Mongi, 2012).
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan yang terus- menerus, yang tinggal dalam satu atap, mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban satu orang dengan lainnya (Johnson, 2010). Peran keluarga sangat bermanfaat terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, yang berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, meningkatkan tingkat kognitif dan kesehatan emosi individu. Keluarga itu sendiri berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan dan dukungan keluarga akan meningkatkan kesejahteraan psikologis karena adanya perhatian dan pengertian yang akan menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri (Setiadi, 2012). Peran keluarga ini berhubungan juga dengan upaya pencegahan kecacatan dimana klien dengan dukungan anggota keluarga yang baik melakukan upaya pencegahan sebanyak 54,2% (Afandi, 2010). Seperti yang dijelaskan oleh House & Khan (dalam Iradati, 2018) bahwa dukungan sosial merupakan tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan instrument dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Oleh karena itu, dengan adanya
dukungan sosial oleh keluarga dapat sangat membantu para klien kusta untuk lebih bersemangat dalam menjalankan kehidupannya walaupun dengan adanya keterbatasan fisik dan adanya stigma negatif dari masyarakat yang disebabkan oleh penyakit tersebut.
Pemerintah telah melakukan upaya dan pengembangan program dalam penanganan penyakit kusta sejak tahun 1950 dengan berbagai kebijakan diantaranya kegiatan pengendalian kusta yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan umum dan pengobatan tersedia secara gratis, regimen terapi mengikuti rekomendasi (WHO, 2010). Program pemerintah tersebut bertujuan untuk memberantas penyakit kusta dan meminimalisasi dampak psikososial yang dialami klien kusta. Meskipun program dari pemerintah sudah dilaksanakan, namun stigma negatif masih terus melekat pada klien kusta (Kemenkes RI, 2014).
Penyakit kusta itu sendiri adalah penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Djuanda,2012).
Penularan kusta belum diketahui secara pasti, namun sebagaian besar ahli berpendapat bahwa dapat melalui saluran nafas bagian atas dan kulit. M.
leprae sering berkembang pada tubuh manusia yang mempunyai suhu lebih rendah, seperti daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit (Mansjoer et al, 2000) dikutip dari Susanto, Tantut Dkk. (2013). Teori – teori tentang mekanisme
penularan M. leprae pada tubuh manusia diantaranya adalah melalui kontak langsung dengan klien kusta, secret pernafasan yang terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat ditularkan melalui tanah yang terinfeksi M. leprae.
perkembangan penyakit kusta pada tubuh seseorang sangat bergantung pada tinggi rendahnya system imun seluler (cellular mediated immune) seseorang.
Penyakit kusta akan menjadi tuberkuloid ketika seseorang mempunyai imunitas yang tinggi (Mansjoer et al, 2000) dikutip dari Susanto, Tantut Dkk. (2013).
Klien kusta dapat disembuhkan, namun bila tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat akan beresiko menyebabkan kecacatan pada syaraf motorik, otonom atau sensorik (Kafiluddin, 2010).
Prevelensi penyakit kusta di dunia masih tinggi, terutama di Negara berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan kepadatan penduduk (WHO, 2015). WHO mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan kasus baru kusta terdeteksi di seluruh dunia dengan kaus tertinggi berada di regional Asia Tenggara yakni sebesar 154.834 kasus.
Prevelensi kusta pada awal tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per 100.000 penduduk. Indonesia menduduki peringkat ketiga Negara dengan endemic kusta terbanyak setelah India dan Brazil.
Meski Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000 lalu, namun hingga kini penemuan kasus kusta masih dijumpai di beberapa daerah.
Menurut data dari Kemenkes RI pada tahun 2017 terdapat sebanyak 15.910 kasus dan pada tahun 2018 juga masih di sekitar angka 15 ribu kasus. Data tahun 2018 masih dalam proses finalisasi, sementara jumlah prevelensi kusta di
Indonesia yaitu 0,696 per 10.000 penduduk dengan total kasus 18,242 pada tahun 2017. Untuk itu, Kemenkes RI menargetkan agar seluruh Provinsi dapat mencapai status eliminasi kusta pada tahun 2019. Saat ini, baru sejumlah 20 dari 34 provinsi yang sudah berhasil eliminasi. Data Profil Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2015 sebanyak 17.202 kasus dengan 84,5% kasus diantaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Menurut jenis kelamin 62,7% klien baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,3% lainnya klien kusta berjenis kelamin perempuan. Untuk 2015, target terdekat adalah eliminasi kusta di Provinsi Banten. Tahun 2016, target selanjutnya adalah eliminasi kusta di Sulawesi Tengah dan DI Aceh. Tahun 2017, target eliminasi kusta di Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Tahun 2018, target eliminasi kusta di Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Di tahun 2019, target eliminasi kusta di Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat. Berdasarkan status eliminasi, Provinsi Aceh dan Banten di tahun 2013 memiliki angka prevelensi 1 per 10.000 penduduk (belum eliminasi) dan pada tahun 2014 dan 2015 kedua provinsi berhasil mencapai eliminasi. Secara nasional pada tahun 2015 sebanyak 0,79 per 10.000 penduduk telah mencapai target program eliminasi kusta (Kemenkes RI, 2016).
Menurut statistik tahun 2017 di kabupaten Sumedang tercatat sebanyak 91 orang, pada tahun 2018 tercatat sebanyak 95 orang dan pada tahun 2019 tercatat sebanyak 104 orang klien kusta (Profil Dinkes Sumedang, 2019), dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masih adanya peningkatan pada klien
penyakit kusta. Adapun data yang terdapat di wilayah Puskesmas Hariang terdapat sebanyak 5 orang klien kusta yang sedang dalam tahap pengobatan (Catatan Puskesmas Hariang), dan memerlukan perawatan dan pengawasan dari puskesmas secara berkelanjutan. Kalau hal ini tidak ditangani dengan serius maka dapat terjadi penyebaran infeksi yang lebih meluas.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan di Puskesmas Hariang terdapat 5 orang yang menderita penyakit kusta dan sekarang sedang menjalani pengobatan, oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat karya tulis tentang keluarga yang memiliki anggota keluarga berpenyakit kusta yang diberi judul
“STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENGIDAP PENYAKIT KUSTA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Bagaimana tugas kesehatan keluarga dalam merawat anggota keluarga klien kusta?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman keluarga yang mengidap penyakit kusta?
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu keperawatan, khususnya Ilmu Keperawatan Komunitas.
b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan peran keluarga dalam merawat anggota keluarga klien kusta.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Lahan Praktek
Sebagai referensi dalam meningkatkan kesadaran tentang peran keluarga dalam merawat anggota keluarga klien kusta baik dimasa yang akan dating pada pasien klien kusta.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan pembendaharaan bacaan untuk pengembangan dan penelitian selanjutnya pada peran keluarga dalam merawat enggota keluarga klien kusta.
c. Bagi Profesi
Bagi profesi keperawatan, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran peran keluarga dalam merawat enggota keluarga klien kusta.
d. Bagi Peneliti
Merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat dan menambah wawasan pengetahuan.
E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April s.d Mei tahun 2020
2. Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Hariang, Kabupaten Sumedang
3. Ruang Lingkup Materi
Penelitian ini termasuk kedalam Keperawatan Komunitas, materi dalam penelitian ini dibatasi pada perihal penyakit kusta dan peran keluarga dalam merawat anggota keluarga klien kusta.