13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Napza
2.1.1. Pengertian Napza
Napza adalah kepanjangan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya yang merupakan sekelompok obat, yang berpengaruh pada kerja tubuh, terutama otak. Satu sisi narkoba merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan (Qomariyatus Sholihah, 2015).
Ermawati Dalami, S.Kp dkk (2014) Narkoba (narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya) yakni zat zat kimia jika dimasukan kedalam tubuh manusia (baik secara oral, dihirup maupun intravena, suntik) dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan dan prilaku seseorang. Narkoba yang popular dikalangan masyarakat terdiri dari 3 (tiga) golongan yakni, narkotika, psikotropika obat/zat berbahaya.
2.1.1.1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan kesadaran atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulakan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997) tentang Narkotika dan Zat Adiktif lainnya.
Jenis narkotika dibagi atas 3 golongan menurut Undang- Undang RI No. 35 tahun 2009, yaitu :
a. Narkotika golongan I
dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotika golongan II
adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III
adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.
Contoh : codein dan turunannya.
2.1.1.2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat adiktif yang dapat mempengaruhi psikis melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat otak menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, Di dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997 diuraikan bahwa psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkoba Narkoba yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh seleksi pada prilaku dan mental.
Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan menurut Undang- Undang RI No.5 tahun 1997, yaitu :
a. Golongan I
adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu – sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).
b. Golongan II
adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.
c. Golongan III
adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:
lumubal, fleenitrazepam.
d. Golongan IV
adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam.
2.1.1.3. Zat Adiktif
Adalah bahan bahan aktif atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologis yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi), yakni keinginan menggunakan kembali secara terus menerus. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, zat adiktif yang digunakan untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan antara lain:
a) Codein b) Etil Morfi
c) Dihidrokodein,dan d) Garam-garamnya.
Di dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, jenis obat yang memiliki zat adiktif antara Iain sebagai berikut :
a) Amfetami
b) Amobarbital,flunitrazetpa
c) Diapeham,bromazepan,fenobarbital d) Minuman beralkohol
e) Tembakau f) Halusinogen
g) Bahan pelarut (solvent, bensin, tener, cairait lem dan cat)
Penjelasan contoh zat adiktif antara lain seperti alkohol.
alkohoI (ethanol atau enthyl alcohol) dalam hal ini yang dimaksud adalah minuman beralkohol diatas 4%.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kelompok kerja penanggulangan bahaya narkoba Direktorat Pembinaan Kesiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (1999) diperoleh data-data seperti yang dijelaskan dibawah ini. Data pengunjung rumah sakit ketergantungan obat, jenis Narkoba yang paling banyak digunakan diindonesia sejak tahun 1969-1991 adalah jenis ganja (cannabits), bartiburat (luminal), alkohol dan morfin.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Napza atau narkoba adalah suatu obat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman ataupun berupa zat kimia, yang apabila digunakan dapat mempengaruhi tubuh terutama dapat mempengaruhi otak dan jika dikonsumsi secara berlebihan tanpa adanya resep dari pihak tertentu dapat menyebabkan ketergantungan sehingga dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan pada tubuh.
2.1.2 Faktor penyebab penyalahgunaan Napza
Menurut Harboenangin, dikutip dari yatim (dalam Nita Fitria, dkk 2013) ada beberapa faktor penyebab penyalahgunaan Napza adalah sebagai berikut :
2.1.2.1 Faktor internal
a. Faktor kepribadian
Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri rendah, perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi juga turut mempengaruhi.
b. Inteligensi
Hasil menunjukan bahwa intelegensi pecandu yang dating untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usia.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Beberapa alasan remaja menggunakan narkoba adalah kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, serta identitas dan kelabilan emosi.
d. Dorongan kenikmatan dan perasaan ingin tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama- kelamaan akan menjadi kebutuhan yang utama.
e. Pemecahan masalah.
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
2.1.2.2 Faktor eksternal a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba.
Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu :
1) keluarganya yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba;
2) keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu.
3) keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antarsaudara.
4) keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau
demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri, tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
6) keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor kelompok teman sebaya
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk memengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok tersebut.
c. Faktor kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu sesorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional menyebabkan obat-obatan ini mudah diproleh.
2.1.3 Tanda dan gejala dari penyalahgunaan Napza
Menurut Nita Fitria, dkk (2013) Pengaruh pada tubuh disebut intosikasi. Selain intosikasi, ada juga sindrom putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intosikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berebeda.
