Pendidikan merupakan suatu kewajiban yang perlu dijalankan oleh setiap individu.
Menjalani pendidikan tentunya merupakan suatu kebutuhan yang dapat membentuk masa depan yang baik melalui proses pembelajaran yang efisien dan dapat meningkatkan kemampuan setiap orang. Memulai pendidikan sekolah sejak masa kanak-kanak hingga dapat menyelesaikannya dan memasuki masa transisi menuju pendidikan tinggi sebagai pelajar.
Mahasiswa diartikan sebagai seseorang yang sedang menimba ilmu pada jenjang pendidikan tinggi, baik itu lembaga negeri, swasta, atau lembaga lain yang setingkat dengan pendidikan tinggi. Pada tahap ini individu telah menjadi dewasa dan telah mengalami perkembangan sejak masa remaja. Hal ini dikenal dengan fase dewasa awal, yaitu masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa yang terjadi antara usia 18-25 tahun. Menurut Santrock, pada fase perkembangan ini, seorang individu masih banyak melakukan eksperimen dan eksplorasi tentang jalan hidup yang akan diambilnya di masa depan. (Aulia Azzahra)
Menjadi mahasiswa baru di awal semester tentunya menimbulkan euforia tersendiri bagi individu namun hal tersebut akan berbeda jika seseorang telah menjadi mahasiswa semester akhir. (Aulia Azzahra) Mahasiswa yang sudah mencapai tingkat akhir perkuliahan harus segera menyelesaikan pendidikan mereka. Mahasiswa tingkat akhir biasanya diberi tugas akhir yang biasa disebut skripsi. (Nahdia) Skripsi merupakan sebuah karya tulis oleh mahasiswa yang sedang menjalankan pendidikan tinggi dalam prosesnya mendapat gelar sarjana. Karya tulis tersebut bisa berupa pengembangan, studi penelitian, atau kajian kepustakaan terhadap suatu masalah sosial atau masalah penelitian. Darmono & Hasan menjelaskan bahwa skripsi identik dengan mahasiswa tingkat akhir yang ditulis di akhir masa studinya. (Namira)
Roelyana & Listiyandini menyatakan bahwa dalam pengerjaan skripsi, mahasiswa menjalani proses yang dinamis di mana mahasiswa kerap kali mengalami permasalahan dalam pengerjaan skripsi. Hal ini dapat mengganggu kesejahteraan psikologis mahasiswa, sehingga menjadi pemicu stres. (Namira) Menurut Selye, stres diartikan sebagai suatu respons (kegembiraan fisiologis) yang timbul dari berbagai peristiwa eksternal. Stres yang biasa muncul di lingkungan universitas atau berkaitan dengan kehidupan akademik mahasiswa disebut dengan stres akademik. Gadzella & Masten menggambarkan stres akademik sebagai keadaan yang timbul karena dihadapkan pada tuntutan akademik yang membebani sehingga memunculkan berbagai reaksi seperti reaksi fisik, emosional, dan perilaku. (Aulia Azzahra) Gadzella & Masten juga menyebutkan, stres yang memberikan dampak positif diistilahkan dengan Eustress, dan stres yang memberi kan dampak negatif distilahkan dengan distress.
(Nasib)
Menurut Agusmar, secara umum stres dapat didefinisikan sebagai respons tubuh non spesifik yang timbul karena adanya tuntutan yang diterima individu dalam hidupnya. Secara medis, stres digambarkan sebagai peristiwa permusuhan antara mental, fisik dan emosional yang dapat mengancam kesejahteraan psikologis seseorang.
