• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA PAJAK

N/A
N/A
Andita Lusiana Putri

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA PAJAK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2013:1). Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur (regulerend). Fungsi budgetair yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Sedangkan fungsi mengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah (Mardiasmo, 2013:1).

2.2 Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:5) pajak dikelompokan ke dalam tiga kelompok, yaitu berdasarkan golongannya, berdasarkan sifatnya, dan berdasarkan lembaga pemungutnya. Pengelompokan pajak akan diuraikan sebagai berikut.

Menurut golongannya pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. (Mardiasmo, 2013:5) Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh). Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (Mardiasmo, 2013:5). Contohnya yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

(2)

2

Menurut sifatnya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak (Mardiasmo, 2013:5). Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak . (Mardiasmo, 2013:5). Contohnya yaitu Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Menurut lembaga pemungutannya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara (Mardiasmo, 2013:6). Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), dan Bea Materai. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah (Mardiasmo, 2013:6).

Pajak daerah terdiri atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Contoh dari pajak provinsi yaitu pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Contoh dari pajak kabupaten/kota yaitu pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan.

2.3 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:7) sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi tiga yaitu:

1) Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang

(3)

3

terutang oleh Wajib Pajak (Mardiasmo, 2013:7). Ciri-cirinya yaitu Wajib pajak bersifat pasif, wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak pemerintah (fiskus), utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh pihak pemerintah (fiskus).

2) Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2013:7). Ciri-cirinya yaitu Wajib Pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3) With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (Mardiasmo, 2013:8). Ciri-cirinya yaitu wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain pemerintah dan Wajib Pajak.

2.4 Surat Pemberitahuan (SPT)

Menurut Mardiasmo (2013:31) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya

(4)

4

terutang dan untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.5 Surat Setoran Pajak (SSP)

Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. Tempat pembayaran dan penyetoran pajak dapat dilakukan pada bank yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan atau Kantor Pos dengan batas waktu pembayaran atau penyetoran untuk Pajak Penghasilan (PPh) paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan untuk PPN paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN dialaporkan.

2.6 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam daerah pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa (Waluyo, 2011:9). Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung karena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini pada akhirnya

(5)

5

dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan Barang Kena Pajak (BKP) atupun Jasa Kena Pajak (JKP).

2.7 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai

Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang- Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan yang terakhir Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. Undang-Undang ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

2.8 Barang Kena Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:295) barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984. Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali Undang-Undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, uang, emas batangan, surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).

(6)

6 2.9 Jasa Kena Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:297) jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984. Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah meliputi jasa pelayanan kesehatan medis, jasa dibidang pelayanan sosial, jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa dibidang keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, jasa boga atau katering.

2.10 Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean (Mardiasmo, 2013:300). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa kena Pajak yang dikenai

(7)

7

pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1984 (Mardiasmo, 2013:300).

Kewajiban sebuah badan atau orang pribadi yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yaitu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang, menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahn Nilai (PPN).

2.11 Dasar Pengenaan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:305) Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak

(8)

8

dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang -undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

2.12 Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Mardiasmo (2013:306) tariff PPN adalah 10% (sepuluh persen).

Sedangkan tarif ekspor BKP/JKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/ atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

2.13 Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak (JKP) dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean dan atau impor

(9)

9

Barang Kena Pajak (BKP). Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP).

2.14 Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap pembayaran dalam hal penerimaan pembayaaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pengerjaan, atau saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Mardiasmo,2013:311).

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan. Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, untuk faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) atau saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

(10)

10

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

1) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

2) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak

3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga

4) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut

5) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang dipungut 6) Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak

7) Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

2.15 Pengertian SPT PPN

SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang. Fungsi dari SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut. Ada 2 jenis SPT Masa PPN yaitu SPT PPN 1111 dan SPT PPN 1111 DM. SPT PPN 1111 adalah

(11)

11

SPT PPN yang biasa digunakan oleh pengusaha kena pajak dengan menggunakan perhitungan tarif normal untuk pajak keluaran dan pajak masukkannya.

Sedangkan SPT PPN DM adalah SPT dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan.

Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-45/PJ/2010 tentang bentuk, isi, dan tata cara pengisian serta penyampaian Surat Pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan. SPT Masa PPN 1111 DM, terdiri dari

1) Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05)

2) Lampiran SPT Masa PPN 1111 DM: Formulir 1111 A DM (D.1.2.32.13) - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak dan Formulir 1111 R DM (D.1.2.32.14) - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

2.16 Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat diperhitungkan dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Namun dalam rangka memberikan kemudahan dan menyederhanakan dalam menghitung PPN yang harus disetor, PKP dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. Penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan tersebut terbatas pada PKP

(12)

12

yang melakukan kegiatan usaha tertentu atau memiliki peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu.

