Lahan yang mempunyai nilai sewa lahan yang lebih tinggi relatif lebih mudah ditekan dan diubah menjadi penggunaan lahan dengan nilai sewa lahan yang rendah. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung tanah akan menyebabkan kerusakan tanah yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung tanah.
Faktor Penyebab Konversi Lahan
Hasil penelitian dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan bagi petani pemilik tanah di pinggiran kota Palu adalah pendapatan petani tidak bertambah setelah pelepasan lahan pertaniannya, malah menurun bahkan hilang. pendapatan petani (Akhmad, 2011, hal. 14). Faktanya, sudah banyak instrumen hukum yang diambil pemerintah untuk mengendalikan atau menghambat laju konversi lahan pertanian.
Konversi Lahan di Pinggiran Kota Semarang
84 Dari segi lokasi, alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dilakukan sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Kota Semarang. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pangan Berkelanjutan Lahan pertanian dan perumahan harus dilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Lahan.
Kebijakan Pemerintah Bidang Pertanian
Lahan Basah
Lahan basah adalah kawasan yang berupa sawah beririgasi, sawah pasang surut, lahan bera, rawa, lahan gambut atau perairan, baik alami maupun buatan, tetap atau sementara (sementara), dengan air mengalir atau tergenang, termasuk air tawar, payau atau garam. Lahan basah juga dapat mencakup wilayah (tepian sungai) dan pantai yang berbatasan dengan lahan basah, pulau-pulau atau bagian laut dengan kedalaman lebih dari 6 meter yang ditutupi oleh lahan basah (Anonymous, 2012). Lahan basah berbeda dari badan air dan juga dari penggunaan lahan lainnya berdasarkan ketinggian permukaan air dan juga jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya.
Lahan basah dicirikan oleh air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan permukaan tanah, pada waktu yang cukup lama sepanjang tahun bagi hidrofit untuk tumbuh, yaitu tanaman yang biasa tumbuh di daerah basah (Anonim, 2012).
Interpretasi Citra Penginderaan Jauh
- Interpretasi Citra visual
 - Identifikasi Objek Pada Citra
 - Teknik Interpretasi Citra
 - Konvergensi Bukti dalam Identifikasi Objek
 
Interpretasi citra visual/manual dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek di permukaan bumi yang tampak pada citra satelit. Pada klasifikasi visual/manual, pengelompokan piksel ke dalam kelas yang telah ditentukan dilakukan secara visual/manual berdasarkan kunci interpretasi objek pada gambar. Interpretasi gambar dilakukan dengan menerapkan metode klasifikasi digitalisasi visual pada layar pada gambar komposit warna palsu dan warna alami.
Mengidentifikasi identitas dan jenis objek yang digambarkan dalam gambar merupakan bagian penting dari interpretasi gambar. Besar kecilnya suatu benda pada suatu gambar atau foto udara merupakan fungsi dari skala, sehingga dalam menggunakan ukuran sebagai salah satu unsur penafsiran gambar harus selalu memperhatikan skala gambar tersebut. Interpretasi citra visual dilakukan untuk mencari lokasi dan mengidentifikasi objek di permukaan bumi yang muncul pada citra satelit.
Dalam klasifikasi visual atau manual, pengelompokan piksel ke dalam kelas yang telah ditentukan dilakukan secara manual berdasarkan tombol untuk menginterpretasikan objek pada gambar. Pendekatan ini bersifat subyektif, dan kualitas hasilnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan keahlian dalam menginterpretasikan kenampakan objek pada citra satelit.
Daya Dukung Lingkungan dan Biokapasitas
Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas di wilayah tersebut telah menggunakan sumber daya alam melebihi kemampuan alam untuk menyediakannya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2009), kelestarian lingkungan hidup dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai hasil atau produk pada suatu wilayah dari sumber daya alam yang terbatas, dengan tetap menjaga kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut. Sesuai dengan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa daya dukung lingkungan hidup tidak hanya diukur dari kemampuan lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam menunjang kehidupan manusia, tetapi juga kemampuan menerima pencemaran dan beban bangunan.
