BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan (UU No.23 tahun 2002). Anak dapat di kelompokan berdasarkan usia,yaitu : bayi (0-1 tahun),anak prasekolah (2-6 tahun),anak sekolah (6-12 tahun) dan remaja (13-18 tahun) (Mitayani,2010). Anak merupakan salah satu penerut bangsa Indonesia.
Sebagai penerus masyarakat Indonesia pertumbuhan dan perkembangan anak harus di perhatikan. Salah satu aspek yang mempengaruhi tumbuh kembang pada anak yang sangat diperhatikan secara serius oleh para pakar,yaitu aspek sehat dan sakit pada anak yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. (kyle, 2015). Permasalahan kesehatan di zaman modern semakin hari semakin beragam. Suatu penyakit dapat menyerang siapa saja baik laki-laki, perempuan, tua muda, bahkan anak-anak sekalipun.
Penyakit yang banyak menyerang anak adalah kelainan pada sel darah merah seperti anemia, polisitemia dan Thalassaemia. Thalassaemia adalah suatu penyakit congenital herediter yang di turunkan secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai polipetida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan terjadinya anemia
hemolitik. Dengan kata lain, Thalassaemia merupakan penyakit anemi
hemolitik,dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari) (Ambarwati, 2015).
Menurut World Health Organization (WHO), di Indonesia frekuensi pembawa gen Thalassaemia cukup tinggi yaitu sebesar 6-10% yang artinya 6-10 dari 100 orang adalah pembawa gen Thalassaemia. Penyakit Thalassaemia bukanlah penyakit yang menular namun penyakit ini setiap tahun mengalami pertumbuhan rata-rata 10-13% (Sukrie, 2016:26). Di Indonesia, penderita penyakit Thalassaemia tergolong tinggi dengan semakin bertambah pasien Thalassaemia setiap tahunnya, dimana setiap tahun akan lahir 3000 bayi yang
berpotensi terkena Thalassaemia. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan prevalensi Thalassaemia terbanyak se-Indonesia sebanyak yaitu 42% dari total
6647 orang Sampai dengan tahun 2013 (Alyumnah, Ghozali, & Dalimoenthe, 2015). Dalam lima tahun terakhir kasus Thalassaemia di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 3.720 kasus dalam rentang tahun 2012-2017.
(republika.co.id, 2018)
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi nasional Thalassaemia adalah 0,1 persen. Beberapa daerah di Indonesia mempunyai risiko tinggi untuk carrier gen Thalassaemia, misalnya Batak, Melayu, Cina, India dan Jawa. Prevalensi carrier Thalassaemia untuk
masyarakat Batak sebesar 1,5% dan 0%, Melayu 5,2% dan 4,3%, Jawa 3,2% dan 4,8% (Rikesdas, 2018).
Thalassaemia adalah suatu penyakit congenital herediter yang di turunkan
secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai polipetida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan
terjadinya anemia hemolitik. Dengan kata lain, Thalassaemia merupakan penyakit anemi hemolitik,dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari).
(Ambarwati, 2015). Thalassaemia menyerang balita dan anak-anak,karena penyakit ini merupakan penyakit genetik.
Anak yang mengalami Thalassaemia menunjukan perubahan yang terjadi secara fisik,diantaranya perkembangan fisik tidak sesuai umur, berat badan berkurang, perubahan bentuk wajah,lemah dan anemia. Anemia menyebabkan anak penyandang Thalassaemia mengalami kelemahan (fatique), sehingga tidak dapat melakukan tugas sesuai tahap perkembangannya dan tidak bisa hidup tanpa transfusi darah (Nurarif & Kusuma, 2013)
Salah satu pengobatan yang diberikan untuk penderita Thalassaemia adalah dengan melakukan tranfusi darah dengan suntikan desferal secara rutin dimana untuk penderita akut berlaku seumur hidup. Tranfusi darah dapat menyebabkan efek samping mual dan demam. Selain itu apabila terjadi kelebihan zat besi akibat tranfusi berdampak tidak baik untuk tubuh penderita. (Pratiwi, 2016)
Dampak lain yang dirasakan, yaitu dampak psikologis. Hal ini disebabkan penderita merasa meiliki pengalaman yang negatif dikarenakan harus keluar masuk rumah sakit untuk tranfusi darah, belum lagi nyeri yang berkelanjutan akibat dari tranfusi. Selain itu, penderita cenderung memiliki rasa terisolasi dari lingkungan sekitar yang menganggap dirinya berbeda dengan sebayanya.
