BAB II
KERANGKA DASAR TEORI
A. Bahan Ajar
1. Pengertian Bahan Ajar
Depdiknas (2008:7) dalam buku Panduan Pengembangan Bahan Ajar mengatakan bahwa bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Pengertian lainnya oleh Prastowo (2015:16) yang mengungkapkan dua pengertian mengenai bahan ajar. Pengertian yang pertama mengatakan, bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar. Pengertian bahan ajar selanjutnya adalah seperangkat materi atau substansi pembelajaran yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
Dari beberapa pandangan mengenai pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Contoh bahan ajar adalah buku pelajaran,
modul, handout, LKPD, bahan ajar audio, bahan ajar interaktif, dan lain sebagainya.
2. Fungsi Bahan Ajar
Adanya bahan ajar membuat proses pembelajaran akan berjalan sesuai dengan rancangan. Adapun fungsi bahan ajar menurut Depdiknas, (2008:6) adalah sebagai berikut:
a. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada peserta didik.
b. Pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya.
c. Alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.
Pendapat lain mengenai fungsi bahan ajar juga diungkapkan oleh Prastowo (2015:24) yang membagi fungsi bahan ajar menjadi dua berdasarkan pihak yang memanfa’atkan bahan ajar tersebut, penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Fungsi bahan ajar bagi pendidik, antara lain:
1) Menghemat waktu pendidik dalam mengajar.
2) Mengubah peran pendidik dari seorang pengajar menjadi seorang fasilitator.
3) Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan interaktif.
4) Sebagai pedoman bagi pendidik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang semestinya diajarkan kepada peserta didik.
5) Sebagai alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.
b. Fungsi bahan ajar bagi peserta didik, antara lain:
1) Peserta didik dapat belajar tanpa harus ada pendidik atau teman peserta didik yang lain.
2) Peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja ia kehendaki.
3) Peserta didik dapat belajar sesuai kecepatannya masing-masing.
4) Peserta didik dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri.
5) Membantu potensi peserta didik untuk menjadi pelajar yang mandiri.
6) Sebagai pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya.
3. Klasifikasi Bahan Ajar
Prastowo (2015:40) mengklasifikasikan bahan ajar menjadi tiga bagian diantaranya yaitu sebagai berikut.
a. Bahan ajar menurut bentuknya, diantaranya:
1) Bahan cetak.
2) Bahan ajar dengar atau program audio.
3) Bahan ajar pandang dengar.
4) Bahan ajar interaktif yakni kombinasi dari dua atau lebih media.
b. Bahan ajar menurut cara kerjanya, diantaranya:
1) Bahan ajar yang tidak diproyeksikan.
2) Bahan ajar yang diproyeksikan.
3) Bahan ajar audio.
4) Bahan ajar video.
5) Bahan ajar komputer.
c. Bahan ajar menurut sifatnya, diantaranya:
1) Bahan ajar yang berbasiskan cetak.
2) Bahan ajar yang berbasiskan teknologi.
3) Bahan ajar yang digunakan untuk praktik atau proyek.
4) Bahan ajar yang dibutuhkan untuk keperluan interaksi manusia misalnya telepon, handphone, dan lain sebagainya.
Depdiknas (2008:11) menyatan bahwa berdasarkan teknologi yang digunakan, bahan ajar dibagi atas empat kelompok, yaitu bahan cetak (printed) seperti handout, buku, modul, lembar kerja peserta didik, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket. Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI (Computer Assisted Instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajarn interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based learning materials).
Berdasarkan informasi di atas, maka bahan ajar yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah berupa bahan ajar cetak (printed) yaitu Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia materi Refleksi. Pemilihan LKPD sebagai
bahan ajar yang akan dikembangkan di sini adalah berdasarkan prinsip kecukupan yang berarti bahwa ketika memilih bahan ajar hendaknya dicari yang memadai untuk menguasai kompetensi dasar yang diajarkan.
B. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) 1. Pengertian LKPD
Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) menurut Katriani (2014:18) merupakan kumpulan dari lembaran yang berisikan kegiatan peserta didik yang memungkinkan peserta didik melakukan aktivitas nyata dengan objek dan persoalan yang dipelajari. LKPD berfungsi sebagai panduan belajar peserta didik dan juga memudahkan peserta didik dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar. Pengertian lainnya oleh Depdiknas (2008:13), LKPD merupakan lembaran-lembaran tugas yang diberikan kepada peserta didik, berisikan langkah-langkah penyelesaian dari permasalahan yang berkaitan dengan materi yang disampaikan. Dengan adanya LKPD dapat memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, oleh sebab itu dalam menyiapkannya guru harus cermat dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, karena sebuah lembar kerja harus memenuhi paling tidak kriteria yang berkaitan dengan tercapai atau tidaknya sebuah KD yang dikuasai oleh peserta didik.
