• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI Stroke

N/A
N/A
Maudia Indriani

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI Stroke"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Stroke

a. Pengertian Stroke

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak dan dapat menimbulkan kecacatan atau kematian.

Sedangkan stroke menurut WHO adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler (Arisetijono dan Munir, 2017).

b. Etiologi

Aliran darah ke otak bisa menurun dengan beberapa cara.

Iskemia terjadi ketika suplai darah ke bagian dari otak terganggu atau tersumbat total. Kemampuan bertahan yang utama pada jaringan otak yang iskemik bergantung pada lama waktu kerusakan ditambah dengan tingkat gangguan dari metabolisme otak. Iskemik biasanya terjadi karena thrombosis atau emboli (Black dan Haws, 2014). Penyebab stroke diantaranya :

(2)

1) Trombosis

Stroke thrombosis disebabkan oleh sumbatan mendadak pembuluh darah yang mensuplai otak. Sumbatan yang terjadi karena thrombus yang terbentuk langsung di pembuluh darah otak yang mengalami kerusakan akibat faktor risiko (Arisetijono dan Munir, 2017).

Faktor risiko yang utama adalah arterosklerosis.

Arterosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk dan membentuk plak pada dinding pembuluh darah. Plak pada dinding pembuluh darah terus membesar dan menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah yang biasanya lancar pada arteri. Darah akan berputar-putar di bagian permukaan yang terdapat plak, menyebabkan penggumpalan yang akan melekat pada plak tersebut. Akhirnya rongga pembuluh darah menjadi tersumbat (Black dan Haws, 2014).

2) Embolisme

Stroke emboli adalah jenis stroke iskemik yang disebabkan oleh bekuan darah yang disebabkan proses emboli. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik (Arisetijono dan Munir, 2017).

Sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh embolus menyebabkan stroke emboli. Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi

(3)

serebral sampai embolus teersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri (Black dan Haws, 2014).

Embolus yang paling sering terjadi adalah plak.

Trombus dapat terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak dalam sirkulasi serebral.

Kejadian fibrilasi kronik dapat berhubungan dengan tingginya kejadian stroke emboli. Emboli dapat juga terjadi karena endocarditis yang disebabkan oleh bakteri atau non bakteri. Emboli bisa terjadi pada seluruh bagian pembuluh darah serebral. Kejadian emboli pada serebral meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia (Black dan Haws, 2014).

3) Perdarahan (Hemoragik)

Stroke perdarahan intraserebral adalah ektravasasi darah yang berlangsung spontan dan mendadak ke dalam parenkim otak yang disebabkan bukan karena trauma (non traumatic) (Arisetijono dan Munir, 2017). Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur arterosklerosis dan hipertensi pembuluh darah, yang bisa menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak (Black dan Haws, 2014).

Perdarahan intraserebral paling sering terjadi akibat hipertensi dan umumnya terjadi setelah usia 50 tahun. Akibat

(4)

lain perdarahan adalah aneurisme. Aneurisme adalah pembengkakan pada pembuluh darah, yang menyebabkan rupture (Black dan Haws, 2014).

Stroke yang disebabkan oleh perdarahan seringkali menyebabkan spasme pembuluh darah serebral dan iskemik pada serebral karena darah yang berada di luar pembuluh darah membuat iritasi pada jaringan. Stroke hemoragik menyebabkan kehilangan fungsi yang banyak dan penyembuhannya paling lambat dibandingkan dengan tipe stroke lainnya (Black dan Haws, 2014).

c. Patofisiologi

1) Stroke Non Haemoragik/Iskemik/Penyumbatan

Iskemia disebabkan adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya arterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus pun menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan iskemia kemudian menjadi komplek iskemia akhirnya menjadi infark pada jaringan otak (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok/plak pada arteri teersebut menyebabkan iskemia yang

(5)

tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologis fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli (Black dan Haws, 2014).

Stroke non hemoragik bisa terjadi karena thrombus atau emboli. Menurut Arisetijono (2017) stroke infark trombotik 80% dari semua jenis stroke, sedangkan stroke emboli 5%, perdarahan intrakranial 10% dan perdarahan subarachnoid sebesar 5%

2) Stroke Haemoragik/Perdarahan

Sekitar 70% stroke perdarahan disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak oleh karena darah tinggi/hipertensi. Sisanya bisa disebabkan oleh ruptur atau pecahnya aneurisme, yaitu pembuluh darah yang berstekstur tipis dan mengembang, atau bisa karena ruptur pada arterovenomalformation (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke subtansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya konstan. Akibat adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, penurunan perfusi ke otak, gangguan drainase otak yang lebih berat

(6)

akan menyebabkan herniasi otak .(Arisetijono dan Munir, 2017)

Darah yang mengalir ke subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut. Sehingga menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga dapat terjadi nekrosis jaringan otak (Black dan Haws, 2014).

d. Faktor Risiko Stroke

1) Faktor Yang Tidak Dapat Dimodifikasi

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, tidak dapat dicegah atau diobati, karena sudah merupakan karakteristik seseorang dari awal mula kehidupannya.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi :

a) Umur

Umur merupakan faktor risiko stroke, yang mana semakin meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga semakin meningkat.

Prevalensi frekuensi stroke meningkat sejalan dengan peningkatan umur berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah otak (Riskesdas, 2013) Pembuluh darah

(7)

menjadi tidak elastis sehingga mengakibatkan lumen pembuluh darah sempit yang berdampak aliran darah otak terganggu, akibatnya terjadi infark atau kematian sel dan daerah otak mengalami iskemia (Black dan Haws, 2014)

Pada lansia terjadi perubahan-perubahan pada sistem saraf. Perubahan tersebut meliputi berat otak menurun, hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon dan waktu berpikir, penglihatan berkurang, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, reflek tubuh berkurang serta kurang koordinasi tubuh (Padila, 2013).

Angka kejadian stroke berkisar antara 12-15 per 100.000 penduduk per tahun dan lebih sering dijumpai pada usia tua, laki-laki (Arisetijono dan Munir, 2017). Menurut hasil penelitian Framingham Study menunjukan risiko stroke meningkat sebesar 20% pada usia 45-55 tahun, 32% pada usia 55-64 tahun, dan 83% pada umur 65-74 tahun.(Ningtiyas, 2017)

b) Jenis Kelamin

Kejadian stroke lebih sering terjadi pada laki- laki dibandingkan pada wanita, tetapi pada

(8)

perempuan yang telah mengalami menopause risiko terkena stroke sama dengan laki-laki (Mulyatsih &

Ahmad, 2015). Laki-laki berisiko lebih tinggi terkena stroke dibanding wanita karena banyak faktor yang menyebabkan laki-laki berisiko, diantaranya adalah kebiasaan merokok, minum alkohol berlebihan, hiperlipidemia, penggunaan kokain dan kegemukan (Black dan Haws, 2014).