Tabel 2.1.3 Tanda dan Gejala Intosikasi
Tabel 2.1.3 Tanda dan Gejala Putus Zat
Opiat Ganja Sedatif- Hipnotik Alkohol Amfetamin
• Eforia
• Mengantuk
• Bicara cadel
• Konstipasi
• Penurunan kesadaran
• Eforia
• Mata merah
• Mulut kering
• Banyak
• Berbicara dan tertawa
• Nafsu makan meningkat
• Gangguan persepsi
• Pengendalian diri berkurang
• Jalan
sempoyongan
• Mengantuk
• Memperpanjang tidur
• Hilang kesadaran
• Mata Merah
• Bicara cadel
• Jalan
sempoyongan
• Perubahan persepsi
• Penurunan kemampuan menilai
• Selalu terdorong untuk bergerak
• Berkeringat
• Gemetar
• Cemas
• Depresi
• Paranoid
Opiat Ganja Sedatif- Hipnotik Alkohol Amfetamin
•Nyeri
• Mata dan hidung berair
•Perasaan Panas dingin
•Diare
• Gelisah
• Tidak bisa tidur
Jarang
ditemukan • Cemas
• Tangan gemetar
• Perubahan persepsi
• Gangguan daya ingat
• Tidak bisa tidur
• Cemas
• Depresi
• Mata merah
• Mudah marah
• Tangan gemetar
• Mual muntah
• Tidak bisa tidur
• Cemas
• Depresi
• Kelelahan
• Energi berkurang
• Kebutuhan tidur meningkat
2.1.4 Dampak Penyalahgunaan Napza
Menurut Martono (dalam Nita Fitria, dkk 2013) menjelaskan bahwa penyalahgunaan Napza mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (Pendidikan), masyarakat, bangsa, dan negara.
2.1.4.1 Bagi diri sendiri
Penyalahgunaan Napza dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), Overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernafasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan prilaku (mental social), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, serta masalah ekonomi dan hokum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat di bedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis yaitu:
a. Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi, dan amfetamin.
b. Downer yaitu merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba tersebut jadi tenang karena sifatnya yang menenangkan/ sedative seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas.
c. Halusinogen adalah Napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
2.1.4.2 Bagi keluarga
Penyalahgunaan Napza dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tenteram dalam keluarga terganggu. Hal ini terjadi karena orang tua akan merasa malu memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa putusa asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba, ataupun, ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga permasyarakatan.
2.1.4.3 Bagi pendidikan atau sekolah
Napza akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan Napza berhubungan dengan kejahatan dan prilaku asosial lainnya suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah, dan meningkatnya perkelahian.
2.1.4.4 Bagi masyarakat, bangsa, dan negara
Penyelahgunaan Napza mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga
terbentuk pasar gelap perdagangan Napza yang sangat sulit di putuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan sehingga kesimbangunan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat, serta sarana dan prasarana yang harus di sediakan untuk mengatasi masalah tersebut.
2.1.5 Rentang respon penyalahgunaan Napza
Menurut Yosep (dalam Nita Fitria, dkk 2013) ada 5 rentang respon penyalahgunaan Napza yaitu sebagai berikut:
2.1.5.1 Eksperimental
Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tau dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering di katakan taraf coba-coba.
2.1.5.2 Rekreasional
Pengguna zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan dalam mingguan atau acara ulang tahun. Pengguna ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
2.1.5.3 Situasional
Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi diri sendiri. Sering kali pengguna ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang di hadapi. Sebagai contoh : individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stress, dan frustasi.
2.1.5.4 Penyalahgunaan
Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku yang mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, Pendidikan, dan pekerjaan.
2.1.5.5 Ketergantungan
Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindrom putus zat (suatu kondisi di mana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai sehingga menimbulkan kumpulkan gejala sesuai dengan jenis zat yang digunakan. Sementara itu, toleransi adalah suatu kondisi dari
individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat) untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
2.2 Rehabilitasi Napza
2.2.1 Pengertian Rehabilitasi
Menurut Kemenkes (dalam dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), 2018) rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan Napza baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat. Rehabilitasi Napza juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap jangka pendek ataupun jangka panjang.
Menurut psychologymania (dalam dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), 2018) definisi lain mengatakan bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkoba.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa rehabilitasi Napza merupakan wadah pemulihan bagi pasien yang telah menggunakan Napza maupun yang telah ketergantungan, yang mana tempat pemulihan ini para pengguna Napza akan diubah perilakunya seperti layaknya
orang yang tidak menggunakan Napza sehingga mereka dapat beraktifitas seperti dahulu kala tanpa menggunakan Napza.
2.2.2 Tujuan Rehabilitasi
Menurut Kemenkes (dalam dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), 2018) tujuannya adalah untuk membantu klien mempertahankan kondisi bebas Napza (abstinensia) dan memulihkan fungsi fisik, psikologis dan sosial.
Menurut psychologymania (dalam dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), 2018) tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.
Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika.
Menurut BNN, 2018 ( dalam Dr. Luh Nyoman Alit Aryani SpKJ(K), 2018 ) rehabilitasi berkelanjutan seorang penyalahguna Napza diawali oleh tahapan rehabilitasi medis yang bertujuan memulihkan kesehatan fisik dan psikis / mental seorang pecandu narkoba melalui layanan kesehatan dan terapi medis / psikiatris. Tahapan selanjutnya yaitu rehabilitasi psikososial yang bertujuan mengintegrasikan
(menyatukan) kembali seorang pecandu narkoba ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku, dan beremosi sebagai komponen kepribadiannya agar mampu berinteraksi di lingkungan sosialnya.
2.2.3 Tahapan program rehabilitasi Napza
Menurut Lina Haryati (2011) Adapun tahap-tahap rehabilitasi pecandu Napza sebagai berikut :
2.2.3.1 Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi) Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringannya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan narkotika tersebut.
