1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya, ada hubungan sebab akibat untuk mengetahui dan menentukan ada atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa yang harus dipertanggungjawabkan atas suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.
Antara sebab tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dikehendaki yang terjadi) harus ada hubungannya.Hubungan itu disebut sebagai hubungan kausal, atau hubungan sebab akibat.Tetapi dalam suatu kasus hubungan penyebab (motif), tindakan dan akibat hanya dapat dibayangkan dalam diri pelaku. Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan ialah bahwa motif itu merupakan pendorong bagi pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.
Hubungan tindakan dengan akibat adalah bahwa akibat itu dalam beberapa hal (atau delik) merupakan perwujudan dari kehendak pelaku, sedangkan dalam hal lainnya, akibat itu adalah merupakan kelanjutan logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab1.
Bahwa adanya sebab dan akibat maka harus ada yang mengaturnya untuk itu adanya Hukum yang mengaturnya sehingga dapat membuat mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan oleh sebab tersebut, maka lahirlah Hukum Acara Pidana yang mengatur bagaimana sebab dan akibat itu dapat diproses dalam suatu aturan. Menurut Simon, Hukum Acara Pidana
1 E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2012, hlm 136
2 disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana materiil, Hukum Pidana Materiil atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan ; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan Hukum Pidana Formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan mejatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana2.
Menurut Van Bemmelen Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Hukum Pidana :
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan dengan kebenaran, guna dilimpahkan kepada Hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan Hakim tersebut ;
5. Hakim memberi putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut;
7. Akhirnya, melaksanakan putusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu” 3.
Hukum Pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata: “karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang hukum pidana”.
2 Mohammad Taufik Makara, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 1
3 A. Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hlm 17
3 Dalam membagi Hukum Pidana dalam arti luas menjadi Hukum Pidana Materiel dan Hukum Pidana Formil maka Simons menunjukan bahwa Hukum Pidana Materiel mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal-hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang pidananya, dan ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana.
Sedangkan Hukum Pidana Formil menurut Simons, mirip dengan yang dikemukakan oleh Van Bemmelen tersebut dimuka, yaitu mengatur tentang cara Negara dengan perantara para Pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.4
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981), tidak dijelaskan hukum acara pidana itu. Hanya diberi defenisi –defenisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP).
Dari kesemua proses yang terutama ketika muncul sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah proses penyelidikan yang berfungsi untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, ketika
4 A. Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Sofmedia, Jakarta, 2012, hlm 3
4 proses penyelidikan dirasakan telah cukup maka dapat ditingkatkan ke proses selanjutnya yaitu proses penyidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti5. Sasaran penyidikan mencari dan mengumpulkan bukti yakni berusaha menemukan dua alat bukti yang sah dengan tindakan dapat berupa menangkap atau menahan atau memeriksa tesangka, memanggil atau memeriksa saksi atau ahli, menggeledah atau menyita surat atau barang, menghentikan penyidikan (tidak cukup bukti) dan tindakan lainnya yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP).
Dalam mengumpulkan bukti maka Penyidik harus melengkapi semua persyaratan formal dan persyaratan materril dalam hal ini dituangkan dalam sebuah berkas perkara yang nantinya akan diserahkan ke pihak kejaksaan atau Penuntut Umum setelah diterbitkannya atu dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi.
Persyaratan berkas perkara terdiri dari :1. Persyaratan formil, meliputi kelengkapan andministrasi berkas perkara. 2.Persayaratan materiel meliputi
5R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Edisi Kelima PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 359
5 kelengkapan unsur tindak pidana dan fakta perbuatan kejadian atau hal-hal dari masing-masing unsur delik, serta alat bukti yang mendukung setiap fakta.
