• Tidak ada hasil yang ditemukan

faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PENGEMUDI BUS DI PT X TAHUN 2022

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

DISUSUN OLEH : Rifa Salma Kamila

11181010000100

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2022 M

(2)
(3)
(4)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PENGEMUDI BUS DI PT X TAHUN 2022

Disusun oleh : Rifa Salma Kamila

11181010000100 Telah diujikan pada tanggal 29 Juli 2022

Ketua Sidang Skripsi

Meliana Sari, MKM NIP. 198809282018012002

Penguji 1 Penguji 2

Dr. Iting Shofwati, S.T., M.KKK Dela Aristi, MKM NIP. 197608082006042001 NIDN. 2009088802

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H / 2022

iv

(5)

v

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA Skripsi, Juli 2022

Rifa Salma Kamila, NIM: 11181010000100

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PENGEMUDI BUS DI PT X TAHUN 2022

xvii + 125 halaman, 34 tabel, 3 gambar, 4 lampiran ABSTRAK

Kelelahan kerja merupakan proses menurunnya efisiensi dan ketahanan tubuh untuk melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Mengemudi adalah pekerjaan yang berisiko tinggi mengalami kelelahan, karena memerlukan konsentrasi tinggi dan membutuhkan perpaduan yang tepat dan cepat antara otak, tangan, kaki, dan mata. Kelelahan pada pengemudi dapat menurunkan rasa waspada dan sulit berkonsentrasi, sehingga sulit memberikan respon jika terjadi keadaan darurat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja pada pengemudi Bus di PT X Tahun 2022. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Juni 2022 pada pengemudi bus Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Desain studi penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Variabel yang diteliti yaitu kelelahan kerja, umur, status gizi, kuantitas tidur, kualitas tidur, beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi, dan waktu istirahat. Sampel penelitian berjumlah 108 responden dengan teknik pengambilan sampel proportional random sampling. Analisis data digunakan dengan univariat dan bivariat chi square. Hasil penelitian menunjukan sebesar 66,7% pengemudi mengalami kelelahan kerja dengan 93% pengemudi mengalami gejala lelah seluruh tubuh. Terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kelelahan kerja yaitu status gizi (p=0,000), kuantitas tidur (p=0,000), kualitas tidur (p=0,003), durasi mengemudi (p=0,040), dan beban kerja mental (p=0,000). Untuk mencegah kelelahan kerja, pengemudi perlu memaksimalkan waktu istirahat dan melakukan peningkatan gizi untuk mengimbangi beban kerja yang diterima, serta melakukan pola hidup sehat untuk menjaga status gizi tetap normal. Selain itu, PT X perlu melakukan perubahan jam kerja agar pengemudi mendapatkan kuantitas tidur yang cukup dan melakukan pengecekan kesehatan dan Indeks Massa Tubuh secara berkala.

Kata Kunci : Beban Kerja Mental, Kelelahan Kerja, Pengemudi Bus.

(6)

vi

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE

DEPARTEMEN STUDY OF PUBLIC HEALTH SPECIALISATION HEALTH AND SAFETY Undergraduate Thesis, July 2022

Rifa Salma Kamila, NIM: 11181010000100

FACTORS RELATED TO BUS DRIVER FATIGUE AT PT X IN 2022

xvii + 125 pages, 34 tables, 3 images, 4 attachments ABSTRACT

Work fatigue is a process of decreasing efficiency and reduced physical endurance/strength of the body to continue the activities that must be done. Driving has a high risk of work fatigue, because it requires high concentration and requires the right and fast combination of the brain, hands, feet, and eyes. Driver fatigue can reduce alertness and difficulty concentrating, making difficult for drivers to respond in an emergency. The purpose of this study was to determine the factors that influence work fatigue on bus drivers at PT X in 2022. This research was conducted in February-June 2022 on Soekarno-Hatta Airport bus drivers. The study design of this research was quantitative with a cross sectional approach. The variables studied were fatigue, age, nutritional status, sleep quantity, sleep quality, mental workload, physical workload, driving duration, and rest time. The research sample as many 108 respondents was chosen by proportional random sampling technique.

Data analysis was used with univariate and bivariate chi square. The results showed that 66.7% of drivers have work fatigue with 93% of drivers experiencing symptoms of fatigue throughout the body. Several variables related to work fatigue are nutritional status (p=0.000), sleep quantity (p=0.000), sleep quality (p=0.003), driving duration (p=0.040), and mental workload (p=0.000). To prevent work fatigue, drivers need to maximize rest time and improve nutrition to increase the workload received, as well as adopt a healthy lifestyle to maintain normal nutritional status. Also, PT X needs to make changes to work hours so that drivers get sufficient quantity of sleep and carry out regular health checks and Body Mass Index..

Keywords : Bus Drivers, Mental Workload, Work Fatigue

(7)

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS DIRI

Nama : Rifa Salma Kamila

TTL : Bogor, 22 Desember 2000 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. H. Abbas RT 01/01 Desa Dramaga Kec. Dramaga, Kab. Bogor, 16680 No. Telp : 0856927613129

Email : Rifaskamila@gmail.com II. PENDIDIKAN FORMAL

2018 – Sekarang : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2015 – 2018 : MAN 2 Kota Bogor 2012 – 2015 : SMPN 1 Dramaga

2006 – 2012 : MI Mathlaul Anwar Cigola

III. PENGALAMAN ORGANISASI

2019 : Anggota Departemen Seni dan Olahraga HMPS Kesmas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2020 : Anggota Divisi Finance Forum Studi K3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2021 : Kepala Departemen Sosial Masyarakat HMPS Kesmas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2022 : Ketua Divisi Finance Forum Studi K3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

IV. PENGALAMAN BEKERJA

September 2021 : Magang di Bidang Keselamatan Operasi Pusat Reaktor Serba Guna (PRSG) BATAN

September 2021 – Maret 2022 : Magang di Divisi Keselamatan

Kantor Pusat DAMRI

(8)

viii

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Nikmat, Rahmat, Hidayat dan Inayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELELAHAN KERJA PADA PENGEMUDI BUS DI PT X TAHUN 2022”. Selama pelaksanaan kegiatan dan penyusunan skripsi penulis mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan kekuatan lahir dan batin, serta mengalirkan doa-doa demi kesuksesan penulis.

2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang senantiasa bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

4. Ibu Meliana Sari, M.K.M dan Ibu Dr. Iting Shofwati, S.T. M.K.K.K., HIU yang relah bersedia menguji dan nantinya akan memberikan saran penelitian ini dengan baik.

5. Seluruh jajaran di PT.X yang sudah membantu penulis sudah memberikan perizinan serta memberikan arahan dalam teknis penelitian.

6. Teman-teman K3, Kesmas 2018, teman teman yang tergabung dalam group whatsapp MasyaAllah Tabarakallah, Dinila Anjarsari Hanapi, Abrar Yusra, Frilianna Rifhaida, serta semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi serta memberikan dukungan dalam bentuk do’a dan motivasi.