Daya dukung lingkungan hidup dibagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu daya dukung (daya dukung) dan daya tampung limbah (kapasitas asimilatif). Masyarakat melihat pemanfaatan sawah hanya dari fungsi ekonomi saja, misalnya per hektarnya mampu menghasilkan empat hingga lima ton beras dalam sekali panen dengan nilai jual yang cukup rendah. Penerapan rumus dalam penelitian adalah sebagai berikut, terlebih dahulu dicari luas masing-masing jenis penggunaan lahan di wilayah penelitian.
Rata-rata kepadatan penduduk atau jumlah penduduk suatu kelompok masyarakat berada di bawah angka daya dukung yang diperkirakan akan meningkat dan di atas angka daya dukung yang diperkirakan akan menurun akibat kelangkaan sumber daya. Enam penggunaan lahan biasanya dimasukkan dalam kategori perhitungan jejak ekologis dan biokapasitas, yaitu lahan pertanian, padang rumput, hutan, lahan energi, lahan terbangun, dan lahan kolam ikan.
Jejak Ekologi
Faktor Ekuivalensi
Faktor kesesuaian kawasan bioproduktif telah ditentukan oleh Global Footprint Network (GFN) untuk 6 (enam) kategori tanah di Indonesia sebagai berikut (Tabel 2.7). Faktor panen menggambarkan perbandingan luas lahan bioproduktif di suatu wilayah dengan luas lahan bioproduktif yang sama di wilayah lain untuk setiap komoditas yang sama. Setiap daerah mempunyai faktor panen masing-masing yang disebut produktivitas tanah dan dihitung setiap tahunnya (Ewing, 2010).
Jejak Ekologi Permintaan (EF Demannd)
Karena produktivitas lahan subur, energi fosil, padang rumput, dan hutan sangat berbeda, maka faktor kesetaraan (bobot) perlu dikalikan dengan luas lahan bioproduktif untuk mengubahnya menjadi lahan bioproduktif yang seragam dan sebanding. Lahan pertanian merupakan lahan yang paling produktif dan biokapasitas yang dapat dihasilkannya paling besar. Menurut laporan FAO (1998), rata-rata luas lahan garapan global kurang dari 0,25 ha/kapita, namun luas lahan garapan perkotaan juga menurun dengan cepat.
Banyaknya lahan pertanian subur yang telah dirambah dan terus berkurang akibat alih fungsi lahan di perkotaan seiring dengan pesatnya roda pembangunan ekonomi perkotaan. Saat ini terdapat sekitar 3,35 miliar hektar padang rumput di seluruh dunia, dengan 0,5 hektar lahan per hektar Di perkotaan, proporsi padang rumput paling kecil, dan sebagian besar padang rumput hanya digunakan untuk penggembalaan, rekreasi, dan pariwisata.
Hal ini juga terjadi di kota semarang, dimana perkembangan kotanya adalah dengan merubah lahan pertanian. Laut mencakup 36,6 miliar ha di dunia, sebanyak 6 ha per penduduk, dimana hanya 0,4 ha yang merupakan kawasan bioproduktif.
Jejak ekologi Pasokan
Di perkotaan, energi yang cukup dan CO2 dalam jumlah besar diperlukan untuk menunjang aktivitas produksi dan kehidupan warga. 120 didefinisikan sebagai rasio produktivitas lahan di suatu negara atau wilayah terhadap produktivitas rata-rata global dari jenis lahan yang sama. Misalnya faktor hasil kesuburan tanah adalah 1,66 yang berarti produksi per hektar lahan ini adalah 1,66 rata-rata dunia.
Daya dukung lingkungan dapat dihitung dengan mengalikan luas masing-masing jenis tanah dengan kesetaraan dan faktor hasil yang bersangkutan. Catatan: EC adalah kapasitas ekologi kawasan industri, N adalah jumlah penduduk, ec adalah daya dukung lingkungan per penduduk, aj adalah kawasan bioproduktif; rj adalah faktor ekuivalennya, yj adalah faktor hasil, YJ = Ylj / Ywj, Ylj adalah produktivitas rata-rata suatu negara atau wilayah, Ywj adalah produktivitas rata-rata global jenis tanah j. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengingat menurunnya kualitas lingkungan hidup telah mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sungguh-sungguh dan konsisten oleh seluruh pihak. pemangku kepentingan ...
Degradasi lingkungan ditandai dengan semakin sempitnya kawasan terbuka hijau (RTH), semakin sempitnya lahan basah (wetlands), dan semakin rendahnya indeks kehijauan. Kondisi ini sangat terlihat di perkotaan sebagai akibat dari tumbuhnya lahan terbangun berupa bangunan, industri,.
