• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MENENTUKAN NATIJAH DARI TAHQIQ AL-HADIS

N/A
N/A
Muhammad Faisol Teguh

Academic year: 2024

Membagikan "BAB IV MENENTUKAN NATIJAH DARI TAHQIQ AL-HADIS"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

MENENTUKAN NATIJAH DARI TAHQIQ AL-HADIS

Setiap disiplin ilmu mempunyai objek masing- masing. Tak terkecuali objek Filologi bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Di antara teks-teks tersebut dikenal dengan istilah teks tunggal dan jama’.

Namun, jika istilah tersebut dieksplor ke dalam disiplin ilmu hadis teks tunggal dapat dikenal dengan istilah hadis gharib atau fard, sedangkan teks jama’ dikenal dengan syahid dan tabi’ dalam suatu hadis.

A. Pengertian Syahid dan Tabi’

1.Pengertian Syahid

Secara etimologi, syahid mempunyai makna bersaksi atau menyaksikan. Dalam ilmu hadis, kata syahid dimaksudkan sebagai hadis pendukung terhadap hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang berbeda namun dalam hadis yang sama.1 Definisi lain mengatakan bahwa syahid merupakan hadis lain yang memiliki kesamaan dalam segi lafal dan

1 Kesamaan hadis tersebut dalam segi maknanya bukan lafalnya.

(2)

makna, atau dalam segi makna saja namun dari rawi yang berbeda.2

Pendapat lain, syahid diartikan sebagai rawi yang menyaksikan bahwa hadis atau yang menyendiri itu memiliki asal, kemudian menguatkannya.3 Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang di dalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan hadis yang menyendiri, baik secara lafadz dan makna atau pun secara makna saja, dan sanadnya berbeda- beda pada tingkat sahabat.4

2.Pengertian Tabi’

Kata tabi’ dalam kajian ilmu bahasa berasal dari kata taba’a yang bearti pengikut, pembantu.

Dalam istilah lain kata tabi’ banyak dikenal dengan sebutan mutabi’ atau mutaba’ah. Selain itu, mutabi’ berarti hadis yang menyendiri, baik

2 M. Mashuri Mochtar, Kamus Istilah Hadis (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, Sya’ban 1435 H), hlm. 188.

3 Sama halnya dengan pernyataan seorang saksi yang mendukung pernyataan pendakwa sehingga menguatkannya.

4 Mahmud at-Tahan, Ilmu Hadis Praktis (Bogor, Pustaka Izzah, 2012), hlm. 179.

(3)

secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja, serta sanadnya menyatu pada sahabat.

Tabi’ merupakan hadis yang terdapat cabang lain pada tingkat atau thabaqah tabi’in dalam jalur periwayatan hadis. Namun tidak jarang juga tidak semua hadis mempunyai tabi’

(cabang lain dalam tingkat tabi’in). Hadis yang terdapat tabi’ dapat dikategorikan sebagai jalur jama’, karena dapat diperbandingkan dengan jalur periwayatan yang lainnya. Hampir sama dengan syahid, hanya saja letak cabang pada thabaqah yang membedakannya.

Dalam ilmu filologi, hadis yang terdapat tabi’ juga dapat menentukan teks tunggal dan jama’, karena tidak semua hadis memiliki lafadz dan makna yang sama. Jika ditelisik, jalur tunggal dan jama’ lebih mengarah pada jalur periwayatan hadis, sedangkan teks tunggal dan jama’ lebih mengarah pada teks yang berisikan lafadz dan makna suatu hadis.

(4)

3.Memahami Jalur Periwayatan Hadis Mutawatir dan Ahad

Memotret dari ilmu filologi, jalur periwayatan suatu hadis dapat mengetahui bagaimana cara mengkategorikan hadis sebagai jalur tunggal maupun jama’. Mayoritas ulama membedakan menjadi dua jalur periwayatan, sebagaimana biasa disebut dengan kuantitas hadis, yakni hadis mutawatir dan ahad.

a) Jalur Periwayatan Hadis Mutawatir

Dalam ilmu filologi jalur periwayatan hadis mutawatir dapat menentukan kualitas hadis tersebut sebagai jalur tunggal maupun jama’, begitu pula dengan teks tunggal maupun jama’. Adapun definisi dari hadis mutawatir adalah:

(5)

Suatu hadis hasil tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.

Adapun menurut Hasbi ash-Shiddieqiy mendifinisikan:

Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus- menerus hingga

sampai kepada akhirnya.

Sedangkan Shubhi Shalih mendifinisikan:

(6)

Mutawatir ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya.

Dalam syarah kitab nukhbat al-fikar dijelaskan bahwa jalur periwayatan hadis mutawatir para perawinya berjumlah banyak yang semisal mereka dari awal hingga akhir.

Begitu pula dalam periwayatannya mereka adalah bersandarkan indera (seperti: kami mendengar, kami melihat dan lainnya).5

Beberapa rumusan di atas sekalipun dengan kalimat dan redaksi yang berbeda- beda namun maksudnya sama. Pada pokoknya adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab), yang mana orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk berbohong.

5 Ahmad Hendrix, Syarah Nukhbatul Fikar Fi> Mus}t}alah Ahli Atsar Karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773-852 H), hlm. 25.

(7)

Namun ketika ditemukan terdapat hadis mutawatir dalam jalur periwayatannya diriwayatkan oleh banyak rawi tingkat sahabat. Adapun tentang jumlah bilangan perawi, para ulama berbeda pendapat:

Abu Thayyib menetapkan, minimal 4 orang. Dengan alasan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam penuduhan zina. Sebagian golongan Syafii menetapkan, minimal 5 orang. Dengan alasan mengqiyaskan pada jumlah 5 Nabi yang bergelar “Ulul Azmi”.

Sebagian ulama ada yang menetapkan 20 orang, dengan alasan mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut dalam QS. Al- Anfal ayat : 65, Allah berfirman:

(8)

Wahai Nabi (Muhammad kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.

Mengenai jenisnya hadis mutawatir terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawi. Pertama, Hadis mutawatir lafdzi dapat didefinisikan:

Hadis yang sama bunyi lafazh,hukum dan maknanya.

Menurut Sayyid al-Maliki, hadis mutawatir lafdzi berlangsung dalam satu peristiwa, meski lafal-lafalnya sedikit berbeda, akan tetapi adanya kesepakatan

(9)

untuk makna yang sesuai dengan peristiwa yang sama.

Contoh hadis mutawatir lafdzi, Rasulullah saw. bersabda:

َلاَََق

ُلو ََُسَر

ِهّللا ىّل َََص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّلَسَو

َبَذَك ْنَم

ّيَلَع اًدّمَعَتُم

ْأّوَبَتَيْلَف

ُهَدَعْقَم

ِراّنلا ْنِم

“Barang siapa sengaja berdusta terhadapku (atas namaku), maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka”.6 (HR. Bukhari).

Hadis tersebut merupakan hadis mutawatir lafdzi dan dapat dibuktikan dengan adanya skema sanad sebagai berikut:

6 Lidwa Pustaka i-Software Kitab 9 Imam Hadis Rasulallah

(10)

Anas b. Malik Salamah

‘Utsman b. Affan

Abu Zubair

Abu Sa’id al-Khudriy

Abu Hurairah

‘Abdullah b.

’Amr b. Ash Zaid b. Arqam

‘Abdullah b. Mas’ud

Qais b. Sa’d

Abu Qatadah Khalid b.

