• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETERMINAN KEMISKINAN PROVINSI ACEH TAHUN 2017

N/A
N/A
muhammad yunus

Academic year: 2024

Membagikan "DETERMINAN KEMISKINAN PROVINSI ACEH TAHUN 2017"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DETERMINAN KEMISKINAN PROVINSI ACEH TAHUN 2017

(DETERMINANT POVERTY OF ACEH PROVINCE 2017)

Muhammad Mantsani*1, Diah Afrah Liany Rumodar1, Khadijah Syukriah1, Sugiarto1

1POLITEKNIK STATISTIKA STIS

Jln. Otto Iskandardinata no. 64C, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur e-mail: *1[email protected]

ABSTRAK

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia masih tinggi yaitu diatas 10 persen pada tahun 2017. Jika dilihat per provinsi, provinsi Aceh merupakan provinsi yang memiliki angka kemiskinan tertinggi di wilayah Kawasan Indonesia Barat (KBI) tahun 2017,padahal Provinsi Aceh merupakan provinsi yang mendapatkan dana otonomi khusus setiap tahun yang di atur dalam UU. No 18 tahun 2001, kondisi sumber daya manusia di Provinsi Aceh yang cukup baik dilihat dari tingkat pendidikan yang diukur dari rata-rata lama sekolah sebesar 9,42 tahun menempatkan Aceh berada pada peringkat ke-8 di Indonesia dan ke-3 di pulau Sumatera, dan infrastruktur yang baik dibandingkan provinsi lain di wilayah pulau Sumatera terbukti dengan 90 persen panjang jalan nasional sudah berupa aspal. Sehingga hal ini perlu diteliti kenapa angka kemiskinan di provinsi Aceh Masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum kemiskinan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta mengetahui faktor yang signifikan mempengaruhi kemiskinan di provinsi Aceh tahun 2017. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linier Berganda. Hasil yang didapat adalah variabel pendidikan dan perekonomian berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, sementara variabel infrastruktur dan dana otonomi khusus tidak berpengaruh signifikan. Nilai adj R-squre pada penelitian ini adalah sebesar 0,484 artinya 48,4 persen keragaman variabel kemiskinan dapat dijelaskan oleh variabel pendidikan, perekonomian, infrastruktur, dan dana otonomi khusus, sedangkan sisanya 51,6 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Kata kunci—kemiskinan, analisis regresi linier berganda, otonomi khusus ABSTRACT

In Indonesia, poverty rate is still relatively high at above 10 percents in 2017. Aceh Province is the highest poverty rate on western Indonesia region in 2017. Whereas Aceh is a province that gets special autonomy funds in every year that regulated in UU. No 18 tahun 2001, the condition of human resources in Aceh Province is quite good, it can be seen from level of education measured by the average length of school of 9.42 years, placing Aceh ranked 8th in Indonesia and 3rd on the island of Sumatra , and good infrastructure compared to other provinces in the island of Sumatra proven by 90 percent long national road has ben paved.

So its needs to be investigated the causes of poverty in Aceh province which is still high. This research aim is to find out the general description of poverty and factors those are thought to influence it and also to know the factors those significantly influence poverty in Aceh province in 2017. The method that use in this research is multiple linear regression. The results obtained are the education and the economy have significant effect on poverty, while the infrastructure and special autonomi fund have no significant effect. The value of adjusted R-square on the results of this research is 0,484 which mean that 48,4 percent of the variance of poverty variable can be explained by the variable of education, economic, infrastructure, and special autonomi fund, while the remaining 51,6 percent is explained by other variables outside the model.

Keywords—poverty, multiple linear regression, special autonomi fund

PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan topik yang selalu menjadi perhatian dan diperbincangkan oleh banyak negara terlebih lagi negara berkembang baik di dalam forum nasional maupun internasional.

