11
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Untuk mendukung penelitian ini, penulis merujuk kepada beberapa penelitian terdahulu yang sekiranya relevan dengan penelitian terdahulu ini dapat dijadikan acuan serta mencari gap penelitian. Penelitian pertama yang dirujuk di sini adalah riset yang disusun oleh Hye-Jin Paek dan Zhongdang Pan di Universitsy of Wisconsin, Madison tepatnya pada 2014 dengan judul Spreading Global Consumerism: Effects of Mass Media and Advertising on Consumerist Values in China. Risetnya berupaya menjelaskan bahwa konten yang dibentuk oleh media massa dan iklan memainkan peran penting dalam membentuk perilaku konsumerisme di China (Tiongkok).
Paek dan Pan (2004) meneliti seberapa tinggi kenaikan konsumerisme ketika China yang secara pesat berkembang menjadi pasar konsumen terbesar di dunia dengan menunjukkan bahwa pesan media terkait konsumsi memainkan peran untuk membentuk perilaku konsumen di China (Paek & Pan, 2004, p. 492).
Riset tersebut memaparkan bahwa China perlahan berubah menjadi masyarakat konsumen dimulai pada saat 1978 China mengadopsi ekonomi liberal dengan mengangkat banyak pengusaha swasta dan menarik investasi asing sehingga seiring berjalannya waktu akhirnya China memperoleh banyak produksi barang yang sekaligus membuat perubahan gaya hidup masyarakatnya (Paek & Pan, 2004, p. 493). Hal tersebut juga menjadi landasan mengapa Hye-Jin Paek dan
12 Zhongdang ingin menganalisis seberapa tinggi tingkat konsumerisme penduduk China yang diakibatkan oleh iklan serta konten di media massa.
Lebih lanjut, salah satu konsep digunakan dalam riset milik Paek dan Pan (2004) tersebut adalah media massa dan nilai konsumsi. Menurut mereka hal yang penting ketika membicarakan efek media adalah bagaimana reperesentasi media massa dapat memengaruhi khalayak di mana media massa memiliki peran dalam pembentukan sikap di dalam masyarakat serta dapat dijadikan acuan sebuah standar serta perbandingan di dalam kehidupan sosial (Paek & Pan, 2004, p. 495).
Riset mereka mengasumsikan bahwa iklan dan konten media massa selain untuk menyampaikan sebuah informasi produk, juga memiliki nilai untuk mempromosikan barangnya. Selain itu mereka menjelaskan bahwa ada asumsi jika iklan dan konten lain di China mendukung masyarakat untuk bersikap materialistis.
Riset Paek dan Pan (2004, p. 498) memiliki pertanyaan penelitian berupa bagaimana sikap khalayak terhadap paparan iklan di konten media massa dengan nilai-nilai konsumerisme? Dari segi metode penelitian, mereka melakukan analisis data sekunder yang merupakan bagian dari survei dengan skala Likert dari tiga kota besar di China yaitu Beijing, Shanghai, dan Guangzhou. Ketiga kota tersebut dianggap sesuai dengan demografi ekonomi dan politik yang dicari oleh tim periset tersebut dan kuesioner diberikan dalam bentuk wawancara secara langsung. Total dari sampel yang dikumpulkan sebanyak perempuan 51,6 persen dan laki-laki 48,4 persen.
Temuan dari riset Paek dan Pan (2004) menggambarkan bahwa pendidikan dan pendapatan memiliki peran bagi seseorang untuk menjadi
13 konsumerisme sedangkan konten di media massa juga mengambil peran yang untuk memengaruhi khalayak menjadi konsumerisme. Lebih lanjut, hasil riset mereka juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari audience di ketiga kota tersebut terkait dengan dengan cara penerimaan (acceptance) iklan atau konten di media massa (Paek & Pan, 2004, p. 501).
Sayangnya, riset Paek dan Pan (2004) tidak fokus membahas tentang konten jurnalistik serta sejauh mana konsumsi konten non-iklan dapat memberikan pengaruh dalam nilai konsumerisme di masyarakat. Maka dari itu, penelitian ini akan berupaya untuk memberikan penggambaran yang lebih fokus, yaitu konsumsi konten lifestyle journalism dan pengaruhnya terhadap consumerist values di suatu negara atau daerah khususnya dalam hal ini di DKI Jakarta.
Sehingga dari penelitian ini akan menemukan gambaran yang jelas bahwa consumerist values tidak hanya dipengaruhi oleh konten iklan melainkan dapat pula dipengaruhi oleh konten di luar iklan seperti berita yang seharusnya dibentuk bukan dengan tujuan komersial.
Penelitian kedua yang dirujuk dalam penelitian kali ini adalah riset yang disusun oleh Heejo Keum, Narayan Devanathan, Sameer Deshpande, Michelle R.
Nelson, dan Dhavan V. Shah di 2004 dengan judul The Citizen-Consumer: Media Effect at the Intersection of Consumer and Civic Culture. Keum et al (2004) mengambil latar belakang penelitian mereka dari sebuah survei sepintas yang mengatakan bahwa media saat ini telah berubah menjadi suatu yang komersial.