Kejadian stroke jarang terjadi pada wanita usia produktif atau usia untuk mengandung. Akan tetapi, karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi dari pada laki-laki, maka tidak jarang pada studi- studi tentang stroke didapatkan pasien wanita pun cukup banyak. Penggunaan kontrasepsi estrogen oral dalam dosis yang tinggi yang berkombinasi dengan hipertensi, merokok, sakit kepala migraine dan peningkatan usia, dapat meningkatkan kejadian stroke pada wanita (Black dan Haws, 2014).

c) Riwayat Penyakit Keluarga

Menurut Wahjoepramono dalam Ningtiyas (2017) riwayat pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke, menjadi faktor risiko untuk mengalami serangan stroke juga. Hal ini bisa

(9)

disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : faktor genetik, pengaruh budaya dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik, dan pengaruh lingkungan, yang dapat dijadikan sebagai skrining untuk melihat individu memiliki risiko terhadap penyakit tertentu

d) Ras

Stroke lebih sering terjadi pada orang Afrika- Amerika dibandingkan orang kulit putih atau Amerika Latin (Black dan Haws, 2014). Hal ini terjadi mungkin berhubungan dengan peningkatan kejadian hipertensi dan diabetes mellitus pada kelompok tertentu. Sedangkan di Indonesia suku Padang dan Batak lebih berisiko untuk terkena stroke dibandingkan dengan orang suku Jawa. Hal ini ada kaitannya dengan jenis dan pola makanan yang mayoritas tinggi kolesterol di daerah-daerah tersebut (Depkes. 2007).

2) Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang masih dapat diubah atau diperbaiki untuk mencegah serangan stroke.. Beberapa faktor yang masih dapat dimodifikasi adalah :

(10)

a) Hipertensi

Faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah keadaan hipertensi. Keadaan hipertensi berkontribusi paling sering terhadap kerusakan arteri, mempermudah arteri untuk menyempit yang bisa menyebabkan stroke iskemik atau perdarahan (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya atau menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak juga akan terganggu dan dapat mengakibatkan sel-sel otak akan mengalami kematian. Pengontrolan tekanan darah yang adekuat dapat menurunkan 38%

kejadian stroke (Black dan Haws, 2014).

b) Diabetus Meletus

Menebalnya pembuluh darah otak pada penderita diabetus mellitus akan menyempitkan diameter pembuluh darah yang akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak, pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel-sel otak ( Black dan Haws, 2014). Penderita kencing manis dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol. Jika kadar gula darah melebihi 200 mg/dl disebut hiperglikemia dan

(11)

dapat dicurigai memiliki penyakit dieabetus melitus.

Pada penderita ini sering terjadi stroke jenis iskemik atau infark karena sumbatan umumnya pada pembuluh darah kecil (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Menurut National Stroke Association (2018) diabetes memberikan dampak yang tidak baik pada jaringan tubuh, menyebabkan peningkatan deposit lemak atau pembekuan di bagian dalam dinding pmbuluh darah dan dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun besar teermasuk pembuluh darah yang mensuplai ke otak. Pembuluh darah otak yang sudah mengalami aterosklerosis sangat berisiko untuk mengalami sumbatan maupun pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya serangan stroke.

c) Penyakit Jantung

Beberapa penyakit jantung berpotensi menimbulkan stroke dikemudian hari seperti penyakit jantung koroner dengan infark, gangguan irama denyut jantung atrial fibrilasi. Faktor risiko ini pada umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung

(12)

melepaskan sel-sel atau jaringan –jaringan yang telah mati ke aliran darah (Black dan Haws, 2014).

d) TIA (Transient Ischemic Attack)

TIA dapat terjadi beberapa kali dalam 24 jam, atau terjadi berkali-kali dalam seminggu. Pengenalan dini dan pengobatan untuk penyempitan pembuluh darah karotis dan pengobatan TIA dengan agen antiplatelet dapat menurunkan risiko stroke (Black dan Haws, 2014).

e) Hiperlipidemia, merokok, alkoholik, kokain, kegemukan.

Kebiasaan makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi misalnya makanan yang banyak mengandung lemak hewani atau minyak goreng tertentu akan mempercepat proses kerusakan dinding pembuluh darah. Kolesterol LDL yang tinggi dalam darah membuat disfungsi dari endotel sebagai proses awal pembentukan arterosklerosis yang disebabkan oleh deposit kolesterol di pembuluh darah arteri.

Proses arterosklerosis yang terjadi di otak yang menyebabkan penyumbatan yang berhubungan dengan pembentukan emboli dan thrombus yang akan menyebabkan stroke iskemik (Mulyatsih & Ahmad, 2015).

(13)

Kebiasaan merokok dapat mengganggu kemampuan darah untuk mengikat oksigen dan merusak kelenturan sel darah merah. Kebiasaan ini akan menambah risiko untuk menderita stroke. Rokok mengandung nikotin yang dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah yang menyebabkan elastisitas darah berkurang sehingga pengerasan pembuluh darah meningkat dan meningkatkan faktor pembekuan darah, karena kadar fibrinogen yang tinggi sehingga menyebabkan penebalan pembuluh darah akibatnya pembuluh darah sempit dan kaku yang memicu terjadnya stroke (Mulyatsih & Ahmad, 2015).

Dalam penelitian terbaru, disebutkan bahwa walaupun konsumsi alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan kejadian stroke pada seseorang, konsumsi alkohol yang ringan atau sedang bisa mencegah terjadinya stroke iskemik (Black dan Haws, 2014)`.

Keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan kadar gula darah.

Semakin sesorang memiliki berat badan berlebih (obesitas) membuat jantung bekerja semakin keras

(14)

jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh yang akhirnya menyebabkan meningkatnya tekanan darah.

Keadaan obesitas dapat mempercepat proses terjadinya aterosklerosis, yaitu meningkatkan kadar serum trigleserid dan kolesterol LDL, menurunkan kolesterol HDL (Kesuma, 2019).

Pengukuran untuk obesitas tidaknya, umumnya dapat dilakukan dengan mengetahui IMT (Indeks Massa Tubuh). Pada orang dewasa. IMT dapat dikategorikan menurut jenis kelamin. Pada perempuan atau laki-laki dikatakan obesitas bila nilai IMT >27 kg/m2 (Suharyati,. 2020).

f) Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi atau pembakaran kalori (Kemenkes. 2015). Hipertensi dan aterosklerosis erat kaitannya sebagai faktor risiko stroke. Aktifitas fisik dapat membuat lumen menjadi lebih lebar, sehingga darah dapat melalui pembuluh darah dengan lebih lancar dan dapat menurunkan beban jantung dalam memompa darah. Proses aterosklerosis juga lebih sulit terjadi pada orang-orang

(15)

yang memiliki pembuluh darah yang lebih lebar.