Indonesia sebagai negara berkembang tidak lepas dari masalah kemiskinan sejak awal kemerdekaannya hingga saat ini. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk terus menurunkan tingkat kemiskinan yaitu dengan melakukan kebijakan yang secara langsung berhubungan dengan tingkat kemiskinan baik dalam bidang sosial maupun ekonomi salah satunya

(2)

dengan membangun berbagai program seperti program pemberdayaan masyarakat yang bisa melatih masyarakat menjadi mandiri secara ekonomi, melakukan pemberian bantuan tunai dan non- tunai dalam bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan pembangunan infrastruktur yang secara langsung dapat memudahkan dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapatdibagi kedalam dua wilayah, Wilayah Kawasan Barat Indonesia(KBI). KBI dapat dikatakan lebih maju dibandingkan wilayah KTI dimana wilayah KBI memiliki infrastruktur yang lebih baik dan kondisi geografis yang tidak sesulit di KTI sehingga pembangunannya lebih cepat dan merata. Meskipun begitu, jika di lihat secara wilayah ternyata masih terdapat beberapa provinsi di wilayah KBI yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi di atas persentase Indonesia, salah satunya adalah provinsi Aceh dengan persentase penduduk miskin sebesar 16,89 persen

Provinsi Aceh memiliki persentase penduduk miskin tertinggi untuk wilayah KBI pada tahun 2017. Padahal, Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang menerima perhatian khusus dari pemerintah pusat dengan pemberian otonomi khusus melalui UU No.18/2001. Dimana dengan otonomi khusus ini Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memperoleh proporsi pendapatan untuk sumber daya minyak dan gas yang lebih besar yaitu 70 persen. Ketetapan ini melebihi otonomi biasa yang mengatur pembagian pendapatan provinsi lainnya yang hanya 15 persen dari minyak dan 35 persen dari gas. Pemberian otonomi khusus ini diharapkan bisa berdampak untuk memaksimalkan potensi daerah, meningkatkan pendapatan daerah serta dapat menggenjot pembangunan ekonomi maupun pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Tetapi, ternyata kebijakan ini belum berpengaruh besar dalam mengatasi kemiskinan yang ada di Provinsi Aceh. Pernyataan ini didukung oleh data BPS (2017) yang menunjukkan angka kemiskinan Provinsi Aceh masih cukup tinggi dan pertumbuhan ekonomi belum maksimal, dimana pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh hanya mampu mencapai 4,19%, kondisi ini masih berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,07%.

Seharusnya pemberian dana otonomi khusus memberikan dampak besar kepada kesejahteraan masyarakat. Karena dengan dana yang besar yang diberikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat meningkatkan pembangunan, misalnya dengan menambah infrastruktur yang berguna dan berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin. Seperti yang dikatakan oleh Faisal Basri (2002) bahwa infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar berputarnya roda perekonomian, sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan. Semakin tersedianya infrastruktur, maka akan merangsang pembangunan.

Infrastruktur berguna untuk memudahkan mobilitas faktor produksi. Data dari BPS tahun 2017 menunjukan bahwa dari total sepanjang 1781,72 km ruas jalan nasional di Provinsi Aceh, sekitar 90% kondisi permukaannya sudah beraspal. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur di Provinsi Aceh belum dapat berdampak langsung pada penurunan kemiskinan, mengingat kemiskinan di Provinsi Aceh masih cukup tinggi.

Tingkat pendidikan penduduk di Provinsi Aceh juga cukup baik dilihat dari angka rata-rata lama sekolah yaitu 9,42 tahun pada tahun 2017, dimana pada angka tersebut Provinsi Aceh berada pada peringkat ke lima dengan rata-rata lama sekolah yang tinggi di wilayah KBI. Bila dibandingkan dengan Provinsi Bali yang memiliki persentase kemiskinan yang lebih rendah yaitu hanya mancapai 4,25% ternyata tingkat pendidikan di Provinsi Bali masih lebih rendah dimana rata-rata lama sekolahnya hanya mencapai 8,93 tahun.

Dari pemaparan di atas cukup menarik untuk diteliti bagaimana karakteristik sosial ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Aceh serta keterkaitan antara pendidikan, perekonomian, infastruktur, Dana Otonomi Khusus dan terhadap penurunan kemiskinan di Provinsi Aceh. Oleh karena itu

(3)

Kemiskinan

BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan garis kemiskinan. Penduduk dikategorikan miskin apabila penduduk tersebut memiliki rata‐rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GM). Garis kemiskinan (GK) sendiri merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

Pendidikan

Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Pernyataan tersebut dapat dilihat dengan menghubungkan pendidikan yang diperoleh seseorang akan memengaruhi kualitas diri atau produktivitasnya yang akan mengantarkannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan pendapatan yang memuaskan. Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Irdam dan Ilyas (2006) yang menyatakan bahwa jika seseorang mengeluarkan biaya untuk pendidikan atau pelatihan kerja maka diperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang akan memperbesar pendapatan pada waktu yang akan datang, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang maka semakin tinggi pula tingkat upah yang diperoleh.