‘Urfuthh

Jabir b. ‘Abdullah Ali b. Abi Thalib

Mu’awiyah b. Abi Sufyan

(11)

Menurut Abu Bakar al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafadz dan makna yang sama. Dari hasil penelusuran penulis di aplikasi Lidwa Pustaka i-Software Kitab 9 Imam Hadis, hadis tersebut diriwayatkan oleh 15 perawi hadis tingkat sahabat, yang mana nama-nama tersebut di antaranya:

1. Anas bin Malik 2. Utsman bin ‘Affan 3. Salamah

4. Abu Sa’id al-Khudriy 5. Abu al-Zubair

6. Abu Hurairah

7. Abdullah bin Amr bin Ash 8. Abdullah bin Mas’ud 9. Qais bin Sa’d bin Ubadah 10. Zaid bin Arqam

11. Abu Qatadah al-Anshori 12. Khalid bin Urfuthah

(12)

13. Mu’awiyah bin Abi Sufyan 14. Jabir bin ‘Abdillah

15. Ali bin Abi Thalib

Menurut jumhur ulama’ hadis di atas diriwayatkan oleh banyak perawi hadis, namun tiada satu pun yang mengubah lafadz dan maknanya. Hal itu jika dipandang melalui ilmu filologi, hadis mutawatir lafdzi di atas termasuk dalam jalur jama’ teks tunggal.

Alasan dikatakan sebagai jalur jama’ karena perawi hadis meriwayatkan dalam banyak jalur. Sedangkan dikatakan sebagai teks tunggal karena merujuk kepada lafadz dan maknanya yang sama. Sehingga dari segi lafadz dan maknanya tersebut tidak ada yang perlu untuk dibandingkan dengan hadis lain.

Kedua, Hadis mutawatir maknawi dapat didefiniskan:

(13)

Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum.

Adapun yang mendefinisikan jika terdapat perbedaan jumlah periwayat hadis juga terdapat perbedaan terhadap lafadz serta peristiwa yang berbeda, maka disebut mutawatir maknawi. Ada pendapat lain bahwa hadis yang lafadz dan maknanya berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum.7

Contoh hadis mutawatir maknawi:

ّيِبَن ّنَأ

ِهّللا ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّل َََسَو

َناَََ ك

ُعَََفْرَي َل

ِهََْيَدَي

ٍءْي َ ََش يِف

ْنِم ىّتَح ِءاَق ََْسِتْس ِلا يِف ّلِإ ِهِئاَعُد ىَرََُي

ُضاَيَب

ِهْيَطْبِإ

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a kecuali dalam shalat Istisqa’, hingga terlihat putih ketiak beliau." (HR.

Muslim).

7 Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama terhadap Hadis Ahad (Surakarta: Suhuf, Vol. 20, No. 1, Mei 2008), hlm. 58.

(14)

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Nasa’i, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Imam Darimi. Mereka meriwayatkan hadis dengan lafadz dan makna yang berbeda, namun dalam persesuaian makna secara umum.

Adapun perbedaan redaksi hadis di atas adalah:

َلاَََق

َناَََ ك

ّيِبّنلا ىّل َََص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّل َََسَو

ُعَََفْرَي َل

ِهََْيَدَي

ٍءْي َََش يِف

ْنِم ُهّنِإَو ِءاَق ََْسِتْس ِلا يِف ّلِإ ِهِئاَعُد

ُعَََفْرَي

ىّتَح ىَرُي

ُضاَيَب

ِهْيَطْبِإ

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat tangannya saat berdoa kecuali ketika berdoa dalam shalat istisqa'. (HR. Bukhari).

Perbedaan redaksi pertama yakni bertempat pada lafadz

َناَك َلاَق ,

kemudian

ُهّنِإَو

ُعََََفْرَي ىّتَح

ىَرَََُي

ُضاََََيَب

ِهَََْيَطْبِإ ,

meskipun persesuaian maknanya secara umum tidak berbeda.

(15)

Perbedaan redaksi kedua, diriwayatkan oleh Abu Daud:

ّيِبّنلا ّنَأ ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّلَسَو

َناَك

ُعَفْرَي َل

ِهْيَدَي

ٍءْي َش يِف

ِءاَعّدلا ْنِم

ّلِإ ُعَََفْرَي َناَك ُهّنِإَف ِءاَقْسِتْس ِلا يِف

ِهََْيَدَي

ىّتَح ىَرُي

ُضاَيَب

ِهْيَطِبِإ

Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a kecuali ketika meminta hujan, ketika itu beliau mengangkat kedua tangan beliau sehingga terlihat putih ketiaknya." (HR.

Abu Daud).

Perbedaan tersebut terletak pada adanya tambahan lafadz

َناَك

dan

َناَك ُهّنِإَف

ُعَََفْرَي

ِهََْيَدَي .

Meski dalam persesuaian maknanya secara umum tidak terdapat perbedaan.

Perbedaan redaksi ketiga, diriwayatkan oleh An-Nasa’i:

(16)

َناَك

ّيِبّنلا ىّلَص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّل َََسَو

َل

ُعَََفْرَي

ِهََْيَدَي

ٍءْي َََش يِف

ِهِئاَعُد ْنِم

ّلِإ ِءاَقْسِتْس ِلا يِف

Perbedaan redaksi tersebut yakni tidak disebutkan

ُضاَيَب ىَرُي ىّتَح

hingga terlihat putih ketiak beliau."

Sedangkan perbedaan redaksi keempat, diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

ّيِبَن ّنَأ

ِهّللا ىّل َََص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّل َََسَو

َناَََ ك

ُعَََفْرَي َل

ِهََْيَدَي

ٍءْي َ ََش يِف

ْنِم ُهّنِإَف ِءاَق ََْسِتْس ِلا َدََْنِع ّلِإ ِهِئاَعُد

َناَََ ك

ُعَفْرَي

ِهْيَدَي ىّتَح ىَرُي

ُضاَيَب

ِهْيَطْبِإ

"Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo`a kecuali pada shalat istisqa`. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiak beliau. " (HR.

Ibnu Majah).

Perbedaan redaksi tersebut bertempat pada tambahan lafadz

َناَك

dan penggunaan
(17)

kata

ِهْيَدَي ُعَفْرَي َناَك ُهّنِإَف ِءاَقْسِتْس ِلا َدْنِع

sebelum hingga terlihat putihnya kedua ketiak beliau." Begitu juga selainnya.

Berbagai perbedaan redaksi di atas merupakan bukti hadis tersebut termasuk dalam hadis mutawatir maknawi. Adapun jalur periwayat hadis tersebut tidak hanya satu, di antaranya Anas bin Malik, Aisyah binti Abi Bakar, Abu Hurairah, dan selainnya.

Melihat ciri di atas, pakar ilmu hadis mengatakan terdapat syahid dalam jalur periwayatan hadis, yakni Anas bin Malik,

‘Aisyah, Abu Hurairah dan selainnya. Adapun syahid dalam disiplin ilmu filologi merupakan jalur jama’ teks jama’. Demikian karena dalam segi teks mempunyai lafadz dan makna yang sedikit berbeda, begitu pula dengan jalur periwayatannya terjadi perbedaan perawi hadis. Sehingga hadis tersebut dapat dibandingkan dengan jalur lain.

(18)

b) Jalur Periwayatan Hadis Ahad Hadis Ahad dapat didefinisikan:

Suatu hadis (habar ) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya,tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir.8

Adapun pendapat lain yakni hadis yang para rawinya tidak sampai pada jumlah rawi hadis mutawatir dan tidak memenuhi syarat persyaratan mutawatir.9 Menilik dari segi jalur

8 Rajaa Mustafa Hazin dan Sa’diyah Ahmad Fuad, tt, Attaisi>r fi> Ulumil Hadis, hlm. 74.

9 Saifuddin Zuhri, Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama terhadap Hadis Ahad hlm. 59.

(19)

periwayatannya, hadis ahad terbagi menjadi 3 bagian, yaitu hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.10

(1) Hadis Masyhur

Hadis masyhur dapat didefinisikan:

Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat Mutawatir.

Adapun yang mengatakan hadis masyhur merupakan hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari dua orang perawi dari awal hingga akhir sanad, dan sebagian menamakannya dengan muntafidh.11

10 Izzatus Sholihah, Kehujahan Hadis Ahad dan Pengaruhnya terhadap Hukum Islam (Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syari’ah, Vol. 4 no. 1 Februari 2016), hlm. 2.