Menurut pandangan lain, LKPD bukan singkatan dari Lembar Kegiatan Peserta Didik akan tetapi Lembar Kerja Peserta Didik. LKPD adalah materi yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri. Di dalam
LKPD, peserta didik akan mendapatkan materi, ringkasan, serta tugas yang berkaitan dengan materi (Prastowo, 2015: 204).
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan LKPD merupakan salah satu jenis bahan ajar yang berupa lembaran-lembaran kerja mengenai suatu materi yang akan akan diserahkan kepada peserta didik dapat berupa teori ataupun praktik dan LKPD tersebut memuat KI serta indikator yang akan dicapai/dikuasai oleh peserta didik. Menurut Prastowo (2015:139), dalam menyiapkan LKPD ada syarat yang mesti dipenuhi oleh guru yaitu guru harus cermat dan memiliki pengetahuan serta keterampilan yang memadai karena sebuah lembar kerja harus memenuhi paling tidak kriteria yang berkaitan dengan tercapai atau tidaknya sebuah kompetensi dasar yang dikuasai oleh peserta didik.
2. Fungsi LKPD
Berdasarkan pengertian dan penjelasan awal mengenai LKPD, maka menurut Katriani (2014:6) LKPD setidaknya memiliki empat fungsi yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan peran pendidik, namun lebih mengaktifkan peserta didik.
b. Sebagai bahan ajar yang mempermudah peserta didik untuk memahami materi yang diberikan.
c. Sebagai bahan ajar yang ringkas kaya tugas untuk berlatih.
d. Memudahkan pelaksanaan pengajaran kepada peserta didik.
3. Tujuan Penyusunan LKPD
Tujuan penyusunan LKPD untuk pembelajaran menurut Katriani (2014:6) adalah sebagi berikut:
a. Memperkuat dan menunjang tujuan pembelajaran dan ketercapaian indikator serta kompetensi dasar dan kompetensi inti yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
b. Membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran.
4. Jenis-Jenis LKPD
Setiap LKPD disusun dengan materi dan tugas-tugas tertentu yang dikemas sedemikian rupa untuk tujuan tertentu. Adanya perbedaan maksud dan tujuan pengemasan materi pada masing-masing LKPD mengakibatkan jenis LKPD bermacam-macam, diantaranya menurut Prastowo (2015:209) yaitu sebagai berikut:
a. LKPD yang Membantu Peserta Didik Menemukan Suatu Konsep LKPD jenis ini memuat apa yang harus dilakukan peserta didik meliputi melakukan, mengamati, dan menganalisis. Oleh karena itu, pendidik perlu merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh peserta didik kemudian meminta peserta didik untuk mengamati fenomena hasil kegiatannya. Selanjutnya, pendidik memberikan pertanyaan-pertanyaan analisis yang membantu peserta didik untuk mengaitkan fenomena yang mereka amati dengan konsep yang akan mereka bangun dalam benak mereka.
b. LKPD yang Membantu Peserta Didik Menerapkan dan Mengintegrasikan Berbagai Konsep yang telah Ditemukan
Di dalam sebuah pembelajaran, setelah peserta didik berhasil menemukan konsep, peserta didik selanjutnya dilatih untuk menerapkan konsep yang telah diterapkan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
c. LKPD yang Berfungsi sebagai Penuntun Belajar
LKPD bentuk ini berisi pertanyaan atau isian yang jawabannya ada di dalam buku. Peserta didik akan dapat mengerjakan LKPD tersebut jika mereka membaca buku, sehingga fungsi utama LKPD ini adalah membantu peserta didik menghafal dan memahami materi pembelajaran yang terdapat di dalam buku. LKPD ini juga sesuai untuk keperluan remidiasi.
d. LKPD yang Berfungsi sebagai Penguatan
LKPD bentuk ini diberikan setelah peserta didik selesai mempelajari topik tertentu. Materi pembelajaran yang dikemas di dalam LKPD ini lebih mengarah pada pendalaman dan penerapan materi pembelajaran yang terdapat di dalam buku pembelajaran. Selain sebagai pembelajaran pokok, LKPD ini juga cocok untuk pengayaan.