Perekonomian

Pengurangan kemiskinan massal dapat mendorong perluasan perekonomian yang sehat karena berfungsi sebagai insentif materi dan psikologi untuk memperluas partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang lebar dan kemiskinan absolut yang substansial dapat menimbulkan insentif materi dan psikologi yang negatif terhadap kemajuan ekonomi. Hal ini juga bahkan dapat menciptakan penolakan masyarakat luas terhadap kemajuan, dan ketidaksabaran terhadap laju pembangunan atau kegagalan pembangunan mengubah kondisi material mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan (Todaro, 2009).

Infrastruktur

Meier dan Baldwin (dalam Sukirno, 2006) menyatakan bahwa salah satu penyebab negara berada dalam perangkap kemiskinan adalah terbatasnya mobilitas sumber daya. Dalam hal ini infrastruktur sangat diperlukan guna mobilisasi yang dilakukan terhadap sumber daya yang diperlukan untuk membangun maupun sumber daya yang akan diekspor keluar daerah yang dapat menambah share terhadap perekonomian.

Dana otonomi khusus

Dana Otonomi Khusus didefinisikan sebagai dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah. hal tersebut ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan pemberian otonomi khusus diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatannya.

Cakupan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup 18 kabupaten dan 5 kota di Provinsi Aceh. Periode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Dimana variabel independennya yaitu variabel pendidikan, perekonomian, infrastruktur, dan dana otonomi khusus, sedangkan kemiskinan merupakan variabel dependen. Data yang digunakan adalah data yang bersumber dari BPS dan Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan pada tahun 2017.

Data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Data kemiskinan yaitu jumlah penduduk miskin menurut kabupaten/kota di provinsi Aceh tahun 2010-2017 yang bersumber dari publikasi BPS Republik Indonesia yaitu data dan informasi kemiskinan kabupaten/kota 2017.

(4)

2. Data perekonomian yaitu Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) atas harga konstan menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2017 yang bersumber dari publikasi BPS provinsi Aceh : Provinsi Aceh dalam angka 2018

3. Data pendidikan yaitu rata rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2017 bersumber dari publikasi BPS RI : statistik pendidikan Indonesia 2018

4. Data infrasruktur yaitu panjang jalan aspal dalam kondisi baik dan sedang menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh 2017 bersumber dari Provinsi Aceh Dalam Angka 2018 5. Data dana Otonomi Khusus menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh 2017 bersumber dari

website Direktorat Jendral Perimbangan Keungan (DJPK) Metode Analisis

Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia. Kedua metode tersebut digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan yang pertama yaitu mengetahui gambaran umum tentang kemiskinan, perekonomian, pendidikan, infrastruktur, dan dana otonomi khusus melalui tabel dan grafik. Analisis inferensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan independen. Adapaun langkah-langkah regresi linier berganda menurut Gujarati (2006)

1. menentukan variabel dependen dan independen 2. estimasi parameter model regresi linier berganda 3. Pengujian estimasi parameter

4. Pemeriksaan asumsi klasik, diantaranya adalah:

a. Normalitas menggunakan Uji Jarque Bera

b. Homoskedastisitas menggunakan Uji Breucsh-Pagan-Godfrey c. Non-Autokorelasi menggunakan Uji Durbin Watson

d. Non-Multikolinieritas menggunakan ukuran Variance Inflation Factor (VIF) 5. Pemeriksaan Koefisien Determinasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum tentang kemiskinan dan variabel yang memengaruhinya di Provinsi Aceh tahun 2017

Kemiskinan

Kemiskinan yang terjadi di Provinsi Aceh untuk setiap kabupatennya bisa dikatakan masih cukup tinggi, kecuali Kota Banda Aceh, hampir semua kabupaten/kota di Provinsi Aceh masih berada diatas kemiskinan nasional Indonesia. Jika dibagi dalam 2 klasifikasi kabupaten/kota yaitu dengan persentase penduduk miskin dibawah dan diatas rata-rata provinsi, terdapat 11 kabupaten/kota yang berada diatas rata-rata provinsi dari total 23 kabupaten/kota.