Menurut mereka berita kerap menampilkan informasi seputar layanan, produk baru, bahkan program hiburan yang tidak disengaja menimbulkan orientasi kepada nilai-nilai material. Mereka juga beranggapan bahwa pemberitaan media
14 sering mengupas hal-hal tentang produk dan layanan kepada khalayak sehingga konten seperti ini akhirnya mengubah media menjadi nilai material.
Tujuan utama dari penelitian Keum et al (2004) tersebut antara lain:
pertama, untuk mencari tahu efek media terhadap partisipasi masyarakat; kedua, menguji pengaruh yang ditimbulkan media terhadap khalayak dalam kegiatan konsumsi; dan ketiga, mencari tahu hubungan antara sikap konsumen dan partisipasi masyarakat. Selain itu risetnya berupaya untuk mencari tahu pengaruh antara media televisi dan media berita terutama pemberitaan hiburan dengan menggunakan konsep utama consumer culture and civic participation. Dengan metode survei 3.122 responden dewasa.
Hasil penelitian Keum et al (2004) menemukan bahwa berita lebih memberikan efek yang kuat dan langsung kepada khalayak ketimbang media televisi. Hal ini menunjukkan pengaruh berita juga dapat menimbulkan perubahan perilaku audience. Lebih rinci lagi, menurut mereka media menimbulkan sikap komersial dan memotivasi khalayak untuk menjadi konsumtif dan secara positif media dapat membuat khalayak menjadi konsumtif.
Relevansi antara penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian Keum et al (2004) ini adalah sama-sama membahas tentang efek dari media walaupun mereka lebih fokus pada media televisi dan media berita atau tertulis. Sedangkan dalam riset kali ini, penulis akan memfokuskan kepada relasi nilai-nilai konsumerisme dan konten lifestyle journalism di media daring di Indonesia.
Harapannya adalah penelitian ini nantinya dapat menambah temuan dari riset Keum et al (2004) dengan memperbarui data dari konteks yang lebih spesifik tadi.
Selain itu jika dalam riset mereka yang menjadi populasi dan sampe adalah
15 audience dewasa, dalam penelitian kali ini penulis mengambil populasi mahasiswa sebagai kelompok terbesar sebagai khalayak media daring di Indonesia.
Sementara itu, riset terdahulu ketiga yang dirujuk di sini adalah penelitian yang dilakukan oleh Chikezie E Uzuegbunam di 2017 berjudul Between Media Celebrities and The Youth: Exploring The Impact of Emerging Celebrity Culture on The Lifestyle of Young Nigerians. Uzuegbunam (2017, p. 131) mengambil latar belakang yang berbeda yaitu lebih fokus terhadap pembahasan berita gaya hidup selebriti di media massa. Latar belakang risetnya adalah dengan berkembangnya budaya populer di masyarakat, pemberitaan gaya hidup selebriti mengambil peran yang semakin besar dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, perkembangan zaman menjadikan selebriti sebagai tolak ukur kehidupan masyarakat, di mana mereka mengambil peran sebagai influencer yang dapat mengendalikan khalayak dan media memiliki potensi untuk menetapkan apa yang ingin dipublikasikan kepada masyarakat. Ia juga berpendapat mereka yang bekerja di balik media tidak memberi tahu kepada khalayak apa yang harus dipikirkan setelah membaca berita tersebut sehingga khalayak dapat menentukan sendiri apa yang ingin diambil dari pemberitaan di media. Sehingga menurutnya khalayak adalah pihak yang harus berperan aktif dalam menentukan tema berita yang ingin dikonsumsi karena media tidak memutuskan apa yang harus khalayak lakukan setelah mengonsumsi berita.
Riset Uzuegbunam (2017) mengambil subjek mahasiswa strata satu (undergraduate student) di mana ia berpendapat bahwa generasi muda adalah generasi yang paling banyak dan paling sering dipengaruhi oleh dunia luar. Selain
16 itu generasi muda dianggap mengalami fase di mana di dalamnya terdapat periode ketidakpastian, pencarian jati diri, dan umumnya generasi muda memiliki sifat cair atau mudah berubah setiap saat (Hall, Coffey, & Williamson, 1999, pp. 501- 513).
Riset Uzuegbunam (2017) ini memiliki empat pertanyaan penelitian yaitu:
(a) Apakah generasi muda terpapar oleh konten yang mengagungkan gaya hidup selebriti? (b) Apakah gaya hidup selebriti yang digambarkan media berdampak pada sikap generasi muda? (c) Apa sifat dari dampak ini? dan (d) Apakah terdapat pengaruh antara gaya hidup selebriti luar dengan selebriti lokal?
Riset terdahulu ketiga ini memiliki relevansi berupa meneliti tentang dampak kehadiran berita gaya hidup di lingkungan masyarakat, selain itu metode penelitian yang dilakukan juga memiliki kesamaan yaitu survei berdasarkan sampel mahasiswa undergraduate student. Relevansi lainnya terletak pada adanya kemiripan dengan topik yang diangkat yaitu ingin mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya pemberitaan gaya hidup terhadap generasi muda, hanya saja ada sedikit perbedaan yaitu penelitian ini lebih berfokus kepada konsumsi konten lifestyle journalism.