Aktifitas fisik dengan intensitas minimal 3-5 kali dalam seminggu dengan lama waktu 30-60 menit dapat menurunkan risiko untuk terkena penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah. (Kesuma, 2019).

Menurut Engstrom, et al. (2005) dalam Karunia (2016) menyebutkan bahwa stres akibat kerja menjadi faktor pemicu tidak langsung terjadinya stroke. Hal tersebut bisa karena kelelahan, riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus serta permasalahan lain baik itu di lingkungan kerja maupun di lingkungan keluarga.

e. Gejala dan Tanda Stroke 1) Peringatan Dini/Awal

Beberapa jenis stroke mempunyai tanda-tanda peringatan dini yang dikenal dengan sebutan serangan iskemik jangka pendek (TIA). Manifestasi dari iskemik stroke yang akan terjadi termasuk hemiparese transien (tidak permanen), kehilangan kemampuan bicara, kehilangan sensori setengah/hemisensori. Manifestasi stroke karena thrombosis berkembang dalam hitungan menit kehitungan jam sampai hari. Serangan yang lambat terjadi

(16)

karena ukuran thrombus yang terus meningkat. Pertama- tama terjadi sumbatan sebagian di pembuluh darah kemudian menjadi total.. Sedangkan stroke embolik terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan awal (Black dan Haws, 2014).

Stroke hemoragik juga terjadi sangat cepat, bisa terjadi hanya dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang sering terjadi termasuk sakit kepala yang berasal dari bagian belakang leher, vertigo atau kehilangan kesadaran karena hipotensi (sinkop), parastesia, paralisis sementara, epistaksis, dan perdarahan pada retina (Black dan Haws, 2014).

2) Temuan Tanda dan Gejala Secara Umum

Kebanyakan pasien tiba di ruang gawat darurat dengan kondisi hipertensi. Temuan secara umum tentang tanda dan gejala stroke yang tidak berhubungan dengan pembuluh darah yang khusus adalah sakit kepala , muntah, kejang, perubahan status mental, demam, dan perubahan status elektrokardiogram (EKG) (Black dan Haws, 2014).

Perubahan pada EKG mungkin termasuk kondisi atrial fibrilasi yang bisa mengindikasikan penyebab stroke.

Infark miocard yang baru saja terjadi dapat terlihat dengan adanya perubahan gelombang T, pemendekan interval PR,

(17)

perpanjangan gelombang QT, kontraksi ventrikel yang prematur, bradikardi pada bagian sinus dan takikardia pada bagian ventrikel (Black dan Haws, 2014.)

Menurut Black dan Haws (2014) gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita stroke akut :

a) Hemiparese dan hemiplegia, yaitu kelemahan atau kelumpuhan dari sebelah badan bisa yang kanan atau yang kiri saja. Hemiplegia menyeluruh dapat terjadi pada setengah bagian dari wajah dan lidah, juga pada lengan dan tungkai pada sisi bagian tubuh yang sama.

Infark yang terjadi pada sebagian otak sebelah kanan akan menyebabkan hemiplegia bagian kiri tubuh (sinistra) dan sebaliknya karena jaringan saraf berjalan bersilangan dalam jalur piramide dari otak ke saraf spinal.

b) Afasia adalah penurunan kemampuan berkomunikasi.

Yang termasuk dalam hal ini adalah berbicara, membaca, menulis, dan memahami pembicaraan.

Beberapa tipe afasia yaitu : Afasia Wernick (sensoria atau penerima) mempengaruhi pemahaman berbicara sebagai hasil dari infark pada lobus temporal pada otak.

Bisa berbicara dengan artikulasi dan struktur yang benar tetapi kurang dalam hal makna. Afasia Broca

(18)

(ekspresi atau motorik) mempengaruhi produksi bicara sebagai hasil infark pada lobus frontal pada otak.

Kesulitan memproduksi bicara, kata apa yang diucapkan perlahan, susah payah dan artikulasi yang buruk. Afasia Global mempengaruhi komprehensi berbicara dan produksi bicara.. Mengulangi bunyi yang sama terhadap yang mereka dengar dan memiliki pemahaman yang buruk.

c) Disartria adalah kondisi artikulasi yang diucapkan tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Klien paham dengan bahasa yang diucapkan seseorang tetapi kesulitan dalam melafalkan kata dan tidak jelas dalam pengucapannya. Dapat memahami bahasa verbal, dapat membaca dan menulis (kecuali ada kelumpuhan tangan yang dominan).

d) Disfagia adalah gangguan dalam mengunyah dan menelan makanan. Menelan adalah proses yang komplek karena membutuhkan beberapa fungsi dari saraf kranial

e) Apraksia adalah kondisi yang mempengaruhi integritas motorik kompleks. Tidak bisa melakukan beberapa ketrampilan seperti berpakaian walaupun mereka tidak lumpuh. Bisa merasakan atau mengkonseptualisasikan

(19)

isi pesan yang dikirim ke otot tetapi instruksi dari otak tidak sampai ke bagian tangan dan kaki, sehingga gerakan yang diinginkan tidak terjadi.

f) Perubahan penglihatan. Stroke pada lobus parietal atau temporal bisa mengganggu jaringan penglihatan dari saluran optik ke kortek oksipital dan mengganggu ketajaman penglihatan. Persepsi kedalaman dan penglihatan pada garis horizontal dan vertikal juga terganggu.

g) Hemianopia Homonimus adalah kehilangan penglihatan pada sebagian lapangan pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan bisa gelap atau pandangan ganda. Hemianopia homonimus tidak dapat melihat melewati garis tengah tanpa memutar kepala ke sisi bagian tersebut

h) Sindrom Horner adalah paralisis pada saraf simpatik ke mata yang menyebabkan tenggelamnya bola mata, ptosis bagian atas kelopak mata, bagian bawah kelopak mata sedikit terangkat, pupil mengecil, dan air mata berkurang.

i) Agnosia adalah gangguan pada kemampuan mengenali benda melalui indra, bisa indra penglihatan dan pendengaran. Disorientasi/ketidakmampuan mengenali

(20)

tanda-tanda dari lingkungan, wajah yang familier atau simbol-simbol. Mampu menganalisa benda tersebut tetapi tidak dapat memutuskan fungsi dari benda tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan perawatan diri ketika benda-benda penting yang sering digunakan seperti peralatan makan, pakaian, dan alat mandi menjadi benda asing bagi pasien tersebut.