(5)

Sumber: Badan Pusat Statistik diolah

Gambar 1. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Aceh 2017

Dilihat dari presentase penduduk miskin untuk setiap kabupaten di Provinsi Aceh 2017, menunjukan bahwa kabupaten Aceh Singkil merupakan daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang berada di Provinsi Aceh, sedangkan kemiskinan yang terendah adalah Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh memiliki persentase peduduk miskin terendah dengan angka sebesar 7,44 persen. Hal itu disebabkan karena Kota Banda Aceh merupakan ibukota provinsi, dimana semua kegiatan ekonomi dan pemerintahan tingkat provinsi berpusat. Sementara Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten dengan persentase kemiskinan tertinggi yaitu sebesar 22,11 persen. Kemiskinan yang tinggi di Aceh Singkil disebabkan oleh perilaku dan budaya masyarakatnya yang jelek, sering terjadi kerusuhan sehingga menghambat aktivitas masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi setiap harinya (Setiawan, 2016).

Perekonomian

Kegiatan perekonomian untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh, menunjukan perbedaan yang cukup besar. Dengan status sebagai konsentrasi pertambangan, minyak,gas dan penggalian menempatkan Aceh Utara dengan PDRB tertinggi yaitu sebesar 17,66 triliun atau dengan kontribusi sebesar 12 persen dari total PDRB Provinsi Aceh disusul oleh Kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi di peringkat kedua sebesar 16,81 triliun atau sekitar 11 persen dari total PDRB Provinsi Aceh. Sedangkan kontribusi ekonomi terendah yaitu oleh Kota Sabang dengan PDRB sebesar 1,27 triliun atau hanya sebesar 0.9 persen dari total PDRB provinsi Aceh. Hal tersebut di jelaskan pada gambar berikut.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 2. PDRB ADHB dengan Migas dan Tanpa Migas Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh -

5 10 15 20

Triliun

Kabupaten/Kota

Tanpa Migas Migas

(6)

2017

Pendidikan

Dilihat dari sisi pendidikan yaitu rata-rata lama sekolah, rata-rata lama sekolah di Provinsi Aceh menunjukan angka yang cukup baik, bahkan berada diatas rata-rata nasional. Pada tahun 2017 rata-rata lama sekolah di Provinsi Aceh adalah sembilan tahun sementara di tingkat nasional hanya delapan tahun yang berarti bahwa rata-rata masyarakat di Provinsi Aceh sudah menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat SLTP. Dimana hal ini dapat dikatakan sebagai hasil dari program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah Provinsi Aceh, walaupun belum sepenuhnya bisa terlaksana di seluruh kabupaten/kota. Tetapi keberhasilan pembangunan pendidikan di Provinsi Aceh dapat ditunjukkan juga dengan adanya penurunan terhadap angka buta huruf yaitu sebesar 2.06 persen pada tahun 2017, dimana angka ini lebih kecil dari tahun sebelumnya yaitu 2.26 persen dan jauh lebih rendah dari rata rata nasional yaitu sebesar 4.50 persen.

Dilihat lebih jauh, keadaan rata-rata lama sekolah di setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh tidak memperlihatkan ketimpangan yang cukup besar, seperti yang ditunjukan pada gambar berikut.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh

Gambar 3. Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2017

Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa daerah dengan status kota, memiliki rata-rata lama sekolah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten kecuali pada kota Subussalam, karena Kota Subussalam merupakan daerah yang baru mekar dari kabupaten Aceh singkil. Hal yang menyebabkan rata rata lama sekolah cenderung lebih tinggi di daerah dengan status kota adalah karena infrastruktur penunjang pendidikan yang lebih baik dari daerah kabupaten (Wahyudin :2018).

Infrastruktur

Kondisi jalan yang mantap (baik dan sedang) di setiap kabupaten/kota di Povinsi Aceh masih terlihat timpang. Dengan status ibukota provinsi kota Banda Aceh menempati urutan teratas untuk infrastruktur yang diukur dengan kondisi jalan aspal yaitu sebesar 94,14 persen dalam keadaan baik dan sedang. Adapun yang paling parah kondisi infrastruktur adalah pada Kabupaten Pidie Jaya, dimana infrastruktur yang diukur dari kondisi jalan aspal yang baik dan sedang hanya sebesar 18 persen.