Penelitian terakhir yang dirujuk di sini yaitu riset karya Jennifer Lewallen, Brandon Miller, dan Elizabeth Behm-Morawitz pada 2015 dengan judul Lifestyle of the Rich and Famous: Celebrity Media Diet and the Cultivation of Emerging Adult’s Materialism. Riset tersebut menunjukan bahwa pemberitaan tentang gaya hidup selebriti di media secara positif memiliki kaitan dengan tingkat materialisme dan, generasi dewasa muda adalah yang paling sering mengonsumsi
17 berita tersebut dibanding generasi lain (Lewallen, Miller, & Behm-Mowaritz, 2015, pp. 14-15).
Secara keseluruhan riset Lewallen et al (2015) memiliki tujuan untuk meneliti sikap khalayak kategori dewasa muda terhadap materialisme dan pengaruh budaya pemberitaan selebriti di televisi serta mengambil contoh kasus tentang pemberitaan di televisi. Lebih lanjut lagi, Lewallen et al menemukan bahwa jumlah paparan seseorang terhadap media yang berbasis selebriti memengaruhi nilai materialisme. Menurut mereka, tetapi tingkat materialisme yang ditimbulkan tidak hanya dari satu jenis pemberitaan gaya hidup selebriti di media massa tetapi konsumsi dari keseluruhan pesan-pesan yang ada di dalam media tradisional seperti televisi. Dari temuan riset mereka, untuk mencapai tahap seseorang dikatakan materialisme tidak hanya berdasarkan dari konsumsi satu media, melainkan dari keseluruhan isi di dalam media.
Temuan dari riset ini selanjutnya mendorong penulis untuk mencari tahu dampak dari konsumsi media massa terutama berita gaya hidup terhadap consumerist values mahasiswa karena penelitian Lewallen et al (2015) tersebut sudah menemukan adanya pengaruh dari pemberitaan gaya hidup berbasis selebriti.
18 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Judul Peneliti Tahun Tujuan Relevansi
1.
Spreading Global
Consumerism:
Effects of Mass Media and
Advertising on Consumerist Values in China
Hye-Jin Paek dan Zhongdang Pan
2004
Meneliti seberapa tinggi
konsumerisme di China yang dibentuk oleh media massa dan iklan
Sama-sama meneliti tentang consumerist values yang dibentuk oleh media massa
2.
The Citizen- Consumer:
Media Effect at the
Intersection of Consumer and Civic Culture
Heejo Keum, Narayan Devanathan, dan teman- teman
2004
Menguji pengaruh yang
ditimbulkan media terhadap khalayak dalam kegiatan konsumsi
Sama-sama mencari tahu tentang efek yang
ditimbulkan media terhadap khalayak
3.
Between Media Celebrities and The Youth:
Exploring The Impact of Emerging Celebrity Culture on The Lifestyle of Young Nigerians
Chikezie E
Uzuegbunam 2017
Untuk mencari tahu apakah adanya pengaruh pemberitaan gaya hidup selebriti di media pada sikap generasi muda
Sama-sama mencari tahu pengaruh dari pemberitaan gaya hidup di media
terhadap perubahan sikap konsumsi.
19 4.
Lifestyle of the Rich and Famous:
Celebrity Media Diet and the Cultivation of Emerging Adult’s Materialism
Jennifer Lewallen,
Brandon Miller, dan
Elizabeth Behm- Morawitz
2015
Penelitian ini meneliti pada sikap dewasa muda
terhadap materialisme dan pengaruh budaya pemberitaan selebriti di televisi.
Sama-sama mencari tahu dampak yang ditimbulkan setelah mengonsumsi berita gaya hidup terhadap tingkat materialisme.
Sumber: Diolah Penulis
2.2 Landasan Teori dan Konsep
2.2.1 Media Effects TheoryMenurut Potter, (2012, pp. 35-36) efek media adalah ketika seseorang merasakan pengaruh yang ditimbulkan setelah mengonsumsi media baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek dan efek media memberikan penggambaran bahwa cepat atau lambat, media massa akan mengambil peran untuk mengubah perilaku khalayak. Potter (2012, pp. 35- 36) menjelaskan efek media sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu waktu (jangka panjang atau jangka pendek), durasi (sementara atau selamanya), valensi (negatif atau positif), perubahan (ada perbedaan atau tidak ada perbedaan), intensi (niat atau tidak niat), level (mikro atau makro), metode penerimaan (langsung atau tidak langsung), manifestasi atau perwujudan (diamati atau tidak terlihat). Ketujuh faktor tersebut yang menentukan apakah efek media benar-benar dapat dirasakan oleh khalayak
20 karena etika faktor tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa media tidak menimbulkan efek.
Maka media effects adalah suatu proses pembentukan efek oleh media yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dan secara makro maupun mikro (Potter, 2012, p. 47). Penegasan dari penerimaan efek media secara makro dan mikro dijelaskan juga oleh Sparks (2014, p. 72-73) berupa empat tipe dari media effects yaitu:
a. Micro Level or Macro Level Effects ini menjelaskan bahwa efek yang diterima memiliki tingkatan seperti apakah tingkat pengaruhnya berada di level mikro atau makro. Menurut Sparks (2014) biasanya pada poin ini digunakan untuk memantau bagaimana pesan media memengaruhi fisiologi khalayak.
