• Tidak ada hasil yang ditemukan

COVER BUKU kearifan Lokal (Full buku)

N/A
N/A
Giovani Hutabarat

Academic year: 2025

Membagikan "COVER BUKU kearifan Lokal (Full buku)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL

UNTUK KONSERVASI MATA AIR

Dr. Drs. H. Ahamad Jupri, M.Eng.

(2)

LPPM Unram Press

Dr. Drs. H. Ahmad Jupri, M.Eng.

(STUDI KASUS DI LINGSAR LOMBOK BARAT-NTB)

KEARIFAN LOKAL UNTUK

KONSERVASI MATA AIR

(3)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-i

KEARIFAN LOKAL UNTUK KONSERVASI MATA AIR

(STUDI KASUS DI LINGSAR LOMBOK BARAT-NTB)

Penulis :

Dr. Drs. H. Ahmad Jupri, M.Eng.

LPPM Unram Press

(4)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-ii

KEARIFAN LOKAL UNTUK KONSERVASI MATA AIR

(STUDI KASUS DI LINGSAR LOMBOK BARAT-NTB)

Penulis

:

Dr. Drs. H. Ahmad Jupri, M.Eng.

Editor

:

Ishak

Desain sampul dan tata letak :

Ishak

Penerbit

:

tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

ISBN

:

978-623-91145-3-4

Cetakan pertama, November 2019

Hak Cipta dilindungi undang-undang dilarang memperbanyak karya

LPPM Unram Press

Alamat P

[email protected] enerbit :

Jln. Pendidikan No. 37 Mataram-NTB 83125 Telp. (0370) 641552, 638265

Fax.(0370) 638265, e-mail: s

(5)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-iii

KATA PENGANTAR

Menyadari pantingnya pemahaman dan apresiasi mahasiswa yang lebih mendalam terhadap masalah Konservasi Mata Air dan masih kurangnya buku teks mengenai Konservasi Mata Air berbahasa Indonesia, maka penulis berusaha untuk menyusun buku ajar “Peran Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air (Studi Kasus Di Lingsar Lombok Barat-NTB)”.

Penulisan buku Peran Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air (Studi Kasus Di Lingsar Lombok Barat-NTB) ini dimaksudkan untuk membantu para mahasiswa dalam mempelajari Konservasi mata air. Buku ini terdiri dari 4 Bab yang berisi : BAB I PENDAHULUAN, BAB II PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL, BAB III TRANSFORMASI BUDAYA DAN PERUBAHAN SOSIAL, BAB IV HUBUNGAN ANTARA POLA PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN STRUKTUR PERANG TOPAT.

Penulis menyadari apabila dalam penyusunan buku ini terdapat kekurangan, tetapi penulis meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apapun buku ini tetap memberikan manfaat.

Akhir kata guna penyempurnaan buku ini kritik dan saran dari pembaca sangat penulis nantikan.

Mataram, 13 November 2019 Penulis,

Dr. Drs. H. Ahmad Jupri, M.Eng NIP. 19660817 199203 1 001

(6)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Kemalik dan Awig-Awignya ... 6

BAB II : PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL ... 9

2.1. Tipologi Kearifan Lokal ... 10

2.1.1. Jenis Kearifan Lokal ... 10

2.1.1.1. Tata Kelola ... 10

2.1.1.2. Sistem Nilai ... 11

2.1.1.3. Tata Cara atau Prosedur ... 11

2.1.1.4. Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)... 12

2.2. Bentuk Kearifan Lokal ... 13

2.2.1. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible) ... 13

2.2.2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible) ... 15

2.3. Deskripsi Kearifan Lokal ... 15

2.3.1. Sejarah Kearifan Lokal ... 15

2.3.2. Pendekatan-pendekatan yang Dilakukan dalam Memahami ... 19

Kearifan Lokal ... 19

2.4. Transformasi Kearifan Lokal ... 25

2.4.1. Adaptasi Kearifan Lokal ... 25

2.4.2. Evolusi Kearifan Lokal ... 26

2.5. Revitalisasi Kearifan Lokal ... 28

2.5.1. Kelembagaan Kearifan Lokal ... 28

2.5.2. Penguatan Kearifan Lokal ... 30

2.5.3. Pemberdayaan Kearifan Lokal ... 31

2.5.4. Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan ... 33

BAB III : TRANSFORMASI BUDAYA DAN PERUBAHAN SOSIAL ... 37

3.1. Teori Perubahan Sosial ... 41

3.1.2. Sumber Perubahan Sosial ... 42

3.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Sosial ... 43

3.1.4. Bentuk Perubahan Sosial ... 44

3.2. Kepercayaan Tradisional dan Konservasi Sumberdaya Alam ... 46

(7)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-v BAB IV : HUBUNGAN ANTARA POLA PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN

STRUKTUR PERANG TOPAT ... 56

4.1. Hubungan Antara Nilai-Nilai Tradisional Dalam Perang Topat dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam. ... 64

4.2. Kegiatan konservasi yang pernah dilakukan pemerintah dan didukung masyarakat di Lingsar ... 77

4.3. Dinamika Hubungan Antara Pengelolaan Mata Air dan Perang Topat ... 78

4.3.1. Politik ... 78

4.3.2. Ekonomi ... 79

4.3.3. Pemahaman agama ... 79

4.3.4. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ... 80

DAFTAR PUSTAKA ………..……….81

(8)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-vi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hubungan Antara Nilai-Nilai Tradisional Dalam Perang Topat Dengan Pola

Pengelolaan Sumberdaya Alam 64

Tabel 4.2 Perkembangan Penggunaan Air Di Lingsar Dari Masa Ke Masa 68

(9)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 : Awig-awig kelompok pemelihara mata air pancor siwaq dan struktur Perang Topat Serta struktur panitia perlindungan mata air Pancor Siwak 59

Gambar 4.2. Acara potong sabuk di Kemalik Halaman 64

Gambar 4.3. Pembuatan kebun udik yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan yang sudah menopouse. Ibu-ibu membuat ketupat di rumah pemangku secara

gotong royong 72

(10)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada akhir abad 21 air merupakan salah satu komoditi yang paling langka di dunia. Hal ini disebabkan pola konsumsi air masyarakat, baik untuk kebutuhan air minum, menyiapkan dan memproduksi makan, rumah tangga, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan industri yang terus meningkat. Peningkatan konsumsi air masyarakat dunia mencapai lebih dari dua kali lipat kecepatan penambahan jumlah penduduk. Jumlah penduduk mengalami peningkatan sebesar 45% dalam masa 30 tahun mendatang, sementara ketersediaan air hanya dapat ditingkatkan sebesar 10%. UNESCO memperkirakan bahwa pada tahun 2020, air akan menjadi salah satu problem utama di dunia (Anonimous, 2004)

Air merupakan kebutuhan yang utama dan tak bisa digantikan bagi makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Data yang dikeluarkan oleh BMKG menyatakan bahwa ketersediaan air di Indonesia dipengaruhi oleh potensi curah hujan di Indonesia yang rata-rata 1000-4000 mm/tahun dengan perkiraan kurang lebih 6 bulan basah. Namun kenyataan di Indonesia banyak daerah yang mengalami banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau.

