• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pengelolaan Obat pada Tahap Perencanaan dan Pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati

N/A
N/A
Puskesmas Mpunda

Academic year: 2024

Membagikan "Evaluasi Pengelolaan Obat pada Tahap Perencanaan dan Pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

34 DOI: 10.22146/farmaseutik.v16i1.47972 | MF Vol 16 No 1, 2020

Evaluasi Pengelolaan Obat pada Tahap Perencanaan dan Pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati

Evaluation of Medicine Management in Planning and Procurement Stage in the Health Office of Pati District

Nur Aisah1*, Satibi2, Sri Suryawati3

1 Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

2 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

3 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Corresponding author: Nur Aisah: Email: aishnoer32@gmail.com

Submitted: 22-07-2019 Revised: 08-08-2019 Accepted: 30-08-2019 ABSTRAK

Pengelolaan obat yang efektif dan efisien adalah untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat. Rendahnya tingkat ketersediaan obat di fasilitas kesehatan dipengaruhi ketepatan perencanaan dan gangguan suplai obat pada proses pengadaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait pada proses perencanaan dan pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati. Penelitian ini menggunakan desain diskriptif kualitatif. Metode pengambilan data dengan wawancara mendalam kepada 7 informan terpilih yang menguasai perencanaan dan pengadaan obat. Transkrip wawancara di analisis dengan content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan dan pengadaan belum berjalan dengan baik.

Pada proses perencanaan, kepatuhan terhadap formularium nasional masih kurang, perubahan prevalensi penyakit mempengaruhi ketepatan dalam perencanaan obat. Pada proses pengadaan, terjadi keterlambatan pengiriman dan kekosongan obat oleh indutri farmasi. Faktor-faktor yang menghambat perencanaan dan pengadaan: (1) kegagalan suplai obat; (2) Kurangnya tenaga apoteker di Puskesmas dan staf yang mempunyai sertifikat pengadaan (3) Belum optimalnya sistem informasi e-logistik.

Kata kunci: stock out; drug suply; staf bersertifikat; e-logistik ABSTRACT

Effective and efficient drug management is to ensure the availability, equity and affordability of drugs. The low level of drug availability in health facilities is influenced by the accuracy of planning and disruption of drug supply in the procurement process. This study aims to identify problems to the planning and procurement process at Pati District Health Office. This research applied qualitative descriptive design. Methods of data collection included in-depth interviews with 7 selected informants who carried out the planning and procurement of drugs. Transcription were produced and analyzed by of means content analysis. The results indicated that the planning and procurement process had not gone well. In the planning process, compliance with the national formulary was still lacking, changes in disease prevalence affected the accuracy of drug planning. In the procurement process, there was a delay in the delivery and vacancy of the pharmaceutical industry. Factors that hinder planning and procurement included (1) failure of suply; (2) inadequate pharmacist and certified procurement staff; (3) inoptimal e-logitics implementation.

Keywords: stock out; drug supply; certified staff; e-logistics PENDAHULUAN

Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat sebagai salah satu unsur penting dalam upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan sehingga

harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan (Depkes RI, 2006).

Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup terjamin khasiatnya, aman, efektif, dan bermutu, merupakan sasaran yang harus dicapai. Untuk menjamin ketersediaan,

(2)

pemerataan dan keterjangkauan obat, perlu manajemen pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Manajemen pengelolaan obat meliputi kegiatan seleksi, pengadaan, distribusi dan penggunaan (MSH, 2012).

Proses perencanaan dan pengadaan sangat berpengaruh pada ketersediaan obat maupun segi ekonomi. Prinsip-prinsip dasar perencanaan dan pengadaan yang efisien telah dikenal selama beberapa dekade, dan menghasilkan hasil positif dalam pengelolaan obat. Kuantifikasi obat yang baik mampu meningkatkan ketersediaan obat yang lebih baik di Belize, Bhutan dan Zimbabwe (MSH, 2012). Pengadaan yang kompetitif dapat menghemat biaya obat seperti yang terjadi di Brazil, Karibia Barat, Mozambik dan Thailand (MSH, 2012).

Rendahnya tingkat ketersediaan obat yang masuk dalam kategori aman dikarenakan perencanaan obat yang dilakukan belum tepat sasaran (Rahayu S.T, 2017). Belum efektif dalam proses penentuan beberapa jumlah atau volume obat yang direncanakan dan yang diadakan di Instalasi Farmasi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado menyebabkan kekurangan bahkan kelebihan obat (Mumek et al., 2016). Dalam proses pengadaan, faktor suplayer ikut berperan dalam menjamin obat tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan (Quick et al., 1997). Keterlambatan pengiriman dan kegagalan memenuhi pesanan, dapat meningkatkan kekosongan obat di fasilitas kesehatan dan berdampak pada terhentinya pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Kanyoma and Khomba, 2013). Meningkatnya jumlah kekurangan obat memiliki dampak negatif pada perawatan pasien dan berimplikasi pada pembiayaan yang mahal (Caulder et al., 2015).