11 Ahmad Hendrix, Syarah Nukhbatul Fikar... hlm. 26.

(20)

Contoh hadis masyhur antara lain:

ُمِلْسُمْلا

ْنَم

َمِلَس

َنوُمِل ْسسسُمْلا

ِهِنا َسسسِل ْنِم

ِهِدَيَو

"Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”(HR. Bukhari).

(21)

Adapun skema sanad hadis di atas adalah:

ّيِبّنلا ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّلَسَو

ِدْبَع

ِهّللا يِبَأ ِنْب

َةَدْرُب

ِدْبَع

ِهّللا يِبَأ ِنْب

ِرَفّسلا

َليِعاَمْسِإ يِبَأ ِنْب

ٍدِلاَخ

يِبَأ ىَسوُم

يِبَأ

َةَدْرُب

ّيِبْع ّشلا

ِدْبَع

ِهّللا

ِنْبوٍرْمَع

ُةَبْع ُش

ُمَدآ يِبَأُنْب

ٍساَيِإ

ىَيْحَي

ٍديِعَس ِنْب

ُديِعَس ىَيْحَيُنْب

ِنْب ٍديِعَس يِبَأ

ِرْيَخْلا

َديِزَي يِبَأ ِنْب

ٍبيِبَح وِرْمَع

ِنْبِثِراَحْلا

وُبَأ

ِرِهاّطلا

ُدَمْحَأ

ُنْب وِرْمَع

ُنْبا

ٍبْهَو

لسم يراخبلا م

يِبَأ

َةَرْيَرُه

يِبَأ

ٍحِلاَص اَقْعَقْلا

ِع

ِنْبا

َن َلْجَع

ُثْيّللا

ُةَبْيَتُق

يئاسنلا

(22)

Hadis di atas terdapat perbedaan redaksi dalam lafadz dan makna hadis, yakni: perbedaan redaksi pertama diriwayatkan

ّي َأ

َنيِمِلْسُمْلا

ٌرْيَخ

َلاَق

َمِلَس ْنَم

َنوُمِلْسُمْلا

ِهِناَسِل ْنِم

ِهِدَيَو

Perbedaan tersebut terdapat pada lafadz

َلاَق ٌرْيَخ َنيِمِلْسُمْلا ّي َأ

sebagai

pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah., selanjutnya lafadz dan maknanya sama dengan yang diriwayatkan Imam Bukhari.

Selanjutnya perbedaan redaksi yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i:

ُمِلْسُمْلا

َمِلَس ْنَم

ُساّنلا

ِهِناَسِل ْنِم

ِهِدَيَو

Terdapat sedikit perbedaan redaksi dengan Imam Bukhari, yakni beliau (Imam Bukhari) menggunakan lafadz “al-

(23)

Muslimu>na”, namun Imam Nasa’i menggunakan lafadz “an-Na>s”.

Hadis masyhur di atas memiliki syahid dan tabi. Syahid tersebut terletak pada Abdullah b. Amr, Abu Musa, dan Abu Hurairah. Jika hadis diteliti dari jalur Abdullah b. Amr maka Abu Musa dan Abu Hurairah sebagai syahidnya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan tabi pada hadis terletak pada Asy-Sya’bi dan Abi al-Khair.

Jika yang diteliti dari jalur Asy-Sya’bi maka sebagai tabi’ adalah Abi al-Khair.

Begitu pula sebaliknya.

Namun Jika dilihat menggunakan ilmu filologi, hadis masyhur dengan ciri di atas maka dapat dikategorikan sebagai jalur jama’ dan teks jama’. Demikian karena hadis masyhur mempunyai jalur periwayat dan teks (lafadz dan makna) yang berbeda.

(2) Hadis Aziz

(24)

Hadis aziz dapat didefinisikan:

Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya (diriwayatkan orang banyak).

Hadis Aziz merupakan hadis yang diriwayatkan oleh minimal dua perawi dari awal sanad sampai akhirnya.12 Adapun menurut Ibnu Hibban Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak sekali- kali terjadi.

Contoh hadis ‘aziz adalah:

ُنِمْؤُي َل

ْمُكُدَََح َأ ىّتَح

َنوََُ كَأ

ّبَحَأ

ِهْيَلِإ

ِهِدِلاَو ْنِم

ِهِدَلَوَو

12 Ahmad Hendrix, Syarah Nukhbatul Fikar... hlm. 26.

(25)

Adapun skema sanad dari hadis di atas adalah:

َلوُسَر

ِهّللا ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّلَسَو

ِجَرْعَ ْلا

وُبَأ

ِناَمَيْلا يِبَأ

َةَرْيَرُه

وُبَأ

ِداَنّزلا

ٌبْيَع ُش

ٍسَنَأ نب كلام

ِدْبَع

ِزيِزَعْلا

ِنْب

ٍبْيَهُص

ُنْبا

َةّيَلُع

ُبوُقْعَي

َميِهاَرْبِإُنْب

ةداتق

ةبعش

مدا

يراخبلا

(26)

Skema di atas menggambarkan hadis 'aziz, karena ada dua jalur isnad yang dimiliki oleh al-Bukhari, melalui Anas dan Abu Hurairah. Jika dilihat dari penyandarannya, hadis tersebut termasuk marfu' qauli, selain juga disebut muttashil dan musnad karena isnadnya berkesinambungan sampai Rasulullah.

Hadis di atas terdapat perbedaan redaksi dari beberapa jalur periwayatan, yakni: diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan jalur lain:

ُنِمْؤُي َل

ْمُكُدَح َأ ىّتَح

َنوُكَأ

ّبَحَأ

ِهْيَلِإ

ِهِدِلاَو ْنِم

ِهِدَلَوَو

ِساّنلاَو

َنيِعَمْج َأ

Perbedaan tersebut yakni dengan adanya tambahan lafadz

ِساّنلاَو

َنيِعَمْج َأ

dari jalur sahabat Anas bin Malik.

Adapun dipandang dengan ilmu filologi, hadis tersebut termasuk dalam

(27)

jalur jama, dikatakan sebagai jalur jama’

karena hadis aziz terdapat syahid dan tabi’. Terdapat syahid pada thabaqah sahabat bernama Abu Hurairah dan Anas bin Malik. Jika suatu jalur yang diteliti dari jalur Abu Hurairah, maka Anas bin Malik sebagai syahid dari Abu Hurairah, begitu pula sebaliknya.

Selain syahid, ternyata terdapat tabi’

pada thabaqah tabi’in bernama Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz bin Shahib. Jika dilihat diteliti dari jalur Qatadah, maka ‘Abdul

‘Aziz bin Shahib sebagai mutabi’nya, sebigu pula sebaliknya. Karenanya, hadis di atas dikatakan sebagai jalur jama’

(tidak hanya satu jalur periwayatan), juga termasuk dalam teks jama’ karena hadis tersebut dapat dibandingkan dengan riwayat jalur lain.

(c) Hadis Gharib

Hadis gharib dapat didefinisikan:

(28)

Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Syarah kitab nukhbat al-fikar karya Ahmad Hendrix menegaskan bahwa hadis gharib adalah hadis yang di antara awal sampai akhir sanadnya ada yang hanya satu perawi saja. Adakalanya hadis gharib diriwayatkan oleh hanya satu perawi saja dari awal sampai akhir sanad yang disebut dengan gharib mutlak atau disebut juga fard mutlak.