e. LKPD yang Berfungsi sebagai Petunjuk Praktikum
Alih-alih memisahkan petunjuk praktikum ke dalam buku tersendiri, pendidik dapat menggabungkan petunjuk praktikum ke dalam kumpulan LKPD. Dalam LKPD bentuk ini, petunjuk praktikum merupakan salah satu isi (content) dari LKPD.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka jenis LKPD yang peneliti kembangkan adalah LKPD yang membantu peserta didik menemukan suatu konsep. Sesuai prinsip konstruktivisme, seseorang akan belajar jika ia aktif mengonstruksi pengetahuan di dalam otaknya. Salah satu cara mengimplementasikannya di kelas adalah dengan mengemas materi pembelajaran dalam bentuk LKPD yang memiliki ciri-ciri mengetengahkan terlebih dahulu suatu fenomena yang bersifat konkret, sederhana, dan berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Berdasarkan hasil pengamatan peserta didik, selanjutnya peserta didik akan diajak untuk mengonstruksi pengetahuan yang mereka dapat tersebut.
5. Pengembangan LKPD agar Kaya Manfa’at
Membuat LKPD yang kaya manfa’at maka harus menjadikannya sebagai bahan ajar yang menarik bagi peserta didik sehingga dengan keberadaan LKPD tersebut peserta didik menjadi tertarik untuk belajar.
Menurut Prastowo (2015:216), dalam rangka mengembangkan LKPD yang kaya manfa’at, maka perlu memperhatikan desain pengembangan dan langkah-langkah pengembangannya.
a. Menentukan desain pengembangan LKPD, diantaranya:
1) Gunakanlah ukuran kertas yang dapat mengakomodasi kebutuhan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2) Usahakan agar halaman tidak terlalu dipadati dengan tulisan. Sebab, halaman yang terlalu padat akan mengakibatkan peserta didik sulit memfokuskan perhatian.
3) Penomoran materi juga tidak boleh dilupakan dalam mendesain LKPD.
4) Pastikan bahwa materi dan instruksi yang diberikan dalam LKPD dapat dengan jelas dibaca oleh peserta didik.
b. Menentukan langkah-langkah pengembangan LKPD, diantaranya:
1) Menentukan tujuan pembelajaran yang akan dibagi dalam LKPD.
2) Pengumpulan materi dengan menentukan materi dan tugas yang akan dimasukkan ke dalam LKPD.
3) Penyusunan elemen atau unsur-unsur.
4) Pemeriksaan dan penyempurnaan.
Langkah-langkah lain penyusunan LKPD menurut Depdiknas (2008:24) meliputi empat langkah sebagai berikut:
a. Analisis kurikulum, analisis kurikulum dilakukan untuk menentukan materi mana yang memerlukan LKPD, pemilihan materi biasanya dilihat berdasarkan pengalaman belajar yang telah lalu mengenai materi tersebut dan kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik.
b. Menyusun peta kebutuhan LKPD, peta kebutuhan LKPD sangat diperlukan guna mengetahui jumlah LKPD yang harus ditulis dan sekuensi atau urutan LKPD-nya juga dapat dilihat.
c. Menentukan judul-judul LKPD, judul LKPD ditentukan atas dasar KD- KD, materi-materi pokok atau pengalaman belajar yang terdapat dalam kurikulum.
d. Penulisan LKPD, penulisan LKPD dapat dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) Perumusan KD yang harus dikuasai. (2)
Menentukan alat Penilaian, penilaian dilakukan terhadap proses kerja dan hasil kerja peserta didik. (3) Penyusunan Materi. (4) Struktur LKPD, struktur LKPD secara umum terdiri dari judul, petunjuk belajar (petunjuk penggunaan LKPD), kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-langkah kerja, serta penilaian.
C. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) 1. Pengertian PMRI
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1998) dalam Wijaya (2012:
20), penggunaan kata realistik berasal dari bahasa Belanda yang artinya
“untuk dibayangkan”. Penggunaan kata realistik tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dalam menempatkan penekanan penggunaan situasi yang bisa dibayangkan oleh peserta didik. Oleh Freudenthal istilah realistik tersebut digunakan untuk ide mengembangkan matematika sebagai aktivitas-aktivitas manusia. Aktivitas-aktivitas yang dimaksud diantaranya menyelesaikan masalah, mencari masalah dan pemecahannya, mengorganisasikan ide-ide baru dan pemahaman baru sesuai konteks.