Contoh kasus dalam berkas perkara No. Pol. : BP/37.b/XI/2016/RESKRIM tanggal 21 Nopember 2016 dari Polres Seram Bagian Barat atas nama tersangka IMRAN SOMBALATU Alias RANDI Alias IMRAN dan Tersangka Gunawan Tamalene Alias Gunawan, yang diterima oleh Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, dimana Pasal yang disangkakan kepada kedua tersangka adalah Pasal 81 Ayat (1) Jo. Pasal 76 D Atau Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang- Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana uraian singkatnya sebagai berikut Tersangka Anak IMRAN SOMBALATU Alias RANDI Alias IMRAN bersama Tersangka Gunawan Tamalene Alias Gunawan pada hari Selasa tanggal 25 Oktober 2016, sekira pukul 23.30 Wit atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Oktober 2016, bertempat di dalam rumah Bapak AHMAR TAMALENE di Desa Buano Utara Kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat melakukan persetubuhan terhadap anak korban SUCIN TUHUTERU Alias UCIN. Setelah diteliti oleh Jaksa berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat (P- 16) Nomor : Prin –444/ S.1.17/Euh.1/11/2016 tanggal 01 Nopember 2016, terdapat kekurangan persyaratan Formil dan persyaratan Materiil sebagai berikut :
6 SYARAT FORMIL
1. Dalam Berkas Perkara pada sampul Berkas perkara belum dicantumkan Nomor dan tanggal.
2. Dalam Berkas Perkara pada Daftar Isi, Surat Penyitaan, Daftar Barang Bukti, Daftar Saksi dan Daftar Tersangka belum dicantumkan tanggal.
3. Dalam Berkas Perkara belum melampirkan Foto Barang Bukti.
4. Dalam Berkas Perkara belum ada surat Permintaan Laporan Sosial dan belum dilampirkan Surat Laporan Sosial dari Kepala PSBR Hiti-Hiti Hala-Hala tehadap para tersangka dibawah umur.
5. Dalam Berkas Perkara belum dilampirkan Akta Kelahiran atau Identitas lain saksi korban dari pejabat yang berwenang.
6. Dalam Berita Acara Pemeriksaan saksi Budiman Tamalene, pada identitas belum dicantumkan umur saksi.
7. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka Gunawan Tamalene Alias Gunawan belum ditandatangani oleh Penasehat Hukum.
8. Berdasarkan Pasal 29 UU RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Penyidik wajib melakukan Diversi.
9. Dalam berkas perkara belum melampirkan hasil penelitian kemasyarakatan terhadap kedua tersangka.
SYARAT MATERIIL
1. Dalam Berkas Perkara disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) Jo. Pasal 76 D atau Pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
7 UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan unsur-unsur sebagai berikut :
Pasal 81 ayat (1) Jo. Pasal 76 D UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
1. Usur “Setiap Orang”
2. Unsur “Dengan sengaja”
3. Unsur “Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak” : 4. Unsur “Melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain”
5. Pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6. Unsur “Setiap Orang”
7. Unsur “Dengan sengaja”
8. Unsur “Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak”
9. Unsur “Unsur “Melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain”
Namun fakta dalam berkas perkara belum memenuhi unsur-unsur Pasal 81 ayat (1) Jo. Pasal 76 D atau Pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Berdasarkan fakta dalam bekas perkara Tersangka Imran Sombalatu melakukan persetubuhan dengan saksi korban sebanyak dua kali dan ada hubungan percintaan antara tersangka Imran Sombalatu dengan saksi korban sedangkan terhadap tersangka Gunawan Tamalene hanya melakukan persetubuhan dengan
8 saksi korban sebanyak satu kali setelah tersangka Imran Sombalatu melakukan persetubuhan dengan saksi korban.
Pasal 69 ayat (2) UU RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menyatakan bahwa “anak yang belum berusia 14 (empat) belas tahun hanya dapat dikenai tindakan”. Ada perbedaan usia antara para tersangka yaitu Tersangka Imran berusia 16 tahun dan tersangkan Gunawan berusia 13 tahun.Suatu hasil penyidikan dikatakan lengkap apabila telah diperoleh sekurang- kurangnya dua alat bukti sah menurut undang-undang.Berhasil atau tidaknya penuntutan tegantung pada kecermatan dan ketelitian Penuntut Umum dalam meneliti berkas perkara.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengangkat judul dalam penulisan skripsi ini adalah: Persyaratan Formil dan Materil Berkas Perkara Dalam Proses Penyidikan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diteliti adalah Bagaimanakah Persyaratan Formil dan atau Persyaratan Materiil dalam suatu berkas perkara dapat mempengaruhi proses Penyidikan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisa pengaruh Persyaratan formil dan atau Persyaratan materiil dalam suatu berkas perkara pada tahapan penyidikan.