2.2.3.2 Tahap rehabilitasi nonmedis Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah dibangun tempat- tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program.
2.2.3.3 Tahap bina lanjut (after care) Tahap ini pecandu narkotika diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada dibawah pengawasan.
2.3 Konsep Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Wayan Candra dkk (2017) Motif dan motivasi merupakan dua kata yang sangat erat berhubungan, motif dalam bentuk masih pasif dan motivasi merupakan sesuatu yang telah aktif. Motif berasal dari bahasa latin, movere yang berarti bergerak atau to move. Suatu dorongan yang berasal dari dalam individu itulah yang disebut motif. Dorongan yang terdapat dalam diri manusia berkaitan erat dengan kebutuhan, namun terkadang dorongan bisa lepas dari adanya suatu kebutuhan tertentu. Energi pada prilaku manusia diperoleh dari adanya dorongan untuk mencapai kebutuhannya. Jadi motivasi adalah dorongan yang telah aktif, sehingga terjadi perubahan energi dalam diri manusia yang menggerakannya untuk mencapai tujuan atau kebutuhannya.
Winardi mengemukakan (2016) bahwa motivasi merupakan suatu kekuatan potensial yang ada di dalam diri seorang manusia, yang
dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau negatif.
2.3.2 Fungsi Motivasi
Menurut Djamarah dalam Suprihatin (2015) ada tiga fungsi motivasi, yakni:
2.3.2.1 Motivasi sebagai pendorong perilaku
Pada mulanya, tidak ada hasrat untuk melakukan sesuatu, tetapi karena ada sesuatu yang dicari, muncullah minatnya untuk melakukan suatu kegiatan tersebut. Sesuatu yang dicari itu ingin memuaskan rasa ingin tahunya dari sesuatu yang akan dilakukannya. Sesuatu yang belum diketahui itu akhirnya mendorong seseorang untuk berperilaku. Jadi, perilaku seorang didorong oleh adanya motif tertentu dalam aktivitas kehidupannya sebagai contoh seseorang yang ingin hidup tenang dan bahagia, maka ia didorong oleh motif agar berpikir positif, optimis, serta belajar menerima kenyataan.
2.3.2.2 Motivasi sebagai penggerak perilaku
Dorongan psikologis yang muncul merupakan suatu kekuatan yang tidak terbendung yang kemudian menjelma dalam bentuk gerakan titik-titik dalam keadaan demikian,
seseorang telah melakukan aktivitasnya dengan optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan titik akal pikiran berproses yang cenderung tunduk akan kehendak perilaku mencapai tujuan. Sikap berada dalam kepastian perilaku dan akal pikiran membedah dalam wacana prinsip, dalil dan hukum sehingga mengerti sepenuhnya isi yang terkandung di dalamnya.
2.3.2.3 Motivasi sebagai pengarah perilaku
Seseorang dapat menyeleksi atau mengarahkan suatu perilaku tertentu untuk mencapai tujuan. Perilaku yang tidak mendukung untuk mencapai tujuan itu akan disingkirkan, sebaliknya perilaku tertentu yang mendukung pencapaian tujuan yang diinginkan akan dilakukan dengan penuh semangat dan antusias. Motivasi sebagai pengarah perilaku akan terus berorientasi pada pencapaian tujuan. Konsentrasi ditunjukkan dan diarahkan pada suatu perilaku ke arah yang ingin dicapai. segala sesuatu yang mengganggu pikirannya dan yang dapat membuyarkan konsentrasinya diupayakan untuk disingkirkan. Itulah peranan motif yang dapat mengarahkan perilaku seseorang dalam beraktivitas untuk mencapai kebutuhannya.
2.3.3 Prinsip-prinsip Motivasi
Menurut Surya (2013) beberapa prinsip motivasi antara lain:
2.3.3.1 Prinsip Kompetisi
Yang dimaksud prinsip kompetisi adalah persaingan scara sehat baik intern maupun antar pribadi. Dengan persaingan secara sehat dapat ditimbulkan motivasi untuk bertindak secara lebih baik.
2.3.3.2 Prinsip Pemacu
Dorongan untuk melakukan tindakan akan terjadi apabila ada pemacu tertentu. Dalam hal ini motif individu ditimbulkan dan ditingkatkan melalui upaya secara teratur untuk mendorong selalu melakukan berbagai tindakan atau unjuk kerja yang sebaik mungkin.
2.3.3.3 Prinsip Ganjaran dan hukuman
Ganjaran yang diterima oleh seseorang dapat menjadikan pendorong bagi individu untuk melakukan tindakan yang menimbulkan ganjaran.
2.3.3.4 Kejelasan dan Kedekatan Tujuan
Makin jelas dan makin dekat suatu tujaun akan makin mendorong seseorang untuk melakukan tindakan.
2.3.3.5 Pemahaman hasil
Perasaan sukses yang ada pada diri seseorang akan mendorongnya.
2.3.3.6 Pengembangan minat
Dalam hal ini motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangakan minat sesorang dalam melakukan tindakannya.