Dalam pelaksanaan studi awal perencanaan dan pengadaan obat, Dinas kesehatan Kabupaten Pati mengalami beberapa kendala dan permasalahan antara lain : 1) Proses identifikasi kebutuhan tidak valid dan akurat sehingga mengakibatkan kelebihan stok obat, stok obat rusak/kadaluwarsa; 2) Kegagalan dalam proses pelaksanaan pemilihan penyedia /pemasok menyebabkan pemenuhan ketersediaan obat mengalami keterlambatan; 3) Penyedia tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan pemesanan (tepat jumlah);

4) Penyedia tidak memenuhi kesepakatan waktu pengiriman sesuai kontrak sehingga mengakibatkan kekosongan obat dalam pelayanan; 5) Dalam beberapa waktu penyedia/pemasok dalam pelaksanaan pekerjaan tidak mampu dalam menjamin mutu obat khususnya dalam penyediaan obat dengan masa kadaluwarsa pendek.

Adanya permasalahan terkait dengan proses perencanaan dan pengadaan, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan dan menganalisis hambatan dalam proses perencanaan dan pengadaan obat.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan fokus penelitian perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati pada tahun 2017. Penelitian dilaksanakan bulan 01 Nopember sampai 31 Desember 2018. Sumber data berasal data primer dari hasil wawancara mendalam kepada 7 informan terpilih.

Informan yang dipilih berdasarkan jabatan dan penguasaan masalah terkait dengan proses perencanaan obat dan pengadaan obat dengan masa kerja lebih dari 3 tahun. Informan meliputi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pati, Kepala Seksi Kefarmasian dan Alkes, Staf Seksi Kefarmasian dan Alkes, Staf Gudang Farmasi dan Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Pati, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/Pejabat Pengadaan, Tim Penerima Hasil Pekerjaan. Protokol penelitian telah mendapatkan surat kelaikan etik dari komisi etik penelitian Universitas Gadjah Mada no KE/FK/1313/EC/2018 dan semua informan menandatangani informed-consent.

Untuk menghindari pertanyaan agar tidak keluar dari tujuan penelitian, digunakan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan pengembangan pada observasi awal penelitian.

Teknik wawancara bersifat semi terstruktur.

Durasi tatap muka 30 menit - 2 jam. Semua informasi yang disampaikan oleh informan di rekam menggunakan alat perekam / tape recorder. Data yang telah terkumpul, diolah dan dianalisis dengan metode pendekatan analisis isi (content analysis).

(3)

36 MF Vol 16 No 1, 2020 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan terpilih diperoleh gambaran hasil penelitian pada tabel I.

Perencanaan Obat

Perencanaan kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati berdasarkan wawancara mendalam, di awali dengan penyusunan jenis dan jumlah obat oleh Pengelola obat Puskesmas dan Pemangku Program. Usulan dari Puskesmas kemudian disatukan oleh bidang kefarmasian di Dinas Kesehatan. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kebutuhan obat di Puskesmas oleh Tim Perencanan Obat Terpadu (TPOT).

Dalam menetukan kebutuhan obat pelayanan kesehatan dasar, dilakukan pendekatan dengan metode konsumsi pada tahun sebelumnya. Sementara itu untuk menentukan kebutuhan obat program, dilakukan pendekatan dengan metode mordibitas. Hal tersebut sesuai dengan PMK No.

30 Tahun 2014 tentang standart pelayanan kefarmasian puskesmas bahwa dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan untuk menyusun kebutuhan obat antara lain dengan metode konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi yang

disesuaikan dengan anggaran yang tersedia di fasilitas kesehatan.

Dalam penyusunan kebutuhan obat, Dinas Kesehatan berpedoman pada Formularium Nasional (Fornas), Pedoman Pengobatan Puskesmas dan usulan dari dokter di Puskesmas. Belum dilaksanakannya penyusunan kebutuhan yang sesuai dengan Fornas menandakan seleksi dan perencanaan yang dilakukan belum optimal. Ketidak patuhan terhadap Fornas, dikhawatirkan dapat dikhawatirkan dapat menyebabkan irrasional pengobatan dan pengelolaan obat tidak efektif dan efisien. Dengan diterapkannya Formularium Nasional sebagai pedoman penyusunan obat merupakan upaya untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat (Kemenkes RI, 2015).