Peneliti sangat berharap skripsi ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan, pengetahuan dan masukan kepada PT X untuk menerapkan pencegahan terjadinya kelelahan kerja dalam rangka

(9)

ix

menurunkan angka kecelakaan lalu lintas. Peneliti menyadari bahwa di dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, peneliti berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Demikian skripsi yang telah disusun ini, semoga dapat dipahami dan berguna bagi peneliti sendiri maupun orang yang membacanya.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Jakarta, Juli 2022 Rifa Salma Kamila

(10)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan ... 5

1. Tujuan Umum ...5

2. Tujuan Khusus ...5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Ruang Lingkup ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Definisi Kelelahan Kerja ... 8

B. Jenis Kelelahan Kerja ... 8

C. Mekanisme Kelelahan ... 9

D. Gejala Kelelahan Kerja ...11

E. Faktor Penyebab Kelelahan Kerja ...12

1. Faktor Individu ...12

a. Usia ...12

b. Status gizi ...13

c. Kondisi kesehatan ...14

d. Kuantitas Tidur ...14

(11)

xi

e. Kualitas Tidur ...15

2. Faktor Pekerjaan ...16

a. Beban kerja...16

b. Durasi mengemudi ...22

c. Waktu istirahat ...23

d. Shift kerja ...24

3. Faktor lingkungan...24

a. Suhu ...24

b. Pencahayaan ...25

c. Kebisingan ...25

d. Getaran ...26

F. Dampak Kelelahan Kerja ...27

G. Pengukuran Kelelahan Kerja ...28

H. Pencegahan Kelelahan Kerja...31

I. Pengemudi ...32

J. Kerangka Teori ...33

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...35

A. Kerangka Konsep ...35

B. Definisi Operasional ...37

C. Hipotesis ...41

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ...42

A. Jenis dan Desain Penelitian...42

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...42

C. Populasi dan Sampel Penelitian ...42

D. Instrumen Penelitian ...46

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ...51

1. Uji Validitas ...51

2. Uji Reliabilitas ...55

F. Metode Pengumpulan Data ...55

G. Manajemen Data ...58

H. Analisis Data ...60

I. Etik Penelitian ...61

BAB V HASIL ...62

A. Gambaran Lokasi Penelitian ...62

(12)

xii

B. Hasil Analisis Univariat ...64

1. Gambaran Kelelahan Kerja...64

2. Gambaran Umur ...65

3. Gambaran Status Gizi ...66

4. Gambaran Kuantitas Tidur ...67

5. Gambaran Kualitas Tidur ...68

6. Gambaran Beban Kerja Mental ...71

7. Gambaran Beban Kerja Fisik...75

8. Gambaran Durasi Mengemudi ...75

9. Gambaran Waktu Istirahat ...76

C. Hasil Analisis Bivariat ...78

1. Hubungan Antara Umur dengan Kelelahan Kerja ...78

2. Hubungan Antara Status Gizi dengan Kelelahan Kerja ...78

3. Hubungan Antara Kuantitas Tidur dengan Kelelahan Kerja ...79

4. Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Kelelahan Kerja ...80

5. Hubungan Antara Beban Kerja Mental dengan Kelelahan Kerja ...81

6. Hubungan Antara Beban Kerja Fisik dengan Kelelahan Kerja ...82

7. Hubungan Antara Durasi Mengemudi dengan Kelelahan Kerja ...83

8. Hubungan Antara Waktu Istirahat dengan Kelelahan Kerja ...84

BAB VI PEMBAHASAN ...86

A. Keterbatasan Penelitian ...86

B. Gambaran Kelelahan Kerja Pengemudi Bus ...86

C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus ...89

1. Umur ...89

2. Status Gizi ...90

3. Kuantitas Tidur ...93

4. Kualitas Tidur ...96

5. Beban Kerja Mental...98

6. Beban Kerja Fisik ... 103

7. Durasi Mengemudi ... 104

8. Waktu Istirahat ... 106

D. Kelelahan Kerja dalam Kajian Keislaman ...108

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...111

(13)

xiii

A. Simpulan ...111

B. Saran ...112

1. Bagi PT X ... 112

2. Bagi Pengemudi PT X ... 114

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 114

DAFTAR PUSTAKA ...116

LAMPIRAN ...125

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi IMT ... 13

Tabel 3. 1 Definisi Operasional………….……….36

Tabel 4. 1 Daftar Trayek Angkutan Bandara PT X Tahun 2022 ... 42

Tabel 4. 2 Perhitungan Besar Sampel Minimal ... 44

Tabel 4. 3 Distribusi Jumlah Sampel ... 44

Tabel 4. 4 Komponen Skor PSQI ... 47

Tabel 4. 5 Hasil Uji Validitas Kuesioner ... 52

Tabel 4. 6 Hasil Uji Realibilitas Kuesioner ... 55

Tabel 5. 1 Masa Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 63

Tabel 5. 2 Distribusi Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 64

Tabel 5. 3 Distribusi Frekuensi Pertanyaan KAUPK2... 65

Tabel 5. 4 Distribusi Umur Pengemudi Bus PT X Tahun 2022... 66

Tabel 5. 5 Distribusi Status Gizi Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 66

Tabel 5. 6 Kategori Status Gizi Gemuk Pengemudi ... 67

Tabel 5. 7 Distribusi Kuantitas Tidur Pengemudi Bus PT X ... 68

Tabel 5. 8 Distribusi Kualitas Tidur Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 68

Tabel 5. 9 Komponen Kualitas Tidur Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 69

Tabel 5. 10 Distribusi Frekuensi Komponen Gangguan Tidur Pengemudi ... 71

Tabel 5. 11 Distribusi Beban Kerja Mental Pengemudi Bus Di PT X Tahun 2022 ... 72

Tabel 5. 12 Distribusi Kondisi Kemacetan Yang Dialami Pengemudi Bus PT X Tahun 2022... 73

Tabel 5. 13 Distribusi Kerusakan Kendaraan yang Dialami Pengemudi Bus PT X Tahun 2022... 74

Tabel 5. 14 Distribusi Keluhan Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 74

Tabel 5. 15 Distribusi Beban Kerja Fisik Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 75

Tabel 5. 16 Distribusi Durasi Mengemudi Pengemudi Bus Di PT X Tahun 2022 76 Tabel 5. 17 Distribusi Waktu Istirahat Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 77

Tabel 5. 18 Kegiatan Pengemudi Di Waktu Istirahat PT X Tahun 2022 ... 77

Tabel 5. 19 Hubungan Antara Umur dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022... 78

(15)

xv

Tabel 5. 20 Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 79 Tabel 5. 21 Hubungan Antara Kuantitas Tidur Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 80 Tabel 5. 22 Hubungan Antara Kualitas Tidur Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 81 Tabel 5. 23 Hubungan Antara Beban Kerja Mental Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 82 Tabel 5. 24 Hubungan Antara Beban Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 83 Tabel 5. 25 Hubungan Antara Durasi Mengemudi Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 84 Tabel 5. 26 Hubungan Antara Waktu Istirahat Dengan Kelelahan Kerja Pengemudi Bus PT X Tahun 2022 ... 85

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Kerangka Teori ... 34 Gambar 3. 1 Kerangka Konsep ... 36 Gambar 5. 1 Frekuensi Kemacetan dalam Seminggu ... 73

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 125

Lampiran 2. Lembar Pengukuran Denyut Nadi ... 134

Lampiran 3. Hasil Penelitian ... 135

Lampiran 4. Output SPSS ... 136

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi umum masih banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memperlancar aktivitas sehari-hari. Bus diketahui menjadi transportasi umum yang banyak digunakan di berbagai negara berkembang dibanding moda lainnya (Zuraida, 2015). Bus dikenal sebagai alat transportasi umum yang praktis dan cepat (Ardiansyah, 2015). Selain itu, harga tiket yang terjangkau membuat bus menjadi moda transportasi yang banyak diminati oleh masyarakat (Adytama & Muliawan, 2020)

Peningkatan penggunaan bus diikuti dengan timbulnya dampak buruk, seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Menurut Undang- Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 106 Ayat 1, seorang pengemudi wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan konsentrasi penuh. Namun, masih terjadinya kenaikan kasus kecelakaan yang diiringi dengan kenaikan jumlah korban meninggal dunia, luka ringan, serta nilai kerugian materi (Badan Pusat Statistik, 2020).

Menurut WHO (2021), sekitar 1,3 juta orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya. WHO memperkirakan kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kematian terbesar nomor lima di dunia di tahun 2030. Kondisi ini menjadi tantangan besar terhadap target Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030 poin (3.6) yaitu untuk mengurangi

(19)

2

50% jumlah cedera dan kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas pada tahun 2030 (WHO, 2021).

