• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN

N/A
N/A
Alfi Diyati

Academic year: 2024

Membagikan " BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN

Metode Penelitian Kualitatif

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi PAI Di Sekolah/Madrasah Dosen Pengampu : Siti Mariyah, M.Pd

MAKALAH

Oleh :

Kefin Supindo 1.22.5312 Mega Mustika 1.21.5224

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULUM TANJUNGPINANG

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur kita sampaikan kepada Allah Azza Wa Jalla. karena berkat rahmat, karunia-Nya, serta keridhaan-Nya jugalah kami dapat menyelesaikan makalah penelitian kualitatif yang berjudul “Bagaimana Manusia Bertuhan”. Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI Di Sekolah/Madrasah.

Dalam rangkaian proses pembuatan makalah, banyak sekali dukungan dari pihak eksternal agar makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan inspirasi kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.

Ucapan maaf kami sampaikan kepada para pembaca, apabila di dalam makalah ini terdapat paduan yang kata yang terkesan menyinggung bagi para pembaca.

Tanjungpinang, 21 Maret 2024

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Indentifikasi Masalah...2

1.3. Batasan Masalah...2

1.4. Rumusan Masalah...2

1.5. Tujuan...2

1.6. Manfaat...3

BAB II PEMBAHASAN...4

2.1. Pengertian Tuhan...4

2.2. Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan...5

2.3. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas...7

2.4. Sumber Psikologis, Sosiologis, Filsafat, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan...9

2.5. Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan...13

BAB III PENUTUP...15

3.1. Kesimpulan...15

3.2. Saran...15

DAFTAR PUSTAKA...16

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketika manusia melangkah ke dalam kehidupan, pertanyaan-pertanyaan tentang makna, tujuan, dan keberadaan Tuhan sering menghantui pikiran mereka. Ini adalah refleksi dari kebutuhan batiniah yang mendalam untuk mencari makna yang lebih tinggi dan mencari koneksi dengan yang transenden. Dalam berbagai bidang ilmu seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan teologi, fenomena ini telah menjadi subjek perdebatan dan penelitian yang menarik.

Pengertian tentang Tuhan sendiri telah mengalami variasi besar-besaran, tergantung pada konteks budaya, agama, dan pemikiran filosofis yang mempengaruhinya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa konsep ketuhanan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi manusia tentang diri mereka sendiri dan alam semesta.

Selain itu, manusia sering menemukan landasan kebertuhanan dalam dimensi spiritualitas. Melalui pengalaman spiritual, mereka merasakan kehadiran yang lebih besar dari diri sendiri dan menemukan makna dalam kehidupan yang kompleks ini.

Tak hanya itu, kebutuhan akan spiritualitas juga menjadi fokus perhatian dalam berbagai disiplin ilmu. Dari sudut pandang psikologis, spiritualitas menjadi sumber kekuatan emosional dan kesejahteraan mental. Sosiologi memperhatikan bagaimana agama dan kepercayaan religius memengaruhi struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat.

Filsafat dan teologi mempertimbangkan argumen-argumen rasional dan ajaran agama untuk mendalami konsep ketuhanan.

Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi mengapa manusia memerlukan spiritualitas, apa sumber-sumber psikologis, sosiologis, filsafat, dan teologis tentang konsep ketuhanan, serta bagaimana cara-cara mereka meyakini dan mengimani Tuhan.

(5)

Dengan memahami latar belakang dan keragaman perspektif ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas hubungan manusia dengan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

1.2. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dihasilkan beberapa identifikasi masalah, yakni :

1.2.1. Pengertian Tuhan

1.2.2. Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan 1.2.3. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas

1.2.4. Sumber Psikologis, Sosiologis, Filsafat, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan 1.2.5. Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan

1.3. Batasan Masalah

Agar pembahasan ini dapat dilakukan dengan fokus yang jelas, maka penulis memberikan batasan masalah yakni fokus pada pengertian Tuhan, konsep spiritual sebagai landasan kebertuhanan, mengapa manusia memerlukan spiritualitas, sumber psikologis, sosiologis, filsafat, dan teologis tentang konsep ketuhanan dan cara meyakini dan mengimani Tuhan.

1.4. Rumusan Masalah

1.4.1. Apa Pengertian Tuhan?

1.4.2. Apa Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan?

1.4.3. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas?