Untuk menentukan jenis dan jumlah yang tepat, sesuai dengan pelayanan kesehatan, diperlukan koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan kebutuhan obat. Oleh karena itu, perlu ditetapkan Tim Perencanaan Obat Terpadu (TPOT) (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010). Dari hasil wawancara, Informan menyatakan TPOT Dinas Kesehatan terdiri dari bagian yang membidangi farmasi dan unsur terkait yang meliputi Dokter Tabel I. Gambaran proses perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati

Tahapan Indikator Hasil

A. Perencanaan Usulan kebutuhan

Metode penghitungan kebutuhan Pedoman Penyusunan Kebutuhan Tim Perencana Obat Terpadu

Bottom up dari Puskesmas dan pengelola program.

Konsumsi dan Mordibitas

Fornas, Pedoman pengobatan Dasar, Usulan Dokter Puskesmas

TPOT dibentuk melalui SK Kepala Dinas.

B. Pengadaan Frekuensi Pengadaan

Metode pengadaan Sekali setahun

E-Tendering, E-Purchasing dengan e- catalogue, Pengadaan langsung

C. Manajemen

support Organisasi

Sumber daya Manusia

Sumber Anggaran Sitem Informasi

Bagian dari Seksi Kefarmasian dan Alkes di Dinas Kesehatan

Terdapat Tim Pengadaan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan, kepanitian ULP Apoteker di Dinas Kesehatan 4 org Apoteker di Puskesmas 1 orang

Staf Farmasi bersertifikat pengadaan 1 orang

DAK, APBD II, Dana Kapitasi Puskesmas E-logistik, LPSE

Sumber : Dinas Kesehatan, ULP, Gudang Farmasi, 2018.

(4)

Puskesmas, Pemangku program kesehatan, dan bagian yang membidangi perencanaan dan keuangan di Dinas Kesehatan. TPOT ditetapkan melalui SK Kepala Dinas Kesehatan.

TPOT memiliki peran yang sangat krusial dalam dalam merumuskan rancangan kebutuhan obat pada proses perencanaan. Tim ini melakukan pengkajian terkait dengan rekap usulan dari Puskesmas dan pemangku program terkait tentang penggunaan obat di layanan kesehatan, informasi perkembangan pola penyakit dan data sasaran program yang di rencanakan. Elaborasi dengan unsur pengguna (dokter puskesmas dan pemangku program) dapat memberikan gambaran terkait dengan kebutuhan obat dalam pelayanan kesehatan dan skala prioritas terkait dengan pola perkembangan penyakit. Dalam merumuskan rancangan kebutuhan untuk pengadaan obat yang akan datang, Tim TPOT akan mempertimbangkan juga tingkat kecukupan masing-masing obat, buffer stok dan sisa stok di Gudang Farmasi untuk memperkirakan estimasi kebutuhan. Setelah itu dilakukan koordinasi terkait dengan penyediaan anggaran dengan unsur perencanaan dan keuangan Dinas Kesehatan. Koordinasi ini diperlukan agar pemanfaatan dana obat dapat lebih optimal dengan estimasi yang mendekati kebutuhan riil di Puskesmas.

Adanya koordinasi dalam merencanakan obat menghindari tumpang tidih antara jumlah kebutuhan dan anggaran obat. Pembentukan tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat di setiap kabupaten/kota(Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010).

Rumbay (2015) menyatakan bahwa perencanaan kebutuhan obat yang baik dan tepat akan tercapai jika ada koordinasi dan monitoring yang baik. Elaborasi dengan pengguna obat juga merupakan titik yang sangat krusial untuk memperoleh data obat yang mendekati ketepatan. Untuk memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati ketepatan, dalam menghitung kebutuhan obat yang akan datang perlu mempertimbangkan faktor antara lain pemakaian obat, pola penyakit, lead time, buffer stock dan sisa stok (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010).

Dengan koordinasi dan proses perencanaan

untuk pengadaan obat secara terpadu, maka diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, jumlah dan waktu serta mutu yang terjamin (Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010).

Perubahan prevalensi penyakit di Dinas kesehatan Kabupaten Pati mempengaruhi ketepatan dalam proses perencanaan. Hasil wawancara ini selaras dengan penelitian sebelumnya, menyebutkan bahwa perencanaan yang kurang tepat dikarenakan kurang memperhatikan stok dan memprediksi perkembangan pola penyakit (Silvania et al., 2012). Kondisi ini menyebabkan stok berlebih di Gudang Farmasi. Beberapa obat yang sudah direncanakan tidak dapat diserap secara optimal. Kondisi ini cukup riskan karena adanya stok berlebih akan meningkatkan pemborosan dan kemungkinan obat mengalami kadaluwarsa atau rusak dalam penyimpanan (Satibi, 2015).