Sehingga poin ini menentukan seberapa banyak atau seberapa tinggi penerimaan efek dari media terhadap khalayak.
b. Content Specific or Diffuse General Effects poin ini menjelaskan pola perilaku khalayak dapat terbentuk dengan cara yang berbeda. Misalnya khalayak yang menonton tayangan kekerasan akan memiliki pengaruh yang berbeda dengan khalayak yang menonton konten alam. Sehingga poin ini lebih menjelaskan tentang pengaruh yang lebih spesifik terhadap khalayak.
c. Attitudinal versus Behavioral versus Cognitive Changes menjelaskan bahwa penggambaran tentang media efek sama seperti penggambaran perubahan perilaku sehingga paparan media memiliki hubungan erat dengan perubahan pola perilaku.
21 Namun menurut para ahli paparan media tidak selalu menimbulkan perubahan sikap.
d. Alteration versus Stabilization menjelaskan bahwa paparan konten di media dapat menimbulkan perubahan dalam beropini dan pengambilan keputusan. Tetapi tidak menutup kemungkinan perubahan perilaku yang ditimbulkan oleh media dapat dianggap sebagai efek karena banyak dari khalayak tidak sadar bahwa perilakunya telah dipengaruhi oleh media.
Menurut Potter (2012) efek media selain dapat muncul sebagai perubahan perilaku, dapat juga muncul dengan cara memperkuat pola perilaku yang sudah terbentuk sehingga terdapat kemungkinan perilaku tersebut tidak akan terlihat sebagai perubahan karena polanya telah terbentuk sebelum individu mengonsumsi media. Potter, (2012, p. 38) menjelaskan media memiliki peran untuk menentukan pengaruh apa yang ingin disampaikan kepada khalayak secara individu maupun kelompok masyarakat dan menjelaskan terdapat dua kemungkinan efek yang muncul pada khalayak yaitu efek baru atau efek lama yang hanya memperkuat perilaku sebelumnya sehingga perubahan perilaku tersebut akan semakin kuat ketika terkena efek dari media.
Potter, (2012, pp. 42, 47) menjelaskan bahwa terdapat enam jenis efek media yaitu:
a. Cognitive effect (efek kognitif) yaitu ketika terpaan media memiliki pengaruh dalam proses pembentukan pola perilaku khalayak. Pembentukkan pola perilaku dapat terjadi ketika
22 khalayak menyimpan pesan atau informasi yang dibaca di dalam benak mereka. Sebaliknya jika khalayak tidak menyimpan pesan tersebut di dalam benaknya, maka tidak akan terjadi perubahan perilaku.
b. Belief effect (efek kepercayaan) adalah terpaan berita memberikan pengaruh pada pola pikir khalayak tentang suatu pemberitaan.
c. Attitudinal effect (efek sikap) yaitu media membentuk konten pemberitaan dengan harapan apa yang dibaca khalayak dapat menimbulkan perilaku tertentu. Biasanya sikap ini kemudian muncul sebagai tolak ukur terhadap diri sendiri dan membandingkan diri dengan apa yang dibacanya di dalam media.
d. Affective effect (efek afektif) yaitu paparan media memberikan perasaan emosional atau suasana hati individu.
e. Physiological effect (efek fisiologis) yaitu pengaruh terpaan media yang muncul dalam bentuk respon tubuh atau respon fisik f. Behavioral effect (efek perilaku) yaitu efek media dapat membuat khalayak untuk bertindak dan memengaruhi orang di sekitarnya untuk melakukan hal yang sama.
2.2.2 Media Consumption
Taneja, Webster, dan Malthouse (2012, p. 952) menjelaskan bahwa media memiliki dua perspektif yang pertama, struktur media seperti bagaimana media membentuk jadwal tayangan hingga khalayak dapat
23 mengonsumsi sebuah konten media. Kedua, faktor psikologis seperti apa yang dibutuhkan khalayak sehingga khalayak memiliki kebebasan untuk memilih konten media seperti apa yang ingin dikonsumsi. Menurut Taneja et al. (2012) seseorang dikatakan mengonsumsi media bergantung kepada medianya sendiri yang menentukan jadwal dan kondisi psikologis atau kebutuhan akan informasi yang diinginkan oleh konsumen media sehingga khalayak memiliki prefensi untuk menentukan pilihan media. Tetapi seiring berkembangnya zaman, konsumsi media menjadi berubah dan media cetak mulai bergeser menjadi media online atau sejenisnya. Kehadiran media baru menggeserkan posisi media tradisional atau media cetak maka kehadiran media tradisional sudah tidak lagi cocok dengan masa kini (Hall, 2001, p.
2). Menurutnya pergeseran media secara otomatis membuat konsumsi media turut berubah salah satu pemicunya adalah faktor internet.