Menurut Freudenthal (1991) dalam Ratumanan (2015:98), pembelajaran matematika harus dipandang sebagai proses. Materi matematika yang disajikan kepada peserta didik harus berupa suatu proses, bukan sebagai barang jadi yang siap disuapkan kepada peserta didik.
Menurut Freudenthal (1991) dalam Wijaya (2012:20), kebermaknaan
konsep matematika merupakan konsep utama dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses belajar peserta didik hanya akan terjadi jika pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi peserta didik. Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi peserta didik jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik. Suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Suatu masalah disebut realistik jika masalah tersebut dapat dibayangkan atau nyata dalam pikiran peserta didik. Suatu cerita rekaan, permainan, atau bahkan bentuk formal matematika bisa digunakan sebagai masalah realistik. Dalam pendidikan matematika realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk pembelajaran. Sedangkan dalam pendekatan mekanistik permasalahan realistik ditempatkan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut sebagai kesimpulan atau penutup dari proses pembelajaran (Wijaya, 2012:21).
Menurut Soedjadi (2001) dalam Ratumanan (2015:99), pendidikan matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari masa lalu. Sedangkan menurut de Lange (1995) dan Heuvel-Panhuizen (1998) dalam Ratumanan (2015:99), RME merupakan pembelajaran matematika yang mengacu pada konstruktivis sosial yang dikhususkan pada pendidikan matematika.
Lebih lanjut, dalam PMR pembelajaran matematika seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengalami proses penemuan kembali konsep-konsep matematika dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan konsep- konsep tersebut melalui bimbingan orang yang lebih ahli, dalam hal ini adalah guru. Ide ini kemudian dikenal dengan istilah proses penemuan terbimbing (Putrawangsa, 2017:34).
Dalam pengembangan RME, Pengembangan suatu konsep matematika dimulai oleh peserta didik secara mandiri berupa kegiatan eksplorasi sehingga memberikan peluang pada peserta didik untuk berkreasi mengembangkan pemikirannya. Pengembangan konsep berawal dari intuisi peserta didik dan mereka menggunakan strateginya masing-masing dalam memperoleh suatu konsep (de Lange (1995) dan Heuvel-Panhuizen (1998) dalam Ratumanan (2015:99)).
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa PMRI adalah situasi ketika peserta didik diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide-ide matematika. Berdasarkan situasi realistik, peserta didik didorong untuk mengonstruksi sendiri masalah realistik.
2. Prinsip-Prinsip PMRI
RME mencerminkan suatu pandangan tentang matematika sebagai sebuah subject matter, bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Menurut Hulukati (2014:32), pandangan ini dapat dilihat pada enam prinsip RME berikut:
a. Prinsip Aktivitas
Freudenthal (1991) mengatakan bahwa ide proses matematisasi berkaitan erat dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, sehingga cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah melalui doing. Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan yang aktif dalam keseluruhan proses pendidikan dan tidak hanya dipandang sebagai individu yang hanya siap menerima konsep-konsep matematika yang siap pakai.
b. Prinsip Realitas
Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada tahap akhir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar matematika. Matematika tumbuh dari matematisasi realitas, maka selayaknya belajar matematika pun harus diawali dengan proses matematisasi realitas.
c. Prinsip Tahap Pemahaman
Proses belajar matematika mencakup berbagai tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai menemukan prinsip-prinsip keterkaitan.
d. Prinsip Inter-twintment
Matematika tidak dipandang sebagai sebagai suatu bahan ajar yang terpisah-pisah. Dengan demikian, menyelesaikan suatu masalah matematika yang kaya konteks mengandung arti bahwa peserta didik
memiliki kesempatan untuk menerapkan berbagai konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.
e. Prinsip Interaksi
Proses belajar matematika dalam pendekatan RME dipandang sebagai suatu aktivitas sosial. Peserta didik diberi kesempatan untuk bertukar pengalaman, strategi, penyelesaian, serta temuan lainnya di antara sesama peserta didik. Interaksi memungkinkan peserta didik untuk melakukan refleksi yang pada akhirnya akan mendorong peserta didik pada perolehan pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
f. Prinsip Bimbingan
Salah satu prinsip kunci yang diajukan Freudenthal dalam pembelajaran matematika adalah perlunya bimbingan agar peserta didik mampu menemukan kembali matematika. Implikasi dari pandangan ini adalah baik guru maupun program pendidikan memegang peran yang sangta vital dalam proses bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan.