Peran tim TPOT perlu ditingkatkan kembali, terutama berkaitan dengan proses elaborasi dengan pengguna obat dan pemangku program di Puskesmas. Historical data tren pola penyakit tiga tahun sebelumnya akan membantu dalam penentuan prioritas kebutuhan yang lebih tepat dengan mempertimbangkan pula informasi terkait dengan kondisi dan pola penggunaan obat pada masing-masing wilayah.

Pengadaan Obat

Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati mengacu pada Perpres Nomor 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dan aturan turunannya. Frekuensi pengadaan obat dilakukan satu kali setahun.

Pengadaan obat dilaksanaan dengan metode e- purchasing dengan e-catalogue , e-tendering dan pengadaan langsung.

Dinas Kesehatan menggunakan metode pengadaan e-purchasing dengan e-catalogue sebagai prioritas utama untuk menyediakan kebutuhan obat, sejak PMK No 63/2014 tentang pengadaan obat dengan e-catalogue wajib diterapkan di fasilitas kesehatan. Hal tersebut sesuai kutipan wawancara sebagai berikut:

“….Karena e-catalogue wajib diimplementasikan di fasilitas kesehatan pemerintah, Kepala Dinas memberi instruksi, mengutamakan e-catalogue dalam pembelian obat. Apabila e-catalogue tidak mampu memenuhi, kemudian digunakan metode pengadaan lain seperti lelang dan pengadaan langsung….” (Informan 3).

(5)

38 MF Vol 16 No 1, 2020

“…Pengadaan obat dilakukan dengan beberapa cara yaitu e-catalogue, lelang elektronik dan pengadaan langsung. Kita akan lebih dahulu mengadakan lewat e-catalogue karena wajib, ketika e-catalogue belum ada atau belum ditayangkan, maka pengadaan dilakukan dengan lelang elektronik dan pengadaan langsung…” (Informan 4).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, informan juga menyatakan beberapa alasan lain terkait pemanfaatan e- catalogue. Prosedur e-catalogue dinilai lebih aman baik dari faktor harga maupun proses penentuan pemasok. Harga e-catalogue obat dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan pengadaan yang lain, sehingga menghasilkan biaya pengadaan yang lebih efisien. Terkait penentuan pemasok, proses pemilihan sudah dilakukan oleh LKPP secara nasional.

Selanjutnya panitia pengadaan dapat melakukan pembelian secara langsung melalui portal pengadaan e-catalogue sehingga membuat proses pemesanan lebih efisien di bandingkan dengan metode yang lain.

Di lain hal, metode pengadaan dengan e- tendering harus melewati beberapa tahapan yaitu pengumuman, pendaftaran, penjelasan Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), pemasukan dan evaluasi penawaran, pengumuman pemenang dan penandatanganan kontrak. Tahapan tersebut dilewati sesuai dengan ketentuan jangka waktu yang di tetapkan oleh panitia ULP, sehingga waktu pengadaan menjadi kurang efisien.

Pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan terganggunya siklus pengadaan obat, hal tersebut sesuai hasil wawancara sebagai berikut:

“….e-catalogue tayangnya tidak tepat waktu di awal tahun sehingga pemesanan obat terlambat. Ketersediaan obat di penyedia juga banyak kosong dan penyedia mengirim pada akhir tahun, sehingga cukup mempengaruhi ketersediaan untuk layanan kesehatan…”

(Informan 1).

“….Terdapat limitasi pemesanan pada E- catalogue, terdapat permasalahan dalam pengiriman karena kekosongan obat.

…..(Informasi 2).

“…. Distribusi obat dengan e-catalogue sebagian sampai akhir tahun anggaran dan beberapa penyedia tidak mengirim obat sesuai dengan kontrak…” (Informan 3).

“….E-catalogue penayangan pada pertengahan tahun, beberapa obat terlambat dikirim sampai akhir tahun, kadang-kadang obat sudah dipesan tapi penyedia tidak memenuhi…”(Informan 7).