Agnosia penglihatan dapat sangat meningkatkan risiko kecelakaan karena klien tidak dapat mengenali bahaya atau tanda-tanda peringatan bahaya.

Agnosia pendengaran tidak dapat memahami arti bunyi karena kehilangan pendengaran atau penurunan tingkat kesadaran.

j) Negleksi Unilatral adalah ketidakmampuan seseorang untuk merespon stimulus pada kontralateral dari bagian infark serebral.. Sering terlihat pada klien dengan kerusakan pada belahan otak bagian kanan. Pada klien dengan negleksi unilateral disertai dengan rasa tidak percaya pada posisi alat gerak tubuh atau tidak percaya keberadaan atau kepemilikan akan benda tersebut.

k) Penurunan sensorik. Kondisi hemiparesis yaitu kehilangan sensasi pada bagian satu sisi tubuh yang tidak lengkap dan mungkin tidak dirasakan klien.

(21)

Sensasi pada permukaan seperti nyeri, sentuhan, tekanan, dan suhu dapat berpengaruh pada tingkatan yang berbeda-beda.

Parastesia digambarkan rasa nyeri terbakar yang persisten, perasaan keberatan,, kebas, kesemutan, atau rasa tertusuk, atau rasa sensasi yang meningkat.

Gangguan pada propriosepsi yaitu kemampuan untuk menerima hubungan antara bagian tubuh dengan lingkungan luar, dan gangguan rasa bagian postural bisa terjadi dengan penurunan rasa pada sendi otot. Hal ini berdampak pada kemampuan klien untuk bergerak karena kurangnya kontrol keseimbangan dan gerakan yang tidak sesuai. Klien berisiko jatuh karena kecenderungan kesalahan posisi kaki pada saat berjalan.

l) Perubahan perilaku. Klien mungkin akan memperlihatkan efek datar, penurunan spontanitas, selalu terdistraksi, dan pelupa. Klien mungkin akan mengalami emosi yang labil dan tiba-tiba menangis atau bisa tertawa tanpa sebab, tapi hal ini jarang terjadi.

Pada kondisi ini sedikit hubungan atau tidak ada hubungan antara emosi dengan apa yang terjadi di lingkungan orang tersebut. Depresi klinis yang

(22)

signifikan terjadi antara 25% sampai 60% pada klien stroke. Oleh karena depresi dapat mengganggu pemulihan dan penyembuhan fungsi tubuh (Black dan Haws, 2014).

m) Inkontenensia, disfungsi pada sistem pencernaan dan perkemihan. Tidak dapat menahan kandung kemih.dan kesulitan dalam buang air besar. Hal ini dapat terjadi karena kehilangaan ingatan sementara, tidak ada perhatian, faktor-faktor emosional, ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan pada mobilitas fisik, dan infeksi. Durasi dan tingkat keparahan disfungsi tersebut bergantung pada luas dan lokasi infark.

f. Penatalaksanaan Stroke

Penatalaksanaan medis pada klien stroke ditujukan pada diagnosis awal dan identifikasi awal pada klien yang akan mendapatkan manfaat dari pengobatan trombolis. Tujuan lain adalah mempertahankan oksigenasi serebral, pencegahan komplikasi dan stroke berulang, serta rehabilitasi. Penanganan stroke dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan fase rehabilitasi (Black dan Haws, 2014)

1) Fase Akut

Faktor penting dalam fase ini adalah identifikasi manifestasi stroke secara benar, manifestasi awal serangan, sehingga pasien dapat segera mendapatkan terapi sesuai

(23)

keadaannya. Waktu onset manifestasi harus segera diketahui karena terapi trombolis harus diberikan dalam waktu 3 jam setelah serangan awal (Black dan Haws, 2014).

Mempertahankan oksigenasi serebral yaitu dengan mempertahankan jalan udara yang paten. Kemungkinan pasien dalam kondisi tidak sadar, maka perlu ada tindakan dengan cara membaringkan klien ke bagian yang terkena stroke untuk meningkatkan penyaluran saliva dari jalan napas, kemudian pemberian oksigenasi yang adekuat. Jika klien menunjukan usaha ventilasi yang buruk, intubasi dan ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan untuk mencegah hipoxia dan iskemik serebral (Black dan Haws, 2014).

Tujuan terapi trombolis adalah membuat kembali saluran (rekanalisasi) pada pembuluh darah yang tersumbat serta mengembalikan perfusi ke jaringan otak yang iskemik.

Pemberian terapi trombolis dalam waktu tiga jam dari waktu serangan awal stroke, maka sebesar 30% lebih mempunyai kesempatan untuk terhindar dari kecacatan atau menderita cacat minimal, serta mengurangi risiko kematian. Pemberian terapi trombolis akan dimasukan saat pasien di ruang intensif care unit (ICU). Tujuannya untuk memonitor tekanan darah, status neurologis dan perdarahan lebih

(24)

intensif. Bila kondisi hemodinamik klien stabil bisa dirawat di ruang biasa (Black dan Haws, 2014).

Selama pemberian terapi trombolis perlu monitoring potensi komplikasi yang dapat menyebabkan perdarahan intrakranial dan perdarahan sistemik. Semua perdarahan intrakranial yang fatal terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah tindakan. Penyebaran dari gumpalan perdarahan intrakranial dapat merusak jaringan otak. Tekanan dari gumpalan tersebut mengganggu aliran darah dan menyebabkan iskemia tambahan. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) terjadi karena gumpalan darah memenuhi ruang, dan sekeliling jaringan odema iskemia dan dapat mengarah kondisi isi intrakranial berpindah melewati garis tengah (hernia pada batang otak), dan kematian.

Fase akut stroke biasanya berakhir 48 sampai 72 jam.

Pasien masuk dengan kondisi koma dipertimbangkan mempunyai prognosis yang buruk. Sebaliknya klien yang masuk dengan kondisi sadar masih memiliki prognosis yang baik. Prioritas dalam fase akut ini adalah mempertahankan jalan napas dan ventilasi yang adekuat (Brunner dan Suddarth, 2002).

(25)

2) Fase Rehabilitasi

Sejak dari serangan awal stroke, intervensi ditujukan untuk perbaikan fisik dan kognitif klien. Usaha yang dilakukan adalah rehabilitasi stroke yaitu program pemulihan pada kondisi stroke yang bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional klien stroke, sehingga mereka dapat mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Sasaran utama pada fase rehabilitasi adalah klien dan keluarga. Rehabilitasi ini meliputi perbaikan mobilitas, menghindari klien jatuh, pencapaian perawatan diri, menghindari nyeri bahu dan tangan, perbaikan proses berpikir, perbaikan komunikasi, mendapatkan kontrol kandung kemih, pemeliharaan integritas kulit dan tidak adanya komplikasi (Brunner dan Suddarth, 2002).