Jika kemudian rawi yang bersendirian tersebut ada di poros sanad yang tengah, maka dinamakan fard nisbi, hanya saja jarang disebut sebagai fard, seringnya menggunakan istilah gharib.13 Mahmud at- Thahhan mengatakan gharib nisbi

13 Ahmad Hendrix, Syarah Nukhbatul Fikar... hlm. 30.

(29)

terdapat kegharibannya di pertengahan sanad. Asalnya banyak rawi yang meriwayatkan hadis tersebut, hanya saja terdapat satu riwayat yang menyendiri dari beberapa riwayat itu.14

14 M. Mashuri Mochtar, Kamus Istilah Hadis ... hlm. 228.

(30)

Contoh hadis gharib fard adalah:

ءلولا ةمحل

ةمحلك بسنلا

ل عابي لو بهوي

بوقعي نب

ميهاربإ

دمحم نب نسحلا

نبا رمع

هللادبع نب

رانيد

يعفشلا

َلوُسَر

ِهّللا ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّلَسَو

(31)

Banyak rawi hadis yang meriwayatkan hadis melalui jalur isnad yang bersumber dari Ibnu 'Umar ini. Di antaranya adalah asy-Syafi'i, al-Baihaqi, ad-Darimi dan Ibnu Hibban. Dalam skema di atas disebutkan jalur asy-Syafi'i, dimana dalam isnadnya terdapat penyendirian personalia dari seorang rawi hadis, yaitu 'Abdullah bin Dinar yang hanya menerima hadis tersebut dari Ibnu 'Umar. Tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadis ini dari Ibnu 'Umar selain dirinya. Kebanyakan muhaddis tidak membedakan antara hadis gharib dengan hadis fard, karena keduanya sinonim.

Namun sebagian muhaddis

membedakan keduanya dengan

memandang banyak dan sedikitnya penggunaan. Istilah fard banyak dikonotasikan pada fard mutlak,

(32)

sedangkan gharib dikonotasikan pada fard nisbi. Hanya saja, dalam penggunaan kalimat untuk pengungkapan status keduanya, para muhaddis hampir tidak membedakannya, baik yang mutlak atau nisbi sama-sama dikatakan, tafarrada bihi fulan, atau aghraba fulan. Jalur isnad di atas oleh sebagian ulama juga dijadikan contoh untuk hadis fard muthlak.

Hadis di atas merupakan contoh dari jalur tunggal dan teks tunggal. Demikian karena hadis tersebut diriwayatkan hanya dengan satu jalur periwayat saja. Begitu juga teks (lafadz dan makna) hadis memiliki teks yang sama. Sehingga hadis tersebut tidak dapat dibandingkan dengan hadis lain. Demikian juga teks tunggal mempunyai ciri khas yang sama.

(33)

Adapun contoh hadis gharib namun berakhir masyhur,

اَمّنِإ

ُلاَمْعَ ْلا

ِتاّيّنلاِب اَمّنِإَو

ّلُكِل

ٍئِرْما ىَوَن اَم

َلوُسَر

ِهّللا ىّلَص

ُهّللا

ِهْيَلَع

َمّلَسَو

َةَمَقْلَع

ٍصاّقَوَنْب

ىَيْحَي

ٍديِعَس ُنْب

ّيِراَصْنَ ْلا

َرَمُع

ِباّطَخْلاَنْب

ُدّمَحُم

َميِهاَرْبِإُنْب

ّيِمْيّتلا

ُداّمَح

دمحم نب

حمر

نبا ىنثثملا نبا

نامعنلا

لسم راخب م

ي

(34)

Hadis di atas merupakan hadis gharib pada awal sanad, namun terjadi masyhur dalam akhir sanad. Hadis tersebut dari awal sanad sampai generasi keempat hanya diriwayatkan melalui satu jalur, akan tetapi setelah generasi kelima banyak orang yang meriwayatkan hadis tersebut, meski tidak sampai pada tingkatan mutawatir, tapi sudah termasuk dalam kategori masyhur.

Adapun hadis tersebut terdapat tabi’

pada generasi kelima sanad hadis.

Dikatakan terdapat tabi’ karena terjadinya rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dalam thabaqah setelah sahabat. Tabi’ di atas terjadi pada rawi hadis yang bernama ‘Abdul Wahab, Malik, al-Laist, Hammad dan Sufyan. Jika hadis yang diteliti dari rawi ‘Abdul Wahab maka lainnya merupakan mutabi’nya, segutu pula sebaliknya.

(35)

B. Kaidah-kaidah Penutur teks dan Subtansi teks.

1.Penutur teks

Dalam pembahasan sebelumya telah dijelaskan mengenai Syahid dan Tabi’. Masih dalam satu pembahasan yang mana penutur teks pada kajian filologi merupakan seseorang yang mengawali produksi teks dalam sebuah naskah. Dalam kurun waktu yang lama, saya membuat permisalan dalam kurun waktu dua atau tiga tahun setelah terproduksinya karya tulis seseorang sebut saja si A, yang mana karya si A menjadi populer membuat seorang intelektual lainnya (si B, C, D, E) menggunakan karyanya tersebut untuk membuat karya tulis yang sama akan tetapi memiliki ciri yang berbeda.

Si A, B, C, D, dan E merupakan seorang penutur teks yang ia buat. Ketika masing-masing karya tersebut tidak terdapat pencantuman tanggal maupun tahun produksinya, maka untuk

(36)

mengatahui mana teks yang asli pertama kali muncul maka diperlukan kajian filologi.

Sama halnya pada studi Ilmu Hadis, ketika suatu hadis muncul dikalangan orang arab dulu, mereka akan secara spontan akan menyebarkan hadis tersebut. Pada penutur pertama sampai penutur terakhir yang menjadi pengoleksi hadis dalam sebuah karya mereka ada usaha untuk menyeleksi yang benar-benar murni dari kesalahan. Pada taraf penuturan satu sama lain pasti memiliki perbedaan, baik dari segi penutur lafadz yang mana lafadz penutur pertama dan penutur kedua memiliki maksud sama akan tetapi lafadz penutur berbeda.

Dalam meneliti akan keaslian penutur teks B,C,D,E sama dengan penutur teks asli maka diperlukan kriteia-kriteria yang memungkinkan bersih dari kesalahan pelafadzan. Semisal contoh sebuah hadis yang berbunyi:

(37)

َلاَََق

ُلو ََُسَر

ِهّللا ىّل َََص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّلَسَو

َبَذَك ْنَم

ّيَلَع اًدّمَعَتُم

ْأّوَبَتَيْلَف

ُهَدَعْقَم

ْنِم

ِراّنلا

Barang siapa sengaja berdusta terhadapku (atas namaku), maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka”.15

Hadis diatas diatas dikeluarkan oleh Ulama hadis pada umumnya, mereka sepakat akan pentingnya jujur dalam menyampaikan risalah Nabi Muhammad Saw dengan tidak berdusta akan kepadanya.

Teks hadis diatas dituturkan oleh 40 orang sahabat dan bersih dari kesalahan pelafadzan maupun maknanya. Semisal teks hadis yang berbicara tentang kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi, yang mana teks hadis tersebut yang mendengar ratusan sahabat dan para sahabat tersebut tidak mengurangi lafadz maupun maknanya.

15 Lidwa Pustaka i-Software Kitab 9 Imam Hadis

(38)

Seorang filolog ataupun muhaqiq memiliki krtiteria tersendiri untuk menyeleksi apakah penutur yang diteliti bisa diterima subtansi penuturnya atau malah ditolak. Diantaranya:

a. Seorang penutur memiliki kapasitas intelektual yang luas. Baik dari segi kecerdasan bahasa, penuturan, dll.

b. Penutur dikenal seorang yang jujur dalam setiap penyampaian risalah.

c. Seorang penutur memiliki nilai-nilai yang dipandang dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitar, mungkin dalam ilmu hadis seperti halnya bersifat Adalah.

2. Subtansi teks

Subtansi teks merupakan isi dari sebuah naskah yang ada, naskah tersebut terhimpun berbagai teks yang bermacam-macam. Dalam edisi subtansi teks memiliki sistem edisi revisi, pembenahan lafadz, maupun pengurangan lafadz. Sehingga terdapat beberapa variasi dalam setiap subtansi teks.

(39)

Seorang penutur akhir yang ingin mengetahui maksud atau menemukan subtansi teks, mereka akan melakukan pendekatan terhadap teks yang ada, sehingga mereka akan menemuan berbagai kejanggalan dan kesalahan antara satu dengan yang lainnya.