Penelitian di Jawa Tengah oleh Kusmini et al., (2016) ditemukan adanya hambatan dalam sistem suplai obat pada Industri Farmasi penyedia e-catalogue obat, dan (Dwiaji et al., 2016) menyatakan ketidaksiapan pemenang lelang menyebabkan obat terlambat terkirim atau tidak terkirim sesuai komitmen yang disepakati. Ketidaksesuaian pengadaan obat tidak selalu dipengaruhi oleh keterbatasan dana, tetapi karena pengadaan obat yang dilakukan sekali dalam setahun belum dapat menghindari kekosongan obat, adanya keterlambatan dalam pengiriman dan obat yang tidak terpenuhi oleh pemenang lelang meskipun dana yang tersedia mencukupi (Pratiwi et al, 2011).

Dalam PMK No 63/2014, prosedur e- catalogue diharapkan mampu menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat di fasilitas kesehatan secara transparan, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan (Kemenkes RI, 2014).

Berbasis teknologi informasi, sistem e-catalogue diharapkan mampu memberikan kenyamanan, efisiensi, harga yang wajar, dan informasi obat baru dan menempatkan pembeli pada efisiensi tertinggi (Ketikidis et al., 2010). Diperlukan upaya agar kejadian kekosongan obat dapat dimimimalisir. Pengadaan obat dengan metode lain dapat menjadi solusi agar ketersediaan obat di fasilitas kesehatan tidak kosong.

Manajemen Pendukung (Manajemen Support) Organisasi

Pengelolaan obat disetiap organisasi menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Ada 2 bentuk organisasi yang digunakan di tingkat Dinas Kesehatan, yaitu Instalasi Farmasi sebagai unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dan menjadi bagian dari salah satu seksi di struktur Dinas Kesehatan yang mengelola logistik (Sanjaya and Hidayat, 2016).

Perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan menjadi bagian dari Seksi Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam struktur organisasi Dinas Kesehatan, dan pembagian tugas dan fungsi pokok, wewenang dan tanggung jawab untuk semua personil memiliki standar operasional prosedur. Seksi

(6)

Kefarmasian dan Alkes juga menyelenggarakan koordinasi berjenjang dengan instansi kesehatan propinsi maupun tingkat pusat dalam melakukan perencanaan dan pengadaan obat.

Proses pengadaan obat dilaksanakan oleh Pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pengadaan dan panitia penerima pekerjaan. Tim ini ditunjuk langsung dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan.

Dalam hal proses e-tendering dilaksanakan oleh panitia pengadaan ULP. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa yang yang menyatakan organisasi pengadaan barang/jasa terdiri atas PA, PPK, Pejabat pengadaan, ULP dan panitia penerima pekerjaan.

Anggaran

Untuk memenuhi kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati, sumber anggaran berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), APBD I dan Dana Kapitasi. Berdasarkan wawancara, informan menyatakan sebagai berikut :

“…. Sumber anggaran bisa DAK, APBD 2 dan dana kapitasi, tetapi sebagian besar sumber anggaran Dinas Kesehatan berasal dari dana DAK….” (Informan 1).

“……Sumber anggaran berasal dari DAK, tetapi apabila di gudang farmasi tidak ada dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan belum terkirim maka kita persilahkan kepada puskesmas untuk melakukan pembelian melalui dana kapitasi puskesmas. Dana APBD diperuntukkan untuk pembelian reagen dan buffer dari propinsi biasanya untuk obat program dan sebagian obat kecil untuk pelayanan kesehatan dasar ….” (Informan 3).

Dinas Kesehatan berupaya untuk meningkatkan penyediaan anggaran pengadaan obat agar kebutuhan obat dapat terpenuhi. Total dana yang dialokasikan untuk pengadaan obat mengalami kenaikan setiap tahun. Kenaikan anggaran dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi kebutuhan karena meningkatnya pola kunjungan berobat di puskesmas. Ketersediaan obat dapat dipengaruhi oleh ketersediaan anggaran (Tumwine et al., 2011). Tercukupinya dana pengelolaan obat membuktikan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjamin ketersediaan obat dalam pelayanan kesehatan (Lubis, 2015).

Sistem Informasi Obat

Dinas Kesehatan Kabupaten Pati sudah menggunakan sistem informasi dalam pengelolaan data dan pelaporan obat, yaitu E-logistik. Sistem informasi saat ini belum berjalan optimal. Tidak semua obat terakomodir dalam sistem informasi pengelolaan e-logistik.

Keterbatasan dalam melakukan pengkodingan obat menjadikan kesulitan bagi petugas gudang obat untuk melakukan pengentrian data obat.

Adanya kendala dalam penggunaan e-logistik menyebabkan Dinas Kesehatan dan Instalasi Farmasi masih menggunakan sistem pelaporan dengan komputerisasi yang dikerjakan secara manual (non – aplikasi/exel sederhana).