Menurut Taneja et al (2012, p. 953) internet yang bertumbuh dan menyalurkan ke berbagai perangkat seperti smartphone, komputer, tablet, dan lain-lain membuat pemilihan dalam konsumsi media semakin beragam kemudahan ini memberikan khalayak yang sebagai pengguna mempunyai kebebasan untuk menentukan dan menyusun pola konsumsi yang diinginkan. Dengan kemudahan internet dan kemudahan akses media, khalayak memiliki kebebasan dalam memilih apa yang ingin dikonsumsi maka dari itu, khalayak juga yang menentukan pola seperti apa yang ingin dibentuk dari sebuah konsumsi berita.
Penulis mengambil data dari hasil survei yang dirangkum oleh salah IDN Times, menemukan bahwa pola konsumsi media di Indonesia sendiri
24 lebih didominasi oleh media televisi lalu kedua terbanyak adalah media online yang didominasi oleh millennial, lebih lanjut sebanyak 97 persen millennial menyaksikan tayangan televisi kurang lebih satu kali dalam sebulan kemudian 55 persen dari millennial mengonsumsi media online sebagai pemenuhan akan kebutuhan informasi (Wicaksono, 2019).
Walaupun internet menjadi salah satu kemudahan seseorang mengonsumsi media, Taneja et al (2012, p. 953) berasumsi waktu yang dimiliki seseorang untuk mengonsumsi media tetap terbatas sehingga dari hasil penelitian yang dilakukannya, menemukan bahwa pengguna media tidak membagikan waktu mereka untuk mengonsumsi semua konten media yang tersedia, melainkan khalayak hanya mengonsumsi sebagian kecil dari konten yang ada. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Silvia Knobloch- Westerwick (2015, p. 16) yang mengatakan bahwa konsumsi media oleh khalayak ditentukan dari jumlah waktu yang digunakan untuk mengakses berita, jenis berita yang dibaca, dan kedekatan berita tersebut dengan kehidupan pribadi khalayak. Sehingga menurut mereka khalayak tidak selalu membaca semua berita yang disediakan oleh media.
Kemudian pengaruh atau terpaan media dapat dihitung dari berapa banyak media atau berita yang dikonsumsi melalui media dan dimensi dari pengaruh yang ditimbulkan dari konsumsi konten media tersebut dapat meliputi frekuensi, atensi, dan durasi masing-masing pengguna media pada setiap jenis medianya (Flander, Cosic, & Profaca, 2009, pp. 849-856).
Dimensi dari frekuensi, atensi atau minat, dan durasi tersebut yang memengaruhi seseorang dapat terpapar atau terpengaruh oleh media yang
25 dikonsumsi. Ketiga dimensi tersebut diperjelas oleh Puspasari dan Prayoga (2019, p. 4) frekuensi sendiri meliputi seberapa sering seseorang mengakses atau mengonsumsi media, dapat berupa harian, mingguan, bulanan, serta tahunan. Dalam penelitian ini Lalu durasi diperhitungkan berdasarkan lama durasi seseorang membaca berita di media atau seberapa lama seseorang menggunakan media, dan yang terakhir, atensi menunjukkan seberapa tertarik seseorang mengakses media terutama berita gaya hidup dan perhatian seseorang terhadap berita yang ingin dibaca.
2.2.3 Jurnalisme Gaya Hidup
Menurut Thomas Hanitzsch dan Folker Hanusch, jurnalisme gaya hidup sebagai karya jurnalistik bermula dari praktik ekspresif untuk menandakan dan menciptakan sebuah identitas tertentu. Identitas tersebut dalam bentuk konsumsi dalam kehidupan sehari-hari (Hanitzsch &
Hanusch, 2013). Menurut mereka jurnalisme gaya hidup adalah sebuah praktik jurnalistik yang membentuk sebuah identitas dalam konsumsi di masyarakat.
Reporter gaya hidup biasanya menyebut khalayak mereka dengan sebutan konsumen karena praktisi media menawarkan saran melalui konten pemberitaan, dengan begitu mereka menawarkan khalayak sebuah konten pemberitaan gaya hidup (Hanitzsch & Hanusch, 2013). Wartawan gaya hidup berfungsi untuk menyampaikan informasi seputar gaya hidup dalam bentuk berita, maka khalayak yang dianggap sebagai konsumen tersebut diharapkan dapat mengikuti atau menjalani gaya hidup
26 kesehariannya seperti yang ada di dalam pemberitaan gaya hidup. Di mana, di dalam berita gaya hidup terdapat tips, saran, tren terbaru, informasi jenis produk, serta informasi seputar jasa (Hanitzsch &
Hanusch, 2013) sehingga dari pemberitaan tersebut khalayak secara tidak langsung dapat terpengaruh oleh konten gaya hidup dan dari situlah identitas khalayak terbentuk.
Dewasa ini, para jurnalis mulai melakukan perubahan pada konten media yang disebut dengan pelunakan dari berita keras atau hard news hal tersebut didorong dari keinginan konsumen akan berita informasi yang berbasis hiburan (Fürsich, 2012, p. 13). Ia mengatakan jurnalis melakukan perubahan tentang konsep pemberitaan berita keras menjadi berita yang lunak atau soft news karena didasarkan dengan keinginan pasar sehingga munculnya jurnalisme gaya hidup didasari dengan jumlah peminat akan berita ringan.