12.59

7.12

0 2 4 6 8 10 12 14

Tahun

Kabupaten/Kota

(7)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh

Gambar 4. Kondisi jalan aspal baik dan sedang kabupaten/kota di Provinsi Aceh 2017

Dana Otonomi Khusus

Alokasi dana otonomi khusus tidaklah sama untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh, sebagaimana ditunjukan pada gambar (5). Aceh Utara merupakan kabupaten dengan transfer otonomi khusus terbanyak yaitu sebesar 642,8 milyar rupiah. Sementara itu, Kabupaten Aceh Timur adalah kabupaten dengan penerima transfer otsus paling kecil yaitu hanya sebesar 40 milyar rupiah.

Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua kabupaten/kota dengan transfer dana otsus lebih besar kemiskinan juga besar dan sebaliknya belum tentu yang menerima dana otsus kecil kemiskinan juga tinggi. Karena alokasi dana otonomi khusus untuk setiap kabupaten/kota diberikan dengan mempertimbangkan banyak hal. Dana otsus dialokasikan untuk membiayai enam bidang utama dan bidang keistimewaan Aceh. Beberapa bidang utama seperti infrastruktur dan pendidikan mendapatkan alokasi yang cukup besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan.

Gambar 5. Dana Otsus dan persentase kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh 2017

Analisis Variabel-ariabel yang Memengaruhi Kemiskinan di Provinsi Aceh Tahun 2017 Pembentukan model awal yang digunakan adalah sebagai berikut :

𝑀𝐼𝑆𝐾𝐼𝑁 =̂ 47,366 − 2,410𝑃𝐸𝑅𝐸𝐾𝑂𝑁𝑂𝑀𝐼𝐴𝑁 − 1,305𝑃𝐸𝑁𝐷𝐼𝐷𝐼𝐾𝐴𝑁

− 0,012𝐼𝑁𝐹𝑅𝐴𝑆𝑇𝑅𝑈𝐾𝑇𝑈𝑅 + 0,009 𝑂𝑇𝑆𝑈𝑆

Untuk mengetahui apakah model yang dihasilkan sudah baik, diperlukan pengujian asumsi klasik yaitu normalitas, homoskedastisitas, Non-autokorealasi, dan non multikolinieritas. Adapun hasil pengujian asumsi klasik, sebagai berikut:

Pengujian asumsi klasik yang pertama adalah normalitas. Asumsi ini diuji dengan uji Jarque- Bera untuk memeriksa kenormalan pada residual dari model estimasi. Adapun hasil pengujian normalitas dengan nilai jarque-Bera sebesar 0,8341, dimana angka ini lebih kecil dari nilai chi-square tabel yang bernilai 5,9915. Dari hasil tersebut maka hipotesis nol gagal ditolak yang berarti bahwa

77,76

18

95,14 84,15

0 20 40 60 80 100

Persen

40.215

642.814

15.25%

19.78%

0 5 10 15 20 25

0 100 200 300 400 500 600 700

Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Banda Aceh Sabang Langsa Lhokseumawe Subulussalam

Kabupaten/Kota

Persen

Miliar rupiah

Dana otonomi khusus Presentase penduduk miskin

(8)

residual dari model estimasi berdistribusi normal. Hasil uji Jarque-Bera dapat dilihat pada lampiran 1.

Asumsi yang harus terpenuhi selanjutnya adalah homoskedastisitas. Pada penelitian ini pengujian asumsi homoskedastisitas menggunakan uji Breusch-Pagan-Godfrey. Adapun nilai p-value dari hasil pengujian sebesar 0,8669, dimana nilai ini lebih besar dari nilai alpha 0,05 yang berarti bahwa gagal tolak hipotesis nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa varians error bersifat homoskedastis atau asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Hasil uji Breusch-Pagan-Godfrey dapat dilihat pada lampiran 2.

Asumsi selanjutnya yaitu asumsi multikolinearitas. Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa tidak terdapat multikolinearitas (non multicolinearity) atau dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan linear antar variabel independen yang digunakan. Hal tersebut terbukti dari nilai variance inflation factor (VIF) dari masing-masing variabel yang kurang dari 10. Hasil pengujian asumsi multikolinearitas dapat dilihat di tabel Coefficients pada lampiran 3.

Asumsi terakhir adalah non-autokorelasi yang menggunakan uji Durbin-watson. Adapun hasil yang diperoleh yaitu nilai Durbin-watson sebesar 2,101, dimana nilai ini berada pada kondisi tidak terdapat korelasi antar error yaitu 1,7259 < 2,101< 2,2741. Hasil uji Durbin-watson dapat dilihat di tabel Model Summary pada lampiran 3.