Keadaan ini juga terjadi di daerah Nusa Tenggara Barat termasuk di daerah Lombok Barat. Masalah keterbatasan/kelangkaan air kerap kali menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. Koran harian Suara NTB pada tanggal 29 Oktober 2014 memberitakan bahwa" data terbaru yang dikeluarkan oleh Badan

(11)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-2 Penanggulangan Bencana (BPBD) NTB, jumlah kecamatan dan desa yang mengalami kekeringan yang berakibat pada krisis air bersih sejak April lalu sebanyak 53 kecamatan dan 232 desa".

Lokasi penelitian ini berada di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Jangkok. DAS Jangkok dihuni oleh penduduk dengan kepadatan tinggi sehingga pemanfaatan air juga tergolong tinggi/utilitas DAS tinggi, oleh karena itu jika dilihat neraca airnya maka termasuk dalam DAS dengan kategori Indek kecukupan air (IKA) kritis. Pada tahun 2012 IKA DAS Jangkok sebesar 1.366 ( Penurunan 69

% atau 5% setiap tahun) (Sumber :Neraca Air Pulau Lombok Kementerian PU, 2013).

Penurunan debit rata-rata Sungai Jangkok sebesar 5% setiap tahun menunjukkan adanya potensi kelangkaan air dimasa depan. Pada tingkat penurunan rata-rata tersebut pada tahun 2016 diduga debit rata-rata Sungai Jangkok bisa mencapai dibawah 0,75 m3/dt. Penurunan debit rata-rata sungai Jangkok sejalan dengan peningkatan koefisien rejim sungai. Pada tingkat peningkatan koefisien rejim aliran (KRA) sebesar 9 % setiap tahun, pada tahun 2012 koefisien rejim sungai menjadi 25,09 dan pada tahun 2016 koefisien rejim sungai diduga menjadi 28,44.(termasuk status sangat jelek)(Sumber : Kementerian PU NTB, 2014).

Hal ini menunjukkan akan semakin besarnya perbedaan antara debit maksimum dengan debit andalannya. Akibatnya adalah potensi banjir dan kekeringan akan semakin besar. Selain itu, kerusakan tutupan lahan DAS Jangkok menyebabkan peningkatan koefisien limpasan (C) sebesar 8% setiap tahun. Pada tahun 2012 koefisien limpasan (C) sebesar 0,46. Pada tahun 2016 koefisien

(12)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-3 limpasan sungai Jangkok diperkirakan akan menjadi 59% (59% dari curah hujan yang turun menjadi limpasan).(WWF Indonesia-Program Nusa Tenggara, 2008, Kementerian PU NTB, 2014)

Berdasarkan hasil interpretasi Landsat-5TM selama kurun waktu 1995- 2009, menunjukkan adanya perubahan penggunaan lahan di DAS Jangkok.

Perubahan terjadi di semua penggunaan lahan, namun perubahan yang paling besar terdapat di kawasan hutan primer (HAP) yang memiliki tutupan vegetasi padat.

Selama 14 tahun, telah teridentifikasi terjadi penurunan di HAP (hutan primer) sebanyak 1748 ha atau berkurang sebesar 22%. Penurunan tersebut beralih menjadi penggunaan lahan yang lain. Sehingga penurunan di HAP diikuti dengan peningkatan luas penggunaan lahan yang lain (Markum, 2013).

Untuk menghindari kejadian tersebut berlanjut pada masa mendatang maka kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk konservasi mata air menjadi sangat penting untuk dilakukan termasuk penguatan kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat yang berhubungan dengan konservasi hutan dan konservasi mata air terutama di bagian hulu yang merupakan daerah tangkapan/resapan mata air.

Sumber mata air adalah salah satu unsur penting terutama di musim kemarau bagi kelangsungan kehidupan makhluk hidup terutama manusia.

Ketersediaan air dapat berperan dalam banyak aspek diantaranya dapat berfungsi sebagai air minum, mandi, kakus (MCK), cuci, perkebunan maupun peternakan, pengairan lahan pertanian, keperluan mensucikan diri (sebagai pendukung pelaksanaan ibadah), dan ekonomi. Untuk menjaga ketersediaannya tetap

(13)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-4 bermanfaat dan berkelanjutan untuk kepentingan jangka panjang sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan sumber mata air.

Oleh karena itu pengelolaan sumber mata air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Sehingga kebutuhan air pada musim hujan dapat dipenuhi dari air hujan, sedangkan pada musim kemarau kebutuhan air dapat disuplai dari sumber mata air.

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia secara umum tentu dibarengi dengan peningkatan kebutuhan air baik untuk kebutuhan pertanian, perikanan, pembangkit tenaga listrik dan kebutuhan MCK, tetapi disatu sisi peningkatan kebutuhan tersebut tidak dapat diimbangi oleh meningkatnya siklus air atau yang justru relatif tetap; hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi kekeringan dan kelangkaan air yang melanda beberapa wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Peningkatan jumlah dan tekanan aktifitas penduduk ini juga mengakibatkan perubahan peruntukan lahan antara lain menjadi pemukiman yang tentunya mengakibatkan perubahan pada badan air yang terbentuk di daratan dan berdampak pada keberadaan mata air. Tanah longsor dan banjir pada musim penghujan serta kekeringan pada musim kemarau pada berbagai wilayah atau daerah yang sama merupakan kejadian nyata setiap tahun.

Terjadinya penebangan pohon sembarangan atau illegal loging menyebabkan hilangnya penutupan kanopi pohon yang melindungi tanah dibawahnya terhadap pukulan langsung dari air hujan, sebagai akibatnya adalah terjadi erosi bagian permukaan tanah bahkan tanah longsor disamping terjadi

(14)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-5 pengkerakan tanah yang mengakibatkan penyumbatan pori-pori makro tanah dan kemampuan infiltrasi air ke dalam tanah menurun sehingga berdampak terhadap pengisian air bawah tanah.

Pengelolaan sumber mata air di setiap daerah memiliki ciri khas yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Sebaiknya hal ini disesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan lokal pada daerah tersebut. Pengelolaan sumber mata air sebagai pengelolaan lokal dalam komunitas tertentu ditemukan kearifan lokal yang terhubung dengan sejarah dan adaptasi yang lama maupun dengan komunitas masyarakat terdahulunya. Kearifan lokal digunakan sebagai usaha pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat dan digunakan pula sebagai ciri khas suatu komunitas.