(Pratiwi, 2016). Hal tersebut dapat memberikan dampak pada kualitas hidup penderita Thalassaemia.
Kualitas hidup adalah konsep yang mencangkup karakteristik fisik,mental,sosial,emosional, komplikasi dan efek terapi suatu penyakit secara luas yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang di lakukannya. Seorang anak mulai dapat dipercaya dalam pembuatan laporan kualitas hidup pada rentang usia 4-6 tahun (Sekartini & Maharani, 2015)
Hasil penelitian Bulan (2009) menggambarkan bahwa rata-rata total skor kualitas hidup anak Thalassaemia beta mayor di RS Kariadi Semarang adalah 65,8 dan hasil penelitian Muhsinun Nikmah dkk (2017) menggambarkan bahwa rata-rata total skor kualitas hidup anak Thalassaemia di RS Cut Meutia Aceh Utara adalah sebanyak 60,46 (beresiko). Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Thavorncharoensap, 2010) di Thailand mengemukakan bahwa rata-rata total skor kualitas hidup anak Thailnad yang mengalami Thalassaemia adalah sebesar 76,67 (normal). Berdasarkan hasil tiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup anak Thalassaemia di indonesia (RS Kariadi Semarang dan
RS Cut Meutia Aceh Utara) berada di bawah kualitas hidup anak penyandang Thalassaemia di Thailand.
Peran keluarga khususnya orang tua sangatlah penting untuk mengurangi dampak psikologis pada kualitas hidup anak yang dapat terjadi, sebagai langkah penangan non-medis. Sebab, kehidupan anak sangat di tentukan oleh keberadaan bentuk dukungan keluarga,hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil (Hidayat,2009).
Dukungan keluarga menurut friedman (2010) dalah sikap,tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya,berupa dukungan informasional,dukungan instrumental,dukungan emosional,dan dukungan penilaian. Dukungan informasional adalah dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah,memberikan nasehat,pengarahan,saran,dan umpan balik tentang apa yang di lakukan oleh seseorang. Dukungan informasional pada penyandang Thalassaemia dapat diberikan keluarga dengan memberikan nasehat pada anak untuk tetap semangat dalam menjalani pengobatan, selalumengingatkan anak untuk makan makanan sesuai anjuran diet Thalassaemia serta mencari informasi mengenai pengobatan dan perawatan Thalassaemia.
Dukungan instrumental adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa pemberian materi seperti uang,sarana dan prasarana atau benda
yang dapat digunakan sebagai penunjang perkembangan anak Thalassaemia.dukungan instrumental pada anak penyandang Thalassaemia tidak
hanya dari segi uang untuk penyediaan pengobatan,keluarga bisa memenuhi kebutuhan makanan berupa dan zat gizi yang di perlukan.
Dukungan emosional adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa kasih sayang,perhatian,rasa empati. Dukungan emosional pada anak penyandang Thalassaemia dapat diberikan dengan cara selalu mendampingi anak selama proses pengobatan dan perwatan sehingga anak merasa selalu di perhatikan dan di sayangi.
Dukungan penilaian adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa bimbingan umpan balik,membimbing dan menengahi masalah pada anak penyandang Thalassaemia.ketika anak penyandang Thalassaemia merasa tidak percaya diri atau merasa malu untuk bergaul,dukungan penilian dapat diberikan keluarga dengan melibatkan anak dalam pekerjaan rumah yang dapat dikerjakananak atau mengikitsertakan anak dalam kegiatan lingkungan rumah maupun sekolah.
Selain dukungan keluarga, upaya yang dapat dilakukan menangani kasus Thalassaemia adalah dengan adanya dukungan fasilitas penangan yang dapat
menunjang pengobatan pasien dari pemerintah. Sebagai bentuk kepedulian pemerintah, di Jawa Barat terdapat beberapa Rumah Sakit yang memiliki fasilitas poli Thalassaemia, diantaranya RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi. RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi merupakan
pusat pelayanan poli Thalassaemia di wilayah sukabumi baik kota ataupun kabupaten.
