BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Jenis Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana
Istilah melawan hukum pertama kali dikeluarkan untuk mengatur tindak pidana korupsi secara khusus yang terdapat pada Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957 namun peraturan tersebut telah diganti dikarenakan Undang-Undang Darurat yang menjadi dasar keberlakuannya dicabut. Pengertian melawan hukum baru disebut kembali secara khusus sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi namun pada tanggal 25 juli 2006 MK menilai bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945, karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sub a Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
“barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Melawan hukum atau biasa dikenal dengan istilah Wederrechtlijk dalam bahasa Belanda, dan didalam ranah hukum pidana diartikan juga sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau juga melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steuned op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Melawan hukum dapat diartikan dalam arti sempit yang berarti tidak hanya perbuatan melanggar hukum dalam arti undang-undang tetapi juga bertentangan dengan kewajiban hukum yang seharusnya. Melawan hukum
dalam arti sempit yakni arti yang dipakai dalam rumusan KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pasal 1365, yang mana dalam penafsirannya kepada hukum yang berlaku di Indonesia yang sebagian besar merupakan hukum adat. Sedangkan jika dilihat dalam pengertian yang luas yakni hal melanggar hukum dipandang dalam segala sudut. Didalam ranah hukum pidana bukan hanya saja yang berlawanan dengan hukum atau peraturan yang tertulis tetapi juga berlaku terhadap asas-asas yang bersifat umum tetapi berlaku kekuatan hukum di dalamnya.
Melawan hukum menurut pendapat S.R Sianturi yaitu: “melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya”.1 Selanjutnya, Oemar Senoadji menjelaskan pengertian melawan hukum meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan hidup untuk bertindak terhadap orang lain, barangnya maupun haknya.2
Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana menurut van Hamel yaitu menyatakan “Sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana adalah bagian dari suatu pengertian yang umum, pembuat undang-undang pidana tidak selalu menyatakan bagian ini tetapi ini merupakan dugaan”.3 Demikian pula pendapat Noyon dan Langemeijer yang menyatakan “Pengertian melawan hukum bagaimanapun masih menjadi perhatian sebagai unsur rumusan delik. Dengan
1 Sianturi, S.R.,1989. “Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya Indonesia”,Jakarta, Alumni AHM-PTHM Hal.143.
2 Oemar Seno Adji, “Hukum Pidana Pengembangan”, Erlangga, Makassar,195, Hal 179.
3 Eddy O.S. Hiariej, “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana”, Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2014, Hal. 194.
menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang demikian.4
Jenis-jenis melawan hukum meliputi melawan hukum formil dan materil teradapat pada pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 beserta penjelasannya yaitu parameter melawan hukum formil adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam hal ini terdapat pada pasal 2 yaitu melawan hukum dengan perbuatan memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangaan atau perekonomian negara, sedangkan parameter melawan hukum materil adalah bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan masyarakat dalam hal ini hak- hak masyarakat dan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat baik individu atau kelompok dalam usaha memenuhi kebutuhan material terganggu tidak terpenuhi dengan baik.5 Di dalam kepustakaan hukum pidana, hingga saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum perbedaan tersebut telah melahirkan adanya dua pengertian yaitu sifat melawan hukum formal (formele wederrechtlijkheid) dan melawan hukum materil (materiele wederrechlijkheid)6
Perbuatan dikategorkan atau dikatakan sebagai melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan Undang- Undang (hukum tertulis). Dengan pengertian seperti itu, maka suatu perbuatan
4 Ibid.
5 Nur Basuki Minarno,” Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah”, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2010, Hal 186.