Pada fase rehabilitasi ini ada beberapa pilihan program tergantung kebutuhan klien dan keluarganya.

Kesuksesan dari program membutuhkan dukungan penuh dan partisipasi aktif dari klien dan keluarganya. Menurut Black dan Haws (2014) pilihan program rehabilitasi lokal yang paling terbaik untuk memenuhi kebutuhan klien dan keluarganya yaitu :

(26)

a) Fisioterapi

Petugas fisioterapi membantu klien membangun kekuatan dan mempertahankan rentang gerak (range of motion/ROM) dan tonus otot di bagian otot yang tidak terkena stroke, serta melatih kembali otot yang terkena stroke. Klien juga berlatih keseimbangan dan ketrampilan untuk kemampuan merasakan posisi, lokasi, dan orientasi serta dan gerakan dari tubuh dan bagiannya. Latihan dan ketrampilan mobilitas di tempat tidur, mobilitas ke kursi roda dan berpindah, serta berlatih jalan.

b) Terapi Okupasi

Ahli terapi okupasi bekerja dengan klien untuk mempelajari kembali aktifitas sehari-hari (activity daily of living) seperti mandi, berdandan, mengenakan pakaian, menggunakan kamar mandi dan berjalan, serta menggunakan alat bantu yang dapat meningkatkan kemandirian sesuai kepeerluan.

Banyak klien yang mengalami nyeri hebat di bagian bahu dan lengan tangan yang berpengaruh setelah stroke. Nyeri ini dapat terjadi karena kurangnya keseimbangan dan hilangnya range of motion (ROM), yang lebih lanjut akan membatasi mobilitas dan

(27)

perawatan diri. Untuk itu ahli okupasi membantu dalam mengatasi masalah ini dan menginstruksikan tentang cara memindahkan, mengganti posisi yang benar pada klien dan merawatnya untuk mencegah cidera selanjutnya.

c) Terapi Bicara

Ahli patologi bicara bekerja sama dengan klien untuk membantu perkembangan penyembuhan bicara dalam jumlah maksimum melalui belajar kembali, penekanan pada bunyi bicara, atau penggunaan alat komunikasi alternative. Ahli patologi bicara juga mengkaji mekanisme menelan klien dan membuat rekomendasi untuk inisiasi dan kemajuan makan dan minum untuk menurunkan risiko aspirasi.

d) Manajemen kasus

Manajer kasus biasanya ditugaskan untuk memfasilitasi seluruh pemberi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan klien, seperti dokter, fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi, ahli gizi, dan sebagai yang mengadvokasi klien dan keluarganya.

Secara umum intervensi rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk

(28)

menentukan tujuan dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu :

(1) Rehabilitasi Stroke Fase Akut :

Dua minggu pertama pasca serangan stroke. Pada fase ini kondisi hemodinamik klien belum stabil, sehingga diperlukan stabilisasi hemodinamik. Klien yang dirawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik dibanding yang dirawat di ruang biasa. Klien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.

Pada fase akut ini posisi klien tirah baring di tempat tidur. Sikap dan posisi tidur klien harus diperhatikan, khususnya sisi badan yang lemah.Tujuan pengaturan posisi ini untuk memberikan rasa nyaman, meningkatkan oksigenasi, dan mencegah kecacatan. Posisi kepala tempat tidur ditinggikan 15-30 derajat, kecuali klien yang tekanan darahnya rendah posisi kepala boleh datar. Fisioterapi telah mulai melakukan latihan pergerakan sendi secara pasif pada anggota gerak atas dan bawah dan beberapa

(29)

otot antigravitasi di tempat tidur (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Bila tidak ada komplikasi dan kondisi pasien memungkinkan, pada hari ketiga posisi kepala tempat tidur ditinggikan secara bertahap, mulai dari 45 derajat, 60 derajat, dan akhirnya klien berlatih duduk bersandar di tempat tidur.

Hari berikutnya berlatih duduk berjuntai tanpa bersandar di tempat tidur, dan bila klien mampu duduk minimal 30 menit pada hari berikutnya klien berlatih duduk di kursi roda, serta selnjutnya berlatih berdiri dan berjalan (Mulyatsih dan Ahmad, 2015.).

(2) Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

Waktu antara 2 minggu sampai 6 bulan pasca stroke. Kondisi hemodinamik klien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan pulang ke rumah, kecuali klien yang membutuhkan penanganan rehabilitasi yang intensif dapat singgah di pusat rehabilitasi (Rehabilitation Center). Di Indonesia hamper semua klien pasca stroke pulang ke rumah atau tempat tinggal keluarga.

(30)

Ada 90% klien mengalami kelumpuhan atau kelemahan separo badan. Kelemahan atau kelumpuhan ini seringkali masih dialami pasien sewaktu keluar dari rumah sakit, dan biasanya kelemahan tangan lebih berat dibandingkan kaki.

Sehingga biasanya pasien telah mampu belajar berjalan tetapi lengannya masih mengalami kelemahan. Untuk itu pasien memerlukan rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

Pada fase ini klien diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan akrtifitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, system saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jarak otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan.

Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh klain.

Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara

(31)

kontinyu serta memperhatikan kinesiology dan biomekanik gerak (Mulyatsih dan Ahmad, 2015).

g. Pencegahan Serangan Stroke Berulang

Pasien yang pernah stroke memiliki risiko untuk terkena serangan ulang stroke. Untuk menghindari atau meminimalkan risiko ini, keluarga atau pengasuh sebaiknya berdiskusi dengan dokter dan tim medis lain yang merawat di rumah sakit untuk mengeksplorasi faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien terserang stroke

Pengajaran atau pendidikan kesehatan pada pasien stroke ditujukan untuk pencegahan stroke. Pencegahan primer diantaranya yaitu :

1) Pertahankan berat badan ideal

2) Pertahankan kadar kolesterol yang aman

3) Kurangi atau berusaha menghentikan kegiatan merokok 4) Gunakan kontrasepsi oral dengan dosis estrogen yang

rendah dan digunakan jika tidak ada faktor-faktor risiko lainnya

5) Hindari konsumsi alkohol berlebihan 6) Hindari menggunakan obat-obat terlarang 7) Latihan kebugaran jasmani secara teratur 8) Mengatur pola makan sehat dan seimbang 9) Mampu mengontrol stress secara efektif

(32)

Pencegahan sekunder meliputi :

1) Kontrol tekanan darah secara adekuat 2) Rawat deabetus militus

3) Obati penyakit kardiovaskuler, TIA dan fibrilasi atrium.