Prinsip di atas hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Gravemeijer tentang tiga prinsip utama RME seperti yang diungkapkan oleh Hulukati (2014:35) berikut:
a. Penemuan Kembali
Melalui matematika peserta didik harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat matematika ditemukan.
Melalui matematisasi, peserta didik juga diberikan kesempatan untuk
mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui oleh para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika.
b. Fenomena Didaktik
Peserta didik perlu mempertimbangkan masalah-masalah kontekstual ketika mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi lain dalam matematika. Melalui pengetahuan informal, peserta didik dapat memecahkan masalah yang berasal dari dunia nyata menurut pikiran peserta didik dan menuju pengetahuan yang formal.
c. Mengembangkan Model-Model Sendiri
Peran pengembangan model-model sendiri merupakan jembatan bagi peserta didik dari situasi konkret menuju ke situasi abstrak atau dari pengetahuan matematika informal menuju pengetahuan matematika formal.
Pada dasarnya prinsip atau ide yang mendasari Realistic Mathematics Education (RME) adalah situasi ketika peserta didik diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide-ide matematika. Berdasarkan situasi realistik, peserta didik didorong untuk mengonstruksi sendiri masalah realistik karena masalah yang dikonstruksi oleh peserta didik akan menarik peserta didik lain untuk memecahkannya. Proses yang berhubungan dalam berpikir dan pemecahan masalah ini dapat meningkatkan hasil peserta didik dalam pemecahan masalah (Shoimin, 2014:149).
Ketika menyelesaikan masalah matematika yang diberikan, peserta didik tidak hanya mengembangkan pemahaman mereka, akan tetapi juga
secara bersamaan mengembangkan kemampuan mereka dalam mengembangkan model dan perangkat matematis. Menurut Putrawangsa (2017:39), proses pengembangan yang dialami peserta didik dalam hal ini secara umum melalui tahap-tahap berikut:
a. Model dari masalah yang diberikan (Model of)
Ketika menyelesaikan masalah matematika, peserta didik mula- mula mengembangkan suatu strategi dan model penyelesaian masalah yang sangat terkait dengan konteks masalah yang diberikan, yaitu model solusi dari masalah tersebut.
b. Model untuk masalah yang memiliki karakteristik yang sama (Model for) Pada perkembangan selanjutnya, peserta didik mulai mengenal karakteristik yang bersifat umum dari masalah tersebut yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah lainnya yang memiliki karakteristik yang sama dengan masalah tersebut. Akhirnya, model penyelesaian dari masalah-masalah yang memiliki karakter yang sama ini membantu peserta didik untuk mengembangkan model umum penyelesaian masalah yang memungkinkan peserta didik untuk sampai pada bentuk matematika yang lebih formal. Model penyelesaian dari masalah ini kemudian disebut sebagai model untuk masalah dengan karakteristik tertentu.
Ide mengenai proses model of dan model for untuk mencapai pemahaman pada tingkat formal diilustrasikan model Ice Berg pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1 Ice Berg PMRI
3. Karakteristik PMRI
Berkaitan dengan prinsip RME, Lange (1987) dalam Hulukati (2014:36) mengoperasionalisasikan ke dalam lima karakteristik dasar RME yaitu:
a. Menggunakan masalah yang nyata sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul.
b. Menggunakan model atau jembatan dengan instrument vertikal seperti model-model, skema-skema, diagram, dan simbol yang menjadi jembatan antara level pemahaman yang satu dengan ke level pemahaman berikutnya.
Context Problem Model Of Model For Formal Mathematics Matriks pencerminan
terhadap sumbu x adalah:
y
(cermin)
0 4 20 x
-3 3 6
-7 4 5 7
2 6 10 15
-4 -5 -6
c. Menggunakan konstribusi peserta didik agar harapannya peserta didik dapat mengonstruksi sendiri penyelesaian soal atau masalah konstekstual yang dihadapi yang menjadi awal dari proses matematisasi selanjutnya.
d. Interaksi yang terus menerus antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya, juga antara guru dengan peserta didik, sehingga peserta didik mendapatkan manfa’at yang positif dari interaksi tersebut.
e. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Ciri ini merupakan model holistik yang menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai jika diajarkan secara terpisah, melainkan dengan keterkaitan dan keterintegrasian dalam proses pemecahan massalah.