2.3.4 Jenis - jenis motivasi
Individu dapat dikatakan mempunyai motivasi yang tinggi dapat dilihat dari kemampuannya serta usahanya guna mencapai suatu tujuan. Motivasi menjadi 2 jenis, yaitu :
2.3.4.1 Motivasi internal
Menurut Beach (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), menyatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu hal yang terjadi selama seseorang menikmati suatu aktivitas dan memperoleh kepuasan selama terlibat dalam aktivitas tersebut. Menurut Elliot (dalam Ghufron & Risnawita, 2010) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai sesuatu dorongan yang ada di dalam diri individu yang mana individu tersebut merasa senang dan gembira setelah melakukan serangkaian tugas.
2.3.4.2 Motivasi eksternal
Petri (dalam ghufron & Risnawita, 2010) motivasi ekstrinsik sendiri pada dasarnya merupakan tingkah laku yang digerakkan oleh kekuatan eksternal individu.
2.4 Motivasi Internal
Menurut Admin Yusron (2019) motivasi internal dimana motivasi ini dapat tumbuh dari dalam diri seseorang tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain untuk dapat melakukan sesuatu yang berguna untuk mencapai tujuan awal yang telah ditentukan sebelumnya.
Kemudian Emron Edison (dalam Acep Abdul Basit, 2017) menyebutkan bahwa timbulnya motivasi internal disebabkan karena adanya kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri seseorang, maka motivasi internal yang baik ditandai dengan adanya kekuatan yang akan mempengaruhi pikirannya, yang selanjutnya akan mengarahkan perilaku seseorang tersebut untuk bekerja dengan baik.
Menurut Eka Yuly Budi Prastiwi, dkk (2017) Motivasi yang timbul dari dalam diri remaja atau biasa disebut motivasi internal. Rasa takut akan bahaya yang yang ditimbulkan dari mengkonsumsi narkoba merupakan hal awal remaja tersebut mengikuti rehabilitasi narkoba, berdasarkan alasan ini maka remaja termotivasi untuk mengikuti rehabilitasi medis. Penyesalan terhadap diri sendiri merupakan landasan remaja tersebut bertekad ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara mengikuti kegiatan rehabilitasi sosial. Motivasi untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi sosial karena lingkungan rehabilitasi tersebut membuat remaja merasa tidak
sendirian karena di dalam lingkungan rehabilitasi ini remaja memiliki teman yang memiliki tujuan dan permasalahan yang sama.
Dari uraian di atas sehingga bisa disimpulkan bahwa motivasi internal merupakan dorongan yang mempengaruhi diri mencapai tujuan untuk tidak menggunakan Napza ,yang mana dorongan ini mucul dari dalam diri sendiri tanpa di pengaruhi dari luar seperti keluarga, teman sebaya, maupun sosial.
2.4.1 Fungsi Motivasi Internal
Ayu Lestari Azis (2017) Motivasi sebagai kekuatan mental penggerak atau dorongan yang harus dihidupkan terus pada diri pasien rehabilitasi agar mereka dapat mencapai hasil yang memuaskan. Oleh karena itu baik pasien yang direhabilitasi maupun konselor perlu memahami fungsi motivasi agar dapat mempertahankan dan meningkatkannya secara optimal. Menurut Sardiman (2012) menyatakan bahwa “motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi”.
Menurut teori Frederick Herzberg (dalam Eka Yuly Budi Prastiwi 2017) motivasional yang mendorong seseorang untuk berprestasi adalah dorongan yang muncul dari dalam diri. Remaja penyalahguna narkoba yang ingin berhenti menggunakan narkoba memilih untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba karena ada
keinginan yang ingin diwujudkan.Motivasi ini perlu muncul dalam diri remaja penyalahguna narkoba. Remaja penyalahguna narkoba sering kali dipandang sebagai remaja yang tidak memiliki masa depan. Pandangan yang selama ini muncul dalam asumsi masyarakat adalah salah satu hal yang membuat remaja tidak memiliki semangat untuk pulih dari penyalahgunaan narkoba. Salah satu kegiatan yang mampu membantu remaja untuk pulih dari penyalahgunaan maupun pecandu narkoba adalah kegiatan rehabilitasi yang harus di memiliki motivasi internal sebagai pendorongnya.
2.4.2 Jenis Motivasi Internal
Motivasi intenal memiliki 2 jenis yaitu sebagai berikut : 2.4.2.1 Determinasi diri
Kesadaran dan keyakinan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk keberlangsungan hidup disebut dengan determinasi diri. Determinasi diri merupakan salah satu bentuk dari motivasi intrinsik. Determinasi diri adalah kemampuan diri dalam mengidentifikasi dan mencapai tujuan berdasarkan pengetahuan dan penilaian individu terhadap dirinya sendiri (Field & Hoffman dalam Mamahit, 2014).