Belum maksimalnya penggunaan sistem e-logistik, tidak sejalan dengan sistem informasi dalam proses pengadaan. Dalam melakukan proses pengadaan, Aplikasi sistem LPSE menjadi sistem informasi yang cukup efektif, efisien, transparan dan kompatibel untuk digunakan.

Diperlukan evaluasi kembali terkait dengan implementasi e-logistik obat yang belum optimal. Belum optimalnya e-logistik obat, menyebabkan proses perencanaan dan pengendalian persediaan tidak terfasilitasi dengan baik (Suryagama, 2019). Penataan administrasi informasi obat sangat penting terutama dengan menggunakan komputerisasi sehingga data yang diperoleh cepat untuk dipergunakan dalam perencanaan tahun berikutnya (Nesi and Kristin, 2018). Menurut Oetomo (2002) dalam pengembangan sistem informasi perlu diperhatikan efisiensi dan keefektifan, prosedur pemasukan data sesingkat mungkin dan sistem harus dapat mengoptimalkan sumber daya manusia.

Sumber Daya Manusia

Berdasarkan wawancara, Informan menyampaikan informasi terkait jumlah SDM sebagai berikut:

“…Jumlah SDM Apoteker di Dinas Kesehatan berjumlah 4 orang dan tenaga teknis kefarmasian berjumlah 2 orang, namun di Puskesmas SDM Apoteker berjumlah 1 orang dan masih terdapat tenaga non farmasi yang menangani pengelolaan obat….” (Informan 1).

“…Jumlah SDM Apoteker yang mempunyai kompetensi pengadaan obat di Dinas Kesehatan masih terbatas, 1 orang dan

(7)

40 MF Vol 16 No 1, 2020 dalam proses pelelangan dilaksanakan oleh tim

ULP….” (Informan 3).

Adanya keterbatasan Sumber daya manusia dikhawatirkan akan mempengaruhi kelancaran suatu kegiatan dalam sebuah

organisasi. Menurut penelitian Lubis (2015) bahwa kurangnya jumlah SDM, dapat mengakibatkan beban kerja yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan pengelolaan obat tidak efektif.

Tabel II. Identifikasi masalah atau hambatan-hambatan dan solusi dalam proses perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati

Tahapan Masalah Solusi

D. Seleksi A.1 Masih terdapat obat yang tidak

sesuai dengan Fornas A.1.1. Diperlukan kebijakan Kepala Dinas untuk menggunakan Fornas sebagai dasar seleksi obat

A.1.2 Peningkatan fungsi TPOT dalam pemilihan obat yang memenuhi standar efficacy dan safety sebagai kriteria dalam seleksi obat

E. Perencanaan B.1 Prevalensi penyakit selalu

berubah B.1.1 Menggunakan 10 penyakit teratas dalam proses seleksi dan perencanaan dengan historical data 3 tahun sebelumnya.

F. Pengadaan C.1. Penayangan e-catalogue obat di pertengahan tahun

C.2. Beberapa penyedia e-catalogue mengirim obat terlambat

C.3. Penyedia e-catalogue tidak memenuhi obat

sesuai

C.4. Limitasi jumlah pemesanan obat e-catalogue.

C.1.1 Menggunakan metode pengadaan lain sesuai peraturan yang berlaku untuk obat sangat dibutuhkan pada waktu tersebut

C.2.1. Menggunakan metode pengadaan lain sesuai peraturan yang berlaku untuk obat sangat dibutuhkan pada waktu tersebut C.2.2. Peningkatan fungsi panitia pengadaan dalam memonitoring pesanan obat kepada penyedia

C.3.1 Menggunakan metode pengadaan lain sesuai peraturan yang berlaku C.3.2. Melaporkan wanprestasi penyedia kepada LKPP

C.3.3. Evaluasi pemilihan pemasok (LKPP)

C.4.1 Konsilidasi pengadaan dengan instansi lain.

C.4.2. Menggunakan metode pengadaan lain sesuai peraturan yang berlaku G. Manajemen

support D.1. SDM khususnya Apoteker di Puskesmas terbatas

D.2. SDM yang bersertifikat pengadaan di Dinas Kesehatan dan Puskesmas terbatas.

D.3. Sistem informasi obat belum optimal, sebagian perekapan dan pelaporan masih dilakukan secara manual

D.1.1. Pengadaan tenaga Apoteker oleh pemerintah

D.2.1. Mengikuti pelatihan setifikasi pengadaan barang dan jasa

D.3.1. Perlu dilakukan pembaharuan sistem informasi e-logistik (Kementerian Kesehatan RI).

