Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata philos (cinta) atau philia (persahabatan) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat.
Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Terdapat tiga komponen filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut:
1. Ontologi, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dari segi ontologi, membahas tentang hakikat suatu ilmu yang memunculkan pertanyaan seperti obyek apa yang telah ditelaah ilmu?, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?, bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?, bagaimana prosedurnya?, dan lainnya.
2. Epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris.
Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Pada segi epistimologi, membahas tentang bagaimana cara mendapatkan suatu pengetahuan ataupun ilmu, yang memunculkan pertanyaan seperti bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?, bagaimana prosedurnya?, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?, apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?, apa kriterianya?, sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?, dan lainnya.
3. Aksiologi, dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Pada segi aksiologi membahas tentang manfaat atau kegunaan suatu ilmu atau pengetahuan, pertanyaan yang dapat muncul dari segi ini seperti untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?, bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?, bagaimana penetuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral?, bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?, dan lainnya (Ghani &
Al-Mansyur, 2015).
Sumber: Ghani, D., & Al-Mansyur, F. (2015). Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian (Issue March).