Berdasarkan laporan statistik transportasi darat, terjadi kenaikan kasus kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam kurun waktu 2015 sampai tahun 2019 dengan rata-rata 4,87% per tahun (Badan Pusat Statistik, 2020). Hasil investigasi kecelakaan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (2020) diketahui lebih dari 50% faktor manusia menjadi faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia Tahun 2016-2020. Salah satu faktor manusia yang berpengaruh dalam kecelakaan lalu lintas adalah kelelahan kerja pada pengemudi (Maynard dkk., 2021). Mengemudi merupakan pekerjaan yang melelahkan, sebab mengemudi merupakan pekerjaan monoton dengan tugas yang berulang dan memerlukan perhatian yang berkelanjutan (Williamson dkk., 1996). Pengemudi yang merasa lelah akan sulit berkonsentrasi dan berkurangnya rasa waspada, hal ini menyebabkan pengemudi akan kesulitan memberikan respon dengan cepat dan tepat jika terjadi keadaan darurat (Hikmah, 2020). Sehingga, pengemudi yang merasakan kelelahan berisiko mengalami kecelakaan lalu lintas (Zhang dkk., 2016).

PT X merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa angkutan transportasi jasa angkutan penumpang dan barang dengan menggunakan bus dan truk. Sampai saat ini, PT X memiliki jaringan pelayanan yang tersebar hampir seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan pelayanan utamanya yaitu Angkutan Khusus Bandar Udara (Bandara). Pada angkutan khusus bandara Soekarno-Hatta Tangerang diketahui terdapat 21 trayek

(20)

3

yang tersebar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Banten, Karawang, Purwakarta, dan Sukabumi. Setiap trayek memiliki ritase dan jarak yang berbeda, hal ini dapat berpengaruh pada durasi mengemudi yang ditempuh setiap pengemudi. Namun, dalam pelaksanaan operasionalnya PT X tidak luput dari terjadinya kejadian kecelakaan lalu lintas. Pada tahun 2018 sampai dengan 2021 kurang lebih terjadi 226 kasus kecelakaan dengan tipe kecelakaan bermacam-macam. Berdasarkan laporan kecelakaan tahunan PT X, diketahui sebanyak 75% faktor penyebab kecelakaan lalu lintas didominasi oleh faktor manusia, dengan faktor utamanya yaitu kelelahan kerja. Hal ini didukung oleh hasil studi pendahuluan kepada 30 pengemudi bus Bandara, ditemukan sebanyak 60% pengemudi mengalami kelelahan kerja.

Kecelakaan menjadi hal yang sangat merugikan, baik dari materiil dan non materiil. Seperti ganti rugi pihak korban, perbaikan kerusakan kendaraan, kehilangan hari operasional, sampai meninggal dunia. Sehingga perlu dilakukan pencegahan untuk mengurangi angka kecelakaan di PT X.

Melihat faktor manusia yang dipengaruhi oleh kelelahan menjadi faktor yang paling mendominasi terjadinya kecelakaan lalu lintas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022.

B. Rumusan Masalah

Pengemudi wajib mengemudikan kendaraannya dengan penuh konsentrasi dan penuh perhatian. Pada kenyataannya pengemudi yang mengalami kelelahan masih menjadi salah satu penyebab kecelakaan di

(21)

4

Indonesia diikuti dengan jumlah kematian. Mengemudi merupakan salah satu jenis pekerjaan yang dikenal melelahkan. Hal ini didukung dengan hasil studi pendahuluan kepada 30 pengemudi bus antar Bandara, ditemukan 60%

pengemudi mengalami kelelahan kerja. Pengemudi yang merasa lelah akan kesulitan untuk berkonsentrasi dan berkurangnya rasa waspada, sehingga berisiko mengalami kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022, dengan rumusan masalah penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana gambaran kelelahan pengemudi bus di PT X pada Tahun 2022?

2. Bagaimana gambaran faktor individu (usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur) pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022?

3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi dan waktu istirahat) pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022?

4. Bagaimana hubungan antara faktor individu (usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur) dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022?

5. Bagaimana hubungan antara faktor pekerjaan (beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi dan waktu istirahat) dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022?

(22)

5

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pada kelelahan kerja pada pengemudi Bus di PT X Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kelelahan pengemudi bus di PT X pada Tahun 2022.

b. Diketahuinya gambaran faktor individu (usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur) pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022.

c. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan (beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi dan waktu istirahat) pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022.

d. Diketahuinya hubungan antara faktor individu (usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur) dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022.

e. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi dan waktu istirahat) dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus di PT X Tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi PT X

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi kelelahan pengemudi yang

(23)

6

dirasakan selama bekerja. Sehingga dapat menentukan pencegahan dan pengendalian dalam menghindari kelelahan pengemudi dan mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.

2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam menambah referensi keilmuan dan kepustakaan terkait kelelahan kerja pada pengemudi bus.

3. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya terkait kelelahan pada pengemudi bus.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan pengemudi bus di PT X.

Penelitian dilakukan pada bulan Februari - Juni tahun 2022. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan metode pendekatan cross- sectional. Sampel penelitian ini adalah pengemudi bus angkutan antar bandara di salah satu cabang PT X yang diambil dengan teknik Proportionate Random Sampling, sebanyak 108 responden. Pengumpulan data penelitian menggunakan data primer kuesioner dan pengukuran.

Variabel dependen yang diteliti adalah kelelahan kerja, sedangkan variabel independen yang diteliti yaitu faktor individu (usia, status gizi, kuantitas

(24)

7

tidur, dan kualitas tidur) serta faktor pekerjaan (beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi dan waktu istirahat).

(25)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kelelahan Kerja

Suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk istirahat sebagai pemulihan agar terhindar dari kerusakan tubuh yang lebih lanjut dapat disebut kelelahan (Tarwaka, 2014). Kelelahan menurut Ream dan Richardson (1996) adalah sebuah gejala subjektif yang tidak menyenangkan dan menggabungkan perasaan tubuh secara holistik sampai membentuk kondisi kelelahan keseluruhan yang mengganggu kemampuan individu berfungsi dengan kapasitas normal. Johnston (2007) dalam Juliatara dkk. (2015) menyebutkan kelelahan merupakan reaksi akibat kondisi seperti tidak memadainya waktu istirahat, aktivitas fisik dan mental yang berlebihan, dan terganggunya ritme biologi serta mempengaruhi kemampuan kerja yang diakibatkan dari aktivitas sebelumnya.

Kelelahan kerja juga dapat dilihat dari penurunan performa kerja, kelelahan yang dirasakan pekerja, penurunan aktivitas mental dan fisik, dan penurunan motivasi (Setyowati dkk., 2014). Sama seperti yang disebutkan oleh Maulana dkk. (2021), kelelahan kerja merupakan proses terjadinya penurunan efisiensi, performa dalam bekerja, serta berkurangnya kemampuan fisik tubuh dalam meneruskan aktivitas yang harus dilakukan.

B. Jenis Kelelahan Kerja

Kelelahan dibagi menjadi kelelahan umum dan kelelahan otot (Suma’mur, 2009). Kelelahan umum dapat dilihat dari menurunnya tingkat

(26)

9

keinginan melakukan pekerjaan. Sedangkan kelelahan otot diartikan sebagai kontraksi otot atau perasaan nyeri yang terjadi pada otot.

Menurut Wignjosoebroto (2003) terdapat beberapa jenis kelelahan berdasarkan beberapa faktor yang berbeda-beda, diantaranya:

a. Lelah otot, ditandai dengan munculnya rasa sakit pada saat otot harus menerima dan menanggung beban yang berat.

b. Lelah visual, disebabkan oleh ketegangan organ visual atau mata.