D.4. Petugas kesulitan dalam mengklasifikasikan pengkodingan item obat pada e-logistik.

D.4.1. Mengikuti pelatihan penggunaan sistem informasi e-logistik

Sumber : Dinas Kesehatan, ULP, Gudang Farmasi, 2018.

(8)

Keterbatasan SDM yang sesuai kompetensi juga menjadi hambatan dalam proses perencanaan dan pengadaan obat.

Informan menyampaikan informasi sebagai berikut:

“…Kita membutuhkan SDM sesuai kompetensi tetapi pada kenyataannya jumlahnya masih terbatas. Bidan, perawat dan dokter melakukan perencanaan dan pengadaan obat. Saya yakin perencanaan dan pengadaan obat ini akan berjalan dengan baik pula apabila SDM ini terpenuhi……” (Informan 1).

“Terdapat juga kendala lain terkait dengan SDM baik itu apoteker maupun tim pengadaan yang profesional di bidang pengadaan. Kita idealnya memang masih membutuhkan beberapa tenaga yang profesional terkait pengadaan….” (Informan 3).

Kompetensi SDM merupakan kunci keberhasilan dalam organisasi (Satibi, 2015) 2015). Penelitian Mala (2010) menyebutkan bahwa hasil yang didapat dari pelatihan menjadikan kayawan lebih produktif dan pengujian menjadi lebih baik sehingga tercapai efektivitas dan efisiensi dari pengujian.

Penambahan SDM juga sangat diperlukan agar organisasi dapat berjalan dengan lancar (Rahayu S.T, 2017).

Identifikasi Masalah dan Solusi

Hasil wawancara mendalam ditemukan beberapa masalah dalam perencanaan dan pengadaan obat sehingga perlu dilakukan perbaikan. Hasil identifikasi masalah atau hambatan-hambatan dan solusi dalam proses perencanaan dan pengadaan obat Di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati pada Tabel II.

KESIMPULAN

Perencanaan obat dengan metode konsumsi dan mordibitas, terdapat TPOT untuk mengalisa kebutuhan obat, tetapi proses perencanaan belum berjalan dengan optimal; 2) Pengadaan dilakukan sekali setahun dengan metode e-purchasing dengan e-catalogue, e- tendering dan pengadaan langsung oleh tim pengadaan; 3) Manajemen support meliputi struktur organisasi merupakan bagian dari seksi kefarmasian dan alkes, jumlah SDM Apoteker di Puskesmas dan bersertifikat pengadaan terbatas, Pendanaan obat meningkat setiap tahun, Sistem informasi belum berjalan optimal; 4) Faktor-faktor yang menghambat perencanaan dan pengadaan obat adalah

kegagalan suplai obat, keterbatasan apoteker dan staf yang memiliki serifikat pengadaan, belum optimalnya sistem informasi e-logistik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada PPSDM karena penelitian ini sebagian di danai dari alokasi beasiswa PPSDM Kesehatan Tahun 2017 DAFTAR PUSTAKA

Caulder, C.R., Mehta, B., Bookstaver, P.B., Sims, L.D., Stevenson, B., The South Carolina Society Of Health-System Pharmacists, 2015. Impact of Drug Shortages on Health System Pharmacies in the Southeastern

United States. Hosp. Pharm. 50, 279–286.

Depkes RI, 2006. Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2nd ed. Direktorat yanfar dan Alkes, Jakarta.

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.

Dito Suryagama, 2019. Analisis Pengaruh Sistem Informasi Manjemen Logistik Obat dan Perilaku Kerja Terhadap Kegiatan Pengelolaan Obat dan Kinerja Organisasi.

Thesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dwiaji, A., Sarnianto, P., Hasbullah, T., 2016.

Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan Data E-Catalogue Tahun 2014-2015. J. Ekon. Kesehat.

Indones. Vol 1, No 1 (2016).

Indriawan, I., Wahyudi, W.T., dan Rahayuningsih, A., 2014. Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas Gaya Baru V Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. Journal kesehatan Holistik, 8: 6.

Kanyoma, K.E., Khomba, J.K., 2013. The Impact of Procurement Operations on Healthcare Delivery: A Case Study of Malawi’s Public Healthcare Delivery System 11. Glob J Mangement Bus Res.

2013;13(January 2013):3.

Kemenkes RI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E- Catalogue).

(9)

42 MF Vol 16 No 1, 2020 Kemenkes RI, 2014.Surat Keputusan Menteri

Kesehatan RI No

HK.02.02/Menkes/524/2015 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional.