Menurut Marwan, Molasiarani, dan Mizan (2015, p. 7), maraknya jurnalisme gaya hidup karena berangkat dari kejenuhan khalayak akan berita keras seperti berita politik atau bisnis dan akhirnya kejenuhan tersebut menimbulkan konten baru dalam jurnalisme yaitu jurnalisme gaya hidup. Kejenuhan terhadap berita keras tidak hanya menimbulkan jurnalisme gaya hidup, melainkan berbagai bentuk gaya pemberitaan yang lebih ringan juga semakin banyak. Seperti rubrik infotainment, yang cenderung membahas tentang kehidupan para artis. Jurnalisme gaya hidup dibedakan dalam jenis hiburan, traveling, makanan, musik, gaya berpakaian, hingga seni. Fürsich (2013), menggunakan istilah lain untuk
27 menyebut jurnalisme gaya hidup yaitu jurnalisme konsumen sebab khalayak diposisikan sebagai konsumen.
Ia juga menegaskan bahwa jurnalisme gaya hidup memiliki tiga dimensi yaitu:
a. Negosiasi sosial
Konten gaya hidup hadir tidak hanya untuk menginformasikan seputar produk atau peristiwa melainkan untuk dikritik dan menentukan selera kemudian selera ditentukan oleh kelas sosial, mobilitas sosial, dan identitas individu (Fursich, 2013, p. 12). Jurnalisme gaya hidup ditentukan oleh selera kemudian selera dapat terbentuk dengan adanya kelas atau kedudukan khalayak.
Hal tersebut diungkapkan juga oleh Stuart Hall, Keith Negus, Linda Janes, Hugh Mackay, Koed Anders Madsen (1997, p.
62) dengan munculnya kepentingan komersial, wartawan gaya hidup akhirnya berperan aktif dalam mempromosikan produk dan jasa melalui konten media dan memberikan judul sebagai “gaya hidup”. Wartawan gaya hidup membentuk suatu pemberitaan dengan mempromosikan produk tertentu dan penamaan berita tersebut masuk ke dalam penamaan gaya hidup.
b. Saran sebagai pemecah masalah
Seperti yang dijelaskan di atas, pemberitaan yang ditempatkan pada kanal gaya hidup biasanya memberitakan sebuah tips gaya hidup. Salah satu ciri kerja jurnalisme gaya hidup adalah
28 sebagai saran dan panduan langsung kepada pembaca tentang gaya hidup sehari-hari (Fursich, 2013, p. 13). Fursich (2013), beranggapan bahwa berita dalam bentuk saran cenderung hanya mendorong khalayak untuk self-help karena khalayak juga didominasi oleh orang-orang awam sehingga tidak semua khalayak dapat mengikuti tips yang diberikan dari konten gaya hidup sedangkan wartawan mengklaim konten gaya hidup dapat dijadikan sebagai pemecah masalah.
Jurnalisme gaya hidup yang berfokus pada saran atau tips, tidak secara keseluruhan berguna untuk semua khalayak. Bahkan yang dikhawatirkan menurutnya adalah tidak menutup kemungkinan pemberitaan tentang saran itu tidak benar-benar dapat membantu menyelesaikan masalah karena pada dasarnya semua orang adalah orang awam.
c. Konsumerisme dan ekonomi baru
Menurut Hanusch (2013, p. 14), konten gaya hidup memiliki banyak sudut pandang namun sisi kritisnya masih sangat minim dan biasanya tidak terlihat perbedaan antara sisi editorial dan sisi advertorial. Menurutnya pemberitaan di media harus menampilkan sisi kritis dari praktisi media, namun sisi kritis dari pemberitaan gaya hidup di media semakin pudar dan semakin condongnya pemberitaan berunsur advertorial.
Masalah keuangan di dalam perusahaan media turut mengambil peran ditambah dengan kemajuan teknologi dan
29 kemajuan ekonomi membuat semakin tergesernya makna jurnalistik tradisional sehingga jurnalisme gaya hidup memiliki kaitan erat dengan ekonomi baru dan akhirnya menciptakan masyarakat yang individualisme (Hanusch, 2013, p. 15). Masalah keuangan yang dimiliki oleh perusahaan media serta sistem ekonomi baru, menyebabkan timbulnya kegiatan jurnslisme gaya hidup yang sebenarnya lebih cenderung kepada pemasaran dan advertorial.
Berdasarkan pengamatan, konten jurnalisme gaya hidup dari sisi advertorial dan sisi non advertorial dapat terlihat perbedaan dari keduanya.
Gambar 2.1 Berita Gaya Hidup (sisi advertorial)
Sumber: Antaranews.com (Tiga barang fesyen paling diminati pembeli saat belanja “online”)
Pada gambar 2.1 di atas, berita tersebut menginformasikan bawah produk yang paling sering dicari pada salah satu e-commerce di Indonesia,
30 Shopee, adalah jaket, tas, dan sepatu. Kemudian di dalam berita tersebut menginformasikan bahwa Shopee, akan memberikan potongan harga tambahan bagi mereka yang melakukan transaksi pada kategori fashion.