Sumber mata air yang lestari dapat berfungsi sebagai penyangga ekonomi masyarakat, hal ini terbukti dengan keberadaan banyak sumber mata air di Lingsar, masyarakat di daerah ini disamping merupakan lumbung padi (dapat panen padi tiga (3) kali dalam setahun) juga merupakan sentra perikanan darat yang utama di Nusa Tenggara Barat.

Karena sifatnya yang normative (ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis), diduga banyak sekali kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang belum diketahui banyak orang, terutama dalam konteks ilmiah. pergeseran dan perubahan sistem nilai sosial, ekonomi, budaya dan politik yang begitu cepat dapat menghilangkan kearifan lokal yang dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat. Hal terakhir inilah yang menginisiasi peneliti untuk mencari langkah-langkah apa yang harus diambil untuk

(15)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-6 mengkonservasi air (mata air) melalui kegiatan yang tetap menjaga keutuhan vegetasi (tumbuhan) dan lahan karena keberadaan mata air ini sangat tergantung pada kondisi lahan dan vegetasi (tumbuhan) yang ada di lingkup tangkapan air.

Kondisi ini berpengaruh pada keberadaan suatu sumber mata air yang dari tahun ke tahun mengalami pergeseran baik besaran debit maupun jumlahnya.

Sumber kearifan lokal masyarakat berupa Kemalik, pujawali dan perang topat yang ada di Lingsar Lombok Barat bersumber dari ajaran agama Islam.

Prinsip-prinsip kearifan lokal mereka berbasiskan ekologi/ekosistem yang agamis.

Perayaan kearifan lokal yang dilakukan setiap akhir tahun tersebut sangat syarat dengan ide-ide dan nilai-nilai yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan termasuk sumber daya air.

1.2. Kemalik dan Awig-Awignya

Hal ini sudah menunjukkan usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan telah dilakukan masyarakat mulai zaman dahulu yang dapat ditunjukkan dari beberapa hal antara lain: pada pelaksanaan pujawali dan perang topat yang dilakukan di halaman sekitar Kemalik memerlukan persyaratan dan bermacam- macam bahan yang berasal dari tumbuhan dan hewan berupa : Bunga setaman, Rombong (lumbung kecil), Sesaji (sajian), Kebun Udik (Kebun Mini), Lamak, Momot, Kerbau jantan, Topat (ketupat), yang mana semua bahan tersebut diadakan dan dibuat secara gotong royong serta diarak keliling Kemalik sebanyak tiga kali putaran sebelum dimulainya Perang Topat; selanjutnya ketupat yang dilempar sebagai bahan utama dalam Perang Topat disebar di persawahan dan kebun agar tanaman menjadi subur dan berbuah sehingga hasil panen melimpah.

(16)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-7 Disamping itu ada awaig-awig di sekitar Kemalik yang harus ditaati oleh masyarakat sekitar atau siapa saja yang berkunjung ke Kemalik. Dari Kemalik, sejauh 900 meter kearah timur, barat, utara, selatan tidak boleh:

a) Membuat kerusakan alam (menebang pohon sembarangan/tanpa ijin).

b) Berbuat amoral (zinah dan minuman keras dan sejenisnya).

c) Memelihara babi.

d) Memakan babi (termasuk orang yang baru selesai makan babi walaupun

dari tempat yang jauh maka dia harus membersihkan dirinya dahulu,baru boleh masuk ke Kemalik.

Berdasarkan penjelasan di atas maka terdapat kaitan yang sangat erat antara upaya konservasi mata air dengan pelaksanaan upacara-upacara pada kearifan lokal Kemalik, pujawali dan Perang Topat pada masyarakat desa Lingsar.

Di daerah Nusa Tenggara Barat terdapat lebih dari 510 jumlah mata air ( Balai Informasi Sumber Daya Air, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTB 2012), tetapi tahun terahir ini banyak mata air tersebut yang sudah hilang. Jika hal tersebut tidak dicegah maka tidak mustahil semua mata air tersebut juga akan hilang; oleh karena itu maka perlu dilakukan langkah-langkah preventif untuk menjaga mata air tersebut agar tetap lestari. Dalam menjaga kelestarian sumber mata air, pemerintah Nusa Tenggara Barat menyusun aksi-aksi strategis yang perlu diimplementasikan diantaranya pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH), taman hutan raya (TAHURA), perlindungan mata air (PERMATA) juga melalui kearifan lokal yang ada dan mengakar dalam masyarakat yang sudah dilaksanakan sejak lama secara turun temurun dan antar generasi.

(17)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-8 Di desa Lingsar kecamatan Lingsar Lombok Barat terdapat 3 (tiga) sumber mata air besar yang sangat penting; pertama mata air Sarasute dan Sarasuake sebagai sumber utama pemasok air perusahaan daerah air minum (PDAM) Menang Mataram, kedua yaitu mata air Pure Lingsar I (Pancor Siwaq) yang airnya berasal dari kolam Kemalik berfungsi sebagai sumber air minum masyarakat setempat, tempat ziarah (bayar nazar) dan wisata serta sumber air irigasi pertanian, peternakan dan perikanan, ketiga yaitu mata air Aik Mual dan menurut warga setempat ketiga mata air tersebut merupakan satu kesatuan.

(18)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-9

BAB II

PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif, sehingga tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda (Akhmar & Syarifudin, 2007). Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.

Keraf (2006) & Wahono (2005) juga memberikan definisi yang sama bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman atau Wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dan digunakan sebagai strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma, tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan

(19)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-10 komunitas tertentu. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

2.1. Tipologi Kearifan Lokal

Ernawi (2010) menyatakan bahwa secara umum tipologi kearifan lokal dapat dikelompokkan terhadap jenis dan bentuknya, yaitu:

2.1.1. Jenis Kearifan Lokal

Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat) (Ernawi, 2010).

2.1.1.1. Tata Kelola

Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’

memiliki beberapa penguasa adat kecil yang disebut Lembang, di bawahnya juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua’. Selain itu, terdapat pula

(20)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-11 pembagian tugas dan fungsi dalam suatu kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton di Jawa.

Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu (Ife &

Tesoriero, 2008, Ernawi, 2010).

2.1.1.2. Sistem Nilai

Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya (Akhmar & Syarifudin, 2007;)

2.1.1.3. Tata Cara atau Prosedur

Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti:

Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di Bali. Selain

(21)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-12 itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas teritori wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampong budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan) (Ife &Tesoriero, 2008, Ernawi, 2010; Suryadi et al.2012).

2.1.1.4. Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)

Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, seperti di Sumatera Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah, dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran), serta Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan masyarakat banyak seperti membuat jalan baru, bangunan rumah ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan menanam tanaman keras). Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo,

(22)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-13 rumah panjang, rumah toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah terhadap lingkungan (Ife & Tesoriero, 2008, Ernawi, 2010).