2.4.2.2 Pengalaman Optimal
Flow adalah ordered consciousness, atau sering disebut dengan pengalaman optimal. Pengalaman optimal kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah. Paling mungkin terjadi di area dimana pasien ditantang dan menganggap diri mereka punya keahlian yang tinggi. Ketika keahlian pasien tinggi, tapi aktifitas yang dihadapinya tidak menantang, maka hasilnya adalah kejemuan. Begitu juga sebaliknya, jika keahlian pasien rendah dan dihadapkan dengan aktifitas yang menantang, maka hasilnya adalah kebingungan (Ririn Dwi Agustin, dkk 2014)
2.4.3 Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Internal
Menurut Primanda (2015) pasien di rehabilitasi Napza yang memiliki motivasi sembuh atau motivasi yang kita kenal sebagai motivasi diri yang tinggi dapat dilihat dari proses Rehabilitasi dimana ada suatu keinginan dan suatu usaha yang mereka jalani untuk mencapai kesembuhan yang optimal, dimana mereka selalu menjaga kesehatannya dengan tidak memakai Napza kembali. Hal ini berupa fisik, mekanisme koping individu, dan kematangan usia.
Dimana semakin matang usia seseorang maka akan mudah menemukan motivasi dirinya karena akan semakin paham akan dampak buruk jika menggunakan Napza kembali.
2.4.4 Sasaran Motivasi Internal Pada Pasien Rehabilitasi Napza
Dorongan salah satu dari internal dalam diri seseorang untuk mengadakan perubahan tingkah laku (Hamzah, 2013). Sasarannya yaitu antara lain :
2.4.4.1 Mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhannya agar terpenuhi dan tidak tergantung pada obat obatan ketika masalah muncul.
2.4.4.2 Menentukan arah tujuan yang ingin dicapai. Dimana pasien harus fokus kembali kepada tujuan awal mereka masuk rehabilitasi Napza.
2.4.4.3 Menentukan perbuatan yang harus dilakukan. Pasien harus bisa menentukan kegiatan yang tepat untuk dilakukan agar mereka dapat menjadi manusia yang tidak selalu ketergantungan terhadap orang lain maupun obat obatan.
2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Internal
Menurut hasil penelitian Eka Yuly Budi Prastiwi, dkk (2017) faktor yang mempengaruhi motivasi internal pada pasien yang mengikuti rehabilitasi Napza sebagai berikut :
2.4.5.1 Keinginan
Ingin berhenti menggunakan narkoba. Berhenti menggunakan narkoba adalah faktor utama remaja mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba alasan pasti sehingga remaja tersebut mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba. Rasa takut akan bahaya yang ditimbulkan seperti penyakit HIV dan Aids merupakan motivasi remaja dalam mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba. Keinginan untuk berhenti menggunakan narkoba juga di dukung oleh keinginan akan rasa aman yang ada dalam diri remaja.
Kebanyakan remaja penyalahguna narkoba ini tertangkap tangan oleh pihak BNNP ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Rasa takut terebutlah yang membuat remaja memutuskan untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba untuk membantu mereka pulih dari bayang-bayang narkoba, 2.4.5.2 Harapan
Kembali berkumpul dengan orang tua. Keinginan untuk kembali berkumpul dengan keluarga terutama orang tua adalah bentuk harapan dalam memotivasi remaja mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba. mengingat sifat dari manusia sebagai makluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, memunculkan kebutuhan sosial bagi setiap orang. Kasus penyalahgunaan narkoba merupakan aib keluarga dan
membuat malu keluarga terutama kedua orang tua.
Kekecewaan yang di dapatkan orang tua ketika mengetahui anaknya menjadi penyalahguna narkoba kadang membuat orang tua tidak mengakuti anaknya dalam keluarganya.
Melihat fenomena di atas kegiatan rehabilitasi dipilih oleh remaja untuk membantu dalam proses pemulihan penyalahgunaan narkoba keinginan yang kuat untuk kembali ke keluarga masing-masing dan berkumpul kembali menjadi motivasi remaja dalam mengikuti kegiatan rehabilitasi narkoba. Kekecewaan yang dimiliki oleh pihak orang tua membuat remaja tersebut semangat bahwa kepribadian bisa dirumah, karakter positif bisa muncul apabila memiliki tekad kuat pulih dari penyalahgunaan narkoba. bayang-bayang narkoba yang membuat remaja tersebut harus masuk dalam kasus ini membuat keinginan pulih cukup kuat.Harapan ini dapat terpenuhi apabila remaja tersebut mampu berhenti menggunakan narkoba dan pulih dari ketergantungan narkoba. Kegiatan rehabilitasi adalah harapan terbesar para penyalahguna agar mampu membantu para remaja terbebas dari narkoba dan membantu para remaja penyalahguna narkoba ini berkumpul bersama kedua orang tuanya.
2.4.5.3 Cita-cita
Proses perbaikan diri sebagai bentuk berbakti kepada kedua orang tua. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikumpulkan remaja penyalahguna narkoba ini ingin melanjutkan masa depan yang lebih baik. Remaja tersebut sadar bahwa narkoba akan merusak masa depan dan menimbulkan efek negatif yang lainnya. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa remaja penyalahguna narkoba tidak memiliki masa depan. Kegiatan rehabilitasi ini diharapkan mampu merubah pandangan masyarakat terhadap remaja penyalahguna narkoba.
2.4.6 Tahapan Proses Motivasi internal
Menurut Simpson and joe (dalam Fitrisia Agustina, dkk 2018 ) motivasi ini memiliki tiga tahap yaitu:
2.4.6.1 Problem recognition (masalah pengakuan), pasien yang telah melakukan penyalahgunaan terhadap Napza menyadari bahwa akan muncul masalah yang dapat terjadi diakibatkan oleh penggunaan narkoba, dan dimana pasien akan memahami masalah tersebut akan hilang jika berhenti menggunakan narkoba.