(Black dan Haws, 2014)

2. Kemandirian dalam Activity Daily Living (ADL)

a. Pengertian Kemandirian dalam Activity Daily Living (ADL) Kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk menentukan keputusan dan mampu melaksanakan tugas hidup dengan penuh tanggung jawab tanpa tergantung orang lain.

Dalam kamus psikologi kemandirian berasal dari kata

“independen” yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Chaplin, 2002).

Activity Daily Living menurut Sugiarto (2005) dalam Suparyanto (2012) merupakan ketrampilan dasar dari tugas okupasional yang harus dimiliki setiap orang untuk merawat dirinya secara mandiri yang dikerjakan sehari-harinya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat.

Menurut Sugiarto dalam Suparyanto (2012) istilah ADL mencakup perawatan diri (seperti berpakaian, makan dan minum,

(33)

mandi, toileting, berhias, menyiapkan makanan, memakai telepon, menulis, dan sebagainya) dan mobilitas (seperti berguling di tempat tidur, bangun dan duduk, bergeser, berpindah tempat dari tempat tidur ke kursi, atau dari satu tempat ke tempat lain.

Beberapa macam ADL menurut Sugiarto (2005) dalam Suparyanto (2012) yaitu :

1) ADL dasar yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan dan minum, toileting, mandi, berhias. Ada juga yang memasukan kontinensia buang air kecil dan buang air besar, serta kemampuan mobilitas masuk kategori ADL dasar.

2) ADL instrumental, yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat atau benda penunjang kehidupan sehari- hari seperti menyiapkan makanan (penggunaan alat-alat makan), menggunakan telepon, menulis, mengetik, mengelola uang kertas.

3) ADL vokasional yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan sekolah.

4) ADL non vokasional yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi, dan mengisi waktu luang.

(34)

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Activity Daily Living

Menurut Hardywinoto (2007) dalam Karunia (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan dan kemampuan untuk melakukan activity daily living adalah :

1) Umur dan Status Perkembangan

Umur dan status perkembangan seorang menunjukan tanda kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana seseorang tersebut beraksi terhadap ketidakmampuan melaksanakan activity daily living. Pada lansia biasanya akan mengalami penurunan dalam berbagai hal termasuk tingkat kemandirian dalam melakukan aktifitas sehari-hari, hal ini disebabkan karena berkurangnya ukuran, massa tonus otot dan kekuatan otot (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2007).

Secara sistem neurologis, jumlah neuron pada sistem nervus mulai berkurang pada pertengahan dekade kedua.

Neuron tidak bergenerasi, penurunan atau kerusakan dapat menyebabkan perubahan fungsi baik keseimbangan indra atau respon motoric. Usia lanjut akan mempengaruhi muskuluskeletal dan persarafan yang mempengaruhi pergerakan dan reflek tubuh seseorang (Potter dan Perry, 2005).

(35)

2) Kesehatan Fisiologis

Menurut Untari (2018) kesehatan fisiologis berkaitan dengan usia. Bertambahnya usia maka mengalami beberapa perubahan, baik fisik, emosional dan psikososial. Perubahan fisik yang berperan adalah sistem muskuloskeletal.

Gangguan muskuloskeletal pada lansia menyebabkan gangguan gaya berjalan dan hal ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis, misalnya: kekakuan jaringan penyambung, berkurangnya massa otot, perlambatan konduksi saraf, penurunan visus/lapang pandang. Semua perubahan tersebut menyebabkan :

(a) Penurunan range of motion (ROM) sendi (b) Penurunan kekuatan otot terutama ekstremitas (c) Perpanjangan waktu reaksi

(d) Goyangan badan/keseimbangan

Perubahan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan dalam activity daily living, seperti sistem musculoskeletal yang dikoordinasikan dengan sistem saraf sehingga dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan atau motorik. Selain karena proses menua, gangguan pada sistem ini bisa disebabkan karena penyakit, atau trauma yang dapat mengganggu pemenuhan

(36)

seseorang dalam activity daily living (Hardywinoto &

Setiabudhi, 2007).

3) Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif berkaitan dengan fungsi memori seseorang. Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu dan mencakup beberapa perubahan.

Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk yang bisa mengarah ke dimensia Dimensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga mengganggu aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas sosial (Untari, 2018)

Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan activity daily living. Fungsi kognitif menunjukan proses seseorang dalam menerima mengorganisasikan dan menginterprestasikan sensor stimulus untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental yang buruk dapat memberikan kontribusi pada fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berpikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan ADL (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2007)

4) Fungsi Psikososial

Fungsi psikososial menunjukan kemampuan seseorang dalam mengingat sesuatu hal yang lalu dan

(37)

menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik.

Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku intrapersonal dan interpersonal. Misalnya ketidakstabilan emosi dapat mengganggu dalam tanggung jawab terhadap keluarga dan pekerjaan. Gangguan interpersonal seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau disfungsi dalam penampilan peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan activity daily living (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2007).

Perubahan psikososial akan dikaitkan dengan nilai seseorang, yang diukur dari produktivitas dan identitasnya, yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Seseorang yang mengalami pensiun maka akan mengalami kehilangan, yaitu :finansial, status, teman, relasi, dan kegiatan/pekerjaan.

Akibat hilangnya pekerjaan dapat berdampak kekuatan dan ketegapan fisik, gangguan panca indra, timbul penyakit kronis dan ketidakmampuan (Untari, 2018)

5) Tingkat Stres

Stres merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres (stressor), dapat timbul dari dalam tubuh dan lingkungan yang mengakibatkan dapat terganggunya keseimbangan tubuh dan kualitas hidup

(38)

seseorang. Stressor tersebut dapat berupa fisiologis seperti trauma atau psikologi seperti kehilangan.

6) Ritme Biologi

Ritme atau irama biologi membantu hemostasis internal (keseimbangan dalam tubuh dan lingkungan) dan membantu mahkluk hidup dalam mengatur fisik disekitarnya.

Salah satu irama biologi yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24 jam. Perbedaan irama sirkardian dalam membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur tubuh dan hormon.

7) Status Mental

Status mental menunjukan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status mental akan memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu. Seperti halnya pada lansia yang memorinya mulai menurun atau mengalami gangguan, lansia yang mengalami apraksia tentunya akan mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.

8) Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat salah satunya adalah posyandu. Jenis pelayanan kesehatan dalam posyandu salah satunya adalah pemeliharaan activity daily living (Ningtiyas,2017).

(39)

c. Cara Mengukur Kemandirian dalam Activity Daily Living dengan Barthel Indeks

Kemampuan dan ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari atau untuk mengukur tingkat kemandirian dapat diukur dengan menggunakan Barthel Indeks, menjabarkan untuk melihat tingkat kemandirian dalam aktifitas.

Suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai perawatan diri dan mengukur aktifitas harian seseorang yang berfungsi secara khusus dalam penerapan aktifitas sehari-hari dan mobilitas (Suparyanto, 2012) Menurut Sugiarto dalam Suparyanto (2012) yang dilakukan Mao,dkk mengungkapkan bahwa Barthel indeks dapat digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan keseimbangan, terutama pasien pasca stroke.

Barthel Indeks terdiri dari 10 item yaitu :transfer (tidur ke duduk, bergerak dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali), mobilisasi (berjalan), penggunaan toilet (pergi atau dari toilet), membersihkan diri, kemampuan buang air besar atau buang air kecil, mandi, berpakaian, makan, naik dan turun tangga.

Penilaian ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat dasar dari fungsi dan dapat digunakan untuk memonitor

(40)

perbaikan dalam aktifitas sehari-hari dari waktu ke waktu.

Penilaian Barthel Indeks berdasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam meningkatkan aktifitas sehari-hari meliputi sepuluh aktifitas di atas.

Tabel 2. Penilaian Barthel Indeks

No Item Yang Dinilai Dibantu Mandiri

1 Transfer dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali (termasuk duduk di bed)

5-10 15

2 Berjalan dipermukaan datar

atau dapat mengayuh kursi roda sendiri

10 0

15 5 3 Hygieni personal (cuci muka, menyisisir

rambut , mencukur jenggot, gosok gigi)

0 5

4 Naik turun kloset/wc (melepas/memakai pakaian, cawik, menyiram wc)

5 10

5 Mandi 0 5

6 Makan(bila makanan harus dipotong- potong dulu= dibantu

5 10

7 Naik dan turun tangga 5 10

8 Berpakaian (termasuk memakai tali sepatu, menutup resliting)

5 10

9 Mengontrol anus (BAB) 5 10

10 Mengontrol kandung kemih (BAK) 5 10

Sumber : Suparyanto, 2012

Kemudian nilai dari setiap item akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor berkisar 0- 100, dengan kelipatan 5, skor yang lebih besar menunjukan lebih mandiri. Namun nilai 5,10,15 bisa juga diganti dengan 1,2, dan 3 dengan skor maksimum 20.

3. Dukungan Keluarga

a. Pengerian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap atau tindakan penerimaan suatu keluarga terhadap anggota keluarganya.

Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak

(41)

terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikan dan mendukungnya dalam kehidupannya (Friedman et.al,2010).

b. Sumber Dukungan Keluarga

Sumber adalah segala atribut dan dukungan yang ada untuk digunakan oleh keluarga dalam situasi krisis/ tertentu (McCubbin, 1996 dalam Friedman 2010). Dukungan keluarga ini bersumber pada dukungan sosial keluarga yaitu dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial dapat atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal seperti dukungan dari suami/istri, dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal seperti paman dan bibi (Friedman et.al, 2010).

(42)

c. Tujuan Dukungan Keluarga

Sangatlah luas diteriama orang yang berada dalam lingkungan yang supportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan rekannya yang tanpa keuntungan ini.

Lebih khususnya dukungan sosial dapat dianggap mengurangi atau menyangga efek stres serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga secara langsung, dukungan sosial adalah strategi koping penting yang harus ada dalam masa stres bagi keluarga (Friedman, 2010). Dukungan sosial juga dapat berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stres akibat negatifnya (Roth,1996 dalam Friedman et.al, 2010).

Tujuan utama kedua yang dicapai sistem dukungan adalah bahwa bantuan berorientasi pada tugas sering kali diberikan oleh keluarga besar, teman dan tetangga. Bantuan dari keluarga besar dilakukan dalam bentuk bantuan langsung, termasuk bantuan financial yang terus menerus dan intermiten, berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia, melakukan tugas rumah tangga dan bantuan praktis selama masa kritis (Friedman et.al, 2010).

d. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman,et.al (2010) menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya yang memandang bahwa orang yang bersifat

(43)

mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika dibutuhkan. Terdapat empat jenis dukungan keluarga yaitu:

1) Dukungan Emosional

Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat serta pemulihan dan membantu penguasaan emosional serta meningkatkan moral keluarga. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin diperdulikan dan dicintai oleh keluarga, sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

2) Dukungan Informasional

Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai pemberi informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan mengatasi suatu masalah. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran petunjuk dan pemberian informasi.

3) Dukungan Instrumental

(44)

Dukungan instrumental adalah keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit dalam kebutuhan individu. Keluarga turut mencari dan memberi solusi yang dapat membantu individu dalam melakukan kegiatan sehari- hari.

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pemberian uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk ini dapat mengurangi stress karena klien dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol.

4) Dukungan Penilaian/Penghargaan

Keluarga bertindak sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan menengahi dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu/klien. Dukungan dan perhatian keluarga merupakan bentuk penghargaan positif yang diberikan kepada individu. Bentuk dukungan ini dapat menolong individu untuk mengenal dan mengatasi masalah dengan mudah.

(45)

e. Manfaat Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga adalah proses yang terjadi selama masa hidup , dengan sifat dan tipe dukungan sosial yang bervariasi pada masing- masing tahap siklus kehidupan keluarga, dukungan sossial keluarga memungkinkan keluarga berfungsi dengan penuh kompetensi dan sumber. Hal ini meningkatkan adaptasi dan kesehatan keluarga (Friedman et.al, 2010).

Dukungan sosial dianggap dapat mengurangi atau menyangga efek stres serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga, secara langsung mempengaruhi akibat- akibat dari masalah kesehatan yang ditemukan..Dukungan sosial juga berfungsi sebagai strategi pencegahan guna mengurangi stress dan akibat negatifnya (Roth,1996, dalam Friedman 2010).

f. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Purnawan (2008) dalam Sutini. (2018) adalah sebagai berikut :

1) Faktor Internal

a) Tahap Perkembangan

(46)

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentan usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b) Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu.

Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor- faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.

c) Faktor Emosional

Faktor emosional mempengaruhi keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang yang mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlibat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional

(47)

yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit mungkin bisa terjadi.

d) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

2) Faktor Eksternal a) Praktek di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien kemungkinan juga ikut dalam pencegahan jika keluarga melakukan hal yang sama.

b) Sosio-ekonomi

Faktor sosio dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.

Variabel psikososial mencakup stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja. Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok

(48)

sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.

Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

c) Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

g. Pengukuran Dukungan Keluarga

Menurut Schwarszer and Leppin (2014) dalam Ningtyas (2017) dukungan sosial dapat dilihat sebagai fakta sosial dan dukungan yang sebenarnya terjadi atau diberikan oleh orang lain kepada individu (perceived support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada persepsi terhadap dukungan yang diterima (received support).

Pengertian received social support adalah perilaku membantu yang muncul dan diberikan secara alamiah, sedangkan perceived social support diartikan sebagai keyakinan bahwa perilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan.