2.2. Bentuk Kearifan Lokal

Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible) (Ernawi,

2010).

2.2.1. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)

Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:

2.2.1.1. Tekstual

Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.

Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan

(23)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-14 prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap dianggap penting (Ife & Tesoriero, 2008, Ernawi, 2010).

2.2.1.2. Bangunan/Arsitektural

Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu.

Bangunan rumah rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya.

Bangunan vernacular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi- potensi lokal karena dibangun melalui proses trial and error, termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya (Ife & Tesoriero, 2008, Ernawi, 2010).

2.2.1.3. Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)

Banyak benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting. UNESCO mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi budaya, keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal konsep,bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol

(24)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-15 jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya. Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat (Ife & Tesoriero, 2008; Ernawi, 2010).

2.2.2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)

Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai- nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi (Ernawi, 2010; Wibowo, 2011).

2.3. Deskripsi Kearifan Lokal

2.3.1. Sejarah Kearifan Lokal

Selama ribuan tahun, penduduk asli di berbagai pelosok muka bumi telah mengembangkan praktik-praktik tradisional untuk melestarikan alam (Al Buqhory,

2012). Praktik-praktik tradisional inilah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal (local wisdom). Fenomena kearifan lingkungan yang berbasiskan masyarakat

(25)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-16 ini sudah ada sejak zaman pra-sejarah dulu. Menurutnya, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Kearifan lokal ini dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini pun berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang hidup di suatu daerah dan berkembang secara turun-temurun.

Masyarakat Indonesia yang terdiri atas ± 555 suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara, mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik lingkungan yang khas. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan.

Pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat yang mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukiman mereka. Pengetahuan rakyat itu biasanya berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra (Syahrin, 2011). Hidayat &

Soemarno (2007) mengemukakan bahwa masyarakat adat juga mengembangkan suatu prinsip untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi mahluk hidup lain di alam (no harm) sebagaimana manusia tidak melakukan tindakan yang merugikan manusia. Prinsip ini biasanya dipertahankan

(26)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-17 atau dihayati melalui tabu-tabu, misalnya alam (bisa juga batu atau pohon/belukar tertentu) disakralkan sehingga tidak boleh disentuh atau dirusak.

Lebih lanjut Syahrin (2011) menjelaskan bahwa kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat dan pengakuan oleh pemerintah. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH), diantaranya diatur dalam:

a. Pasal 1 angka 30 dan 31 UUPPLH:

1. (30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola

lingkungan hidup secara lestari.

2. (31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

b. Pasal 2 UUPPLH:

(27)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-18 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: 1) tanggung jawab negara, 2) kelestarian dan keberlanjutan, 3) keserasian dan keseimbangan, 4) keterpaduan, 5) manfaat, 6) kehati-hatian, 7) keadilan, 8) ekoregion, 9) keanekaragaman hayati, 10) pencemar membayar, 11) partisipatif, 12) kearifan lokal, 13) tata kelola pemerintahan yang baik; dan

14) otonomi daerah.

Penjelasan umum angka 2 UUPPLH, yang menyebutkan:

―…, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan‖.

2. UU N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan a. Pertimbangan huruf c

―pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional‖;

b. Pasal 4 ayat (3)

Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

(28)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-19 3. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6 (2)

―Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan‖.

Menurut Wibowo (2011) kearifan lokal di Indonesia saat ini menjadi topik bahasan menarik dibicarakan di tengah semakin menipisnya sumber daya alam dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat. Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan kearifan lokal turut menjadi elemen penentu keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat dan sumber daya alam sekitar. Pertama, karena keprihatinan terhadap peningkatan intensitas kerusakan sumber daya alam khususnya akibat berbagai faktor perilaku manusia. Kedua, tekanan ekonomi yang makin mengglobal dan dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga secara perlahan ataupun cepat menggeser kearifan lokal menjadi kearifan ekonomi.

Kedua faktor ini bekerja mendorong masyarakat melakukan hal bersifat destruktif terutama saat mengelola usaha berbau produktif mengandalkan potensi sumber daya alam.

2.3.2. Pendekatan-pendekatan yang Dilakukan dalam Memahami Kearifan Lokal

Menurut Suhartini (2009) berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami kearifan lokal antara lain: Politik ekologi (Political Ecology),

(29)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-20 Human Welfare Ecology, Perspektif Antropologi, Perspektif Ekologi Manusia, Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif).

a). Politik ekologi (Political Ecology)

Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan lingkungan yang lebih kompleks dari pada sekadar sistem biofisik yakni menyangkut distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat.

Pendekatan ini didasari pemikiran tentang beragamnya kelompok kepentingan, persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan khususnya menyangkut isu

right to environment dan environment justice‖ karena right merujuk pada kebutuhan minimal/standar individu terhadap objek-objek right seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain. Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas objek-objek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok.

Konsep right to environment dan environment justice harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan di antara generasi (intra-generational justice) dan lintas generasi (inter- generational justice), karena konsep pembangunan berkelanjutan menekankan baik dimensi di antara generasi maupun lintas generasi (Setiawan, 2006).

(30)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-21 b). Human Welfare Ecology

Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Setiawan (2006) bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya.Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain:

1). Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek politik pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu berlebihan (hubungan negara – kapital– masyarakat sipil).

2). Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani.

c). Perspektif Antropologi

Dalam upaya untuk menemukan model penjelas terhadap ekologi manusia dengan perspektif antropologi memerlukan asumsi-asumsi. Tahara dalam Akhmar

& Syarifuddin (2007) selanjutnya menjelaskan bahwa secara historis, perspektif dimaksudkan mulai dari determinisme alam (geographical determinism), yang mengasumsikan faktor-faktor geografi dan lingkungan fisik alam sebagai penentu mutlak tipe-tipe kebudayaan masyarakat, metode ekologi budaya (method of cultural ecology) yang menjadikan variabel-variabel lingkungan alam dalam

(31)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-22 menjelaskan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan manusia. Neofungsionalisme dengan asumsi keseimbangan (equilibria) dari ekosistem-ekosietem tertutup yang dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating system), materialisme budaya (cultural materialism) dengan keseimbangan cost-benefit terlembagakan, hingga ekologi Darwinisme dengan optimal fitness dalam respon atau adaptasi untuk

survival

d). Perspektif Ekologi Manusia

Menurut Lampe dalam Akhbar & Syarifuddin (2007) terdapat tiga perspektif ekologi manusia yang dinilai relevan untuk aspek kearifan lokal, yaitu 1) pendekatan ekologi politik, memusatkan studi pada aspek pengelolaan sumberdaya milik masyarakat atau tidak termiliki sama sekali, dan pada masyarakat-masyarakat asli skala kecil yang terperangkap di tengah-tengah proses modernisasi; 2) pendekatan ekosistemik, melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem yang seimbang, dan 3) pendekatan konstruksionalisme, paradigma komunalisme dan paternalisme dari perspektif konstruksionalisme. Dalam hal ini kedua komponen manusia dan lingkungan sumberdaya alam dilihat sebagai subjek-subjek yang berinteraksi dan bernegosiasi untuk saling memanfaatkan secara menguntungkan melalui sarana yang arif lingkungan.