6 H. Elwi Danil, ”Korupsi: Konsep Tindak Pidana dan Pemberantasannya”, RajaGrafindo, Jakarta, 2012, Hal 142.
bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselediki apakah perbuatan itu menurut masyarakat benar-benar telah dirasakan sebagaiperbuatan yang tidak patut dilakukan. Sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materil, suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekeedar bertentangan dengan ketentuan hukum yang tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, yaitu memenuhi unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Oleh karena itu suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.7
B. Unsur Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.8dan didalam tindak pidana terdapat unsur-unsur yaitu subjek, kesalahan dan bersifat melawan hukum. Dalam tindak pidana kejahatan merupakan bagian dari unsur perbuatan melawan hukum yang merupakan gejala sosial yang tak kunjung ada habisnya seiring perkembangan kehidupan manusia dan banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan yang terdapat pada lingkungan masyarakat yaitu
7 Ibid, Hal 143
8 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya.Cet 3, Jakarta, Storia Grafika, Hal. 204
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hal-hal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara.9
Perbuatan melawan hukum merupakan unsur terpenting dalam tindak pidana. Tanpa adanya unsur tersebut maka sesorang tidak dapat dipidana, hal ini sesuai dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang disebut KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Unsur diatas sangatlah penting dalam hukum pidana dan harus dapat dibuktikan terlebih dahulu, jika suatu perbuatan melawan hukum ini berhasil dibuktikan, maka selanjutnya membuktikan kesalahannya. Subjek hukum pelaku tindak pidana (dader), subjek hukum meliputi natuutlijk Persoon (manusia) dan Rechtpersoon (badan hukum). Rechtpersoon meliputi badan hukum publik dan badan hukum privat.
Menurut Bambang Poernomo melawan hukum merupakan tindakan menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan terhadap syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban.10 Sesuai dengan penjelasan diatas , maka pendapat Bambang Poernama sejalan dengan pendapat J.E Jonkers dalam buku Bambang
9 Indah Sri Utari, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Thafia Media, Yogyakarta, 2012, Hal 23.
10 Bambang Poernomo,1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal 91.
Poernama, yang telah memberikan definisi mengenai strafbbar feit (perbuatan tindak pidana) menjadi dua pengertian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu dalam arti sempit strafbaar feit merupakan suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang dan definisi dalam arti luas strafbaar feit merupakan kelakuan yang melawan hukum berhubungan dengan dilakukannya suatu perbuatan dengan sengaja atau alfa oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.11
Unsur Perbuatan melawan hukum juga meliputi adanya kesalahan. Yang dimaksud dengan Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena kesengajaan atau karena kealpaan. Kesengajaan maksudnya ada kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya itu akan merugikan orang lain. Sedangkan, Kealpaan berarti ada perbuatan mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Namun demikian terdapat suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila).
Unsur adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan (Hubungan Kausalitas). Maksudnya, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang muncul. Misalnya, kerugian yang terjadi disebabkan perbuatan si pelaku atau dengan kata lain, kerugian tidak akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.
11 Ibid.
Adapun unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana adalah perbuatan yang jelas melanggar undang-undang. Didalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi juga terdapat beberapa karakteristik yang tergolong sebagai tindakan perbuatan melawan hukum seperti halnya yang terdapat pada pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai bentuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu badan dan secara tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.
C. Hakikat Melawan Hukum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Ditengah masa pandemi terdapat beberapa kasus korupsi bansos yang menjadi sorotan publik dikarenakan situasi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi dampak dari pandemi namun masih didapati tindakan penyalahgunaan wewenang yang merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh instrumen pemerintah mulai dari mantan menteri sosial Juliari batubara dan pejabat pusat maupun daerah lainnya yang tindakannya tergolong sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi bahwa yang dimaksud dengan
“Melawan Hukum” mencakup perbuatan melawan hukum yang dalam arti formil dan materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan Perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Sebagaimana yang terdapat pada penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar dapat menjangkau beberapa modus operandi (cara operasi seseorang atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya) penyimpangan keuangan negara atau perekonomian maka Undang-undang ini dirumuskan sehingga meliputi perbuatan- perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
“melawan hukum” dalam pengertian formil dan materil.