(Mediska)
Gadzella (1994) juga menjelaskan mengenai dimensi stres akademik dengan dari 2 aspek utama, yaitu stresor (frustrasi, tekanan, konflik, pemaksaan diri, dan perubahan) dan reaksi terhadap stresor (kognitif, fisik, perilaku, dan emosi). Stres akademik merupakan kondisi di mana perasaan cemas, pikiran tak terkontrol, tekanan fisik dan emosional, dan perasaan khawatir yang dirasakan oleh mahasiswa karena adanya tuntutan besar dalam hal akademik, baik dari dosen maupun orang tua untuk bisa menuntaskan tugasnya tepat waktu dengan hasil akhir yang baik.(Namira)
Stres juga merupakan gangguan emosional atau perubahan lingkungan disebabkan oleh stresor. Stres tersebut dapat berasal dari individu itu sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan dapat pula berasal dari tempat-tempat di mana individu banyak menghabiskan waktunya seperti kantor dan tempat pendidikan. (Viton) Emosi-emosi tersebut akan sangat mungkin dirasakan oleh mahasiswa dalam pengerjaan skripsinya, baik emosi positif maupun emosi negatif. Emosi negatif berlebih yang dirasakan mahasiswa bisa menghalangi performa akademik, berkemungkinan mengalami drop out, dan memengaruhi kesehatan tubuh. Lebih parahnya, dampak dari emosi negatif tersebut dapat membuat mahasiswa berkemungkinan untuk bunuh diri akibat permasalahan akademik yang prevalensi angkanya meningkat tiap tahun. Sebaliknya, emosi positif yang dirasakan mahasiswa merupakan jalan menuju pencapaian dan perkembangan diri yang nantinya emosi tersebut bisa membantu mahasiswa untuk mencapai tujuannya, memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan, dan juga memicu regulasi emosi. Oleh karena itu, mahasiswa dituntut untuk bisa mengatur emosi yang mereka miliki untuk bisa mengatasi stres yang dimilikinya, dalam konteks ini adalah stres akademik. (Namira)
Menurut Gross, kemampuan individu untuk mengatur emosi, baik sadar maupun tidak sadar disebut dengan Regulasi emosi. (Al Zira) Gross juga menyebutkan, regulasi emosi merupakan sebuah proses dan kemampuan seseorang untuk mengatur pengalaman emosi mereka dalam keadaan sadar maupun tidak sadar. Kemampuan dalam menyaring emosi dan kemampuan untuk memilih strategi pengelolaan emosi yang positif juga termasuk ke dalamnya. Saat individu merasakan sebuah emosi, cara mereka mengekspresikan dan bagaimana emosi
tersebut kemudian muncul juga merupakan regulasi emosi. Kemampuan regulasi yang baik dapat mereduksi stres akademik yang dimiliki individu. Selaras dengan pernyataan Sari, yang menjelaskan bahwa hubungan negatif ditemukan antara regulasi emosi dan stres akademik.
Sehingga, apabila individu memiliki tingkat regulasi emosi yang tinggi, maka akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat stres akademik. Kemampuan regulasi emosi akan membawa individu untuk mengatasi tekanan demi tekanan maupun kesulitan demi kesulitan yang dihadapi. (Namira)
Selain regulasi emosi, tekanan-tekanan yang dihadapi mahasiswa selama mengerjakan skripsi sehingga memicu stres akademik dapat direduksi dengan dukungan sosial. (Namira) Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kepedulian, penghargaan, informasi dan bentuk lain yang diberikan orang-orang di sekitar individu yang dapat membantu individu mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehari-hari. Dukungan sosial terdiri atas dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan dukungan informasi yang bisa didapatkan dari orang tua, keluarga, teman, pasangan, dan organisasi komunitas seperti dosen di kampus. Menurut Asih, dukungan sosial yang diberikan kepada seseorang yang sedang mengalami kesulitan, maka akan meningkatkan ketahanan seseorang tersebut untuk menghadapi masalah yang sedang dihadapinya. Dukungan sosial yang tepat akan membantu seseorang memenuhi kebutuhannya dalam kondisi sulit, membantunya menemukan cara efektif dalam menyelesaikan masalah, membuat seseorang merasa dicintai dan dihargai, sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. (Nurul)
Berdasarkan hasil Pra-riset yang dilakukan peneliti pada tanggal 28–29 April 2025 terhadap delapan mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, ditemukan bahwa stres akademik merupakan kondisi nyata yang dialami mayoritas responden, meskipun dengan tingkat intensitas yang bervariasi. Dari hasil analisis kuesioner, lima dari delapan mahasiswa, yaitu G, LN, AS, NZ, dan SL memenuhi aspek stres akademik, yang ditandai dengan gejala seperti frustrasi terhadap umpan balik pembimbing yang tidak jelas, kebingungan akibat perubahan mendadak dalam proses penyusunan skripsi, kecemasan terhadap kualitas hasil meskipun telah berusaha keras, kesulitan beradaptasi dengan dinamika penelitian, serta tekanan dari tenggat waktu yang semakin mendekat. Adapun tiga responden lainnya, yaitu JPF, AA, dan RA menunjukkan ketahanan terhadap tekanan tersebut dan tidak mengalami gangguan signifikan.