Ketikidis, P.H., Kontogeorgis, A., Stalidis, G., Kaggelides, K., 2010. Applying E- Procurement System in The Healthcare:

The EPOS Paradigm. Int. J. Syst. Sci. 41, 281–299.

Kusmini, K., Satibi, S., Suryawati, S., 2016.

Evaluasi Pelaksanaan E-Purchasing OBAT pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 2015. J. Manaj. Dan Pelayanan Farm.. 6, 277.

Lubis, D.M., 2015. 'Evaluasi Pengelolaan Obat Antituberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Surakarta', Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mala, C.D.F.U., 2010. 'Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja Karyawan Bidang Pengujian Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Manado', . Univarsitas Gadjah Mada, Tesis, Yogyakarta.

MSH, 2012. MDS-3: Managing Access to Medicines and Health Technologies.

Kumarian Press.

Mumek, V.M., Citraningtyas, G., Yamlean, P.V.Y., 2016. Evaluasi Perencanaan Dan Pengadaan Obat Di Instalasi Farmasi Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Berdasarkan Analisis ABC-VEN.

Pharmacon Jurnal Farm. 5 (3)

Nesi, G., Kristin, E., 2018. Evaluasi Perencanaan Dan Pengadaan Obat Di Instalasi Farmasi Rsud Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara. JKKI. 7(4)

Oetomo, Budi Sutedjo Dharma. 2002.

Perencanaan dan Pengembangan Sistem.

Informasi. Edisi I. ANDI Yogyakarta..

Presiden RI, 2010. Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pratiwi, F., Dwiprahasto, I., Budiarti, E., 2011.

Evaluasi Perencanaan dan Pengadaan Obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Semarang. J. Manaj. Dan Pelayanan Farm. Vol. 1 No. 4

Quick, J.D., Health (Firm), M.S. for, Drugs, A.P. on E., Organization), V. (World H., 1997.

Managing Drug Supply: The Selection, Procurement, Distribution, and Use of Pharmaceuticals, Books on International Development. Kumarian Press.

Rahayu S.T, 2017. Evaluasi Perencanaan dan Ketersediaan Obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2013-2015. Thesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rumbay, I.N., Kandou, G.D., dan Soleman, T., 2015. Analysis of Drugs Planning in Health Office Southeast Minahasa Ragency. JIKMU., 5: 10.

Sanjaya, G.Y., Hidayat, A.W., 2016. Pemantauan Obat Dan Perbekalan Kesehatan Di Indonesia: Tantangan Dan Pengembangannya. Jurnal Manajemen Pelayanan Farmasi 6: 10.

Satibi, 2015. Manajemen Obat di Rumah Sakit, 4th ed. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Swastha, B. dan Sukotjo, I., 2007. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern), ketiga. ed. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta

Silvania A., Hakim L., Satibi. Evaluasi Kesesuaian Antara Perencanaan dan Realisasi Penerimaan Obat di Puskesmas Rawat Inap Se-Kabupaten Sleman Tahun 2008- 2010. J. Manaj. Dan Pelayanan Farm.

2012;2(2):90-94.

Tumwine, Y., Kutyabami, P., Odoi, R.A., Kalyango, J.N., 2011. Availability and Expiry of Essential Medicines and Supplies During the ‘Pull’ and ‘Push’ Drug Acquisition Systems in a Rural Ugandan Hospital.

Trop. J. Pharm. Res. 9.

.

Referensi

Dokumen terkait

maka penulis tertarik untuk menulis Tugas Akhir yangberjudul“ Evaluasi Pengelolaan Obat Program Malaria Di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara”5.

- Instalasi Farmasi di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara melaksanakan distribusi obat program diare ke Instalasi Farmasi. Kabupaten/Kota diwilayah kerjanya sesuai

Berdasarkan hasil wawancara mendalam tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses perencanaan kebutuhan obat di setiap UPT Dinas Kesehatan propinsi Sumatera Utara

Perencanaan Kebutuhan Obat Publik Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar Di Puskesmas Sewilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Metode

yang ada dalam E-catalog c.Tidak melakukan pelelangan dan negoisasi d.Rujukan obat pada Fornas Puskesmas Dinas Kesehatan Tim Perencana Obat Usulan Kebutuhan Obat

Kesimpulan perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang belum sesuai dengan SK Menkes RI Nomor 1121/Menkes/SK/XII/2008 tentang Pedoman tehnis pengadaan obat publik

Berdasarkan analisa data yang telah dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut : Pengadaan obat yang dilakukan Instalasi Farmasi Dinas

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil evaluasi sistem perencanaan dan pengadaan Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara yang