4. Langkah-Langkah Pembelajaran PMRI
Langkah-langkah dalam kegiatan pembelajaran matematika realistik menurut Amin (2004) dalam Hulukati (2014:37) yaitu sebagai berikut:
a. Mengondisikan peserta didik untuk belajar.
b. Mengajukan masalah konstekstual.
c. Membimbing peserta didik untuk menyelesaikan masalah konstekstual.
d. Meminta peserta didik menyajikan penyelesaian masalah.
e. Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah.
f. Menarik kesimpulan.
5. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik
Terdapat beberapa kelebihan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menurut pendapat Suwarsono (2001) dalam Hulukati (2014:40) antara lain:
a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada peserta didik tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari- hari dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada peserta didik bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh peserta didik, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada peserta didik bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang yang lain.
d. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada peserta didik bahwa proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untum mempelajari matematika orang harus menjalani proses serta berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru).
Beberapa kelemahan PMR menurut Suwarsono (2001) dalam Hulukati (2014:41) yang merupakan tantangan yang akan dihadapi guru dalam melaksanakan PMR antara lain:
a. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan banyak perubahan paradigma bagi guru, peserta didik, peranan sosial, peranan konteks, dan peranan alat peraga.
b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari peserta didik, terlebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
c. Upaya mendorong peserta didik agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
d. Proses pengembangan kemampuan berpikir peserta didik melalui soal- soal kontekstual, proses matematisasi horizontal dan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme berpikir peserta didik harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu peserta didik dalam penemuan kembali konsep-konsep matematika.
6. Faktor-Faktor Pendukung PMRI
Banyak faktor yang mendukung kemberhasilan RME di Indonesia, menurut Hadi (2001:6) setidaknya ada tiga faktor pendukung keberhasilan RME diantaranya:
a. Materi RME: Sanggupkah guru menyiapkan materi kurikulum RME yang memenuhi standar kualitas sebagaimana tercermin dalam ajaran- ajaran RME.
b. Peran guru: Apakah guru siap mengubah keyakinan dan perannya bahwa mengajar matematika adalah membimbing peserta didik untuk belajar dan bekerja matematika.
c. Kesiapa peserta didik: Sejauh mana peserta didik dapat mengubah budaya “minta disuapi” menjadi mampu bekerja dan berpikir matematika.
D. Kriteria Produk Pengembangan
Menurut Akker (1999:10) ada tiga unsur untuk mengukur kualitas dari produk, yaitu validitas, kepraktisan, dan keefektifan.
1. Valid
Menurut Putra (2013:37), kevalidan bahan ajar dapat diuji dengan menggunakan pendapat para pakar dalam bentuk lembar validasi.
Selanjutnya Widoyoko (2012:141) mengemukakan bahwa validitas berkaitan dengan “ketepatan” pada alat ukur. Selaras dengan hal tersebut, Sugiyono (2014:173) juga mengatakan bahwa instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid, yang berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Plopm dalam Putra (2013:41) mengungkapkan karakteristik dari perangkat pembelajaran yang dikatakan valid apabila merefleksikan jiwa pengetahuan (state of the art knowledge) yang meliputi validitas isi (content validity), selanjutnya komponen-komponen perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus konsisten satu sama lain sehingga dikatakan validitas konstruk (construct validity). Hal tersebut selaras dengan ungkapan
Tessmer (1998), bahan ajar dikatakan valid jika memenuhi validitas konten (isi), konstruk, dan bahasa.
Lebih lanjut Samadiartha (2012:7) mengungkapkan, validitas isi dapat dilihat dari kesesuaian produk dengan tuntutan kurikulum. Adapun pendapat Syamsudin dikutif oleh Nurlaila (2015:52), kelayakan isi mempunyai tiga indikator yang harus dipertimbangkan yaitu (1) kesesuaian uraian materi dengan SK dan KD materi yang bersangkutan, (2) Keakuratan materi (ketepatan setiap konsep, definisi, rumus, hukum, dan sebagainya dalam bahan ajar), dan (3) materi pendukung pembelajaran. Sedangkan menurut Depdiknas (2008:29) kelayakan isi meliputi (1) kesesuai dengan SK-KD, (2) kesesuaian dengan kebutuhan siswa, (3) kesesuaian dalam bahan ajar, (4) kebenaran substansi materi, (5) manfaat untuk menambah wawasan pengetahuan, (6) kesesuaian dengan nilai-nilai, moralitas, dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, dalam menentukan kriteria kevalidan konten, peneliti mempertimbangkan pendapat-pendapat tersebut.