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat menimbulkan keprihatinan masyarakat dunia maupun rakyat Indonesia pada khususnya.
keprihatinan masyarakat Internasional tercermin pada bagian pembukaan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 atau United Nations Convention Againts Corruption (Konvensi PBB 2003) yang menyatakan korupsi dapat mengancam dan menimbulkan masalah terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi,etika, dan keadilan, serta membahayakan pembanguan berkelanjutan dan supremasi hukum. Dengan demikian, diperlukan suatu pendekatan komprehensif dan multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.12
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
12 Elwi Danil, Korupsi,Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, Jakarta, Rajawali Press, 2011, Hal. 64.
Pidana Korupsi, juga menghendaki agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang, baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah unsur yang pertama yaitu adanya pelaku dalam hal ini setiap orang. Kedua, adanya perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum. Ketiga, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Keempat, akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat subjek hukum tindak pidana korupsi adalah:
a. Pegawai Negeri
Pengertian pegawai negeri (ambtenaar) pada UU No.20 tahun 2001 mengalami perluasan makna. Pada Pasal 1 Angka (2) yang dimaksud pegawai negeri adalah :
- Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Tentang Kepegawaian. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 jo UU No. 8 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dimaksud pegawai negeri adalah:
“Setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku”
- Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92 KUHP menentukan bahwa yang dimaksud pegawai negeri adalah :
Ayat (1):
1. Orang yang dipilih dalam pemilihan umum (anggota MPR/DPR,DPRD Tk. I dan DPRD Tk. II)
2. Orang-orang yang diangkat menjadi anggota badan pembentuk Undang-Undang.
3. Anggota badan pemerintahan.
4. Badan perwakilan rakyat.
5. Kepala rakyat Indonesia asli, dan 6. Kepala golongan timur asing.
Ayat (2) : 1. Hakim.
2. Hakim Administratif (majelis perpajakan, dan lain-lain).
3. Ketua/anggota peradilan agama, dan Ayat (3) :
1. Semua anggota Tentara Nasional Indonesia (angkatan darat, laut dan udara).
- Orang yang menerima gaji atau upah dari Keuangan Negara.
- Orang yang menerima gajji dari koperasi yang menerima bantuan dari Keuangan Negara atau daerah.
- Orang yang menerima gaji atau upah dari koperasi yang menggunakan modal atau fasilitas Negara atau masyarakat.
b. Korporasi
Korporasi merupakan kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Ketika suatu korporasi menjadi subjek tindak pidana maka terdapat
3 (tiga) sistem pertanggungjawaban korporasi yaitu Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.
Sistem Pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi.
b. Setiap Orang
Yang dimaksud “setiap orang” berdasarkan UU No. 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Ketentuan diatas menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah siapa saja baik sebagai pejabat pemerintah maupun pihak swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif yaitu dalam menentukan suatu tindakan atau perbuatan pidana meskipun perbuatan tersebut tidak diatur atau tertera didalam peraturan perundang-undangan namun jika perbuatan tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, maka perbuatan tersebut dianggap tercela dan dapat dipidana. Asas legalitas dalam hukum pidana materiil merupakan asas paling fundamental dan mengandung unsur perlindungan dikarenakan sanksi
pidana merupakan sanksi yang dipandang lebih berat daripada sanksi atau hukuman di bidang hukum lain.13
Pada pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Revisi Atas Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati.
Unsur melawan hukum dalam pengertian melawan hukum secara formil atau materiil dicantumkan didalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikarenakan mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime dan juga sangat berdampak yaitu menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangungan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Korupsi merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crimes) yang penanggulangannya secara yuridis juga harus luar biasa (extreaordinary enforcement), mengikuti
13 Mompang L. Pangabean, “Kebijakan Legislatif Dalam Hukum Pelaksanaan Pidana Di Indonesia”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41, No 2, April 2012, Hal. 189.
aturan-aturan dan sistem hukum yang ada dan berlaku. Pada era reformasi juga telah lahir lembaga-lembaga negara yang menunjang penegakan hukum dalam penanggulangan korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) seperti Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adanya lembaga- lembaga tersebut diharapkan tercipta sistem peradilan terpadu, baik di dalam hukum privat maupun hukum publik.