Subtansi hadis yang ada membutuhkan seleksi pemahaman yang beragam untuk menemukan maksud yang ingin dicapai penutur pertama. Antara subtansi teks hadis satu dengan yang lainnya memiliki kaidah tersendiri, dari tidak boleh bertentangan, kejanggalan, dll. Berikut kaidah yang diperlukan apabila terdapat hadis-hadis yang bermasalah:

a. Mukhtalaf al-Hadis

Mukhtalaf al hadis merupakan dua hadis yang saling bertentangan dalam maknanya secara lahir. Menurut at- Thahhan, mukhtalaf al hadis adalah hadis maqbul yang bertentangan dengan hadis

(40)

sederajat, serta keduanya dapat dikompromikan (jam’u).

Menyikapi kasus kontradiktif hadis tersebut, para ulama berbeda pandangan.

Umumnya dalam menyelesaikan hadis kontradiktif tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, antara lain.

(1)Menggabungkan dua hadis yang bertentangan melalui cara-cara penggabungan yang benar, seperti membatasi hadis yang umum dengan yang khusus, dan sebaiknya. Dalam hal ini para ulama menyebutnya talfiq al-hadis.

(2)Jika kedua hadis mungkin digabung maka dengan meninjau sejarah kemunculan keduanya dan menerapkan konsep nasikh mansukh.

(3)Jika tidak ditemukan terjadinya nasikh (pembatalan), maka dengan menelisik hadis yang lebih unggul di antara keduanya.16

16 M. Mashuri Mochtar, Kamus Istilah Hadi, hlm. 276-277.

(41)

b. Ma’anil Hadis

Ma’anil hadis secara etimologi bermakna pemaknaan hadis. Namun, secara terminologi adalah upaya untuk menjaga otentisitas hadis dari segi matannya dengan mengetahui otentisitas transmisi sanadnya terlebih dahulu.

Agenda besar dari ma’anil hadis tersbut yaitu hadis-hadis Nabi yang sudah terkodifikasikan tidak hanya sebagai teks masa lalu, namun menjadikannya sebagai rujukan.17

Kritik teks yang dapat digunakan di atas, dapat dianalisa bahwa dengan cara mukhtalaf al-hadis dan ma’anil hadis dapat mengetahui bentuk teks yang ada dalam hadis mutawatir dan ahad. Selainnya, juga dapat mengetahui ada tidaknya syahid dan tabi’ dalam hadis tersebut. Sehingga dapat diketahui contoh dan bentuk dari teks tunggal dan teks jama’nya.

17 M. Achwan Baharuddin, Visi Misi Ma’ani al-Hadis dalam Wacana Studi Hadis (Jombang: Tafaqquh, Vol. 2, No. 2, Desember 2014), hlm. 53.

(42)

D. Lambang-Lambang Para Penutur Teks 1. Ketentuan Lambang Penutur Teks

Disiplin ilmu filologi pada umumnya selalu mengungkapkan manuskrip dari mana sumber itu berasal. Untuk itu di dalam kajian hadis tentu sudah ada disiplin ilmu yang mengatasi permasalahan tersebut. Tahammul wal Ada’

merupakan kajian yang membahas secara khusus sebagai solusi untuk mengetahui keaslian teks tersebut.

Dalam bahasa Arab penerimaan disebut tahammul. 18Korelasi makna tahammul dengan hadis yaitu membawa, memikul, atau mengangkat periwayatan hadis.Tahammul diartikan sebagai upaya mengambil dan menerima hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode.

18Kata tersebut berasal dari kata hamal-yahmilu-hamlan لمح -لمممحي -لمممح yang artinya membawa, memikul, mengangkat, atau mengandung.

(43)

Mahmud al-Thahan19 juga telah memperjelas tentang makna tahammul.

ُناَيَب

ِقُرُط

ِهِذْخَأ

ِهْيِقْلَتَو

ِنَع

ِخْوي ّشلا

Penjelasan metode pengambilan periwayatan hadis dan penerimaannya dari para syekh.

Sementara itu penyampaian hadis dalam istilah ulama hadis dikenal dengan ada’20. Ada’

diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dilaksanakan di dalam waktunya. Dalam konteks ini, ada’ diartikan melaksanakan atau menyampaikan periwayatan hadis. Adapun secara istilah, ada’diartikan,

ُةَياَوِر

ِثْيِدَحلا

ِهِغْيِلْبَتَو

Meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada orang lain

19Lahir pada tahun 1935 di kota Halab Suriah, merupakan salah seorang dosen di Universitas Kuwait, merupakan seorang Doctor dan mempunyai karya yang bernama taisir musthalah hadis.

20Kata tersebut berasal dari kata اتيدعت ىدؤي ىدأ yang artinya melaksanakan sesuatu - - pada waktunya, membayar pada waktunya, atau menyampaiakan kepadanya

(44)

Proses tahammul dan ada’ ialah proses interaktif dalam periwayatan antara penutur teks dan penghimpun teks. Penutur teks adalah guru, sedangkan penghimpunteks bisa dikatakan penghimpun atau juga dikatakan penutur teks tergantung tingkatan thabaqahnya. Penutur teks dan penghimpunteksbiasa menggunakan tahammul wal ada’ dalam meriwayatkan sebuah hadis. Hal ini sangatlah diperlukan karena untuk menentukan keaslian teks yang selalu menjadi prioritas filologi dan tahqiq al-hadis.

Ulama hadis pada umumnya tidak memberikan syarat mengenaitahammul (penerimaan hadis). Berbeda dengan ada’

(penyampaian hadis), tidak semua penyampaian hadis dapat diterima. Dengan demikian persyaratan ada’ lebih berat daripada tahammul.

Sesungguhnya syarat penerimaan dan penyampaian hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindak pemalsuan.bl

(45)

Penetapan syarat-syarat tersebut telah ditetapkan oleh para ulama sesudah generasi sahabat, terutama saat hadis dihimpunkan ke dalam kitab-kitab.21 Sementara itu ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang menerima hadis. Menurut ulama Syam mengatakan bahwa tahammul sebaiknya dimulai setelah usia tiga puluh tahun. Sedangkan menurut ulama Kufah mengatakan bahwa tahammul dilakukan setelah usia dua puluh tahun.

Di samping itu juga ulama berselisih mengenai usia anak dalam menerima hadis.

Jumhur ulama, yaitu diantaranya al-Qadhi Iyadh22 dan Ibnu Shalah23, berpendapat bahwa awal masa menerima hadis minimal berusia lima

21 Syuhudi Ismali, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 24.

22al-Imam al-Alamah al-Hafiz al-Qadi Abu Fadl Iyad bin Musa bin Iyad bin Amr al-Yahsubiy al-Andalusiy, dilahirkan di Ceuta (penghujung utara Maghribi) dan wafat pada tahun 544 H.

23Uthman bin Abdul Rahman bin Uthman bin Musa bin Abi Nasr, memiliki nama kunyah al-Imam mufti al-Islam Taqiyyuddin Abu Amr. Beliau lahir pada tahun 577 H di kota Arbil, Irak dan wafat pada tahun 643 H.

(46)

tahun.24 Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriwayatkannya ia telah masuk Islam dan mukalaf.

Sedangkan untuk syarat-syarat tahammul atau al-Ada>’ Mayoritas ulama hadis, ushul, dan fiqh sepakat telah menentukan syarat-syarat perawi yang menyampaikan hadis.

a. Beragama Islam b. Dewasa (akil baligh)25 c. Adil. 26

d. Dhabit. 27

e. Menjaga muru’ah

24 Abdul Majid Khon,Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 61-62, Cet. Ke-2.

25Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa, periwayatannya tidak dapat diterima. Demikian juga orang yang tidur dann gila (tidak berakal).

26Adil disini bermakna jujur, taqwa, tidak fasik, dan menjaga kehormatan diri. Seorang periwayat harus jujur dan bertaqwa sehingga berita yang disampaikan tetap terjaga.