Rochmad (2012:69) mengatakan validitas konstruk mencangkup semua komponen satu sama lain yang saling berhubungan secara konsisten.
Selanjutnya Samadiartha (2012:7) mengungkapkan bahwa validitas konstruk dilihat dari ketepatan penggunaan teori-teori yang menjadi pegangan dalam perumusan atau penyusunan produk tersebut, contohnya teori mengenai media pembelajaran, teori konstruktivisme, teori motivasi belajar dan teori karakteristik peserta didik. Berdasarkan hal tersebut validitas konstruks dalam penelitian ini meliputi ice berg PMRI dan Prinsip LKPD.
Depdiknas (2008: 28) komponen bahasa yang valid mencangkup keterbacaan, kejelasan informasi, kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta pemanfaatan bahasa yang efektif.
Sedangkan menurut Syamsudin dikutif oleh Nurlaila (2015), dalam validitas bahasa ada tiga indikator yang harus diperhatikan yaitu kesesuaian bahasa dengan tingkat perkembangan siswa kedua, pemakaian bahasa yang komunikatif, pemakaian bahasa memenuhi syarat keruntutan (keruntutan dan keterpaduan antar bab dan keruntutan dan keterpaduan antar paragraf).
Berdasarkan hal tersebut, dalam menentukan kriteria kevalidan bahasa, peneliti mempertimbangkan pendapat-pendapat tersebut.
2. Praktis
Menurut Widoyoko (2013:29), karakteristik kepraktisan dilihat dari penggunaan akhir bahan untuk dapat digunakan dan mudah untuk digunakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan peneliti. Lebih lanjut Akker (1999:133) mengungkapkan suatu perangkat pembelajaran dikatakan praktis jika:
a) Para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan atau digunakan.
b) Kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan atau digunakan.
Dengan mengutif pendapat dari Akker tersebut, Rochmad (2012:70) menambahkan bahwa kepraktisan menunjukkan bahwa yang dikembangkan dapat diterapkan dilapangan dan tingkat keterlaksanaannya termasuk
kategori “baik”. Istilah “baik” ini masih perlu diukur dengan indikator- indikator yang diperlukan untuk menentukan tingkat “kepraktisan”.
Berdasarkan hal tersebut, sebuah bahan ajar dapat dikatakan prkatis jika bahan ajar tersebut memenuhi kategori baik.
Adapun cara penilaian dalam rangka memilih bahan ajar yang baik menurut Grenne dan Patty dalam Haifah (2014:8) ada 6 yaitu: (1) Bahan ajar harus menarik minat peserta didik; (2) Bahan ajar harus mampu memberikan motivasi kepada peserta didik; (3) Bahan ajar harus memuat ilustrasi yang menarik hati peserta didik yang memanfaatkannya; (4) Bahan ajar mempertimbangkan aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan peserta didik yang memakainya; (5) Bahan ajar harus dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi peserta didik yang menggunakannya; (6) Bahan aja harus dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak bias agar tidak membingungkan peserta didik yang memakaianya. Berdasarkan hal tersebut, bahan ajar dikatakan praktis jika para ahli/pakar mengatakan bahan ajar valid (konten, konstruk, dan bahasa) dan respon peserta didik yang menyatakan bahan ajar praktis dengan mempertimbangkan kriteria bahan ajar yang baik menurut Grenne dan Patty.
3. Efektif
Dalam Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Qodratilah dkk (2011:107), kata “efektif” adalah “dapat membawa hasil”. Artinya untuk mengukur keefektifan suatu produk hasil pengembangan dapat dilihat dari
tingkat keberhasilan suatu produk tersebut. Akker (1999:11) mengatakan, efektivitas mengacu pada pengalaman dan hasil dengan intervensi konsisten tujuan yang dimaksudkan. Lebih lanjut Kunandar (2013:61) yang mengatakan bahwa penilaian hasil belajar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat tingkat keberhasilan atau efektifitas pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahawa keefektifan dapat dilihat dari hasil belajar peserta didik.