Mata akan merasa lelah ketika terus-menerus melihat layar monitor ditambah dengan cahaya yang lebih tinggi dari sekitarnya.

c. Lelah mental, diakibatkan lewat kerja mental, bukan dari aktivitas fisik.

d. Lelah monotonis, ditimbulkan akibat dari aktivitas kerja yang berulang-ulang dan membosankan. Dalam kasus ini, pekerja tidak lagi tertarik menjalani pekerjaan serta lingkungan kerja itu sendiri.

Berdasarkan waktu terjadinya kelelahan kerja dibagi menjadi kelelahan kroni dan kelelahan akut (Maurits, 2011). Kelelahan yang terjadi sepanjang hari dan terus menerus akan menyebabkan kelelahan kronis. Pada kelelahan kronis, kelelahan dapat terjadi sebelum memulai pekerjaan (Maurits, 2011). Sedangkan kelelahan akut disebabkan berlebihnya kerja yang dilakukan oleh suatu organ atau seluruh tubuh (Maurits, 2011).

C. Mekanisme Kelelahan

Secara fisiologi, tubuh manusia bagaikan sebuah mesin yang membutuhkan bahan bakar sebagai sumber energi untuk melakukan pekerjaannya. Dalam melakukan pekerjaannya tubuh manusia dipengaruhi

(27)

10

oleh sistem pencernaan, sistem otot, sistem saraf, sistem peredaran darah, dan sistem pernafasan yang bekerja masing-masing atau bersama-sama.

Kelelahan disebut sebagai penumpukan asam laktat pada otot di dalam aliran darah yang mengakibatkan terjadinya degradasi kerja otot, sehingga membuat saraf tepi pada sentral berkontribusi pada proses terjadinya kelelahan (Maurits, 2011).

Dari segi neurofisiologis, reaksi fungsionil dari pusat kesadaran dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik, yaitu sistem penggerak (aktivitas) dan sistem penghambat (inhibisi). Keadaan setiap orang sangat bergantung terhadap hasil kerja dari dua sistem antagonistis yang dimaksud. Jika tubuh didominasi oleh sistem aktivitas, maka orang tersebut akan cenderung fit menjalani pekerjaan, sedangkan jika tubuh didominasi oleh sistem penghambat, maka orang tersebut akan cenderung mengalami kelelahan.

Pada pekerjaan dengan aktivitas monoton, sistem penghambat pada tubuh pekerja akan lebih kuat sehingga menyebabkan kelelahan walaupun beban kerja yang diterima tidak seberapa (Suma’mur, 2009).

Menurut Hattori yang dikutip oleh Syahlefi dkk. (2014), secara sederhana terdapat tiga tingkatan proses terjadinya kelelahan pada pengemudi, pada tahap awal akan timbul kewaspadaan (alertness), kemudian pada tahap berikutnya akan terjadi awal penurunan kewaspadaan pada pengemudi (drowsy) pada tahap ini pula akan timbul penurunan perhatian (kewaspadaaan) yang mengakibatkan kendaraan yang dikemudikan menjadi tidak terkontrol.

(28)

11

D. Gejala Kelelahan Kerja

Gejala kelelahan berawal dari perasaan yang ringan hingga menjadi perasaan yang sangat melelahkan (Hikmah, 2020). Gejala kelelahan kerja menurut Maurits (2011) diantaranya:

a. Gejala yang memungkinkan terjadinya rasa penurunan perhatian dan kesiagaan, penurunan dan hambatan dalam memilih keputusan, tidak nyaman dengan lingkungan kerja, sikap anti sosial, kehilangan inisiatif, depresi, serta kekurangan semangat (Maurits, 2011).

b. Gejala umum lainnya yang sering terjadi seperti sakit kepala, gangguan pada fungsi jantung dan paru, vertigo, hilangnya nafsu untuk makan, dan terjadi gangguan pada pencernaan. Selain gejala umum tersebut, gejala lain yang tidak spesifik diantaranya timbul kecemasan, kegelisahan, terjadinya perubahan tingkah laku, serta kesulitan untuk tidur (Maurits, 2011).

Menurut Virdaus 2005 dalam Adytama & Muliawan (2020), gejala kelelahan pada pengemudi akan muncul setelah menempuh perjalanan panjang, hal ini disebabkan karena monotonitas kerja dan tuntutan kerja untuk selalu berkonsentrasi dalam mengendalikan kendaraan. Jika dibiarkan, kelelahan akan menyebabkan pengemudi mengalami penurunan kesiapsiagaan yang pada akhirnya dapat membahayakan para pengguna jalan dan dirinya sendiri (Virdaus 2005 dalam Adytama & Muliawan, 2020).

(29)

12

E. Faktor Penyebab Kelelahan Kerja

Menurut Arini & Dwiyanti (2017) kelelahan kerja dipengaruhi oleh faktor individu, faktor pekerjaan, dan faktor lingkungan kerja.

1. Faktor Individu a. Usia

Dasar terjadinya penuaan adalah menghilangnya fungsi otot, terjadinya ketidakadekuatan jantung dalam memompa darah, serta menghilangnya kemampuan tubuh dalam penggunaan oksigen untuk membentuk ATP, yang pada akhirnya dapat menurunkan kapasitas kerja seseorang (Bridger, 2003). Menurut Maurits (2011), penurunan kekuatan otot umumnya terjadi pada saat mendekati usia 45 tahun.

Suma’mur (2009) menyatakan bahwa meningkatnya umur seseorang berpengaruh pada ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang, sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Pada usia 25-30 tahun seseorang memiliki kemampuan fisik yang optimal, setelah itu akan terjadi penurunan kapasitas kerja secara fisik setiap 1% setiap tahunnya (Tarwaka, 2010).

Semakin bertambahnya umur maka akan mempengaruhi tingkat kelelahan yang dirasakannya (Ihsan & Salami, 2014). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Zetli (2018) diketahui adanya pengaruh antara usia dengan kelelahan kerja, serta diketahui pula bahwa seluruh sopir dengan usia > 40 tahun mengalami kelelahan saat bekerja.

(30)

13

b. Status gizi

Status gizi menunjukan kondisi tubuh yang dipengaruhi oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi yang berasal dari makanan dalam kurun waktu yang lama (Prastuti & Martiana, 2017).

Indeks antropometri yang umum dipakai untuk mengetahui status gizi yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) (Prastuti & Martiana, 2017). Untuk mengetahui IMT dilakukan dengan perhitungan berikut ini:

IMT = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔) 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)²

Klasifikasi hasil perhitungan IMT nasional menurut Kemenkes RI (2019), antara lain:

Tabel 2. 1 Klasifikasi IMT

Klasifikasi IMT

Kurus

Kekurangan berat badan tingkat Berat <17,0 Kekurangan berat badan tingkat Ringan 17,0-18,4

Normal 18,5-25,0

Gemuk

Kelebihan berat badan tingkat Ringan (Overweight)

25,1-27,0

Kelebihan berat badan tingkat Berat (Obesitas)

>27

Sumber: Kemenkes RI, 2019

Pengemudi dengan kondisi status gizi tidak normal akan mempengaruhi status kesehatannya saat bekerja, pengemudi tidak bisa bekerja dengan lincah karena terganggu oleh berat badannya

(31)

14

(Prastuti & Martiana, 2017). Jika terlalu banyak bergerak, seorang tenaga kerja dengan tubuh besar akan lebih cepat lelah dan terjadi penurunan kinerja (Prastuti & Martiana, 2017). Sebaliknya, tenaga kerja dengan gizi seimbang dapat mempertahankan kesehatannya, sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tidak mudah lelah, dan terhindar dari kesalahan (Tarwaka dkk., 2004).

c. Kondisi kesehatan

kelelahan berkaitan erat dengan kondisi kesehatan tenaga kerja itu sendiri (Hendrawan, 2004 dalam A. Y. Pratiwi dkk., 2018).