27Dhabit artinya mampu kemampuan seorang periwayat dalam mengingat apa yang ia dengar ketika menerima periwayatan lalu menyampaikannya kepada orang lain. Apabila penyampaian periwayatan hendaknya terjaga dari kesalahan pergantian, dan kekurangan.

(47)

f. Konsinten dalam menjaga hafalan

g. Jika periwayat memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya

h. Sangat mengetahui hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya secara makna.

2. Telaah Lambang Para Penutur Teks

Tahammul wal ada’sebagai langkah tahqiq al-hadis merupakan salah satu term-term transmisi para penutur teks sebagaimana yang disepakati oleh ulama hadits, meliputi sima’28,

28 as-Sama’, yaitu penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari gurunya, dengan cara di dektekan atau disampaikan dalam pengajian (mudzakarah) baik melalui hapalan atau tulisannya. Jumhur Muhadditsin mengatakan, bentuk periwayatan ini dinilai sebagai cara yang tertinggi kualitasnya.Lafad-lafad yang dipergunakan akhbarani>y, akhbarana>, haddathani>yy, haddathana>, sami’tu, sami’na>.

(48)

al-Qira’ah29, ijazah30, munawalah31, mukatabah32, i’lam al-syaikh33, washiyah34, dan wijadah35. Pencantuman aspek ini selain untuk mengetahui keaslian teks juga untuk menunjukkan adanya proses periwayatan sejak Nabi menyampaikan sampai hadits dibukukan menjadi manuskrip.36 Prinsip ini digunakan untuk mengetahui

29 al-Qira’ah disebut juga al-Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada guru.

30 al-Ijazah, yaitu dengan cara guru memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik secara lisan maupun tulisan. Lafad yang dipergunakan seperti ajaztu laka riwa>yat al-Kita>b al- Fula>ni>y anni>y, ajaztu laka jami>’a masmu>’a>ti>y au marwiya>ti>y, ajaztu lil Muslimi>n jami>’a masmu>’a>ti>y.

31 yaitu cara seorang guru hadis memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksi olehnya untuk diriwayatkan.

32 yakni seorang guru menuliskan hadis yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang/murid tertentu.

33 yakni guru hadis memberitahukan kepada murid-muridnya bahwa yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari gurunya, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya

34 yakni pesan dari seorang guru hadis kepada muridnya agar diriwayatkannya ketika si guru tersebut meninggal atau bepergian

35 yakni metode yang tidak melalui sama’ atau ijazah, dimana seseorang memperoleh tulisan hadis dari seorang periwayat hadis baik dengan itu mempunyai lafad sama’, qira’ah maupun selainnya entah iu hidup sezaman maupun tidak, pernah bertemu ataupun tidak.

36 Perbedaan peringkat antara sima’ dan qira’ah dikarenakan mereka (selain al- Bukhari dan Muslim) di samping memasukkan hadis-hadis yang berkualitas sahih, juga memasukkan hadis-hadis yang berkualitas dha’if.

(49)

penyebaran hadits dan penerimaan, baik dari penutur teks maupun penghimpun teks.37 Tahammul wal ada’ dapat digunakan untuk melacakkeaslian manuskrip-manuskrip khususnya yang berkaitan dengan kitab hadis.

Untuk itu jumhur Muhaddithin membaginya ke dalam delapan macam atau yang lebih dikenal dengan sighat tahammul wal ada’.38

Jumhur Muhadditsin mengatakan, bentuk periwayatan sama’ dinilai sebagai cara yang tertinggi kualitasnya.39 Lafad-lafad yang dipergunakan akhbarani>y, akhbarana>, haddathani>yy, haddathana>, sami’tu, sami’na>. Seperti contoh:

يِراَخُبلا اَنَثّدَََح

ّيِدََْيَمُحْلا

ُدََْبَع

ِهّللا

ُنْب

ِرََْيَبّزلا

َلاَََق اَنَثّدَح

ُناَيْفُس

dalam hal ini berarti dari Al-Bukhari (penghimpun teks) dari Abdullah bin al-

37 Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami: Dalam Pemikiran Hadis (Counter Atas Kritik Orientalis)”, Jurnal Ulul Albab, Vol 15, 2 (2014), hlm. 222-241.

38 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm.

117..

39 Ali Baqa’i, Manhaj al Muhaddithin al- `Ammah wa al- Khas, vol.1 ( Beirut: Dar al- Basyayair al- Islamiyah,2009),71

(50)

Zubair(penutur teks) beliau berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah (penutur teks). Dari setiap para penutur teks dapat dilihat mereka selalu menggunakan shigat haddathana>’. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir

ين

(mutakallim) diganti dengan

ان

(jamak) sebagaimana contoh tersebut.

Pada periode awal Muhaddithin terbiasa menggunakan sighat

تعمََس

, sementara pada masa berikutnya lebih akrab dengan menggunakan lafadz

اَنَثّدَََح .

Namun demikian pada dasarnya kedua lafad tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk menceritakan hadis yang didengar langsung dari penutur teksnya. Jalur hadis yang diriwayatkan dengan salah satu kalimat diatas menunjukkan ketersambungan/keaslian teks.

Kemudian dari shigat qira’ah sebagian ahli hadismelihatnya sebagai bagian yang terpisah,

(51)

sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan sima’adalah al- Zuhri, al-Bukhari, mayoritas Ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.40Lafad yang dipergunakan seperti qara’tu alayh, quri’a ala> Fula>n wa ana>

asma’u, haddathana> au akhbarana>

qira>’atan alayh.

Seperti contoh:

اَنَثّدَح

ُدْبَع

ِهّللا

َةَمَلْسَم ُنْب

َلاَق

ُت ْأَرَق ىَلَع

ٍكِلاَم

Sebagaimana yang telah disebutkan pada jalur hadis tersebut, bahwa seorang perawi yang bernama Abdullah bin Maslamah (penutur teks) mendapatkan riwayat hadisdari gurunya yang bernama Malik dengan membacakannya di hadapan gurunya dengan menggunakan metode al-Qira’ah.

Kemudian dalam hal mukatabah memiliki dua hukum yakni ada yang dibarengi ijazah dan

40 Nuruddin Athar, Manhaj al-Naqad fî Ulûm al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al- Ma`arif, 2002), hlm. 224.

(52)

tidak dibarengi ijazah.Mukatabah yang dibarengi ijazah itu dikatakan sah sedangkanyang tidak dibarengi ijazah. Hal tersebut diperselisihkan baik oleh ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin. Pendapat Imam al-Ghazali yang disetujui oleh Ibnu Shalah mensyaratkan mukatabah harus ada bukti yang meyakinkan.

Misalnya:

اَنَثَدَح نَلُف

َلاَق يِنَرَبْخَأ

نَلُف ةَباَتِك

Dalam hal ini berarti si Fulan telah menerima hadis dari gurunya si Fulan melalui riwayat tulisan darinya. Para Muhadditsin dan Malikiyah memperselisihkan al-Wijadah, mereka tidak membolehkan sedangkan as-Syafi’iy membolehkan.41

Lafad-lafad dalam menyampaikan hadis pun dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni:

41 M. Alfatih Suryadilaga, et. al., Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010). hlm.

127-128.

(53)

a. Lafad meriwayatkan hadis bagi para penutur teks yang mendengar langsung dari gurunya, seperti halnya;

،تعمس

انعمس

lafadini menjadikan nilai hadis

yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengar sendiri.

،ينثدََح

انثدََح

lafad-lafad tahdis diatas oleh

jumhur kadang-kadang dirumusukan

،ىن ،ىنث

،ىنثد

،ان

انثد .

،اََنأبنأ

،اََنأبن لاََق

ىل

،(اََنل)

نلف

kedua lafad ini

sedikit sekali pemakaiannya.