2. Sebagai salah satu persyaratan akademik guna penyelesaian studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
9 D. Manfaat Penelitian
1. Untuk menjelaskan pengaruh Persyaratan formil dan materiil suatu berkas perkara dalam proses Penyidikan.
2. Sebagai sumbangsih pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
E. Kerangka Teori
1. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide- ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide- ide.Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.6 Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:7
1.Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
6 Ibid, Hlm 40
7 Ibid, Hlm 45
10 acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.
Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
2.Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.
3.Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan- keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
11 1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai- nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.
2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.
3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.
2. Teori Pembuktian
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).8
Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu
8 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang Education, 2013.
12 usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.9 Dalam hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya seorang terdakwa didalam persidangan.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
a.Penyidikan b.Penuntutan
c.Pemeriksaan di persidangan
d.Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang sebagaimana diatur didalam KUHAP.10 Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah ‛usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut‛. Sedangkan
9 Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian‛dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna pembuktian. diakses pada 10 juli 2019.
10 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia, 1983), 12
13 menurut Darwan , bahwa pembuktian adalah ‛pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.4Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan, dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:11
1. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti-bukti lain.
2. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
a) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
b) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut conviction raisonnee.
c) Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
11 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar ibid,242.
14 yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah, sebagai berikut:
a.Undang-undang b.Doktrin atau ajaran c.Yurisprudensi.12
Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi ‚hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.‛ Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Apabila sebaliknya maka terdakwa tidak dapat diajutuhi hukuman atas tindakannya. Menurut Andi Hamzah,13 teori dalam sistem pembuktian, yakni sebagai berikut:
a) a.Sistem atau teori berdasarkan berdasarkan Undang- undang secara psoitif (positive wetteljik bewijstheorie) b) b.Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim saja (conviction intime)
12 Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi ( Bandung: Mandar Maju, 2003),hlm 10.
13 Ibid Hlm 75
15 c) c.Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee) d) d.Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-
undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori dalam sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:
a. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie). Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie). ‚untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras‛.14
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime) Merupakan suatu pembuktian dimana proses-proses menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau mengabaikan alat bukti dengan hanya menggunakan
14 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Ibid245.
16 keyakinan yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.15
c. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonnee) Bahwa suatu pembuktian yang menekankan kepada keyakinan seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan seorang terdakwa.16
d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie) Merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-udanng secara psoitif.
Rumusan dari sitem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.17
15 Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), 171.
16 Ibid, 171
17 Ibid, 171
17 F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu.
Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu18. Dengan demikian metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah : 1. Jenis Penelitian
Jenis penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif atau studi hukum dalam buku19.Penelitian yuridis normatif adalah suatu penelitian yang terutama mengkaji bahan-bahan hukum, ketentuan- ketentuan hukum positif, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.Bahan-bahan itu disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Tipe Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil penelitian yang berkaitan dengan
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta , 1984, hlm 42
19 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 3
18 judul penulisan hukum secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti20.
3. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.Dalam penulisan ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.Peraturan Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri.Peraturan Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2014 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hokum primer, yaitu bahan ilmiah (buku-buku), doktrin para ahli serta wacana atau artikel di internet yang berhubungan dengan masalah terkait.
4. Teknik Pengumpulan Analisa Bahan Hukum
Teknik analisa bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini dilakukan dengan cara kualitatif yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Dalam penulisan ini, yang dianalisis adalah kelengkapan
20 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya, 2005
19 Formil dan Kelengkapan Materiil dalam Berkas Perkara mempengaruhi proses penyidikan.