Dasar hukum yang digunakan dalam pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan yaitu Pasal 9 ayat (7), Pasal 9 ayat (7a), Pasal 9 ayat (7b) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 Pengusaha Kena Pajak yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan yaitu PKP yang memiliki jumlah peredaran usaha dalam dua tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap satu tahun buku, dan Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Tanggal 20 Desember 2013 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai (PMK-197/PMK.03/2013). Berdasarkan PMK- 197/PMK.03/2013 batasan penyerahan BKP dan/atau JKP bagi pengusaha kecil, dinaikkan menjadi tidak lebih dari Rp 4.800.000.000.

Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan harus melaksanakan secara taat asas dalam 1 (satu) tahun buku, sepanjang peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan wajib beralih menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak

(13)

13

Keluaran mulai Masa Pajak berikutnya setelah peredaran usahanya melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Jika Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penghitungan pajak terutang menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak berikutnya setelah peredaran usahanya melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pajak Masukan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan dengan cara untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar 60% dari Pajak Keluaran dan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar 70% dari Pajak Keluaran.

Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membebankan Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan jika memilih beralih menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yaitu Pengusaha Kena Pajak hanya diperbolehkan mulai menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak pertama tahun buku berikutnya. PKP tersebut harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan paling lama pada batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya penggunaan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.

(14)

14

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak tertentu dalam periode tahun buku yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, dan mengakibatkan peredaran usaha tahun buku yang bersangkutan menjadi lebih besar dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Kewajiban menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran berlaku mulai Masa Pajak setelah Masa Pajak yang peredaran usahanya menjadi lebih besar dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pengusaha Kena Pajak yang mulai menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan mulai Masa Pajak pertama tahun buku dimulainya penggunaan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.

2.17 Prosedur Pencatatan Penjualan dan PPN Terutang

Dalam akuntansi komersial maupun dalam akuntansi pajak terdapat persamaan dalam melakukan pencatatan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Akun biaya yang digunakan dalam akuntansi pajak tetap sama dengan akun yang digunakan dalam akuntansi komersial namun hanya ada akun tambahan seperti akun PPN Masukan dan akun PPN Keluaran. Berikut ini adalah beberapa contoh jurnal yang digunakan.

(15)

15 1) Pada Saat Pembelian BKP/JKP

Pembelian (D) xxx

PPN Masukan (D) xxx

Kas/Utang Dagang(K) xxx

2) Pada Saat Penjualan BKP/JKP Kas/Piutang Dagang (D) xxx

Penjualan BKP/JKP (K) xxx

PPN Keluaran (K) xxx

2.18 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Dalam penelitian ini akan dibahas tiga hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai. Adapun hasil penelitian tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Decky Sanjaya (2016) menulis tentang Tata Cara Pemungutan Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Pada PT. XYZ. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui Tata Cara Pemungutan Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Pada PT. XYZ. Teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif komparatif. Hasil Penelitian tersebut yaitu pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PT. XYZ sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Maria Kristina menulis tentang Prosedur Pendaftaran, Pembuatan, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan Aplikasi e-Faktur pada PT.

ABC. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui Prosedur Pendaftaran, Pembuatan, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan Aplikasi e- Faktur pada PT. ABC. Metode analisis yang digunakan yaitu metode deskriptif

(16)

16

komparatif. Hasil Penelitian tersebut yaitu PT. ABC sudah melakukan Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan aplikasi e- Faktur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Sucipta (2016) menulis tentang Tata Cara Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dari Sektor Kegiatan Membangun Sendiri Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui, memahami dan mengutarakan bagaimana tata cara pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dari sektor kegiatan membangun sendiri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Hasil Penelitian tersebut yaitu tata cara pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dari Sektor Membangun Sendiri sangat berkaitan dengan self assessment system.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa perbedaan yaitu perbedaan subjek penelitian, periode penelitian dan objek penelitian. Subjek penelitian ini adalah KKP Ketut Alit Adi Krisna & Rekan, periode penelitian yaitu periode 2017, dan objek dari penelitian ini adalah prosedur pemungutan, penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Referensi

Dokumen terkait

Subjek yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor ialah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mengimpor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dan

Adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena

Pasal 1 ayat (24) UU PPN Tahun 2009, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusahan Kena Pajak karena perolehan

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa

Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha perolehan barang kena pajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari

Pengusaha Kena pajak (PKP), adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau

Secara umum perhitungan PPN menggunakan metode pajak masukan PM dan pajak keluaran PK.Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang wajib dibayarkan oleh pembeli barang kena pajak,