Secara singkat dapat diartikan bahwa received support adalah perilaku membantu yang benar-benar terjadi dan perceived

(49)

support adalah perilaku membantu yang mungkin akan terjadi (Baron dan Byrne, 2012).

Menurut Serason dalam Ningtyas, (2017) pengukuran dukungan keluarga dengan perceived social support dibuat untuk menilai aksi supportif yang signifikan yang diberikan kepada penerima oleh jaringan sosialnya, sedangkan pengukuran terhadap perceived social support dilakukan untuk menilai persepsi penerima mengenai keberadaan dukungan yang diberikan dan didapat.

h. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian dalam Activity Daily Living pada Pasien Pasca Stroke

Kejadian stroke dapat menimbulkan kelemahan dalam kehidupan sehari- hari. Salah satunya adalah ketidakmampuan perawatan diri akibat kelemahan ekstremitas dan penurunan fungsi mobilitas yang dapat menghambat pemenuhan activity daily living (ADL). ADL dapat dilakukan dengan nyaman dimasa pemulihan. Dimasa ini pasien stroke akan menjalankan rehabilitasi latihan fisik dan fungsinya (Mulyatsih & Ahmad, 2015).

Keluarga merupakan support system yang utama pemberi pelayanan pada setiap keadaan kepada anggota keluarganya (Friedman et.al, 2010). Pada saat di rumah, keluarga berperan dalam pengembalian kemandirian, misalnya dengan melakukan

(50)

perawatan secara praktis dan latihan guna membiasakan hidup secara mandiri (Karunia, 2016). Bagi pasien stroke, hal tersebut akan dapat dilaksanakan manakala adanya bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, dan pemberi pelayanan perawatan kesehatan, maka sebagian besar masalah mental dan emosional dapat dicegah (Manurung, 2017).

Adanya dukungan yang baik dari keluarga membuat seseorang menjadi termotivasi untuk lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan dapat mengurangi tingkat ketergantungan pasien. Peran dan dukungan keluarga dalam merawat pasien stroke yang baik akan menumbuhkan kepercayaan diri pasien (Widiyawati, 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningtyas (2017) didapatkan hasil bahwa dukungan keluarga yang baik mengalami kemandirian dalam aktifitas sehari-hari sebesar 48,5%, ketergantungan sedang 40% dan ketergantungan ringan 11,5%.

Menurut Karunia (2016) menyebutkan bahwa dukungan keluarga yang selalu memberikan motivasi, penghargaan dan informasi dapat meningkatkan semangat untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan menurur Widiyawati (2017) kemandirian akan lebih cepat timbul apabila anggota keluarga memberikan dukungan yang tinggi untuk melakukan rehabilitasi.

(51)

Semakin cepat untuk latihan maka akan semakin cepat pula penyesuaian terhadap kemandirian.

Hal tersebut di atas dibuktikan pula oleh penelitian Sit,et.al (2004) dalam Ningtiyas (2017) tentang dampak social support pada kesehatan pasien stroke di rumah oleh family care giver didapatkan bahwa family care giver yang baik pada pasien pasca stroke dapat meningkatkan kemampuan aktifitas hidup sehari-hari (Activity of Daily Living), secara mandiri dan menjadi lebih baik dengan dukungan dan social support dari keluarga yang akan meningkatkan status kesehatan psikologis pasien pasca stroke (Ningtiyas, 2017)

(52)

B. Kerangka Teori

Keterangan : diteliti tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Teori Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kemandirian Activity Daily Living (ADL) pada Pasien Pasca Stroke. Sumber : Friedman 2010, Hardywinoto 2007,Purnawan

2008, Suparyanto 2012.

Stroke

Gangguan fungsi otak yang dapat menyebabkan kecacatan

Gangguan Mobilitas & ADL

Tingkat Kemandirian dalam ADL

Barthel Indeks Faktor yang

mempengaruhi ADL:

1. Umur & status perkembangan 2. Kesehatan biologis 3. Fungsi kognitif 4. Fungsi psikososial 5. Tingkat stress 6. Ritme biologis 7. Status mental 8. Pelayanan

kesehatan

Dukungan Keluarga 1. Dukungan

Emosional

2. Dukungan Informasi 3. Dukungan

Instrumental 4. Dukungan

Penghargaan

Faktor Eksternal : 1. Praktek di

keluarga 2. Faktor sosial

ekonomi 3. Latar

belakang budaya Faktor yang

mempengaruhi dukungan : Faktor Internal:

1. Tahap

perkembangan 2. Pendidikan &

pengetahuan 3. Faktor emosi 4. Faktor spiritual

1. Mandiri 2. Ketergantun

gan Ringan 3. Ketergantun gan Sedang 4. Ketergantun

gan Berat 5. Ketergantun

gan Total

(53)

C. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Dari konsep penelitian di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian dalam activity daily living (ADL) pada pasien pasca stroke di Poliklinik Saraf RSUI Kustati Surakarta

Dukungan Keluarga

Tingkat Kemandirian dalam Activity Daily Living (ADL) pada Pasien Pasca Stroke

Gambar

Tabel  2.  Penilaian Barthel Indeks
Gambar 2.1. Kerangka Teori Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat  Kemandirian Activity Daily Living (ADL) pada Pasien Pasca  Stroke

Referensi

Dokumen terkait

Setiap partikel bebas qi bergerak di bawah pengaruh dua macam gaya, yaitu gaya Coulomb (Fc) yang menyebabkan adanya interaksi antar partikel, dan gaya Lorentz (Fl)

Dari ilmu termodinamika, energi bisa berpindah dengan adanya interaksi antara system dengan lingkungan. Interaksi ini disebut kerja dan panas.. untuk menyelesaikan

(2011: 126) menyatakan bahwa indikator budaya organisasi dapat dianalisa berdasarkan 2 faktor yaitu budaya organisasi yang berkaitan dengan pemimpin dalam suatu organisasi dan

berhubungan denganmudah tidaknya seorang mengalami stres. b) Faktor dari luar individu adalah lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja,

Lingkungan sistem, adalah sesuatu yang berada selain yang berada didalam sistem, yang berarti lingkungan sistem ini sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup

Pada penelitian Faisal Anand dan Meftahudin di tahun 2020 yang berjudul “pengaruh lingkungan keluarga, pendidikan kewirausahaan, efikasi diri dan motivasi terhadap

Pembebanan atau gaya – gaya yang bekerja pada perletakan adalah beban mati bangunan atas, beban hidup. bangunan atas, beban hidup garis, gaya rem dan

1) Faktor genetik : keturunan memegang peranan penting terhadap kemungkinan seseorang menderita akne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa akne terdapat pada