Disamping itu lafad-lafad di atas kadang juga kita jumpai rumus-rumus yang biasa terdapat pada sebuah manuskrip. misalnya seperti;

اَنَثَق

berarti

: انثّدح لاق

ىِنَثَق

berarti

: ىنثّدح لاق

(54)

b. lafad riwayat bagi seorang penutur teks yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengarnya sendiri, yaitu:

ىوَر ىكُح ،

نَع ،

،

42

ّنَأ

Hadis yang diriwayatkan dengan sighat tamridl ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi benar-benar menyabdakan, kecuali jika adanya qarinah lain.43

Di samping itu, simbol

ح

merupakan sebuah rumus yang mengindikasikan untuk satu hadis yang mempunyai dua sanad atau lebih menurut Muhadditsin termasuk Imam Nawawiy44. Apabiladalamsebuah hadis terdapat simbol

ح

maka hal itu

42 Menurut Imam al-Bukhari, Ibnu Madiny dan para Muhaqqiqin dapat dikategorikan muttashil bila ia bukan seorang mudallis dan pernah berjumpa.

Sedangkan menurut Imam Muslim ia harus hidup semasa (ishtira>t{ul mu’a>s{arah). Dan sebagian ulama lain mengatakan si mu’an’in ini benar- benar menerima hadis dari gurunya.

43 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Yogyakarta: PT AlMa’arif, 1974), hlm. 252-256.

44Yahya bin Sharaf bin Muriy bin Hasan bin Husein bin Hazam bin Muhammad bin Jum’ah, beliau memiliki nama kuniyah Abu Zakariya, Muhyiddin. Seorang dikenal al-Faqih, al-Hafiz al-Syafi’iy dan wafat pada tahun 676 H.

(55)

mengindikasikan bahwa dalam sebuah hadis terdapat dua jalur sanad atau lebih, namun masih dalam satu guru. Rumus

ح

merupakan istilah daritahawwul atauberalih.

Seperti contoh:

اَنَثّدَح

ُصْفَح

ُنْب

َرَََمُع

ُمِل ََْسُمَو

ُنْب

َميِهاَرََْبِإ

َلاَََق

اَنَثّدَح حُةَبْع ََُش اَنَثّدَََح و

ٌدّد َََسُم اَنَثّدَََح

وُبَأ

َةَََناَوَع

اَذَهَو

ُظْفَل

ٍصْفَح

َناَمْيَلُس ْنَع يِبَأ ْنَع

ٍلِئاَو

ْنَع

َةَََفْيَذُح

َلاَََق ىَتَأ

ُلو ََُسَر

ِهّللا ىّل َََص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّلَسَو

Dalam hadis tersebut tersebut memiliki dua jalur sanad . Hal itu terbukti dari jalur pertamayaitu dari Hafsh bin Umar dan Muslim bin Ibrahim (mempunyai guru yang sama) dari Syu’bah bin al-Hajjaj. Kemudian jalur kedua dari Musaddad bin Musrihad dari Abi Awanah.

Akan tetapi lafad hadis tersebut berasal dari Hafs. Dari kedua jalur tersebut Sulaiman bin Mihran adalah sebagai sumberpenutur teks atau biasa dikenal dengan commont link.

(56)

E. Konsep Skema Penutur Teks

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai jalur periwayatan sanad mempunyai variasi yang beragam. Dalam kajian filologi dikenal dengan teks tunggal dan teks jama’. Kedua hal tersebut disebabkan ada dan tidaknya syahid dan tabi’ di setiap jalurnya. Jika suatu jalur terdapat syahid dan tabi’ maka dapat dipastikan sebagai teks jama’. Namun jika tidak mempunyai syahid dan tabi’ maka disebut dengan teks tunggal.

Dalam pembahasan sebelumnya juga telah disingung tentang keorisinalan sebuah manuskrip guna untuk melacak ketersambungan para penutur teks. Sesungguhnya tahammul wal ada’ sendiri merupakan ilmu yang membahas seputar bagaimana cara penutur teks menerima sebuah riwayat atau naskah dari gurunya. Tahammul wal ada’ sendiri memiliki delapan metode untuk mengungkapkan manuskrip yang telah dituturkan oleh para penutur teks hingga sambung kepada Nabi Muhammad Saw seperti yang telah dijelaskan di atas.

(57)

Adanya langkah skema penutur teks bertujuan untuk mengungkapkan metode stema yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab awal. Metode stema bertujuan mendekati teks asli melalui data- data naskah dengan memakai perbandingan terhadap teks. Hal ini sangat penting dilakukan karena untuk melihat genealogi dari para penutur teks sehingga benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw.

Oleh sebab itu, apabila terdapat kerusakan teks hadis maka dapat ditelusuri dari semua kesalahan dan penyimpangan.Dan dapat dipastikan bahwa teks itu berasal dari penyalinan asli. Pada prinsipnya tidak menutup kemungkinan jika mampu untuk menemukan bentuk teks seperti yang terdapat dalam “archetype” (Naskah awal) yang sudah hilang.45

Sebagaimana contoh skema periwayatan teks jama’

45Nabilah Lubis, Naskah, Teks Dan Metode Penelitian FILOLOGI, (Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI, 2007).

Hlm. 78.

(58)

اَنَثّدَح وُبَأ

ٍرَفْعَج

ُدّمَحُم

ِحاّبّصلا ُنْب

ُدََْبَعَو

ِهّللا

ُنْب

ٍنْوَع

ّيِل َلِهْلا اًعيِمَج

َميِهاَرْبِإ ْنَع

ٍدْعَس ِنْب

َلاَق

ُنْبا

ِحاّبّصلا اَنَثّدَح

ُميِهاَرََْبِإ

ِدْعَس ُنْب

َميِهاَرْبِإ ِنْب

ِدْبَع ِنْب

ِنَمْحّرلا

ِنْب

ٍفْوَع اَنَثّدَح

يِبَأ

ِ م ِ ََساَقْلا ْنَع

ٍدّمَحُم ِنْب

َة َشِئاَع ْنَع

ْتَلاَق

َلاَق

ُلوُسَر

ِهّللا ىّلَص

ُهّللا

ِهََْيَلَع

َمّل َََسَو

َثَدََْحَأ ْنَم اَنِرْمَأ يِف

اَذَه اَم

َسْيَل

ُهْنِم

َوُهَف

46

ّدَر

46Muslim bin al-H}ajja>j, S}ah}i>h} Muslim, kita>b al-Aqd}iyyah, bab Naqd{ al-Ah{ka>m al-Ba>t{ilah warada Muh{addatha>h al-‘Umu>r.

(59)
(60)

Jalur sanad di atas dalam kajian filologi disebut sebagai contoh teks jama’. Hal ini bisa dilihat dari jalur tersebut yang memiliki syawahid pada tingkatan tabi’in-tabi’in. Setidaknya terdapat empat penutur teks yang mempunyai guru yang sama yaitu Ibrahim bin Sa’ad yang juga sebagai seorang penutur teks. Dalam konsep yang digagas oleh Juynboll dikenal sebagai commont link. Itu artinya jalur tersebut memiliki beragam variasi namun masih dalam satu makna.

Jalur rangkaian sanad diatas juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.47 Pada intinya berakhir pada titik temu, yaitu Sa’ad bin Ibrahim bin Abdur Rahman bin Auf, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah binti Abu Bakar, dari Rasulullah Saw. Kemudian untuk jalur

47Hadits di atas diriwayatkan melalui empat jalur, yang mana pada jalur pertama (dari sebelah kiri), hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Muhammad b.

Utsman, dari Ibrahim b. Saad, dari Saad b. Ibrahim, dari al Qasim b. Muhammad, dari Aisyah bnti Abu Bakar, dari Rasulullah. Jalur kedua diriwayatkan oleh Al- Bukhari, dari Ya’kub b. Ibrahim, dari Ibrahim b. Saad, dari Saad b. Ibrahim, dari Al-Qasim b. Muhammad, dari Aisyah bnti Abu Bakar, dari Rasulullah. Jalur ketiga diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Muhammad b. Ash Shabbah, dari Ibrahim b.