E. Kajian Materi Refleksi
Refleksi (pencerminan) adalah transformasi yang memindahkan titik- titik menggunakan sifat bayangan oleh suatu cermin. Suatu pencerminan ditentukan oleh suatu garis tertentu sebagai sumbu pencerminan. Jarak bangun mula-mula ke sumbu pencerminan sama dengan jarak bangun bayangannya ke sumbu pencerminan (Budiyono dkk, 2018:60).
Terdapat delapan jenis refleksi beserta bayangannya, diantaranya yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.1.
Jenis-Jenis Refleksi
No. Jenis Refleksi Bayangan
1. Refleksi terhadap sumbu 𝑥 (𝑥, −𝑦)
2. Refleksi terhadap sumbu 𝑦 (−𝑥, 𝑦)
3. Refleksi terhadap garis 𝑦 = 𝑥 (𝑦, 𝑥)
4. Refleksi terhadap garis 𝑦 = −𝑥 (−𝑦, −𝑥)
5. Refleksi terhadap titik asal 𝑂(0,0) (−𝑥, −𝑦)
6. Refleksi terhadap garis 𝑥 = ℎ (2ℎ − 𝑥, 𝑦)
7. Refleksi terhadap garis 𝑦 = 𝑘 (𝑥, 2𝑘 − 𝑦)
8. Refleksi terhadap titik (𝑎, 𝑏) (2𝑎 − 𝑥, 2𝑏 − 𝑦)
(Budiyono, 2018:60) Berdasarkan jenis-jenis refleksi di atas, maka berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) Sekolah Tingkat Menengah Atas (STMA), hanya ada
lima jenis refleksi yang akan dipelajari. Berikut lima jenis refleksi tersebut beserta rumus pencerminannya menurut Sulistyohadi (2009:217):
a) Pencerminan terhadap sumbu 𝑥 [𝑥′
𝑦′] = [1 0 0 −1] [𝑥
𝑦]
b) Pencerminan terhadap sumbu 𝑦 [𝑥′
𝑦′] = [−1 0 0 1] [𝑥
𝑦]
c) Pencerminan terhadap garis 𝑦 = 𝑥 [𝑥′
𝑦′] = [0 1 1 0] [𝑥
𝑦]
d) Pencerminan terhadap garis 𝑦 = −𝑥 [𝑥′
𝑦′] = [ 0 −1
−1 0 ] [𝑥 𝑦]
e) Pencerminan terhadap titik asal 𝑂(0,0) [𝑥′
𝑦′] = [−1 0 0 −1] [𝑥
𝑦]
F. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pertiwi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Bahan Ajar pada Materi Volume Kubus dan Balok Menggunakan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Siswa Kelas VII SMP Negeri 26 Palembang” menyimpulkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan pada materi volume kubus dan balok menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sudah memenuhi kriteria valid dan praktis. Hal ini terlihat dari skor akhir penilaian validator adalah 3,46 yang berarti dari skor rata-rata yang diperoleh menunjukkan bahwa kriteria
sangat valid. Sedangkan berdasarkan hasil one to-one evaluation dan small group dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan tergolong praktis. Hal ini terlihat dari hasil ujicoba dan komentar siswa. Pada umumnya, siswa dapat menggunakan bahan ajar pada materi volume kubus dan balok menggunakan pendekatan PMRI dalam proses pembelajaran.
Deboy (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Bahan Ajar dengan Menggunakan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) pada Pokok Bahasan Kesebangunan di Kelas IX SMP 5 Talang Ubi”
menyimpulkan bahwa dari bahan ajar yang telah dikembangkan, siswa lebih tertarik dan mudah memahami materi pelajaran menggunakan buku siswa yang dikembangkan dengan konteks dunia nyata tersebut. Selanjutnya dalam penelitian Nurbaiti (2011) dapat disimpulkan bahwa pengembangan bahan ajar trigonometri kelas X menggunakan pendekatan PMRI di SMA Negeri 3 Palembang menunjukkan sikap positif terhadap aktivitas pembelajaran matematika dan siswa juga lebih menyukai belajar dengan pendekatan PMRI.
Temuan yang hampir sama dalam penelitian Syutaridho (2011), diperoleh kesimpulan bahwa pengembangan bahan ajar keliling, luas persegi dan persegi panjang dengan pendekatan PMRI menunjukkan bahwa siswa aktif dan senang belajar matematika dengan menggunakan pendekatan PMRI dimana siswa terlihat antusias dan senang mencari penyelesaian masalah menggunakan konteks nyata.