Semakin buruk kondisi kesehatan yang dirasakan, maka semakin besar peluang terjadinya kelelahan (Gurusinga dkk., 2015). Menurut Suma’mur (2009), seorang tenaga kerja yang memiliki riwayat penyakit seperti penyakit jantung, penyakit gangguan ginjal, penyakit asma, tekanan darah rendah dan hipertensi diketahui dapat mempengaruhi kelelahan yang dirasakannya.

d. Kuantitas Tidur

Pedoman National Sleep Foundation menyarankan seseorang yang sehat membutuhkan antara 7 sampai 9 jam tidur per hari, karena tidur berperan penting terhadap sistem tubuh manusia yang berisiko terhadap kesehatan fisik dan mental. Pada pengemudi kurangnya waktu tidur akan memberikan pengaruh pada kinerja mengemudi, kehilangan perhatian dan ketidaknyamanan berkonsentrasi saat mengemudi, lambat bereaksi, terganggunya pengambilan keputusan dan meningkatnya distraksi (CARRS, 2020). Waktu tidur dan waktu

(32)

15

istirahat berpengaruh pada tingkat kelelahan yang dirasakan pengemudi, semakin lama waktu tidur yang dimiliki oleh pengemudi maka semakin rendah resiko terjadinya kelelahan (Gurdani Yogisutanti, 2015).

Kurang tidur pada pengemudi dapat menyebabkan pengemudi mengantuk saat mengemudi hingga mengalami microsleep yang berisiko mengalami kecelakaan lalu lintas (National Sleep Foundation, 2021). Penelitian yang dilakukan oleh Deza-Becerra dkk., (2017) menunjukan bahwa pengemudi yang mengalami kelelahan dan mengantuk dengan anggukan saat mengemudi mempunyai riwayat kecelakaan atau hampir celaka.

e. Kualitas Tidur

Kualitas tidur dapat diartikan sebagai kepuasan tidur seseorang, yang dapat mengurangi rasa lelah, lesu dan apatis. Kurangnya kepuasan tidur dapat menyebabkan seseorang menjadi gelisah, perhatian buyar, sakit kepala, sering menguap atau mengantuk, serta dapat berdampak buruk pada mata seperti bengkak pada kelopak mata, sekitar mata menghitam, konjungtiva memerah, dan perih pada mata (Hidayat, 2006 dalam Budiawan dkk., 2016).

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif, yang dapat dinilai berdasarkan lamanya waktu tidur, lama waktu yang diperlukan sampai tertidur, gangguan yang dirasakan pada saat tertidur, serta penilaian subjektif mengenai kepulasan tidur (Buysse dkk., 1989). Kualitas tidur dapat mempengaruhi kelelahan sampai

(33)

16

pada penurunan kinerja (Wianta & Sutiari, 2022). Beberapa gejala yang akan dirasakan jika kualitas tidur terganggu seperti mata lelah, mengantuk, hingga dapat tertidur (Prakoso dkk., 2018).

Salah satu instrumen pengukuran kualitas tidur yaitu Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Alat ukur ini dibuat berdasarkan pola tidur selama satu bulan terakhir, sehingga dapat diketahui baik atau buruknya kualitas tidur seseorang (Buysse dkk., 1989). PSQI merupakan instrumen baku dan umum digunakan untuk meneliti kualitas tidur, selain itu instrumen ini juga memiliki nilai validitas dan reliabilitas tinggi (Wicaksono, 2019).

2. Faktor Pekerjaan a. Beban kerja

Beban kerja merupakan perbedaan antara kapasitas dan kemampuan yang dimiliki pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi (Tarwaka, 2014). Setiap tenaga kerja mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima beban kerja (Siahaan &

Pramestari, 2021). Kelelahan kerja akan timbul apabila beban kerja yang diterima oleh seorang tenaga kerja melebihi kapasitasnya (Suma’mur, 2009).

Berat ringannya beban kerja yang diterima dapat menentukan lamanya tenaga kerja tersebut melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan atau kapasitas kerjanya (Siahaan & Pramestari, 2021). Semakin ringan beban kerja yang diterima maka akan semakin lama waktu kerja yang dilakukan tanpa merasakan

(34)

17

kelelahan (Siahaan & Pramestari, 2021). Sebaliknya, beban kerja yang berat hanya akan memperpendek waktu kerja dengan tanpa merasakan kelelahan dan gangguan kesehatan (Siahaan &

Pramestari, 2021).

Menurut Claessens dkk. (2010) dalam Wulanyani (2013) beban kerja yang berat berkaitan dengan penurunan kinerja. Bagi pengemudi, kinerja yang rendah bisa berakibat fatal, ia menjadi kurang waspada serta kurang tangkas untuk pengambilan keputusan dalam hal kemampuan kontrol dan menjaga jarak. Berdasarkan hasil data statistik, hal tersebut dikategorikan ke dalam faktor kesalahan manusia yang merupakan penyebab kecelakaan lalu lintas terbesar (Winurini, 2015).

Pengetahuan rute bekerja berpengaruh pada usaha, waktu, dan biaya yang digunakan para pengemudi dalam bertugas. Pengalaman yang lama pada pekerjaan di satu rute tertentu membuat pengemudi menjadi terbiasa. Kemacetan, kepadatan yang dihadapi serta lamanya waktu tempuh tidak lagi membebani mereka karena sudah terbiasa menghadapinya dan sudah mengetahui apa yang harus dilakukan (Winurini, 2015).

Selain dari kondisi jalan, kondisi kendaraan juga berpengaruh pada beban kerja yang akan diterima oleh pengemudi. Kondisi kendaraan yang sudah tua, performa mesin tidak bagus, dan permasalahan lainnya yang timbul akan menambah usaha

(35)

18

pengemudi dalam mengoperasikan kendaraan yang dapat meningkatkan beban kerja pengemudi. (Winurini, 2015).

a) Beban Kerja Fisik

Beban kerja fisik merupakan beban kerja yang memerlukan energi fisik dari otot manusia sebagai sumber tenaganya (Siahaan

& Pramestari, 2021). Beban kerja fisik diartikan sebagai manual operation dimana manusia sebagai pengendali kerja yang dapat menentukan performa kerja tenaga kerja itu sendiri (Siahaan &

Pramestari, 2021).

Pengukuran beban kerja fisik dibagi menjadi pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dilakukan dengan melakukan pengukuran energi yang dikeluarkan melalui asupan oksigen selama bekerja, metode ini dinilai lebih akurat, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan peralatan yang cukup mahal dan hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan dengan waktu singkat (Tarwaka dkk., 2004). Pengukuran tidak langsung yaitu dengan menghitung denyut nadi kerja dengan mengukur cardiovascular strain. Salah satu caranya yaitu dengan mengukur denyut nadi pemulihan (Tarwaka dkk., 2004). Pengukuran denyut nadi pemulihan dilakukan pada saat setelah subjek berhenti bekerja, sehingga tidak mengganggu atau menghentikan pekerjaan (Tarwaka dkk., 2004). Menurut National Institute For Occupational Safety And Health (2014), denyut nadi pemulihan ditentukan setelah 1 menit saat istirahat. Mekanisme pengukuran

(36)

19

dilakukan dengan membandingkan denyut nadi yang diambil setelah 3 menit. Denyut nadi pada pengukuran ketiga dilambangkan sebagai denyut nadi pemulihan. Denyut nadi pemulihan dianggap meningkat jika lebih besar dari 110 bpm dan tenaga kerja harus tetap istirahat sampai denyut nadi kurang dari 90 bpm.