Berdasarkan data rekam medis jumlah pasien di poli Thalassaemia RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi tahun 2018 pada bulan Desember – Februari 2019 mencapai 155 orang dengan distribusi berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki 50,97% (79 orang) dan perempuan 49,03% (76 orang). Berdasarkan distribusi usia yaitu balita (0-1 tahun ) 32 orang ,batita (1,5- 2 tahun) 6 orang,anak prasekolah (3-5 tahun) 32 orang,anak usia sekolah (6-12 tahun) 62 orang, remaja (13-18 tahun) 26 orang , dewasa (19-36 tahun) 22 orang (rekam medis RS,2018)
Hasil study pendahuluan di poli Thalassaemia di RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi pada 20 dan 27 Februari 2019 pada 10 anak, mayoritas mengatakan terkadang merasa sudah bosan dengan pengobatan dan merasa malu karena harus sering izin dari sekolah minimal 2 kali dalam satu bulan. Mayoritas anak mengatakan kalau sedang merasa lelah mereka hanya berdiam diri di rumah terkadang pulang saat sedang sekolah,mereka juga mengatakan selalu izin pada guru untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga.
Untuk mengukur kualitas hidup anak Thalassaemia dilakukan wawancara kepada 10 orang tua dengan melihat beberpa aspek penilaian. Aspek fisik : 6 dari 10 orang tua responden mengatakan anak sering merasakan lemah. Fungsi Emosional : 9 dari 10 orang tua responden mengatakan anak mudah marah, 6 dari 10 orang tua responden mengatakan bahwa anaknya sering merasa takut
umurnya tidak lama lagi. Fungsi sosial seluruh orang tua responden mengatakan anak tidak ada kesulitan dalam bergaul dan tidak ada yang meng olok-oloknya karena teman-temannya belum faham tentang penyaklit yang diderita sang anak.
Fungsi sekolah seluruh orang tua responden mengatakan sekolahnya cukup terganggu karena harus ijin bolak balik rumah sakit untuk menjalani pengobatan minimal 2 kali dalam sebulan.
Hasil komunikasi terhadap 10 orangtua pasien Thalassaemia menunjukan 7 orangtua diantaranya mengatakan dukungan keluarga dalam bentuk yang dilakukan orang tua dalam bentuk motivasi pada anak agar tetap semangat dalam menjalankan pengobatan serta mengingatkan anak untuk meminum obat anjuran dokter,dan seluruh orangtua mengatakan semua jenis pengobatan Thalassaemia di tanggung oleh bpjs kesehatan dan pemerintah daerah. 8 orangtua menyatakan dukungan keluarga dalam bentuk informasi orang tua banyak mencari informasi dari perkumpulan orangtua penderita Thalassaemia “POPTI” , dan 5 orangtua mengatakan membatasi anak dalam beraktivitas berat contohnya adalah olahraga.
6 orangtua mengatakan jarang memberi izin pada anak untuk berinteraksi di luar rumah seperti bermain dikarenkan khawatir pada kesehatan anak jika anak merasa kelelahan.
Melihat dari gambaran penyakit tersebut,serta dampak yang di akibatkan dari penanganannya terhadap kualitas hidup anak dengan Thalassaemia ,maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungn Dukungan
Keluarga Dengan Quality Of Life anak penyandang Thalassaemia di RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,peneliti tertarik untuk melakukan penelitian bagaimana Hubungaan Dukungan Keluarga Dengan Quality Of Life anak penyandang Thalassaemia di RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungaan Dukungan Keluarga Dengan Quality Of Life Pada pasien Thalassaemia.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk dukungan keluarga yang meliputi : dukungan informasional, dukungan instrumental, dukungan emosinal, dukungan penilaian.
b. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor demograpi jenis kelamin dan usia
c. Mendeskripsikan dan menganalisis kulaitas hidup (Quality of Life) pasien Thalassaemia.
d. Mengetahui hubungan dukungan kelaurga dengan kualitas hidup (Quality of Life) pada pasien Thalassaemia.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi dan bahan referensi tentang dukungan keluarga terhadap anak penyandang Thalassaemia.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk Institusi RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadikan acuan oleh institusi rumahsakit dalam merumuskan perencanaan asuhan keperawatan secara komprehensif baik biologi atau fisik,sosial dan psikologi dengan melibatkan keluarga,dalam upaya meningkatkankualitas hidup anak yang terdiri dari fungsi fisik,fungsi emosi,fungsi sosial dan fungsi sekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini telah di laksanakan selama satu bulan 2. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian telah di laksankan di poli Thalassaemia RS Bhayangkara Setukpa Lemdiklat Polri Sukabumi.
3. Ruang Lingkup Materi
Penelitian ini termasuk dalam keilmuan keperawatan anak,materi dalam penelitian ini dibatasi pada perihal dukungan keluarga dan kualitas hidup.