Hal dapat terlihat dalam sisi advertorialnya. Sedangkan untuk sisi di luar advertorial akan terlihat pada gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Berita Gaya Hidup (non advertorial)
Sumber: Liputan6.com (Kiat Mengatasi Nyeri Punggung dan Pinggang Selama Bekerja di Rumah)
Jika dilihat pada gambar 2.2, tidak terlihat sisi advertorial dari pemberitaannya. Berita tersebut cenderung lebih menunjukkan tips atau cara untuk mengatasi nyeri fisik yang dialami ketika seseorang bekerja di rumah. Jika diamati, pemberitaan tersebut tidak memberikan unsur promosi dalam suatu produk barang dan jasa. Maka jika dibandingkan dengan kedua berita gaya hidup pada gambar 2.1 dan gambar 2.2, perbedaan pada sisi pemberitaan sudah dapat terlihat.
31 Tetapi menurut temuan dari Kristensen dan From (2011, p. 36) jurnalis gaya hidup tidak mengatakan bahwa bagaimana berita gaya hidup seharusnya diberitakan. Namun menurutnya, penting untuk membahas bagaimana seharusnya berita gaya hidup diberitakan yaitu harus sesuai dengan kebutuhan khalayak pada masanya. Sehingga jika berita gaya hidup yang diberitakan tidak sesuai dengan kebutuhan khalayak, maka dapat dianggap berita tersebut tidak layak untuk diberitakan. Lebih lanjut lagi, dari hasil penelitian Kristensen dan Form (2011, p. 37), jurnalis gaya hidup dan editor berita gaya hidup masih merasa topik yang diangkat dalam konten jurnalisme gaya hidup masih ambigu dan pandangan konten gaya hidup selalu berbeda dan berubah-ubah. Akhirnya para jurnalis gaya hidup dan editor sepakat bahwa jurnalisme tidak memiliki batas pada pemberitaannya (Kristensen & From, 2011, p. 37).
2.2.4 Consumerist Values
Konsumerisme atau konsumeris dikategorikan ke dalam sistem sosial yang cenderung menunjukan perilaku pemborosan dan akhirnya kegiatan konsumsi ini menggeserkan konotasi positif menjadi negatif karena tingkah laku pemborosan tersebut, kemudian muncul istilah konsumerisme (Armawi, 2007, p. 321). Menurut Kotler (2005, p. 202), keputusan seseorang dalam berperilaku konsumeris, ditentukan oleh berbagai faktor salah satunya faktor pribadi yang di dalamnya terdapat usia, pekerjaan, gaya hidup, kepribadian, dan keadaan ekonomi. Maka Kotler (2005) menegaskan tidak semua orang yang dipengaruhi oleh
32 berbagai efek, langsung dapat menimbulkan kecenderungan berperilaku konsumerisme. Dalam konsumerisme tidak hanya bersifat ekonomis tetapi konsumerisme juga didorong oleh psikologis dan sosiologis. Menurut Greenwald (dalam Armawi, 2007, p. 321) perilaku kosumerisme ini diawali dengan aspek pendidikan di sini pendidikan berfungsi untuk menjembatani antara produsen dan konsumen namun seiring berkembangnya zaman gerakan konsumen yang tidak terkendali menimbulkan efek pemborosan begitu sebaliknya dengan produksi yang tidak terkendali akan menimbulkan pemborosan.
Temuan Davis dan Wu (dalam Paek & Pan, 2014, p. 493), menunjukkan bahwa konsumsi adalah suatu bagian yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Ketika konsumsi menjadi bagian yang signifikan, maka akan membangkitkan sikap konsumerisme. Menurut Giddens (dalam Umanailo, 2018, p. 6) budaya konsumerisme masuk ke dalam respon terhadap gejala krisis identitas akibat pluralitasnya nilai dan pengetahuan yang terbentuk di dalam masyarakat post-tradisional. Budaya konsumerisme muncul ketika individu mengalami krisis identitas dan informasi yang terdapat di dalam masyarakat post-tradisional membentuk budaya konsumerisme tersebut. Terutama budaya konsumerisme muncul setelah masa industrilisasi ketika barang yang diproduksi secara terus menerus sehingga barang tersebut membutuhkan konsumen yang lebih banyak. Dalam hal ini media mengambil peran sebagai jembatan antara produsen dan calon konsumen (Umanailo, 2018, p. 6).
33 Temuan Wei dan Pan (dalam Paek & Pan, 2004, p. 496) risetnya mewakili dasar psikologis yang memengaruhi budaya konsumerisme yaitu preferensi produk, perbedaan individu, dan identitas diri. Sementara consumerist values diidentifikasikan sebagai dua dimensi yaitu quality consumption (konsumsi kualitas) dan innovative consumption (konsumsi inovatif), consumerist values dianggap sebagai “values” karena memiliki orientasi yang berbeda dalam memilih suatu produk dan cara keterlibatan calon konsumen dalam kegiatan tersebut (Paek & Pan, 2004, p. 499).
Menurut mereka kedua dimensi tersebut memiliki makna yang berbeda untuk konsumsi kualitas mengambil peran terhadap preferensi konsumen untuk kualitas produk yang tinggi dan berorientasi pada merek produk.