Jika denyut nadi pemulihan tidak langsung diperoleh, maka perlu dilakukan pengaturan ulang pekerjaan berupa tugas, organisasi kerja, dan lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan beban kerja bertambah. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan meraba nadi di pergelangan tangan sambil menghitung waktu pengukuran, atau dapat menggunakan alat pulse oximeter (Tarwaka dkk., 2004).

b) Beban Kerja Mental

Beban kerja mental merupakan perbedaan antara tuntutan kerja mental dengan kemampuan mental yang dimiliki oleh pekerja yang bersangkutan (Siahaan & Pramestari, 2021). Beban kerja mental disebabkan oleh aktivitas mental seperti pekerjaan yang diharuskan untuk selalu memiliki rasa waspada yang tinggi dalam waktu lama (Siahaan & Pramestari, 2021). Menurut Haga dkk. (2002) dalam Wulanyani (2013), beban kerja mental merupakan tingkatan kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan aspek-aspek beban kerja mental,

(37)

20

seperti kelelahan mental, keadaan monoton, menurunnya rasa waspada, dan kejenuhan mental.

Secara umum, pengukuran beban kerja mental dilakukan menggunakan daftar pertanyaan mengenai apa atau bagaimana rentang beban yang dirasakan para pekerja pada tugas-tugas yang dikerjakan (Siahaan & Pramestari, 2021). Beban kerja mental dapat diukur menggunakan beberapa jenis metode (Paxion dkk., 2014), antara lain:

1) Subjective Workload Assessment Technique (SWAT)

Beban kerja mental yang dianalisa pada metode ini dengan melihat 3 faktor penting yakni waktu, mental, dan psikologis (Sriyanto & Arvianto, 2018). Reid dan Nygren (1988) dalam Sriyanto dan Arvianto, (2018) Kelebihan metode ini karena mudah digunakan, tidak mengganggu pekerjaan subjek yang diteliti, cukup sensitif dengan berbagai jenis beban kerja mental. Kekurangan dari metode ini karena membutuhkan waktu yang lama, cukup mudah bila objek penelitian berjumlah sedikit, membutuhkan bantuan Software statistik SPSS untuk memudahkan perhitungan (Sriyanto &

Arvianto, 2018).

2) NASA-Task Load Index (TLX)

Metode ini dikembangkan oleh Sandra G.Hart dari NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland pada tahun 1981. Beban kerja mental yang diukur menggunakan

(38)

21

metode ini dipertimbangkan dari enam dimensi yaitu tuntutan mental, tuntutan fisik, performansi, tuntutan waktu, tingkat usaha, dan tingkat frustasi. Metode ini mudah digunakan, sensitif terhadap berbagai kondisi pekerjaan, setiap aspek perhitungan dapat memberikan informasi mengenai struktur tugas (Okitasari & Pujotomo, 2018). NASA TLX dianggap lebih baik daripada metode SWAT, dilihat dari segi kemudahan, kecepatan hingga kelengkapan informasi, lebih cepat dan sederhana, serta lebih praktis (Okitasari &

Pujotomo, 2018).

3) Modified Cooper Harper Scaling

Beban kerja yang dianalisis oleh metode ini yaitu beban kerja fisik dan mental pada pekerjaan yang melakukan berbagai aktivitas (Siahaan & Pramestari, 2021). Kelebihan metode ini sangat mudah digunakan, dapat menganalisa gabungan perbedaan kerja fisik dan mental, efektif dan layak digunakan untuk berbagai bidang pekerjaan terutama untuk pekerjaan yang membutuhkan tanggapan, pemantauan, evaluasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan (Siahaan &

Pramestari, 2021). Namun, metode ini hanya dapat digunakan untuk pekerjaan penerbangan (Widyanti, dkk., 2010).

4) Rating Scale Mental Effort (RSME)

Pada metode ini, beban kerja diukur menggunakan skala rating dari pekerjaan mental (Siahaan & Pramestari, 2021).

(39)

22

Kelebihan metode RSME yaitu lebih sederhana, murah, cepat respon, dapat diaplikasikan di tempat kerja tanpa mengganggu kegiatan pekerja (Widyanti dkk. 2010). Namun aspek validitas dan reliabilitas metode ini belum meyakinkan (Widiyanti dkk, 2013).

Dalam mengukur beban kerja fisik, penelitian ini menggunakan metode tidak langsung dengan menghitung denyut nadi kerja, karena metode ini tidak mengganggu pekerja dalam melaksanakan pekerjaan. Sedangkan untuk beban kerja mental, penelitian ini menggunakan daftar pertanyaan dari kuesioner NASA TLX. Metode ini sudah banyak digunakan oleh peneliti- peneliti lain, karena metode ini lebih akurat daripada metode lain (Wulanyani, 2013). Selain itu, metode NASA TLX dapat menganalisa beban kerja berdasarkan aspek aspek yang berkaitan dengan kinerja (Wulanyani, 2013). Seperti penelitian yang dilakukan Erwani (2017) menggunakan metode NASA-TLX, diketahui pengemudi bus mengalami beban kerja mental yang tinggi (Erwani, 2017).

b. Durasi mengemudi

Pada saat bekerja, pengemudi harus membatasi durasi mengemudinya terutama saat tengah malam dan dini hari, serta diiringi dengan waktu istirahat yang cukup (Syahlefi dkk., 2014).

Menurut Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa waktu kerja pengemudi

(40)

23

kendaraan bermotor umum paling lama adalah 8 (delapan) jam sehari.

Waktu kerja yang melebihi batas waktu maksimum akan berpengaruh pada efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan, menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka dkk., 2004). Selain itu, kelelahan dapat dipengaruhi oleh sikap kerja yang monoton (Maurits, 2011). Kelelahan pengemudi dipengaruhi oleh posisi duduk apalagi jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama, hal ini disebabkan karena otot perut yang semakin elastis, tulang belakang melentur, dan otot bagian mata terkonsentrasi (Kuswana, 2014).

c. Waktu istirahat

Waktu istirahat sangat berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja, khususnya pada durasi istirahat dan ketepatan penggunaan waktu istirahat (Hikmah, 2020). Untuk melakukan kerja dan aktivitas sehari-hari dengan nyaman, tubuh membutuhkan kesempatan untuk melakukan pemulihan pada waktu istirahat (Hikmah, 2020). Pada pekerjaan yang monoton, istirahat setiap 1-2 jam selama 5-15 menit cukup mampu mengurangi kelelahan, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi resiko dari kesalahan atau kecelakaan (Lerman dkk., 2012).

Waktu istirahat yang proporsional dapat menurunkan tingkatan kelelahan kerja (Maurits, 2011). Menurut Undang-Undang Lalu Lintas No.22 Tahun 2009 Pasal 90 ayat 3 setiap pengemudi

(41)

24

bermotor umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.

d. Shift kerja

Shift kerja adalah pengaturan jam kerja pengganti atau sebagai tambahan kerja pagi dan siang (Maurits, 2011). Shift rotasi dalam pergantian jadwal kerja dibagi menjadi pagi, sore, dan malam (Hasanah dkk., 2013). Pengaturan shift kerja diketahui dapat menimbulkan kelelahan mental dan stress kerja (Wicaksono, 2019).

Menurut Maurits & Widodo (2008) dalam Hasanah dkk. (2013), Pekerja shift malam berisiko 28% lebih tinggi mengalami kecelakaan. Seharusnya waktu malam digunakan untuk tidur dan istirahat, jika digunakan untuk bekerja maka akan bertentangan dengan irama sirkadian dan tubuh menjadi mudah lelah (Wicaksono, 2019).

3. Faktor lingkungan a. Suhu

Suhu lingkungan kerja yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan kelelahan kerja (Rizedin Rasjid dkk., 1989 dalam Rinawati & Astuti, 2017). Tingginya suhu lingkungan kerja dapat menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, menurunnya aktivitas organ-organ pencernaan, meningkatkan suhu tubuh dan produksi keringat (Rizedin Rasjid dkk., 1989 dalam Rinawati & Astuti, 2017). Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018

(42)

25

Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja, suhu yang harus dipertahankan agar nyaman di ruang kerja adalah 23°C – 26°C dengan kelembaban 40% - 60%. Semakin tidak nyaman suhu lingkungan tempat kerja maka akan semakin besar peluang terjadinya kelelahan.

b. Pencahayaan

Kemampuan mata untuk melihat objek dengan jelas ini sangat bergantung pada kualitas pencahayaan pada lingkungan kerja (Riadyani & Herbawani, 2022). Pencahayaan yang baik tentunya menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman, sehingga mendukung kesehatan kerja (Putra dkk., 2021). Sebaliknya, pencahayaan yang kurang menyebabkan kelelahan pada mata bahkan dapat menimbulkan kerusakan mata (Putra dkk., 2021).