2.4.6.2 Desire for help (keinginan untuk dibantu), suatu proses kognitif dimana individu menyadari bahwa dirinya sangat
membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan permasalahan penggunaan narkoba yang menimpanya.
2.4.6.3 Treatment readiness (kesiapan dalam kesembuhan), ketika individu berkomitmen dan secara aktif ingin berpartisipasi dalam proses penyembuhan, dimana ada rasa ingin sembuh karena faktor tertentu yang individu temukan dalam dirinya setelah memahami masalah yang timbul akibat penggunaan narkoba.
2.4.7 Pengukuran Motivasi Internal
Menurut Notoadmodjo (dalam Dr. Suparyanto, M.Kes, 2014) Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur. Ada beberapa cara untuk mengukur motivasi yaitu dengan : tes proyektif, kuesioner, perilaku.
2.4.7.1 Tes Proyektif
Apa yang kita katakan merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri kita. Dengan demikian untuk memahami apa yang dipikirkan orang, maka kita beri stimulus yang harus diinterprestasikan. Salah satu teknik proyektif yang banyak dikenal adalah Thematic Apperception Test (TAT). Dalam test tersebut klien diberikan gambar dan klien diminta untuk membuat cerita dari gambar tersebut. Dalam teori Mc Leland dikatakan, bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan yaitu
kebutuhan untuk berprestasi (n-ach), kebutuhan untuk power (n-power), kebutuhan untuk berafiliasi (n-aff). Dari isi cerita tersebut kita dapat menelaah motivasi yang mendasari diri klien berdasarkan konsep kebutuhan diatas. (Notoatmodjo, 2010).
2.4.7.2 Kuesioner
Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah dengan meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing motivasi klien. Sebagi contoh adalah EPPS (Edward’s Personal Preference Schedule). Kuesioner tersebut terdiri dari 210 nomer dimana pada masing-masing nomor terdiri dari dua pertanyaan. Pasien diminta memilih salah satu dari dua pertanyaan tersebut yang lebih mencerminkan dirinya.
Dari pengisian kuesioner tersebut kita dapat melihat dari ke- 15 jenis kebutuhan yang dalam tes tersebut, kebutuhan mana yang paling dominan dari dalam diri kita. Contohnya antara lain, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan akan keteraturan, kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain, kebutuhan untuk membina hubungan dengan lawan jenis, bahkan kebutuhan untuk bertindak agresif. (Notoatmodjo, 2010).
2.4.7.3 Observasi Perilaku
Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan membuat situasi sehingga klien dapat memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya. Misalnya, untuk mengukur keinginan untuk berprestasi, klien diminta untuk memproduksi origami dengan batas waktu tertentu. Perilaku yang diobservasi adalah, apakah klien menggunakan umpan balik yang diberikan, mengambil keputusan yang berisiko dan mementingkan kualitas dari pada kuantitas (Notoatmodjo, 2010).
2.4.8 Indikator Motivasi Internal
Menurut wibowo (2011), indikatornya dalam motivasi ini adalah sebagai berikut:
2.4.8.1 Kebutuhan :
a. Memiliki target dalam menjalani kegiatan b. Terdapat kualitas dalam menjalani kegiatan c. Tanggung jawab dalam menjalani kegiatan d. Mengetahui resiko yang dilakukan
2.4.8.2 Kebutuhan memperluas pergaulan
a. Adanya komunikasi antar sesama pasien b. Persahabatan antar sesama pasien
2.4.8.3 Kebutuhan untuk menguasai diri
a. Mampu mendorong diri sendiri untuk lebih baik b. Memiliki keteladanan
2.5 Kemampuan Self Control
Dalam Oktarini menurut Goldfried & Merbaum mendefinisikan self control sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif (dalam Muktar dkk, 2016).
Sedangkan menurut Chaplin (2011), kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impuls.
Kontrol diri ini menyangkut seberapa kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaan untuk dijadikan acuan ketika bertindak atau mengambil suatu keputusan.
Seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengontrol diri ialah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti tidak mudah dipengaruhi oleh amarah, dan bersikap toleransi terhadap stimulus yang berlawanan, serta patuh terhadap tugas yang berulang meskipun berhadapan dengan berbagai macam gangguan (Muktar, Budiamin dan Yusuf, 2016).
Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dan melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai dengan orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (M. Nur & Rini 2010).
Menurut Mahoney & Thoresen, kontrol diri merupakan jalinan yang secara utuh (intergrative) yang dilakukam individu terhadap lingkungannya.
Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memerhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersifat hangat, dan terbuka (Nur Gufron &
Rini Risnawati, 2011).
Ketika berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi drinya, yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respons yang dilakukannya. Kontrol diri diperlukan guna
membantu individu dalam mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang berasal dari luar (Nur Gufron & Rini Risnawati, 2011).
Sehingga dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa self control atau kontrol diri adalah kemampuan seseorang mengendalikan dirinya untuk menghindari dari keinginan yang tidak di inginkan atau sesuatu hal negatif seperti ingin kembali menggunakan Napza.