(32)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-23 e). Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model Penjelasan Konstekstual

Progresif)

Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena- fenomena yang menjadi pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model penjelasan yang empirik, menyediakan tempat- tempat dan peluang bagi adopsi asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai (Suhartini, 2009).

2.3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal menurut Salman (2012)

mengacu pada 5 prinsip, yaitu:

1). Prinsip perubahan perilaku secara konstruktif (contructive behavior change) Prinsip ini muncul dengan asumsi bahwa tindak-perilaku pemangku

kepentingan (stakeholders) kurang pro-lingkungan, maka diperlukan perubahan menuju pro-lingkungan. Perubahan tindak-perilaku tersebut idealnya lahir sebagai hasil konstruksi sosial, yang prosesnya ditandai oleh dialektika pengetahuan tentang perubahan pada diri aktor/individu dengan pengetahuan tentang perubahan pada struktur/kolektivitas, baik karena pengaruh regulasi, insentif, sukarela ataupun karena kepemilikan.

2). Prinsip pembelajaran sosial (sosial learning) dan berbagi informasi (shared information).

(33)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-24 Prinsip ini didasari asumsi bahwa kearifan lokal lahir dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil belajar dan berbagi informasi. Oleh karena itu, perubahan perilaku yang menuju pengelolaan lingkungan yang arif seyogyanya lahir dari pengetahuan dan pengalaman yang dibangun berdasarkan pengalaman bersama para stakeholder. Dengan demikian, diperlukan fasilitasi untuk mengantar para pihak mengalami proses belajar untuk memecahkan lingkungan tertentu secara multipihak, dan di dalamnya berlangsung pembelajaran sosial dan berbagi informasi; yang akan mengantar lahirnya kesepakatan tentang norma yang akan dipatuhi bersama.

3). Prinsip kolaborasi dan partisipasi multipihak

Perubahan tindak-perilaku menuju pengelolaan lingkungan yang arif, memerlukan kontribusi sumberdaya yang multi pihak, karena dengan cara itulah norma yang disepakati bersama bisa efektif terpatuhi.

4). Prinsip modal sosial (sosial capital).

Modal sosial adalah kemampuan sejumlah orang untuk mencapai tujuan bersama secara lebih terkoordinir melalui pengorganisasian diri, saling percaya dan tindakan resiprosikal yang mereka bangun. Modal sosial akan berfungsi sebagai pelumas bagi aksi pengelolaan lingkungan yang arif, dan dengan modal sosial itu pula proses pengelolaan akan lebih efisien dan efektif.

5). Prinsip pemberdayaan masyarakat (community empowerment).

Prinsip ini didasari asumsi bahwa komunitas adalah pihak yang paling lemah posisinya, karena selama ini telah mengalami pelemahan daya oleh negara ataupun oleh mekanisme pasar, maka sebuah kearifan lokal meniscayakan

(34)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-25 keberdayaan komunitas. Oleh karena itu, penyadaran kritis dan pengorganisasian komunitas, secara berbasis pada kearifan nilai-nilai yang berlaku kontekstual, merupakan unsur yang perlu difasilitasi dalam siklus sosial learning.

2.4. Transformasi Kearifan Lokal

2.4.1. Adaptasi Kearifan Lokal

Sebagai produk lokal yang sudah mentradisi, kearifan lokal juga mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, selain disebabkan oleh desakan dari dalam, misalnya adanya inovasi dari anggota komunitas; juga karena adanya pengaruh dari luar, misalnya globalisasi, modernisasi, dan sentralisasi. Kebudayaan lokal merupakan salah satu unsur pembentuk kearifan lokal. Oleh karena itu, transformasi yang terjadi pada kearifan lokal juga mengikuti transformasi yang terjadi pada budaya, yakni menurut (Wurianto, 2010) mengarah kepada efisiensi, rasionalitas, demokratis. objektif, dan bersifat terbuka sejalan dengan perubahan dalam masyarakat.

Kearifan lokal harus mampu beradapatasi dengan konteks kekinian. Tidak semua kearifan lokal yang dulu ada dan dimiliki oleh suatu komunitas masih bertahan dan digunakan sampai sekarang. Beberapa di antara kearifan lokal tersebut mengalami pemudaran/degradasi, bahkan hilang karena sudah tidak difungsikan lagi. Ada banyak alasan mengapa suatu kearifan lokal tidak lagi fungsional. Dua di antara alasan dimaksud disebutkan oleh Ife & Toseriero (2008), yakni karena bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan agama. Beberapa contoh dari kebiasaan tersebut, misalnya kebiasaan pengambilan keputusan yang

(35)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-26 tidak memberikan peluang dan hak warga untuk menyatakan pendapat, tentu melanggar azas demokrasi dan bertentangan dengan HAM; kebiasaan meminum minuman keras sampai mabuk sebelum mengambil keputusan, tentu tidak dibenarkan karena merusak kesehatan dan melanggar ajaran agama.

2.4.2. Evolusi Kearifan Lokal

Kearifan lokal selalu diuji oleh ruang dan waktu sehingga sangat rentan untuk mengalami perubahan. Menurut Ridwan (2007), sebagai pengetahuan yang eksplisit, kearifan lokal berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal selama kurun waktu yang panjang. Hal ini yang membuatnya melekat dan masyarakat menjadikannya sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Akhmar & Syarifudin (2007), bahwa sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Terkait dengan perubahan (evolusi) kearifan lokal yang sudah mentradisi pada suatu komunitas, Wurianto (2010) memberikan contoh sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan. Kebudayaan masyarakat pada dasarnya selalu berada dalam proses, baik pemertahanan yang lama atau adaptasi dan adopsi yang baru. Budaya dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh

faktor pendorong dan penarik yang masuk yang berasal dari luar masyarakat yang bersangkutan, baik secara kuat atau lemah, sehingga dapat terjadi pengayaan

(36)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-27 budaya atau bahkan sebaliknya pencabutan akar budaya untuk diganti yang sama sekali baru.