Kelelahan mata dapat menambah beban kerja, lebih mudah lelah, membutuhkan waktu istirahat yang lebih sering, kehilangan jam kerja, mengurangi kepuasan kerja, berisiko terjadinya kesalahan, menurunkan produktivitas dan konsentrasi (Riadyani & Herbawani, 2022).

c. Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan didengar oleh telinga (Suma’mur, 2009). Paparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan, tubuh menjadi gelisah, dan kehilangan konsentrasi (Yusuf, 2013). Menurut Heru (2002) dalam Rinawati & Astuti (2017) kelelahan akibat paparan kebisingan

(43)

26

dipengaruhi oleh gangguan saraf otonom yang dapat meningkatkan metabolisme tubuh dan ketegangan otot.

Jika tingkat kebisingan yang diterima oleh pekerja melebihi dari NAB yang sudah ditetapkan, tentunya akan menimbulkan dampak buruk untuk pekerja tersebut. Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan di tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam bekerja sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu adalah 85 dBA.

d. Getaran

Penggunaan kendaraan dapat menyebabkan gangguan pada tubuh pengemudi akibat dari posisi kerja, mekanisme kontrol kendaraan, dan getaran (Patandung & Widowati, 2022). Pengemudi yang mengendarai suatu alat atau kendaraan dapat terpapar getaran yang berasal dari kendaraan itu sendiri (Alfaridah & Febriyanto, 2022). Selain dari kendaraan, getaran yang dirasakan pengemudi juga dipengaruhi oleh karakteristik permukaan jalan (Kristanto, 2013).

Getaran yang ditimbulkan oleh mesin kendaraan atau yang disebut whole body vibration, merupakan kondisi duduk statis dengan efek getaran ke seluruh tubuh yang dapat menimbulkan kelainan muskuloskeletal, yaitu cedera pada spinal cord yang dapat

(44)

27

menimbulkan rasa nyeri (Ningsih & Hakim, 2020). Meskipun pengemudi bus tidak terpapar getaran seluruh tubuh secara langsung dibanding pengemudi truk, akan tetapi pengemudi bus bekerja relatif lebih lama pada posisi statis, memiliki keterikatan terhadap jadwal, rute yang rumit, kemacetan jalan antar kota dan provinsi, serta peningkatan jumlah dan kepadatan penumpang (Golinko dkk., 2020).

F. Dampak Kelelahan Kerja

Kelelahan dalam jangka waktu lama dapat menjadi kelelahan kronis, dimana perasaan lelah yang dirasakan tidak hanya pada saat selesai bekerja, melainkan selama bekerja, bahkan sebelum bekerja (Suma’mur, 2009).

Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kelelahan dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja (Atiqoh dkk., 2014). Kelelahan dapat menyebabkan kecelakaan kerja, turunnya produktivitas kerja, serta turunnya kemampuan kerja dan kemampuan tubuh para pekerja (Sucipto, 2014).

Kelelahan pengemudi dianggap sebagai penyebab 15 – 30% dari semua kecelakaan lalu lintas (Anund dkk., 2016). Pengemudi yang lelah berkurangnya perhatian atau konsentrasi dan mengantuk, sehingga menurunkan rasa waspada yang berisiko terjadinya kecelakaan lalu lintas (Fadel dkk., 2014). Kondisi lelah juga dapat memperlambat waktu reaksi pengemudi pada saat situasi darurat (E. Purwanto dkk., 2018). Kecepatan reaksi manusia berkisar antara 0,4 detik sampai 0,8 detik, namun kecepatan dapat berubah menjadi lambat apabila mengalami kelelahan (Lulliw dkk., 2005 dalam Febrianti dkk., 2016)

(45)

28

Setiap kejadian kecelakaan merupakan kerugian (Suma’mur, 2009).

Menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 229, kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan kerusakan kendaraan atau barang, luka ringan, dan meninggal dunia. Pada pasal 235 peraturan ini disebutkan, jika terdapat korban cedera dan/atau korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas maka pengemudi, pemilik, perusahaan wajib memberikan bantuan berupa biaya pengobatan kepada korban dan/atau pemakaman kepada ahli waris korban dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Serta, pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas juga wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.

G. Pengukuran Kelelahan Kerja

Menurut Maurits (2011), terdapat macam-macam alat ukur kelelahan kerja, antara lain:

1. Pengukuran Waktu Reaksi

Waktu reaksi adalah jeda waktu dari pemberian rangsangan sampai timbulnya respons (Maurits, 2011). Pekerja yang mengalami kelelahan akan membutuhkan waktu reaksi yang lebih lama (Maurits, 2011). Pengukuran kelelahan dilakukan menggunakan alat ukur waktu reaksi dengan munculnya cahaya lampu dan bunyi suara sebagai stimuli (Tarwaka dkk., 2004).

2. Uji finger-tapping (uji ketuk jari)

Uji finger-tapping adalah alat pengukuran kelelahan dengan mengukur kecepatan maksimal ketukan jari tangan dalam periode

(46)

29

tertentu (Maurits, 2011). Uji ini dianggap sangat lelah untuk mengukur kelelahan akibat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi proses pengetukkan jari-jari tangan (Grandjean, 1995 dalam Maurits, 2011). Selain itu, pengukuran kelelahan ini tidak dapat digunakan untuk berbagai macam pekerjaan kerja.

3. Uji flicker-fusion

Grandjean (1995) dalam Maurits (2011) menyebutkan uji flicker-fusion digunakan untuk menilai kelelahan pada mata.

Sedangkan, untuk kelelahan mata yang berat menggunakan uji critical flicker-fusion (Maurits, 2011). Mekanisme pengukuran uji ini yaitu dengan menghitung kecepatan berkelipnya cahaya yang dinaikkan secara bertahap sampai kecepatan tertentu hingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu (Maurits, 2011).

4. Metode blink

Pengukuran ini dilakukan untuk menganalisa kelelahan tubuh secara keseluruhan dengan menghitung kedipan mata secara cepat dan berulang-ulang (Fukui dan Marioka (1971) dalam Maurits (2011).

Namun, pengukuran kelelahan ini tidak dapat digunakan untuk berbagai macam pekerjaan (Maurits, 2011).

5. Stroop test

Pada pengukuran ini pekerja diminta untuk mengucapkan nama warna tinta suatu seri huruf atau kata (Maurits, 2011). Broadbent (1979) dalam Maurits (2011) berpendapat bahwa pengukuran ini

(47)

30

dianggap kurang dinilai kurang cukup untuk mengetahui perasaan lelah yang dirasakan pekerja.

6. Subjective Self Ratting Test (SSRT)

Subjective self ratting test yang dikembangkan oleh industrial fatigue research comitte (IFRC) Jepang merupakan salah satu metode pengukuran kelelahan berbentuk kuesioner untuk mengetahui tingkat kelelahan subjektif (Maurits, 2011). Kuesioner ini berisi 30 item pertanyaan gejala kelelahan umum yang bersumber dari international fatigue research comitte of japanese association of industrial health (Maurits, 2011). 10 item pertama mengindikasikan pelemahan aktivitas, 10 item kedua mengindikasikan kelemahan motivasi, dan 10 item ketiga menetapkan kelelahan yang dirasakan oleh pekerja (Maurits, 2011).