1.4.4. Bagaimana Sumber Psikologis, Sosiologis, Filsafat, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan?

1.4.5. Bagaimana Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan?

1.5. Tujuan

1.5.1. Untuk Mengetahui Pengertian Tuhan

1.5.2. Untuk Mengetahui Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan 1.5.3. Untuk Mengetahui Manusia Memerlukan Spiritualitas

1.5.4. Untuk Mengetahui Sumber Psikologis, Sosiologis, Filsafat, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan

(6)

1.5.5. Untuk Mengetahui Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan

1.6. Manfaat

Kami mengharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat meskipun hanya sedikit kepada para pembaca dalam memahami pada pengertian Tuhan, konsep spiritual sebagai landasan kebertuhanan, mengapa manusia memerlukan spiritualitas, sumber psikologis, sosiologis, filsafat, serta teologis tentang konsep ketuhanan serta cara meyakini dan mengimani Tuhan.

(7)

BAB II PEMBAHASAN

.1. Pengertian Tuhan

Pembahasan tentang spiritualitas tidak pernah bisa dilepaskan dari pembahasan tentang Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam bahasa Al-Quran sering disebut dengan roh, merupakan anugerah Tuhan yang dilekatkan dalam diri manusia. Adanya roh atau spirit membuat manusia mengenal Tuhan dan dapat merasakan nikmatnya patuh pada sesuatu yang dianggap suci dan luhur. Tuhan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata lord dalam bahasa Inggris, segnor dalam bahasa Latin, senhor dalam bahasa Portugis, dan maulaya / sayyidi dalam bahasa Arab. Semua kosakata di atas menyaran pada makna

“tuan”. Kata “Tuhan” disinyalir berasal dari kata tuan yang mengalami gejala bahasa paramasuai sehingga diberi tambahan bunyi “h”, seperti “empas” menjadi “hempas”

“embus” menjadi “hembus”.

Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya). Tuhan adalah sesuatu yang tedapat dalam pikiran (mind) manusia. Dalam struktur manusia, hati merupakan kamar kecil yang terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hati atau merupakan satu titik kecil atau kotak kecil yang tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam hati, hati nurani merupakan garis manusia dengan Tuhan atau yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Dalam KBBI, kata Tuhan mempunyai arti zat yang menciptakan makhluk dan seluruh alam semesta; zat yang wajib disembah. Sementara Tuhan dalam pandangan para filosof adalah akal murni. Dalam pemikiran filsafat, realitas tertinggi adalah ide manusia dan kemestian logis dari pemikiran. Oleh karena itu, para filosof menyebutkan realitas tertinggi adalah “Tuhan” sebagai “Akal murni”. Namun jika Tuhan merupakan ide manusia, maka ide adalah hasil pemikiran akal yang terbatas.

(8)

Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Al-Quran menjelaskan, Allah berfirman dalam surah Al-an’am;103

ُريِبَخْلٱ ُفيِطّللٱ َوُهَو ۖ َر َٰصْبَ ْلٱ ُكِرْدُي َوُهَو ُر َٰصْبَ ْلٱ ُهُكِرْدُت ّل Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

.2. Konsep Spritual Sebagai Landasan Kebertuhanan

Doe (dalam Montohar, 2010: 36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Spritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.

Spritual, spritualitas, spritualitasme mengacu kepada kosa kata latin spirit atau spiritus yang berarti napas. Adapun kerja spirare yang berarti untuk bernapas. Berangkat dari pengertian etimologis ini, maka untuk hidup adalah untuk untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit (Aliah B. Purwakania, 2006: 288). Spirit dapat juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa, dan napas (Hasan Shadily, 1984: 3278).

Dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat diartikan sebagai: 1) kekuatan kosmis yang memberi kekuatan kepada manusia (yunani kuno); 2) makhluk immateril seperti peri, hantu dan sebagainya; 3) sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian yang ada dalam alam menyeluruh; 4) jiwa luhur dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak tinggi, menguasai keindahan, dan abadi; 5) dalam agama mendekati kesadaran ketuhanan; 6) hal yang terkandung dalam minuman keras, dan menyebabkan mabuk (Hasan Shadily, 1984: 3278).