Saad, dari Saad b. Ibrahim , dari Al-Qasim b. Muhammad, dari Aisyah bnti Abu Bakar, dari Rasulullah. Jalur keempat diriwayatkan oleh Muslim, dari Muhammad b.Ash Shabbah, dari Ibrahim b. Saad, dari Saad b. Ibrahim, dari Al-Qasim b.

Muhammad, dari Aisyah bnti Abu Bakar, dari Rasulullah.

(61)

Imam Muslim dan Abu Dawud sudah bertemu terlebih dahulu pada jalur Muhammad b. Ash- Shabbah. Namun pada akhirnya mereka sama- sama bertemu pada Tabi’in Sa’ad bin Ibrahim, meskipun setiap jalur mempunyai kekhasan tersendiri dalam memposisikan mengambil hadits dari Sa’ad bin Ibrahim.

Di samping itu, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Bukhari, dan Abu Dawud terlihat bahwa ketiganya bertemu penutur teks pada tingkat Tabi’ut Tabi’in yang bernama Ibrahim bin Sa’ad. Sedangkan pada jalur yang diriwayatkan oleh Muslim sama halnya dengan jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Namun pada akhirnya mereka sama-sama saling bertemu pada generasi Tabi’in yaitu Sa’ad bin Ibrahim, Al-Qasim bin Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar kemudian berakhir pada Nabi.

Hadis di atas memiliki genealogi penutur teks yang jelas. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan;

1. Muhammad bin Ash Shabbah48 wafat pada tahun

48Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ash Shabbah bin Sufyan, hidu pada masa Tabi’ut Atba’ kalangan tua dan mempunyai nama kuniyah yaitu Abu Ja’far.

(62)

227 H dan Abdullah bin Aun49, dari Ibrahim bin Saad50 wafat pada tahun 185 H, dari Saad bin Ibrahim51 wafat pada tahun 125 H, dari Al-Qasim bin Muhammad52 wafat pada tahun 106 H, dari

Adapun negeri semasa hidupnya yaitu Baghdad. Guru beliau diantaranya Ishaq bin Yusuf bin Mardas, Zakariya bin Mandhur, Hafis bin Ghiyas,Sufyan bin Uyainah, Hatim bin Ismail, Said bin Muhammad, Ibrahim bin Saad. Murid beliau diantaranya Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majjah, Ahmad bin Ali bin Al Abar, Ja’far bin Muhammad al Firyabi, Husain bin Ishaq at Tustari.

49Nama Lengkapnya adalah Abdullah bin Aun bin Abi Aun, beliau termasuk kalangan atba’ut tabi’in. Beliau mempunyai nama kuniyah yaitu Abu Muhammad dan wafat pada tahun 232 H. Guru beliau; Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Jarir bin Abdul Humaid, Hafs bin Giyath. Murid beliau diantaranya Muslim, Musa bin Harun, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Abbas bin Muhammad bin al-Daury.

50Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdur Rahman bin Auf merupakan golongan Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan beliau mempunyai nama kuniyah Abu Ishaq sama seperti ayahnya dan hidup di Madinah. Beliau mempunyai guru diantaranya Sa’ad bin Ibrahim, Abi Shakhr Humaid bin Ziyad al- Madani, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sholih bin Kisan, Shafwan bin Sulaim. Murid beliau diantaranya Muhammad bin ash-Shabbah, Ibrahim bin Hamzah az-Zubairi, Ibrahim bin Ziyyad al-Khoyyad al-Baghdadi, Ahmad bin Abdul Malik bin Waqid al-Harrani, Abdur Rahman bin Mahdi.

51Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf lahir 655M atau 34 H beliau termasuk Tabi’in kalangan biasa yang hidup di Madinah dan mempunyai nama kuniyah Abu Ishaq. Guru beliau diantaranya Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Ibrahim bin Saad bin Abi Waqash, Anas bin Malik, Abi Umamah as’ad bin sahal bin Hunaif, Hakim bin Mina’. Murid beliau diantaranya adalah Ibrahim bin Sa’ad, Hmmad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Zakariya bin Abi Zaidah.

52Nama lengkapnya adalah Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq beliau termasuk Tabi’in kalangan pertengahan yang hidup di Madinah dan mempunyai nama kuniyah Abu Muhammad. Beliau mempunyai banyak guru besar diantaranya; Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas,

(63)

Aisyah binti Abu Bakar wafat pada tahun 58 H53. Seluruh sanad tersebut terlihat muttashil dimana seorang guru dan murid memiliki hubungan dan keterkaitan satu sama lain.

Dari segi sighat al-tahammul wa al-ada’jalur riwayat ini menggunakan metode haddatsana sebanyak sembilan kali, kemudian menggunakan metode ‘an sebanyak tiga kali, dan menggunakan lafad qala sebanyak satu kali. Lafad qala merupakan indikator penyampaian dari Nabi Muhammad Saw secara langsung kepada Siti Aisyah dengan tanpa adanya keraguan.

Dari genealogi tersebut terlihat bahwa para penutur teks menerima dan menyampaikan hadis menggunakan sighat

َلاَق , ْنَع , اَنَثّدَح .

Di dalam manuskrip lafad haddthana biasa disingkat dengan

Ibnu Umar, Zainab binti Jahsy, Abu Hurairah. Dan murid-murid beliau diantaranya adalah Sa’ad bin Ibrahim, Asy Sya’bi, Nafi’ Al Umari, Salim bin Abdillah, Salim bin Hazm, Az-Zuhri, Yahya bin Said.

53Nama Lengkapnya adalah Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq beliau termasuk kalangan Sahabat sekaligus istri Nabi Muhammad saw, beliau mempunyai nama kuniyah yaitu Ummu Abdullah, lahir pada tahun ke-5 kenabian. Sebagai seorang istri Rasulullah yang sekaligus menjadi guru beliau sendiri dan mempunyai murid diantaranya Amrah binti Abdurrahman, Hafshah binti Sirrin, dan Aisyah binti Thalhah.

(64)

اَنَثَق atau انثد.

Hal tersebut menunjukkan keaslian teks bahwa para penutur teks dalam meriwayatkan hadis di atas benar-benar berasal dari Nabi. Karena haddthana merupakan simbol tertinggi yang terdapat pada shigat tahammul wal ada’ dan dapat dijamin ketersambungannya ketika berkaitan dengan manuskrip dalamkajian filologi.

Di sisi lain, rangkaian hadis diatas terdapat shigat

نع

yang menurut pandangan para Muhadditsin masih diperselisihkan, apakah sanad itu muttashil atau tidak. Namun, berdasarkan pandangan Imam Muslim jika seorang perawi hi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini peneliti mengamati dan menyimpulkan bahwa metode demonstrasi dirasa cukup baik dan efektif digunakan dalam pembelajaran Al- Qur’an hadis karena untuk memahami kata

Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah untuk mencari makna hadis tentang kriteria perempuan yang baik untuk dijadikan istri dalam

sudah pasti siswa tersebut mempunyai kemampuan membaca mad tabi’i lebih baik. Pada tes kemampuan membaca surat-surat pendek mata pelajaran Al- Qur’an Hadis sis wa kelas IV

Setelah dilakukan penelitian dapat dinyatakan bahwa hadis tentang jaminan keamanan bagi kafir dhimmi> dalam kitab Sunan al-Nasa'i no indeks 6952 tersebut dapat dinyatakan

indeks 3229, maka dapat dinyatakan bahwa penyebutan perawi hadis mulai dari pertama sampai terakhir seluruhnya sanadnya bersambung (muttas{il) baik mulai dari awal sampai

Ditinjau dari jumlah rawi yang meriwayatkan hadis di atas, hadis nomor ini hanya diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas bahkan hingga Atba’ altabi’in diriwayatkan oleh sate

Berdasarkan kaidah kesahihan sanad dan matan hadis, sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab II, yaitu tidak ada sya>dz dan ‘illat, serta tidak bertentangan dengan hadis

Modul Ajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk Murid Kelas Empat SD Negeri 1 Padarek tentang Membaca Surah Al-Hujurat dan Hadis tentang