Setelah model terbentuk dan memenuhi semua asumsi klasik, dilakukan pengujian kesesuaian model. Pengujian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengujian koefisien regresi dilakukan dengan dua cara yaitu secara bersama-sama (simultan) dan secara terpisah (parsial). Berikut adalah hasil pengujiannya :

Berdasarkan hasil pengolahan uji simultan diperoleh bahwa nilai Fhitung= 7,744 lebih besar dari Ftabel= 4,30, yang artinya variabel perubahan PDRB, pendidikan, infrastruktur dan dana otonomi khusus secara bersama-sama mempengaruhi variabel kemiskinan. Kemudian, untuk uji parsial diperoleh hasil seperti yang telah tertera pada Tabel 4. Variabel yang signifikan atau dapat dikatakan berpengaruh terhadap kemiskinan yaitu pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi dengan masing- masing t|hitung| adalah 2,13 dan 2,845. Sedangkan variabel infrastruktur yang digambarkan dengan panjang jalan aspal dan dana otonomi khusus tidak signifikan atau dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap kemiskinan pada 𝛼=0,05. Adapaun rincinannya sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil Uji Parsial Variabel Independen

Variabel Nilai t hitung Nilai t tabel

Keputusan

(1) (2) (3) (4)

Intercept 6,535 2,0738 Signifikan

Perekonomian -2,251 -2,0738 Signifikan Pendidikan -2,502 -2,0738 Signifikan Infrastruktur -0,311 -2,0738 Tidak signifikan Dana otonomi

khusus

1,897 2,0738 Tidak signifikan

𝑀𝐼𝑆𝐾𝐼𝑁 =̂ 47,366 − 2,410𝑃𝐸𝑅𝐸𝐾𝑂𝑁𝑂𝑀𝐼𝐴𝑁 − 1,305𝑃𝐸𝑁𝐷𝐼𝐷𝐼𝐾𝐴𝑁 − 0,012𝐼𝑁𝐹𝑅𝐴𝑇𝑅𝑈𝐾𝑇𝑈𝑅 + 0,009 𝑂𝑇𝑆𝑈𝑆

*signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen

(9)

Pengaruh Perekonomian, Pendidikan, Infrastruktur, Dan Dana Otonomi Khusus Terhadap Kemiskinan Di Provinsi Aceh Tahun 2017.

1. Pengaruh Perekonomian Terhadap Kemiskinan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa setiap pertambahan perekonomian sebesar satu triliun, maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 1,833 persen. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien perekonomian bahwa perekonomian berpengaruh negative signifikan terhadap kemiskinan pada tingkat signifikansi 5 persen, hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wira (2015) bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif terhadap kemiskinan. Jika perekonomian suatu daerah meningkat maka kemiskinan akan menurun.

Berdasarkan data BPS perekonomian Aceh dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar namun kemiskinan juga ikut menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi yang mampu menghasilkan nilai PDRB yang besar mampu mengurangi kemiskinan. Karena dengan meningkatnya nilai PDRB mengindikasikan bahwa terjadi pergerakan ekonomi yang mana dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak sehingga penduduk miskin dapat mendaparkan pekerjaan sehingga akan memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika hal ini terus berlanjut maka penduduk miskin dapat menaikkan derajat perekonomiannya sehingga mampu mengeluarkan dirinya dari jerat kemiskinan.

2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Kemiskinan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pendidikan berpengaruh signifikan negatif terhadap kemiskinan pada tingkat signifikansi 5 persen. Hal ini menunjukan bahwa ketika pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah mengalami kenaikan sebesar satu tahun maka dapat menurunkan kemiskinan sebesar 1,366 persen. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan, pengetahuan dan kemampuan dari masyarakat akan meningkat sehingga meningkatkan produktivitas yang dapat meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat terhindar dari masalah kemiskinan.

Sesuai dengan pernyataan Todaro dan Smith (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan yang diperoleh seseorang akan memengaruhi kualitas diri atau produktivitasnya yang akan mengantarkannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan pendapatan yang baik.

Pendapatan yang baik dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan hidup seseorang. Dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang cukup bahkan bisa ditabung dapat membuat seseorang keluar dari permasalahan kemiskinan.

3. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Kemiskinan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa infrastruktur yang diukur dengan panjang jalan aspal memliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kemiskinan, dimana setiap pertambahan satu persen infrastruktur akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,012 persen. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Mier dan Baldwin (dalam Sukirno:2006) yang menyatakan bahwa peningkatan infrastruktur mampu membuat perekonomian lebih baik sehingga dapat menurunkan kemiskinan di suatu wilayah.

Dalam hal ini, infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah masih tidak merata untuk setiap kabupaten/kota. Hal tersebut ditunjukan dengan data kondisi panjang jalan aspal yang mana tiap daerah memiliki kondisi yang berbeda beda,. Sehingga mengakibatkan pertumbuhan perekonomian di masing-masing kabupaten/kota tidak bertumbuh secara merata dan menyebabkan kemiskinan yang terjadi juga masih besar, karena yang menikmati kemajuan infrastruktur tidak semua kalangan masyarakat. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa infrastruktur dapat memberikan manfaat besar dalam pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan kelestarian lingkungan, apabila pembangunan infrastruktur baik secara kualitas yaitu efektif dan efisien (World Development Report, 1994). Sehingga ketika pembangunan infrastruktur tidak dilakukan secara efektif dan efisien maka tidak ada pengaruh terhadap kemiskinan.

4. Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Kemiskinan

(10)

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dana otonomi khusus berhubungan positif dan tidak signifikan terhadap kemiskinan, dimana setiap pertambahan dana otonomi khusus sebesar satu miliar maka akan menaikkan kemiskinan sebesar 0,009 persen. Hal ini berarti pertambahan transfer dana otonomi khusus meningkatkan persentase penduduk miskin, meski masih dalam persentase yang sangat kecil. Sebabnya adalah pemerataan pemberian dana otonomi khusus di masing masing kabupaten/kota masih terdapat ketimpangan yang sangat besar. Ini dibuktikan dari data dana otonomi khusus yang ditransfer. Aceh timur hanya mendapat 40 milyar dari total 13 triliun rupiah sedangkan Aceh Utara mendapatkan 638,43 milyar rupiah. Terjadinya ketimpangan ini berdampak pada pembiayaan masing masing kabupaten/kota untuk mensejahterakan rakyatnya.

Sehingga transfer yang dilakukan tidak efektif. Akibatnya, tidak menurunkan kemiskinan malah menambah kemiskinan meskipun tidak signifikan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Joko Tri Haryanto (2016) bahwa desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia langsung diberikan kewenangan daerah sementara fungsi pemerintah pusat hanyalah memberikan advice serta monitoring pelaksanaan. Pola seperti ini yang menyebabkan tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah semakin jauh dari tujuan sebelumnya. Daerah justru semakin bergantung kepada pemerintah pusat, munculnya praktek dinasti penguasaan didaerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Provinsi Aceh, sedangkan yang terendah adalah Kota Banda Aceh. Perekonomian tertinggi berada pada Kota Banda Aceh dan yang terendah ada pada Kota Sabang dengan memasukan perolehan dari migas. Infrastruktur yang tertinggi berada di Kota Banda Aceh dan yang terendah berada di Kabupaten Pidie. Rata-rata lama sekolah tertinggi ada pada Kota Banda Aceh dan yang terendah ada pada Kota Subulussalam. Kabupaten Aceh Utara merupakan kabupaten dengan transfer otonomi khusus terbanyak, sedangkan Kabupaten Aceh Timur, merupakan daerah dengan peneriman dana otonomi khusus terendah.

2. Variabel pendidikan dan perekonomian secara parsial berpengaruh signifikan negatif terhadap kemiskinan, sedangkan infrastruktur dan dana otonomi khusus tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh tahun 2017.

Berkaitan dengan kesimpulan di atas, saran yang dapat diajukan peneliti adalah :

1. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia melalui peningkatan di sektor pendidikan, dan perekonomian yang dimana secara signifikan mampu menurunkan angka kemiskinan Provinsi Aceh.

2. Untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian dengan variabel yang sama dengan melihat perubahan tiap waktunya dengan metode regresi data panel, dan dapat menambahkan beberapa variabel lainnya, serta membandingkan kemiskinan sebelum dan setelah bencana tsunami tahun 2004.