Selanjutnya dalam Ensiklopedi Indonesia spiritual adalah: 1) bentuk nyanyian rakyat yang bersifat keagamaan, dikembangkan oleh budak-budak Negro dan keturunan mereka di Amerika Serikat bagian selatan; 2) yang berhubungan dengan rohani dan eksistensi kristiani yang berdasarkan kehadiran dan kegiatan roh kudus (s. spiritus) dalam setiap

(9)

orang beriman dan seluruh gereja. Adapun spiritualitas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir, merasa, berdo’a dan berkarya (Hasan Shadily: 3279).

Memang spiritualitas memiliki ruang lingkup dan pengertian yang luas. Aliah B.

Purwakania Hasan (2006) mengungkapkan hasil penelitian Martsolf dan Mickey tentang sejumlah kata kunci yang mengacu kepada pengertian spiritualitas, yakni makna (meaning), nilai-nilai (values), transendesi (transcendency), bersambungan (connecting), dan menjadi (becoming). Memang tampaknya pengertian spiritualitas merangkum sisi- sisi kehidupan rohaniah dalam dimensi yang cukup luas. Secara garis besarnya spiritualitas merupakan kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir, merasa, berdoa, dan berkarya (Hasan Shadily: 3728). Seperti yang dinyatakan William Irwin Thomson, bahwa spiritual bukan agama. Namun demikian ia tidak dapat dilepaskan dengan nolai-nilai keagamaan. Maksudnya ada titik singgung antara spiritual dan agama.

a. Inti Spritualitas

Jika kita bisa menerima bahwa kita adalah makhluk spiritual yang hidup dalam tubuh fisik, maka ;spiritualitas adalah tentang persatuan, kebenaran, tanggung jawab pribadi, pengampunan, kehendak bebas, cinta dan kedamaian. Yang paling penting, spiritualitas adalah tentang menciptakan realitas kita sendiri, mengalami realitas- realitas menjadi kebijaksanaan yang hidup dalam hukum alam semesta sehingga kita dapat berkembang secara rohani dan kembali ke Penciptaan Allah SWT.

Spiritual diri kita adalah diri sejati, bukan tubuh kita. Tubuh hanya sebagai kendaraan bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman negatif dan positif dapat membantu jiwa kita berkembang, kearah mana yang akan di tempuh dalam perjalanan hidup ini.

b. Relasi Spritualitas Dengan Agama

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa spiritualitas memang bukan agama. Akan tetapi, ia memiliki hubungan dari segi nilai-nilai keagamaaan yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan agama tampaknya memang tak dapat dinafikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam nilai-nilai

(10)

moral. Adapun nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai utama (summum bonum) dalam setiap agama.

Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai moral ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari, dorongan tersembunyi dalam diri manusia.

Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai moral itu disebut akhlak yang baik atau husn al-akhlaq (Muthada Muthahhari: 55).

Pemahaman ini menunjukkan, bahwa sebenarnya spiritualitas adalah potensi batini manusia. Sebagai potensi yang memberikan dorongan bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak mengherankan bila, spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam setiap ajaran agama.

.3. Mengapa Manusia Memerlukan Spritualitas

Modernisasi dan globalisasi membuat ruang spiritual (spiritual space) dalam diri kita mengalami krisis yang luar biasa hebat. Kita tidak lagi sempat untuk mengisi ruang spiritual itu dengan “hal-hal yang baik” dalam hidup kita. Justru sebaliknya, kita lebih terbiasa mengisinya dengan “hal-hal buruk”, yang menjadikan ekspresi kehidupan kita tampak ekstrem dan beringas. Hal itu, dengan sendirinya menjadikan hidup kita terpental jauh ke pinggiran eksistensi diri, yang dalam bahasa teologi keagamaan dinisbatkan dengan “terpentalnya diri kita dari Tuhan sebagai asal dan orientasi akhir kehidupan kita”.

Spiritualitas merupakan puncak kesadaran ilahiah menurut Saifuddin Aman dalam Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Spiritualitas membuat kita mampu memberdayakan seluruh potensi yang diberikan Tuhan untuk melihat segala hal secara holistik sehingga kita mampu untuk menemukan hakikat (kesejatian) dari setiap fenomena yang kita alami.

Dalam bahasa yang sedikit berbeda Syahirin Harahap dalam Membalikkan Jarum Hati mendeskipsikan mereka yang memiliki kesadaran atau kecerdasan spiritual sebagai orang-orang yang mampu mengarungi kehidupan dengan panduan hati nurani.