Salah satu kearifan lokal yang berpotensi untuk mengalami perubahan adalah aturan tentang sanksi. Jika sanksi ditentukan dengan nilai uang, maka pengaruh inflasi menyebabkan nilai uang semakin berkurang. Misalnya pada tahun

1950, pelaku pelanggaran berat dikenakan sanksi sebesar Rp 5.000,00. Jumlah barang yang dapat dibeli dengan nilai uang Rp 5.000,00 pada masa itu tentu berbeda jauh dengan tahun 2012. Oleh karena itu, jika sanksi diberlakukan dalam bentuk uang, maka perlu dilakukan penyesuaian agar penerapannya dapat efektif dalam menekan pelanggaran.

2.4.3. Mekanisme Transformasi Kearifan Lokal

Selain karena faktor eksternal, perubahan-perubahan yang terjadi di internal komunitas, misalnya perubahan komposisi penduduk dan pergantian generasi; juga diketahui sebagai penyebab tergerusnya kearifan lokal. Sangat disayangkan jika kearifan lokal yang keunggulan dan ketangguhannya telah teruji secara lokalit, harus mengalami degradasi, apalagi sampai kehilangan makna. Atas dasar itulah, maka perlu dilakukan transformasi (pewarisan) nilai-nilai kearifan lokal antar generasi, agar generasi berikutnya tidak kehilangan identitas karena tercabut dari akar budayanya.

Pewarisan nilai-nilai kearifan lokal tidak dapat diajarkan melalui proses- proses kognitif semata, melainkan melalui pengembangan pembiasaan dan penanaman nilai secara inklusif dan terintegrasi. Suryadi et al.(2012) melaporkan

(37)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-28 proses pewarisan nilai-nilai kearifan lokal pada Kampung Naga (Suku Baduy). Di Kampung Naga, pewarisan nilai-nilai kearifan lokal merupakan proses belajar sepanjang hayat (long-life learning) yang dilakukan melalui enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi; dan dilaksanakan secara integrasi oleh keluarga, masyarakat, dan lembaga adat. Keluarga menjadi wahana utama dan pertama di dalam proses belajar nilai-nilai kearifan lokal. Lingkungan masyarakat adalah wahana aktualisasi, sehingga setiap individu merupakan bagian integral dari karakteristik masyarakat, sedangkan lembaga adat berkewajiban memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan berfungsi sebagai pengontrol masyarakat.

2.5. Revitalisasi Kearifan Lokal

Setelah mati suri akibat diberlakukannya Undang-Undang No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, maka kehadiran Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, membuka peluang dan harapan baru untuk menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Untuk mewujudkan tujuan dimaksud dan agar kearifan lokal dapat berperan optimal dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka perlu dilakukan revitalisasi dalam hal kelembagaan, penguatan, dan pemberdayaannya.

2.5.1. Kelembagaan Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan semua kecerdasan lokal yang ditranformasikan ke dalam cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mandiri dalam

(38)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-29 berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah; istilah cipta, karya dan karsa juga disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah semua pikiran, perilaku, tindakan, dan sikap hidup yang selalu dilakukan orang setiap harinya (Rustanto, 2007).

Agar kearifan lokal dapat berperan secara maksimal, maka harus dibudayakan.

Menurut Koentjaraningrat (1987) dalam Rustanto (2007) pembudayaan (institusionalization) merupakan proses belajar yang dilalui setiap orang selama hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan masyarakatnnya.

Keberadaan lembaga sosial, selain dimaksudkan untuk mengontrol perilaku anggota komunitasnya melalui keserasian antara stabilitas dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam komunitasnya, juga untuk mengontrol perilaku semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara bersama. Yuliati dan Poernomo (2003) mengemukakan bahwa kegunaan utama lembaga kemasyarakatan adalah sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (sosial control) karena dengan mengetahui adanya lembaga- lembaga tersebut, setiap orang dapat mengatur perilakunya sesuai dengan kehendak masyarakat.

Pada organisasi masyarakat yang tradisional, biasanya sudah terjadi pembagian kewenangan yang jelas, termasuk kewenangan untuk menegakkan kearifan lokal. Kewenangan tersebut, biasanya diserahkan kepada lembaga tertentu, yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini, selain dimaksudkan untuk menjamin kepastian pentradisian kearifan lokal melalui

(39)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-30 penegakan aturan, juga untuk memastikan legalitas sanksi yang diterapkan.

Dicontohkan oleh Suryadi et al.(2012), pada masyarakat Baduy misalnya, lembaga yang bertugas untuk menegakkan kearifan lokal adalah lembaga adat.

Lembaga ini diberikan kewenangan untuk mengontrol pelestarian dan proses pewarisan nilai- nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Baduy.

2.5.2. Penguatan Kearifan Lokal

Penguatan kearifan lokal disebabkan oleh munculnya kesadaran bersama dari anggota masyarakat sebagai akibat dari terjadinya konflik kepentingan oleh berbagai pihak dalam pemanfaatan sumberdaya yang kuantitas dan kualitasnya semakin berkurang. Konflik kepentingan dalam pengelolaan suatu sumberdaya, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor internal, tetapi juga disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar suatu komunitas. Hasil penelitian Solihin & Satria (2007) terhadap penggunaan awig-awig dalam pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Komunitas Wektu Telu di daerah Lombok Utara menunjukkan bahwa munculnya konflik kepentingan, antara lain dipicu oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sulit (tuntutan mata pencaharian), lingkungan politik legal, perubahan teknologi, dan perubahan tingkat komersialisasi (pasar).

Faktor lain yang juga memacu penguatan kearifan lokal adalah sebagai strategi antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang intensitas dan eskalasinya sulit diprediksi. Istilah strategi antisipasi menurut Solihin & Satria ( 2007), diartikan sebagai pilihan tindakan

(40)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-31 yang bersifat rasional dan efektif oleh suatu komunitas, sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik tempat mereka hidup.

Untuk keberhasilannya, penguatan kearifan lokal tidak dibebankan sebagai tugas masyarakat semata, tetapi diharapkan agar semua pihak (pemerintah, LSM, swasta, dan PT) juga ikut terlibat dan mengambil peran sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. Susilo (2006) menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal untuk memperkuat kearifan lokal yang mereka miliki, diantaranya: 1) pemberian penghargaan; 2) penerapan sanksi secara tegas, 3) pengakuan dan pengesahan (rekognisi dan legitimasi) dari pemerintah, 4) menjalin kerjasama dengan masyarakat lain, organiasasi non pemerintah, swasta, dan PT; dan 5) memperluas jaringan guna memperoleh akses informasi, komunikasi, ekonomi, dan advokasi.

2.5.3. Pemberdayaan Kearifan Lokal

Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal mengandung makna peletakkan nilai-nilai setempat sebagai input dalam menangani permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (Saharuddin, 2009). Peletakkan nilai-nilai setempat memiliki makna bahwa praktek-praktek penanggulangan problematika yang dihadapi masyarakat dipelopori oleh aktor-aktor setempat/lokal dengan menjadikan kebijakan nasional sebagai rambu-rambu dalam membangun kerjasama yang sinergis pada berbagai sektor.