DAFTARPUSTAKA

Basri, Faisal H. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi

(11)

Gujarati, Damodar N. (2006). Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta: Erlangga

Hadiman, Rizki., dan Afrizah. (2018). Statistik Daerah Provinsi Aceh 2018. Aceh : BPS Provinsi Aceh.

Rachmawari, Yeni., dkk. (2018). Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2018. Jakarta: BPS.

Sukirno, Sadono. (2004). Makroekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGraindo Persada.

Sukirno, Sadono. (2006). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Pernada Media Group.

Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Todaro, Michael P. (2000). Pembangunan Ekonomi 1. Jakarta: Bumi Aksara.

Wira, Heny S. (2015). Analisis Variabel-variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008-2013. Jakarta: Politeknik Statistika STIS. Setiawan, Deni. &

Bahrul Amal. (2016). Membangun pemahaman multicultural dan Multi Agama Guna menangkal Radikalisme di Aceh Singkil. Medan: Universitas Negeri Medan.

Lampiran 1. Hasil Uji Normalitas

Lampiran 2. Hasil Pengujian Homoskedastisitas

Lampiran 3. Hasil pengujian Regresi Linier Berganda Variables Entered/Removeda

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey Null hypothesis: Homoskedasticity

F-statistic 0.690110 Prob. F(4,18) 0.6083

Obs*R-squared 3.058227 Prob. Chi-Square(4) 0.5481 Scaled explained SS 1.087114 Prob. Chi-Square(4) 0.8963 Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/06/19 Time: 22:40 Sample: 1 23

Included observations: 23

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 23.88124 17.88073 1.335585 0.1983

X1 -1.172035 2.641705 -0.443666 0.6626

X2 -0.238830 1.286558 -0.185635 0.8548

X3 -0.113715 0.092370 -1.231085 0.2341

X4 0.001630 0.012035 0.135455 0.8938

R-squared 0.132966 Mean dependent var 6.047354 Adjusted R-squared -0.059708 S.D. dependent var 6.661791 S.E. of regression 6.857788 Akaike info criterion 6.878307 Sum squared resid 846.5267 Schwarz criterion 7.125154 Log likelihood -74.10053 Hannan-Quinn criter. 6.940388 F-statistic 0.690110 Durbin-Watson stat 1.974687 Prob(F-statistic) 0.608266

(12)

Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Perekonomian,

Pendidikan, Infrastruktur, Otonomi Khususb

. Enter

a. Dependent Variable: presentase penduduk miskin(%) b. All requested variables entered.

Model Summaryb Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .760a .578 .484 2.77978 2.507

a. Predictors: (Constant), Perekonomian, Pendidikan, Infrastruktur, Otonomi Khusus b. Dependent Variable: presentase penduduk miskin(%)

ANOVAa

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 190.550 4 47.638 6.165 .003b

Residual 139.089 18 7.727

Total 329.639 22

a. Dependent Variable: presentase penduduk miskin(%)

b. Predictors: (Constant), Perekonomian, Pendidikan, Infrastruktur, Otonomi Khusus

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardize d Coefficients

t Sig. Collinearity Statistics B Std.

Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 47.366 7.248 6.535 .000

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terbentuknya Kota Subulussalam sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, berkewajiban membina dan

Kabupaten Aceh Singkil adalah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Singkil (Lembaran Negara Republik Indonesia

Pada tahun 2010 Kabupaten Simeu lu dan Aceh Singkil merupakan daerah dala m wilayah Provinsi Aceh dengan tingkat disparitas pendapatan yang lebih rendah

Kabupaten Aceh Singkil adalah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Singkil (Lembaran Negara Republik Indonesia

Berdasarkan data hasil estimasi model regresi untuk determinasi penduduk miskin di Jawa Barat, menunjukan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap penduduk

Provinsi Kalimantan Selatan memiliki persentase penduduk miskin yang paling sedikit untuk regional Kalimantan (4,81 persen), diikuti oleh Provinsi Kalimantan Tengah (6,07

 Tingkat kemiskinan yaitu persentase penduduk miskin dari seluruh penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Maret 2017 sebesar 13,02 persen.. Apabila dibandingkan

Tabel 1 Variabel Penelitian Variabel Keterangan X1 Presentase Penduduk Miskin Usia 15 keatas Tamat Pendidikan dibawah SD X2 Presentase Penduduk Miskin Usia 15 keatas Tamat