Rohani,yang kuat karena bimbingan maksimal hati nurani tersebut, akan membuat orang lebih dinamis, kreatif, memiliki etos kerja tinggi, dan lebih peduli, serta lebih santun.

(11)

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al -Qur’an dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

ِهَٰلِإ ٰٓىَلِإ ُعِلّطَأ ٓىّلَعّل اًح ْرَص ىّل لَع ْجٱَف ِنيّطلٱ ىَلَع ُن َٰمَٰهَٰي ىِل ْدِق ْوَأَف ىِرْيَغ ٍهَٰلِإ ْنّم مُكَل ُتْمِلَع اَم ُ َلَمْلٱ اَهّيَأَٰٓي ُنْوَعْرِف َلاَقَو

َنيِبِذ َٰكْلٱ َنِم ۥُهّنُظَ َل ىّنِإَو ٰىَسوُم Artinya: Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".

Dan Fir’aun berkata: “Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku”.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin.

Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut, Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut, Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

(M. Imaduddin, 1989: 56).

(12)

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al- Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

.4. Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, Dan Teologis Tentang Konsep Ketuhanan Pertanyaan "Apa itu Tuhan" bahwa? "Umat manusia bermasalah selama ratusan tahun, Akan terus menantang pemahaman konsep logis Ada kerajaan yang diperintah oleh Tuhan, Raja akan memberi penghargaan kepada mereka yang melakukannya Nah, akan menghukum mereka yang melakukannya salah. Dalam ranah pemikiran Muslim, pembahasan tentang Tuhan Percakapan yang tidak pernah berakhir perdebatan. Inilah mengapa berbicara tentang ilmu ketuhanan disebut ilmu Karena pengetahuan Karam, Karam dan para penafsirnya disebut mutakalim Selalu berdiskusi dan berdebat tanpa kata-kata.

Berikut ini akan diperkenalkan berbagai makalah, teori dan argumen Psikologi, filsafat, masyarakat dan teologi Tentukan konsep ketuhanan dan ketuhanan.

a. Perspektif Psikologis

Dalam membahas masalah ini, setidaknya ada beberapa aspek yang akan dijelaskan. Psikologi Agama Islam sebagai salah satu disiplin ilmu, maka ada beberapa masalah yang akan menjadi topik kajian diantaranya seperti yang di jelaskan oleh ramayulis :

1. Bagaimana pengalaman manusia itu dalam hubungannya dengan keyakinannya kepada Tuhannya?

2. Bagaimana sifat jiwanya terhadap Tuhannya?

3. Bagaimana pengalaman tentang dirinya dalam menyerahkan diri kepada Tuhannya?

(13)

Melihat dari masalah diatas, maka ke-Tuhanan manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam merupakan konsep keyakinan, sikap jiwa dan penyerahan diri kepada Allah Swt.

1) Iman

Iman memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha berkuasa.

Keimanan akan menghantarkan sesorang kepada ketaatan dalam menjalankan perintah agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan perintah-perintah sunnah lainnya. Jika demikian, maka iman akan melahirkan tingkah laku ketaatan pada diri seseorang yang dilakukan hanya dengan keikhlasan semata. Orang yang melaksanakan shalat hanya mengharapkan imbalan (fahala) yang datang dari Allah, dan imbalan itu mereka yakini pasti ada.

2) Akhlak Mulia

Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak memiliki arti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya. Bagi seorang hamba yang memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan tingkah laku atau tabia’at yang baik pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya. akhlak mulia itu bisa lahir dalam bentuk, diantaranya : Tawadhu, Sabar, Ikhlas, Syukur, Wara'.

3) Tawakkal

Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal. Allahlah sebagai penyebab segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai seoarang hamba menayadari betapa didalamnya dirinya tidak ada kekuatan. Sungguh pemilik kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa merupakan sikap hidup yang mampu menghantarkan seseorang kepada ketenangan hidup.

Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan penyerahan yang tidak menafikkan sunnatullah yang telah menjadi ketetapan Allah. Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan berikhtiar, karena segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab akibat, walaupun hal itu semua tidak akan mutlak, jika Allah berkehendak.

(14)

b. Perspektif Sosiologis

Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu sosiologi terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang di kenal sebagai ilmu Sosiologi Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti

misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel- variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut.

Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem manusi budaya karena merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Max Weber menjelaskan bahwa Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia, tetapi manusialah yang hidup demi Tuhan. Menurutnya, menjalankan praktik-praktik keagamaan merupakan upaya manusia untuk mengubah Tuhan yang irrasional menjadi rasional. Semakin seseorang

menjalankan perintah-perintah Tuhan maka seseorang akan semakin merasa kedekatannya terhadap Tuhan Berbeda dengan pendapat Emile Durkhem, Max Weber menyatakan bahwa kebertuhanan secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Karena yang empirik (pada saat itu) kebertuhanan dipraktikkan dalam ritual upacara yang memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya. Akibatnya, yang tampak saat itu adalah kebertuhanan yang hanya bisa dilaksanakan pada saat berkumpulnya anggota-anggota sosial, dan tidak bisa dilakukan oleh tiap individu. Tuhan dalam perspektif sosiologis digambarkan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan universal yang diyakini dan dipahami oleh umat manusia.

c. Perspektif Filosofis

(15)

Dalam argumen al-ḫudūts, Al-Kindi dengan gigih membangun basis filosofis tentang kebaruan alam untuk menegaskan adanya Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber bagi sesuatu yang lain, yakni alam semesta.

Argumen kedua terkait dengan Tuhan adalah argumen kemungkinan (dalil al- imkān). Ibnu Sina sebagai tokoh argumen ini menjelaskan bahwa wujud (eksistensi) itu ada, bahwa setiap wujud yang ada bisa bersifat niscaya atau potensial (mumkīn).

Wujud niscaya adalah wujud yang esensi dan eksistensinya sama. Ia memberikan wujud kepada yang lain, yang bersifat potensial (mumkīn).

Argumen ketiga tentang Tuhan adalah argumen teleologis (dalil al- ‘ināyah).

Argumen ini didasari oleh pengamatan atas keteraturan dan keterpaduan alam semesta. Berdasarkan pengamatan tersebut ditarik kesimpulan bahwa alam ini pasti karya seorang perancang hebat. Menurut Ibn Rusyd, sebagai tokoh pemikiran ini, penyelidikan terhadap alam semesta tidak bisa berjalan sendiri tanpa mengikuti metode penyelidikan yang digariskan Al- Quran. Berdasarkan pengamatan terhadap alam, Ibn Rusyd mencoba membuktikan Tuhan dengan dua penjelasan. Pertama, bahwa fasilitas,

yang dibuat untuk kenyamanan dan kebahagiaan manusia, dibuat untuk kepentingan manusia dan menjadi bukti akan adanya rahmat Tuhan. Kedua, keserasian alam seharusnya ditimbulkan oleh sebuah agen yang sengaja melakukannya dengan tujuan tertentu dan bukan karena kebetulan.

Dari ketiga perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa inti dari pendapat para filsuf muslim klasik bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu yang ada di alam nyata ini. Tuhan menjadi sebab pertama dari segala akibat yang kita lihat saat ini. Tuhan merupakan wājib al-wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud

yang ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya.

(16)

d. Perspektif Teologis

Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik- buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman- Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi

manusia dalam dogma Kristen.Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan Tidak, pendekatan agama dari perspektif teologis tidak akan terjadi Itu dilakukan di bawah prakarsa manusia, tetapi itu terjadi berdasarkan pencerahan dari strata atas.

Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak bisaJadilah dewa dan sembahlah dia.

.5. Cara Meyakini Dan Mengimani Tuhan

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang.

Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.

Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT:

a. Bersifat Ijmali

Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar.

(17)

b. Bersifat Tafshili

Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya.

1) Keyakinan dirinya kepada Tuhan 2) Ucapan yang mengikuti keyakinannya 3) Melakukan berbagai kegiatan hidup

Dalam hal iman memiliki dua aspek, yaitu Keyakinan dan indikator praktis. Jika mengacu pada penjelasan Di atas, keyakinan bisa dijelaskan sebagai alasan Konsep (dalam hal ini konsep ketuhanan) sehingga dia menjadi hukum akal budi berarti hukum sebab dan akibat, identitas diri sendiri dan memengaruhi penilaian atas segala hal implementasi penuh.