Kelebihan dan Kelemahan Analisis Jejak ekologi
Berbagai masukan dan koreksi terhadap konsep jejak ekologis telah diolah kembali oleh GFN, sehingga diharapkan rumusan yang maksimal dapat tercapai. 123 1) Analisis jejak ekologis menggunakan negara hipotetis yang tidak mewakili . penggunaan lahan aktual, data lahan berdasarkan data statistik. Penelitian ini menggunakan penggunaan lahan faktual dan aktual karena menggunakan citra satelit resolusi tinggi.
Penelitian ini berusaha untuk mengatasi kelemahan metode yang digunakan oleh Wackernagel dan Rees dengan cara. Meskipun metode analisis jejak ekologi mempunyai kekurangan (Sudanti, 2013), namun metode ini digunakan karena menganggap bahwa diantara metode lainnya, jejak ekologi merupakan metode yang paling tepat untuk analisis daya dukung. 124 dan keberlanjutan Kawasan Industri Genuk, karena selain mudah dipahami, juga mempunyai kemampuan menganalisis pembangunan berkelanjutan dari konsep yang samar-samar menjadi tujuan yang terukur, dan digunakan sebagai alat komunikasi kebijakan.
Perhitugan Jejak Ekologi di Indonesia
Dibandingkan negara maju lainnya, nilai jejak ekologis Indonesia masih tergolong kecil, namun karena jumlah penduduknya yang besar, telah melampaui nilai biokapasitasnya. Tren di Indonesia adalah jejak ekologi (demand) meningkat, sedangkan biokapasitas (penawaran) menurun (lihat gambar 2.5). Pada tahun 2000an merupakan titik balik dimana jejak ekologi melebihi biokapasitas, hingga saat ini terjadi kekurangan sumber daya terutama pangan (beras, gula, daging, bahkan garam).
Berdasarkan Tabel 2.8, pemanfaatan lahan pertanian dan perikanan di Jawa Tengah sudah mengalami defisit dengan selisih yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan jejak ekologis, maka dapat dikatakan bahwa nilai jejak ekologis akan lebih tinggi di negara-negara maju yang masyarakatnya memerlukan lahan yang sangat luas untuk kehidupannya dan untuk mengolah sendiri sampahnya. Dari Tabel 2.9 di atas diketahui bahwa luas ruang terbuka hijau pepohonan (kebun/hutan) merupakan penggunaan lahan terbesar (26,67%) dari total luas, terutama tersebar di pinggiran Kota Semarang.
Jika klasifikasi penggunaan lahan disederhanakan lagi menjadi 2 jenis, yaitu 1) cakupan luas bangunan (gedung, jalan, industri) hanya sebesar 34,11%; dan 2) Vegetasi Ruang Terbuka Hijau tutupan lahan + badan air seluas 65,89%. Luas ruang terbuka hijau jauh diatas kebutuhan minimal kota (30%) dari total luas wilayah, namun sebaran ruang terbuka hijau belum merata di seluruh kota atau hanya terkonsentrasi di pinggiran kota.
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 28 dari 34 provinsi, hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hidup di Jawa Tengah mengalami kerusakan terutama di wilayah perkotaan. Analisis data di atas dari ketiga indikator, Indeks Kualitas Tutupan Lahan (ICTL) hampir seluruh provinsi lebih rendah dibandingkan indikator lainnya (IKU dan IKA). Dari data tabel 2.11, praktis seluruh provinsi mengalami penurunan indeks kualitas air sungai (IKA) dan indeks kualitas tutupan lahan (ICTL).
133 Secara khusus, provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (LKTL) terbesar di Indonesia (-42,77%). Hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang sangat intens dari pertanian ke non pertanian di Jawa Tengah. Indeks kualitas air sungai (IKA) di Provinsi Jawa Tengah juga mengalami penurunan (-6,23%), hanya indeks kualitas udara (IKA) yang meningkat.
Penelitian ini mempunyai kontribusi mengenai IKTL khususnya mengenai perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang. Selain itu Dewi dkk (2014) Perubahan lahan di pinggiran Kota Semarang menyebabkan terjadinya tanah longsor, berkurangnya pendapatan petani dan berkurangnya daya dukung lingkungan.