2.5.1 Fungsi Self Control
Menurut Gunarsa, Jeni L. Burnette, Erin K, et al (dalam Mukhtar, 2016) mengemukakan fungsi dari self control adalah sebagai berikut:
2.5.1.1 Membatasi perhatian individu pada orang lain.
Individu akan mampu mengontrol diri terhadap perhatian yang berlebih yaitu berupa keinginan dan kebutuhan orang lain. Jadi individu lebih memfokuskan pada perhatian terhadap kebutuhannya pribadi di bandingkan kebutuhan orang lain.
2.5.1.2 Membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain di Lingkungannya.
Individu mampu mengontrol diri dengan baik akan memberikan pada orang lain kesempatan untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan keinginan mereka.
Individu bisa mengontrol diri untuk membatasi keinginannya terhadap kebebasan orang lain dan memberikan kesempatan kebebasan pada orang lain untuk berada di dalam ruang aspirasi mereka masing-masing.
2.5.1.3 Membatasi untuk bertingkah laku negatif
Individu yang memiliki kontrol diri yang baik memiliki kemampuan untuk menahan godaan atau dorongan serta keinginan yang negatif dari dalam individu sendiri. Individu yang mampu menahan godaan atau dorongan yang negatif akan terhindar dari tingkah laku yang kurang sesuai di lingkungan sosial.
2.5.1.4 Membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang Individu yang mempunyai kontrol diri yang baik akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan kebutuhan yang diingin di capai. Kontrol diri juga akan membantu individu untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dalam menjalani hidup. Keterampilan mengelola dan mengontrol diri sangat diperlukan oleh individu, khususnya remaja.
2.5.2 Faktor yang mempengaruhi self control
Menurut Hurlock (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010). Secara garis besarnya self-control dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal (dalam diri individu) dan faktor eksternal (diluar individu /lingkungan).
2.5.2.1 Faktor internal
Faktor internal yang ikut berpengaruh terhadap self control adalah usia. Semakin bertambah usia seorang individu, maka akan semakin baik tingkat kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri.
2.5.2.2 Faktor eskternal
Faktor eksternal ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap self control yang berasal dari luar individu. Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga, Lingkungan keluarga terutama orang tua menentukan bagaimana kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri.
2.5.3 Jenis Dan Aspek-aspek self control
Averill (dalam Ghufron, 2011) menggunakan istilah control personal untuk menyebut kontrol diri. Kontrol personal mencakup 3 (tiga) jenis yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional control).
2.5.3.1 Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku menunjukkan kesiapan suatu respon yang secara langsung dapat mempengaruhi atau memodifikasi keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan individu menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan yaitu dirinya atau orang lain.
b. Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), yaitu kemampuan individu mengetahui cara dan waktu menghadapi stimulus yang tidak dikehendaki. Stimulus dapat dihadapi dengan menggunakan beberapa cara di antaranya adalah mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, dan menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir serta membatasi intensitasnya.
2.5.3.2 Kontrol kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif menunjukkan kemampuan individu mengolah informasi yang tidak dikehendaki dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu
kejadian dalam kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis. Kontrol kognitif terdiri dari dua komponen yaitu:
a. Kemampuan memperoleh informasi (information gain), yaitu kemampuan individu mengantisipasi keadaan atau peristiwa baik atau buruk melalui pertimbangan yang objektif terhadap informasi yang diperoleh. Informasi mengenai keadaan yang tidak menyenangkan dapat membantu individu untuk mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.
b. Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu kemampuan menilai dan menafsirkan keadaan atau peristiwa tertentu dengan memperhatikan segi-segi positif secara objektif.
2.5.3.3 Kontrol keputusan (decisional control)
Kontrol keputusan menunjukkan kemampuan individu menentukan hasil atau tujuan yang diinginkan. Kontrol keputusan dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memiliki berbagai kemungkinan tindakan.
Menurut Risnawita & Ghufron (2011) aspek-aspek yang terdapat dalam kontrol diri antara lain :
a. Kemampuan mengontrol perilaku
Kemampuan mengontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dalam hal ini apabila prilaku seseorang tidak terkontrol maka dapat terjadi prilaku yang negative atau menyimpang.
b. Kemampuan mengontrol stimulus
Kemampuan mengontrol stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak di kehendaki. Kemampuan untuk mengontrol stimulus tersebut dapat digunakan dengan cara memilih stimulus mana yang harus diterima dan stimulus mana yang harus ditolak.
c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian.
Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang dimiliki mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan ataupun yang menyenangkan. Kemampuan ini dapat digunakan dengan cara memperhatikan peristiwa atau kejadian dan melakukan pertimbangan.
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian.
Kemampuan ini digunakan untuk memberikan arti terhadap suatu peristiwa atau kejadian sehingga individu dapat memperhatikan segi positif secara subjektif.
e. Kemampuan mengambil keputusan.
Kemampuan mengambil keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada suatu yang di yakini atau di setujui.
2.5.4 Tehnik yang digunakan pada pasien yang memiliki self control Calhoun dan Acocella (dalam Windi Sihombing 2016) mendefinisikan teknik kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Teknik Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Para ahli berpendapat bahwa kontrol diri dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat preventif selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari stressor- stressor lingkungan.