Indikator keyakinan yang sebenarnya dapat ditentukan dari sikap dan perilaku manusia. pemilik Keyakinan Yang harus dibuktikan dengan keadilan Menjadi indikasi praktis dari keyakinan ini. Indeks kepercayaan Praktis dan terukur bisa dijadikan tolak ukur seseorang untuk menilai orang lain, apakah dia orang baik atau tidak Masih belum bagus. Indikator Iman Tersirat Nabi setidaknya ada 73 macam, dari singkirkan yang sederhana hingga Duri di jalan umum sampai indikator abstrak seperti Cintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka menilai seseorang sebagai sesat ini bukan Kafir, Anda tidak dapat melihatnya dari imannya, karena iman tidak berwujud. Digunakan sebagai patokan untuk mengevaluasi keyakinan dan keyakinan kufur sendiri adalah amal-nya, sebagai indikator praktis bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh santai menuduh orang sebagai bidah, dan penilaian ini hanya berdasarkan asumsi dan opini sepihak.

Terbentuknya keimanan adalah karena peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan Pembentukan iman terletak pada akal dan bakatnya potensi Tuhan disebut roh. Karena ada alasannya semangat ini memberi manusia potensi untuk percaya pada Tuhan.

Bagaimanapun, potensi harus dipertimbangkan dengan cara yakin, buat itu jadi keyakinan, lalu keyakinan juga butuh Peran manusia. Proses pembelajaran, kebiasaan, pengalaman dan indoktrinasi guru, orang tua, penduduk setempat Kebiasaan lingkungan dan sosial juga dapat menjadi faktor lain mempengaruhi pembentukan keyakinan.

(18)

BAB III PENUTUP

.1. Kesimpulan

Tuhan mencakup aspek spiritualitas, konsep ketuhanan, serta implikasinya dalam kehidupan manusia. Tuhan dianggap sebagai zat abadi dan supranatural yang menciptakan alam semesta dan makhluk di dalamnya. Spiritualitas menjadi landasan bagi keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia, dengan membawa pengertian tentang kekuatan non-fisik yang lebih besar dan koneksi langsung dengan Tuhan. Konsep ketuhanan diperdebatkan dari berbagai perspektif, termasuk psikologis, sosiologis, filosofis, dan teologis, yang memberikan wawasan tentang keyakinan, nilai, dan penyerahan diri kepada Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, keimanan kepada Tuhan tercermin melalui sikap, perilaku, dan praktik keagamaan, serta pembentukan keimanan

(19)

dipengaruhi oleh peran Tuhan dan pengalaman manusia dalam lingkungan sosial dan budaya.

.2. Saran

Dengan ditulisnya makalah sederhana ini kami berharap agar pembaca dapat mengetahui, memahami, serta menambah pengetahuan tentang bagaimana manusia bertuhan. Kami sebagai penulis mengetahui bahwa makalah ini masih banyak kesalahan baik penulisan, ataupun kalimat yang digunakan berbelit-belit. Saran dan kritik sangat kami butuhkan guna memperbaiki tugas makalah kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

(Tedy, 2017)Tedy, A. (2017). Tuhan dan Manusia. El-Afkar, 6(1), 61.

Rahmat, Munawar. (2006.) Corak Berpikir Keagamaan Mahasiswa Aktivis Islam UPI: Dari Corak Berpikir yang Eksklusif, Inklusif, hingga Liberal” Jurnal Ta`lim. Bandung:

Jurusan MKDU FPIPS UPI

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan Karunia-Nya, Rahmat-Nya, Nikmat-Nya dan Hidayah-NYa sehingga skripsi dengan judul Peningkatan

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, ampunan-Nya, dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa dan keburukan

ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang menggenggam seluruh perbendaharaan bumi dalam kekuasaan-Nya, Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya

Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang paling dikenal adalah wujudiyah martabat lima yang merupakan penggambaran mengenai proses penciptaan alam semesta yang berlaku

Dalam informasi pertama tentanng proses penciptaan alam semesta yang terdiri dari tiga bentuk kata yang erat kaitannya dengan hal ini, yaitu khalq , bad’ , dan

Al-qur`an dalam hal ini menjelaskan bahwa penciptaan alam semesta bertujuan bukan menjadi seteru bagi manusia, bukan menjadi penghambat manusia dalam berpikir

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan karunia – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Magang Ini dengan

Penciptaan alam semesta menurut Al-Qur'an terjadi dalam enam