Perlunya pemberdayaan masyarakat, menurut Salman (2012) karena diasumsikan bahwa komunitas adalah pihak yang paling lemah posisinya. Lemahnya posisi komunitas disebabkan selama ini telah mengalami

(41)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-32 pelemahan daya oleh negara ataupun oleh mekanisme pasar, maka sebuah kearifan lokal meniscayakan keberdayaan komunitas. Menurut Primyastanto &

Muhammad (2011), upaya pemberdayaan dapat dilihat dari 3 sisi, yaitu: 1) menciptakan suasana/iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), 2) memperkuat potensi/daya yang dimiliki masyarakat (empowering), dan 3) memberdayakan juga mengandung makna melindungi, karena harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah guna menghindari ketidakberdayaannya dalam menghadapi yang kuat.

Untuk menjamin keberhasilannya, pemberdayaan masyarakat tidak hanya difokuskan pada satu bidang saja, tetapi harus bersifat holistik. Ife & Toseriero (2008) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus terintegrasi, karena semuanya saling terkait, yakni meliputi ada 6 bidang (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan personal/spiritual).

Arah kebijakan pemberdayaan masyarakat, selain lebih ditujukan pada upaya peningkatan kesadaran hak asasi manusia, hak hidup, rasa memililki, partisipasi politik dalam pembuatan keputusan, integrasi dan pembangunan sosial, hak kultural, menghargai paham dan pendapat orang lain, rasa tanggung jawab sosial; juga ditujukan untuk peningkatan pelayanan sarana dan prasarana dasar, kegiatan sosial kerakyatan, dan pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis potensi lokal, serta pemanfaatan peluang pasar yang lebih luas (Saharuddin,2009). Pentingnya penggugahan kesadaran pikir masyarakat kaitannya dengan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal, menurut Utari (2012) karena selama ini mereka menganggap bahwa kawasan hutan hanya sebagai

(42)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-33 forestic centris (hasil kayu sebagai hasil utama) semata, sehingga harus ditanamkan kesadaran bahwa kawasan hutan juga berfungsi sebagai penghasil karbon, ekowisata, keanekaragaman biodiversitas, dan sumberdaya air, serta sumberdaya non kayu lainnya.

2.5.4. Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan

Masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukanlah pendatang baru dalam pengelolaan hutan sebagaimana dinyatakan oleh Sardjono (2011) bahwa sebagai bagian integral dari ekosistem hutan, masyarakat telah memanfaatkan hutan dan hasil hutan secara tradisional sejak purbakala. Praktik kehutanan masyarakat tersebut merupakan perjuangan untuk hidup, pembagian sumberdaya sosial, dan tentu saja sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat. Vayda (1983) dalam CIFOR (2001) menyatakan bahwa masyarakat sekitar hutan dipandang sebagai bagian dari hutan yang keduanya memiliki hubungan saling ketergantungan. Masyarakat berkontribusi kepada hutan dan sekaligus mengambil manfaat dari hutan. Dengan demikian, masyarakat yang tinggal di dan sekitar hutan bergantung kepada hutan dan sekaligus bekerja untuk hutan. Bisjoe et al. (2005) menyatakan bahwa fenomena hidup berdampingan antara

masyarakat dengan hutan yang masih dapat disaksikan sampai sekarang pada masyarakat adat di beberapa wilayah Nusantara,

merupakan bukti adanya interaksi harmonis yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Sejalan dengan fakta tersebut, kebijakan sosial forestry yang diterapkan pemerintah memungkinkan keberlangsungan interaksi tersebut dengan cakupan masyarakat luas. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa pelibatan

(43)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-34 masyarakat yang sudah sejak lama berinteraksi dengan hutan, merupakan hal penting dalam pengelolaan hutan.

Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat lokal (partisipasi) dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positif, karena kesadaran kritis masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suprayitno (2006) bahwa untuk menjamin kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan harus tetap diperhatikan dan dikembangkan.

Kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan tidak berarti bahwa masyarakat hanya berperan sebagai penjaga hutan, namun mereka diikutsertakan dalam kegiatan pengelolaan dan juga ikut merasakan atau menikmati hasil hutan tersebut (Suprayitno, 2008), sebagaimana teori pertukaran (exchange theory) yang dinyatakan oleh Blau dalam (Ndraha, 1990) bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.

Digulirkannya berbagai program pembangunan kehutanan yang berorientasi pada masyarakat, seperti hutan kemayarakatan, hutan rakyat, model desa konservasi, pengelolaan hutan bersama masyarakat, dan sebagainya, dimaksudkan agar masyarakat dapat merasakan manfaat hutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya, sebab partisipasi masyarakat akan semakin meningkat apabila hasil pembangunan dapat dinikmati langsung dan memberikan

(44)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-35 keuntungan kepada mereka (Suprayitno, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ife & Toseriero (2006) bahwa masyarakat akan semakin terlibat dalam suatu program pembangunan apabila keterlibatannya tersebut dirasakan dapat memberikan perubahan (perbedaan atau manfaat).

Menurut Rahmawaty (2004) pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat disebut pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community-Based Forest Management). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berdasarkan keberpihakan kepada rakyat khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan hal ini didasarkan pada keberpihakan kepada rakyat, dengan prinsip-prinsip: a) pelaku utama adalah masyarakat, b) keputusan diambil oleh masyarakat, c) masyarakat sebagai penentu kelembagaan pengusahaan, d) kepastian hak dan kewajiban semua pihak, e) pemerintah sebagai fasilitator dan pemdanu program, f) pendekatan didasari keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya.

Partisipasi akan semakin meningkat apabila hasil pembangunan dapat dinikmati langsung dan memberikan keuntungan kepada masyarakat. Masyarakat diberikan kewenangan atau hak untuk mengelola hutan. Hal ini merupakan langkah perbaikan terhadap metode atau pendekatan lama, yakni pemerintah secara mutlak menguasai pengelolaan sumber daya hutan atau disebut sebagai

“pengelolaan hutan berbasis pemerintah”. Dalam kasus seperti ini, peran masyarakat sekitar hutan dikesampingkan dan kalaupun ada, maka itu hanya simbolik saja. Hal inilah yang menyebabkan hilangnya sense of belonging dan sense of responsibility dari masyarakat terhadap hutan. Oleh karena itu, apabila

(45)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-36 masyarakat sekitar hutan dapat digugah kesadarannya dan dapat diajak untuk turut serta dalam mengelola hutan secara lestari, dalam konteks untuk kesejahteraan mereka, maka ―setidak- tidaknya‖ frekuensi baik dari kuantitas maupun kualitas kerusakan hutan dapat diturunkan.