Jika dijabarkan konsumsi kualitas lebih mengacu kepada keputusan seseorang dalam melakukan pembelian yang didasarkan oleh kualitas suatu produk maksudnya jika produk yang diinginkan memiliki kualitas yang tinggi, maka seseorang tersebut akan membelinya. Paek dan Pan (2004) menjabarkan kualitas konsumsi memiliki empat item yaitu: (a) Menurut saya produk bermerek terkenal memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang tidak bermerek terkenal, (b) Saya rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih baik, (c) Saya lebih suka membeli produk bermerek terkenal walaupun harganya jauh lebih mahal, dan (e) Jika saya menginginkan sesuatu, saya akan membelinya walaupun harganya sedikit lebih mahal.
Sedangkan untuk konsumsi inovatif mengacu kepada orientasi konsumen terhadap pengambilan risiko dalam melakukan transaksi dan
34 jenis tren yang berlaku saat itu. Konsumsi inovatif lebih cenderung kepada keputusan pembelian seseorang terhadap jenis tren dan kebaruan suatu produk. Maksudnya jika produk yang diinginkan sedang hype atau tren, maka seseorang tersebut akan membelinya. Jika dijabarkan, konsumsi inovatif memiliki empat item yaitu: (a) Saya suka mencoba produk-produk baru dak merek yang juga baru, (b) Saya sering membeli produk yang memiliki gaya yang unik, (c) Saya biasanya membeli produk (atau layanan) terbaru lebih awal daripada orang lain, (d) Jika suatu produk sedang ramai dibicarakan (sedang hype atau trending), saya akan ikut membelinya. Maka perbedaan antara kualitas konsumsi dan konsumsi inovatif terletak pada keputusan seseorang dalam melakukan pembelian.
Jika konsumsi kualitas ditentukan oleh keputusan pembelian terhadap suatu produk, maka konsumsi inovatif ditentukan oleh kebaruan dan jenis tren suatu produk. Dimensi yang dibentuk oleh Paek dan Pan (2004) tersebut digunakan oleh penulis untuk mengukur consumerist values sebagai variabel Y dan nantinya variabel ini akan dihubungkan dengan variabel X yaitu konsumsi berita. Maka dari itu penulis mengambil consumerist values sebagai konsep utama.
2.3 Hipotesis Teoritis
Hipotesis teoritis adalah sebuah dugaan atau jawaban sementara yang dibuat oleh penulis terhadap rumusan masalah. Dugaan memiliki sifat sementara dan dapat berubah. Dugaan tersebut akan terjawab ketika jawaban-jawaban penelitian sudah dikumpulkan, kemudian diuji kebenarannya dengan data. Ketika
35 hasil penelitian sudah terjawab, maka hipotesis akan berubah menjadi sebuah kebenaran dan bukan lagi dugaan (Arikunto, 2006, p. 55).
Penelitian ini mengambil jenis hipotesis asosiasi. Hipotesis Asosiasi sendiri adalah hipotesis yang digunakan dengan tujuan untuk memberikan dugaan hubungan antara kedua variabel. Hubungan kedua variabel tersebut dapat berupa korelasional dan hubungan sebab akibat. Hipotesis asosiasi memiliki dua hipotesis yaitu H0 dan Ha (Kriyantono, 2006, p. 35). Maka dari itu, berikut hipotesis teoritis yang dapat digambarkan sementara:
H0: Tidak ada pengaruh konsumsi berita gaya hidup di media online terhadap consumerist values mahasiswa.
Ha: Adanya pengaruh konsumsi berita gaya hidup di media online terhadap
consumerist values mahasiswa.
Dari kedua variabel di atas, terdapat dua kemungkinan hasil penelitian ini yaitu apakah adanya pengaruh konsumsi berita terutama berita gaya hidup terhadap consumerist values mahasiswa, atau sebaliknya.
36
2.4 Alur Penelitian
Bagan 2.1 Alur Penelitian
Sumber: Diolah penulis
Melalui alur penelitian di atas, penulis ingin mencari tahu adakah hubungan pengaruh antara mengonsumsi berita gaya hidup di media online dengan consumerist values mahasiswa dan dapat dilihat dari Media Effect Theory.
Teori ini memberikan gambaran seperti enam jenis efek media dan empat tipe efek media. Pada enam jenis efek media terdapat sebut salah satunya yaitu behavioral effects atau efek perilaku yang menjelaskan bahwa efek dari media dapat menimbulkan seseorang untuk berperilaku atau melakukan suatu tindakan.
Jika dilihat pada bagan 2.1 konsumsi berita gaya hidup di media online (variabel X) dapat diukur dengan dimensi frekuensi, durasi, atensi yang
Media Effect Theory
Pengaruh konsumsi berita gaya hidup di
media online
Terhadap consumerist values mahasiswa
- Frekuensi - Durasi - Atensi
- Quality consumption - Innovative consumption
37 bersumber pada riset karya Flander, Cosic, dan Profaca (2009). Selanjutnya consumerist values dapat diukur dengan dimensi konsumsi kualitas dan konsumsi inovatif kedua dimensi ini bersumber pada riset karya Paek dan Pan (2004).