7. Uji Kashiwagi

Uji kashiwagi merupakan pengukuran kelelahan dengan menggunakan 20 butir daftar pertanyaan mengenai dimensi pelemahan aktivitas dan pelemahan motivasi (Maurits, 2011). Kogi dan Saito (1971) dalam Maurits (2011) memberikan tanggapan bahwa hasil dari skala ini tidak dapat menggambarkan faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja, karena skala ini bukan merupakan pendekatan yang menentukan kelelahan kerja.

8. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) KAUPK2 merupakan kuesioner untuk mengukur perasaan kelelahan kerja yang dirancang oleh Setyawati (1994) khusus bagi

(48)

31

pekerja indonesia. KAUPK2 berisi 17 butir pertanyaan yang telah diuji validitas dan reliabilitas untuk mengukur perasaan lelah (Maurits, 2011).

Dari beberapa metode yang telah disebutkan diatas, metode pengukuran kelelahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) yang merupakan pengukuran kelelahan secara subjektif. Menurut Melissa & Dwiyanti (2018), kelelahan bersifat subjektif bagi setiap orang karena sering dikaitkan dengan perasaan. Selain itu, KAUPK2 merupakan metode pengukuran kelelahan kerja yang sesuai dengan pekerja indonesia serta telah diuji validitas dan reliabilitasnya (Maurits, 2011).

H. Pencegahan Kelelahan Kerja

Kelelahan dapat dikurangi atau dicegah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memperhatikan keadaan umum di lingkungan tempat kerja, seperti pengaturan jam kerja, pengaturan waktu istirahat, menyediakan tempat atau waktu istirahat, melakukan rekreasi dan lain sebagainya (suma’mur, 2009). Menurut Occupational Safety and Health, (2003), kelelahan dapat dikurangi dengan menyediakan waktu istirahat, tidur yang cukup, relaksasi, gizi yang cukup, kegiatan yang menarik, kondisi kesehatan yang baik, adanya kegiatan yang membangkitkan semangat, pemberian reward untuk pekerja, dukungan teman dan keluarga.

Kelelahan dapat dicegah dengan membentuk Fatigue Risk Management System (FRMS) yang merupakan alat berbasis data untuk terus memantau dan memelihara risiko keselamatan terkait kelelahan,

(49)

32

berdasarkan prinsip dan pengetahuan ilmiah serta pengalaman operasional yang bertujuan untuk memastikan pekerja yang bekerja di tingkat kewaspadaan dengan mengetahui rata-rata riwayat waktu tidur (Dawson dkk., 2014). Pada pengemudi, strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kelelahan diantaranya menyediakan pengemudi cadangan, membuat suasana di jalan menjadi sangat menyenangkan, dan memperlama dan meningkatkan frekuensi waktu istirahat (Lumba & Rismalinda, 2015).

I. Pengemudi

Menurut Undang Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Mengemudi merupakan pekerjaan yang monoton, karena pengemudi hanya duduk untuk mengendarai kendaraan dengan konsentrasi yang penuh (Salsabila dkk., 2022). Mengemudi merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga pikiran, tenaga fisik, serta tenaga pikiran dan fisik (Indah, 2011 dalam La'bi, 2017). Hal ini ditunjukan bahwa pengemudi memiliki tuntutan yang tinggi pada saat bekerja (MacHin & Hoare, 2008).

Pengemudi bus dituntut untuk lebih banyak berinteraksi dengan situasi lalu lintas yang dinamis, berinteraksi dengan penumpang, serta secara teratur menghentikan dan menjalankan kendaraan (Anund dkk., 2016). Pengemudi memiliki tanggung jawab penuh atas kendaraan yang dikendarainya. Pengemudi adalah salah satu pekerja yang memiliki peran penting dengan kondisi keselamatannya, terutama untuk keselamatan jalan umum (Santos & Lu, 2016). Selain itu, pengemudi juga bertanggung jawab

(50)

33

penuh untuk menjaga keselamatan jiwa penumpang dan kendaraannya untuk menghindari kelalaian yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Adytama & Muliawan, 2020).

J. Kerangka Teori

Kerangka teori ini merupakan kumpulan dari beberapa teori yang dikemukakan oleh penelitian sebelumnya mengenai kelelahan kerja. Secara umum faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni faktor individu, faktor pekerjaan, dan faktor lingkungan.

Kerangka teori ini dituangkan dalam bagan berikut:

(51)

34

KERANGKA TEORI

Modifikasi Teori Tarwaka (2004); Suma’mur (2009); Maurits (2011); Marsaid dkk. (2013); Setyowati dkk. (2014); Syahlefi dkk. (2014); Arini

& Dwiyanti (2017) Gambar 2. 1 Kerangka Teori Faktor Individu

1. Usia 2. Status Gizi 3. Status Kesehatan 4. Kuantias Tidur 5. Kualitas Tidur

Faktor Pekerjaan 1. Beban Kerja Mental 2. Beban kerja Fisik 3. Durasi mengemudi 4. Waktu istirahat 5. Shift kerja

Faktor Lingkungan 1. Suhu

2. Pencahayaan 3. Kebisingan 4. Getaran

Kelelahan Kerja Kecelakaan Lalu Lintas

(52)

35

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan sebelumnya, dimana terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada pengemudi bus. Faktor individu berupa usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur. Faktor pekerjaan berupa beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi, waktu istirahat, dan shift kerja. Kemudian faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pengemudi yaitu suhu, pencahayaan, kebisingan, dan getaran.

Namun peneliti tidak mengambil seluruh faktor untuk diteliti. Dari faktor individu, peneliti hanya ingin mengetahui bagaimana hubungan usia, status gizi, kuantitas tidur, dan kualitas tidur pada kelelahan kerja. Faktor status kesehatan tidak dijadikan variabel penelitian ini. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak adanya hubungan bermakna antara status kesehatan dengan kelelahan kerja.

Pada faktor pekerjaan, peneliti hanya ingin mengetahui bagaimana hubungan beban kerja mental, beban kerja fisik, durasi mengemudi, dan waktu istirahat. Faktor shift kerja tidak dijadikan variabel pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan pengemudi bus di PT X tidak memiliki shift kerja.

Pada faktor lingkungan, faktor suhu tidak dijadikan variabel penelitian ini, hal ini dikarenakan pengemudi terbiasa mengatur suhu kendaraan sesuai

Gambar

Tabel 2. 1 Klasifikasi IMT
Gambar 3. 1 Kerangka konsep Faktor Individu
Tabel 3. 1 Definisi Operasional
Tabel 4. 1 Daftar Trayek Angkutan Bandara PT X Tahun 2022
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja, umur dan kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja pada pekerja Porter Airlines, untuk itu diharapkan kepada

Skripsi berjudul Beban Kerja dan Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Buruh Angkut Gudang Distribusi Bulog Mangli Jember telah diuji dan disahkan oleh Fakultas

2011.    Analisis Beban Kerja Fisik dan Mental pada Pengemudi. Bus Damri di Perusahaan Umum Damri Ubk Surakarta

Skripsi berjudul Beban Kerja dan Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Buruh Angkut Gudang Distribusi Bulog Mangli Jember telah diuji dan disahkan oleh Fakultas

Dari hasil analis tersebut tidak memiliki hubungan antara jenis kelamin, status gizi dengan kelelahan kerja pada penjahit Ramin taylor, sedangkan adanya persamaan antara beban

Hubungan Beban Kerja Fisik, Frekuensi Olahraga, Lama Tidur, Waktu Istirahat dan Waktu Kerja dengan Kelelahan Kerja (Studi Kasus pada Pekerja Laundry Bagian Produksi di

Kesimpulan Hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa didapatkan bahwa faktor-faktor yang memiliki pengaruh dengan kelelahan fisik adalah, jenis kelamin karyawan dengan kelelahan

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh kelelahan kerja, stres kerja, motivasi kerja dan beban kerja terhadap kinerja perawat di RSUD Daya Kota Makassar terdapat 100 responden