(46)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-37

BAB III

TRANSFORMASI BUDAYA DAN PERUBAHAN SOSIAL

Pada dasarnya perubahan sosial dan perubahan budaya merupakan konsep yang sebenarnya saling berkaitan satu sama lain meskipun mempunyai perbedaan. Perubahan sosial mencakup perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial, sedangkan perubahan budaya mencakup perubahan dalam segi budaya masyarakat (Horton et al.1987)

Ekonomi adat dapat dianggap berkelanjutan selama pemegang budaya berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya menggunakan budayanya, termasuk dalam mengelola dan memanfaatkan "sumberdaya alam". Di banyak daerah, masyarakat adat telah bertahan selama berabad-abad, dan sistem ekologi dimana mereka menjadi komponennya telah mempertahankan kekayaannya dan ketahanannya terhadap gangguan alam seperti kekeringan atau kebakaran.

Ekosistem yang telah dikontrol dan dikelola oleh masyarakat adat, sehingga cenderung ditandai dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sumberdaya dapat pulih yang melimpah, dan sumberdaya yang asri tak terbarukan relative lestari. Bagi banyak kelompok masyarakat adat, munculnya globalisasi mengancam keberlanjutan ekonomi mereka, karena lahan dan pengetahuan yang berharga dijadikan sebagai komoditi ekonomi.

Budaya di seluruh dunia sedang mengalami perubahan akibat tekanan lingkungan, seperti perubahan iklim global. Selain deforestasi, tekanan lain adalah

(47)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-38 dimasukkannya spesies-species asing (eksotik) (Barringer, 2004); pencemaran lingkungan (Evans, 2004); dan pembangunan perkotaan (Buzbee,1999).

Dalam banyak kasus, masyarakat adat belum sepenuhnya menyetujui penetrasi kapitalisme ekstraktif dalam komunitasnya. Oleh karena itu seringkali masyarakat adat menolak atau bernegosiasi untuk mempertahankan wilayahnya dan integritas budayanya.

Inovasi teknologi dapat meningkatkan, menggantikan atau merendahkan eksistensi dan budaya manusia. Kemajuan teknologi medis telah memberikan kontribusi terhadap perubahan demografi, termasuk peningkatan usia- hidup dan mengurangi kesuburan. Di beberapa negara Dunia Ke tiga, ginjal, mata dan kulit dapat dijual di ―pasar khusus‖ untuk bagian-bagian (organ) tubuh manusia. Di sisi yang lebih positif, inovasi teknologi tertentu seperti komputer, internet, dan media perekaman audio-visual, telah disambut dan diimplementasikan oleh masyarakat adat sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat luas. Hal ini ternyata berdampak pada transformasi sosial ekonomi, budaya dan politik yang terus berkembang dan seringkali dengan cara yang tidak terduga.

Perubahan budaya pertanian dapat menyebabkan perubahan budaya perdesaan; pola spasial pertumbuhan pertanian dan perubahan sosial-ekonomi pedesaan mencerminkan produksi rumah tangga dan perilaku sosiai. Teori yang dapat menjelaskan perubahan pertanian adalah : Teori tekanan penduduk dan Teori insentif pasar. Kedua faktor ini menginduksi intensifikasi pertanian denganrasional dan tujuan produksi yang berbeda.

(48)

Kearifan Lokal Untuk Konservasi Mata Air Page-39 Menurut Boserup (1965), Teori tekanan penduduk menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mendorong petani untuk mengolah lahan usahanya lebih sering melalui adopsi teknologi, jadwal tanam, kultivar unggul, dan penyerapan tenaga kerja, dalam rangka mengamankan produksi pangan subsisten (Chayanov 1966, Turner et al.1977; Turner et al.1993).

Pertumbuhan penduduk dan kekuatan pasar mempunyai dampak sangat besar terhadap intensifikasi pertanian dan pembangunan pedesaan. Hasil-hasil penelitian di dunia ke tiga membuktikan bahwa petani tradisional bukanlah subsisten-mumi atau petani pasar-mumi. Mereka merupakan petani ganda yang memproduksi untuk konsumsi pangan langsung dan semakin terlibat dalam produksi komoditas pasar; perilaku produksi ganda ini dimediasi oleh techno- manajerial, kondisi ekonomi dan kelembagaan politik, serta kualitas lingkungan dimana mereka berada.

Faktor ekonomi politik terutama struktur sosial-ekonomi rumah tangga ternyata mengendalikan kekuasaan diferensial petani dan aksesnya ke sumberdaya lahan (Bassett, 1988; Blaikie & Brookfield, 1987). Di negara-negara berkembang, luas lahan adalah faktor ekonomi politik penting yang menentukan keputusan penggunaan lahan petani; petani mengalokasikan lebih banyak lahan tanaman pangan-konsumsi untuk mencapai ketahanan pangan, sedangkan tuan-tuan tanah mengalokasikan lebih banyak lahannya untuk menghasilkan tanaman komoditas- pasar. Intensitas pertanian dan produktivitas lahan biasanya bervariasi berbanding terbalik dengan luas lahan (Boyce, 1987; Griffin et al.2002).

Referensi

Dokumen terkait

PERANAN NILAI NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK BUMI SEGANDU DALAM MEMELIHARA PARTISIPASI PEMBANGUNAN MASYARAKAT (studi deskriptif didesa krimun kabupaten indramayu)

Institusionalisasi Kearifan Lokal: Model Penerbitan Buku Cerita Rakyat Tribabahasa Sebagai Strategi Penguatan Aset Budaya Lokal (Untuk Mendukung Pengayaan Materi Muatan

Penyelesaian Sengketa Antar Warga Masyarakat Adat Berdasarkan Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Hutan Wonosadi...37. Wujud-wujud Kearifan Lokal

Uji keterbacaan bertujuan untuk mengetahui tingkat keteterbacaan Suplemen Buku Ajar Berbasis Kearifan Lokal yang digunakan pada uji lapangan. Berdasarkan analisis

Misalnya, pada mata pelajaran IPA sudah dimuati materi kebencanaan, maka kearifan lokal yang dapat disisipkan adalah yang terkait dengan konservasi alam, karakter yang diben-

PERANAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK BUMI SEGANDU DALAM MEMELIHARA PARTISIPASI PEMBANGUNAN

Uji keterbacaan bertujuan untuk mengetahui tingkat keteterbacaan Suplemen Buku Ajar Berbasis Kearifan Lokal yang digunakan pada uji lapangan. Berdasarkan analisis

Kali ini kita akan belajar Bahasa Inggris tentang Matematika yang sangat menyenangkan dengan menggunakan berbagai media berbasis kearifan lokal seperti makanan tradisional, batu