Adapun teknik yang digunakan (dalam Windi Sihombing, 2016) adalah sebagai berikut:
2.5.4.1 Pencatatan diri (self recording, self observation, self
monitoring), yaitu membuat catatan kegiatan diri sehari-hari dengan menggunakan tabel atau buku harian. Klien diajarkan untuk mencatat perilaku sederhana yang konkret dialami sehari-hari.
2.5.4.2 Evaluasi diri (self evaluation), klien membuat evaluasi konkret untuk menilai perilakunya sendiri.
2.5.4.3 Pengukuhan diri (self reinforcement), memberi pujian terhadap diri sendiri atas pencapaian yang telah berhasil diraih.
2.5.5 Indikator Self Control
Ada beberapa indikator kontrol diri (Ghufron dkk, 2010) diantaranya sebagai berikut:
2.5.5.1 Kemampuan mengontrol perilaku
Kemampuan untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat keteraturan untuk menetukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, apakah oleh dirinya sendiri atau orang lain. Individu yang mampu menontrol dirinya dengan baik akan mampu mengatur perilakunya sesuai dengan kemampuan dirinya
dan bila tidak maka individu akan menggunakan sumber eksternal.
2.5.5.2 Kemampuan mengontrol stimulus
Kemampuan untuk mengetahui bagaimana atau kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki muncul. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum berakhir, dan melakukan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian dari stimulus.
2.5.5.3 Kemampuan mengantisipasi peristiwa
Kemampuan individu dalam mengolah informasi dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif. Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif.
2.5.5.4 Kemampuan menafsirkan peristiwa
Penilaian yang dilakukan seorang individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
2.5.5.5 Kemampuan mengambil keputusan
Kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diakini atau disetujuinya.
Kemampuan dalam mengontrol keputusan akan berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan.
2.6 Keterkaitan Motivasi Internal Dengan Kemampuan Self Control
Prime theory, teori ini menjelaskan mengenai motivasi yaitu motivasi yang berkaitan dengan motivasi yang muncul dari dalam diri seseorang untuk mengontrol diri sesuai dengan keinginannya seperti berhenti menggunakan Napza (Ramadhan 2016).
Berikut ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan motivasi yaitu salah satu dari jenisnya berupa internal berdasarkan Prime Theory diantaranya yaitu kebiasaan (habits), niat (intention), kognisi (cognition), Reinforcers (dari teori belajar), hukuman (mengacu pada peristiwa nyata) dan tujuan atau harapan individu (Ramadhan, 2016).
Menurut teori PRIME faktor fundamental untuk mencapai kontrol diri ialah adanya keinginan yang kuat berupa motivasi internal yang muncul dalam dari dalam diri seseorang untuk bisa merubah perilaku ataupun mengontrol diri untuk menjauhi hal yang negatif, dijelaskan juga ada lima subsistem dari sistem
motivasi salah satu jenisnya berupa motivasi internal yaitu Plans adalah niat yang dilakukan secara sadar, responses menunujukkan perilaku memulai, mengehentikan, atau memodifikasi tindakan, impuls dan inhibition adalah jalur akhir menuju perilaku, motives adalah perasaan yang ditunjukkan dalam bentuk keinginan, dan evaluation adalah keyakinan tentang apa yag baik dan yang buruk (Ramadhan 2016).
Sesuai dengan teori diatas bahwa motivasi internal bisa dikatakan dapat mengontrol diri seseorang yaitu merubah perilaku ke hal yang positif jika dilakukan secara sadar kemudian di ikuti evaluasi atas tindakan yang dilakukan, sehingga individu bisa memiliki keinginan atau recana untuk berhenti menggunakan Napza, evaluasi tersebut sangat dibutuhkan individu dalam memperkuat motivasi internal untuk mencapai segala harapan yang di inginkan individu sehingga dapat memperkuat self control untuk berhenti menggunakan Napza, ataupun dorongan atau motivasi yang muncul dalam diri yang sangat kuat yang menjadi hal penting dalam merubah perilakunya ataupun mengontrol diri untuk berhenti menggunakan Napza (Ramadhan 2016).
Sedangkan dari Transteoritical Model yang paling penting tahapannya ialah tahap Contemplation dimana niat ataupun motivasi diri seseorang untuk berhenti menggunakan Napza sangat dibutuhkan, sehingga motivasi – motivasi dari dalam diri seseorang yaitu berupa motivasi internal yang sudah ada dapat
digunakan untuk mencapai hasil sesuai yang di inginkan yaitu berhenti menggunakan Napza dengan adanya perubahan perilaku yang positif pada pasien ataupun pasien mampu mengontrol diri dengan ditandai adanya perubahan perilaku diri (Thrul dkk, 2015).
2.7 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan atau kaitan antara konsep- konsep atau variabel- variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).
Kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.7 Kerangka Konsep
Keterangan:
=Variabel independen = Variabel Depende
2.8 Hipotesis
2.8.1 Terdapat hubungan antara motivasi internal dengan kemampuan self control pada pasien yang menjalani rehabilitasi Napza.
Motivasi Internal
Kemampuan Self Control