• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Profesional: Keajaiban yang Perlu Diterima

N/A
N/A
Halif Din

Academic year: 2024

Membagikan " Menjadi Profesional: Keajaiban yang Perlu Diterima"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

D

alam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.

Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya.

Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi yang telah familiar ditengah masyarakat. Akan tetapi guru...? Sudahkan menjadi profesi dengan kriteria diatas. Guru jelas sebuah profesi. Akan tetapi sudahkah ada sebuah profesi yang

profesional...? Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut tidak dimiliki, maka tidak dapat disebut guru.

Artinya tidak sembarangan orang bisa menjadi guru.

Namun pada kenyataanya, banyak ditemui menjadi guru seperti pilihan profesi terakhir. Kurang bonafide, kalau sudah mentok tidak ada pekerjaan lain atau sebuah status sosial yang lekat dengan kemarginalan, gaji kecil, tidak sejahtera malah dibawah garis kemisikinan. Bahkan guru ada yang dipilih asal comot yang penting ada yang mengajar. Padahal guru adalah operator sebuah kurikulum pendidikan.Ujung tombak pejuang pengentas kebodohan. Bahkan guru adalah mata rantai dan pilar peradaban dan benang merah bagi proses perubahan dan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa.

Mengingat guru adalah profesi yang sangat idealis, pertanyaannya adakah guru profesional itu...?

Dan bagaimana melahirkan sosok guru yang profesional tersebut...?

(2)

Guru Profesional

Kalau mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis, humannis bahkan identik dengan citra kemanusiaan.

Karena ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa.Ada beberapa kriteria untuk menjadi guru profesional.

Memiliki skill/keahlian dalam mendidik atau mengajar

Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah:

 Memiliki kemampuan intelektual yang memadai

 Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan

 Keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau metodelogi pembelajaran

 Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan

 Kemampuan mengorganisir dan problem solving

 Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik Personaliti Guru

Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.

Memposisikan profesi guru sebagai The High Class Profesi

Di negeri ini sudah menjadi realitas umum guru bukan menjadi profesi yang berkelas baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila menjadi Teller di sebuah Bank, lebih terlihat high class dibandingkan guru. jika ingin menposisikan profesi guru setara dengan profesi lainnya, mulai di blow up bahwa profesi guru strata atau derajat yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat. Karena mengingat begitu fundamental peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat.

Mungkin kita perlu berguru dari sebuah negara yang pernah porak poranda akibat perang.

Namun kini telah menjelma menjadi negara maju yang memiliki tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang sangat tinggi. Jepang merupakan contoh bijak untuk kita tiru. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua, dengan dibom atom dua kota besarnya, Hirohima dan Nagasaki, Jepang menghadapi masa krisis dan kritis kehidupan berbangsa dan bernegara yang

(3)

sangat parah. Namun ditengah kehancuran akibat perang, ditengah ribuan orang tewas dan porandanya infrastruktur negaranya, Jepang berpikir cerdas untuk memulai dan keluar dari kehancuran perang. Jepang hanya butuh satu keyakinan, untuk bangkit. Berapa guru yang masih hidup...?

Hasilnya setelah berpuluh tahun berikut, semua orang terkesima dengan kemajuan yang dicapai Jepang. Dan tidak bisa dipungkiri, semua perubahan dan kemajuan yang dicapai, ada dibalik sosok Guru yang begitu dihormati dinegeri tersebut.

Kini, lihatlah Indonesia, negara yang sangat kurang respek dengan posisi guru. Negara yang kurang peduli dengan nasib guru. Kini lihatlah hasilnya. Apabila mengacu pada Human Index Development (HDI), Indonesia menjadi negara dengan kualias SDM yang memprihatinkan.

Berdasarkan HDI tahun 2007, Indonesia berada diperingkat 107 dunia dari 177 negara. Bila dibandingkan dengan negara sekitar, tingkat HDI Indonesia jauh tertinggal.Contoh Malaysia berada diperingkat 63, Thailand 78, dan Singapura 25. Indonesia hanya lebih baik dari Papua Nugini dan Timor Leste yang berada diposisi 145 dan 150.

HDI merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu negara. HDI adalah kumpulan penilaian dari 3 kategori, yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Menjadi jelaslah bahwa, sudah saatnya Indonesia menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan. Apabilah hal ini tidak dibenahi, bukan hal mustahil daya saing dan kualitas manusia Indonesia akan lebih rendah dari negara yang baru saja merdeka seperti Vietnam atau Timor Leste.

Program Profesionalisme Guru

 Pola rekruitmen yang berstandar dan selektif

 Pelatihan yang terpadu, berjenjang dan berkesinambungan (long life eduction)

 Penyetaraan pendidikan dan membuat standarisasi mimimum pendidikan

 Pengembangan diri dan motivasi riset

 Pengayaan kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa menjadi guru) Peran Manajeman Sekolah

 Fasilitator program Pelatihan dan Pengembangan profesi

 Menciptakan jenjang karir yang fair dan terbuka

 Membangun manajemen dan sistem ketenagaan yang baku

 Membangun sistem kesejahteraan guru berbasis prestasi

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru

Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial.

Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.

Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan

(4)

yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.

Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).

Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.

(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru.

Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.

(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.

Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.

Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.

(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.

(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).

(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.

Melahirkan Guru Profesional

Secara sederhana, persoalan guru, khususnya guru profesional, dapat dijawab dengan tiga kata kunci utama yaitu (1) sistem, (2) kesejahteraan, dan (3) kewenangan peran. Sistem di sini terdiri dari tiga sub, yaitu sistem pendidikan guru Indonesia (pre-service), sistem seleksi guru, dan juga sistem peningkatan mutu guru (in-service). Sedangkan kesejahteraan lebih cenderung kepada gaji (saya ngilu menyebut upah) yang selaras dengan profesi guru.

Kewenangan peran dapat diterjemahkan dengan ketersediaan ruang, waktu, kesempatan serta pengakuan bagi profesi guru dalam menentukan jalur mana yang paling baik untuk ditempuh dalam melaksanakan proses pendidikan.

(5)

Diakui atau tidak, lemahnya sistem pendidikan guru Indonesia mulai dari zaman Kweekschool hingga FKIP / FIP seperti sekarang ini menjadi salah satu penyebab sulitnya memajukan

pendidikan negeri ini. Tidak perlu berkisah Kweekschool dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru ( PTPG ) atau jenis LPTK lainnya, untuk LPTK sekarang saja seperti FKIP, kurikulum dan proses pembelajaran yang berjalan masih jauh dari yang diharapkan.

Mungkin pembaca tidak bisa percaya bagaimana LPTK di Aceh seperti FKIP Unsyiah hingga saat ini masih mengernyitkan dahi kalau dikait-kaitkan dengan label LPTK bermutu. Bagaimana tidak, relevansi antara rancangan kurikulum yang disusun dengan impelementasi isi kurikulum dilapangan saja masih membingungkan. Belum lagi soal evaluasi dan penilaian pendidikan yang hingga sekarang masih begitu longgar, dimana hal ini sangat berpengaruh bagi pengendalian lulusan yang unggul dan berkompeten.

Begitu juga halnya dengan seleksi CPNS untuk formasi guru yang selama ini diterapkan. Ujian tulis seakan-akan menjadi lisensi bagi terjaringnya manusia-manusia baru yang potensial menjadi guru profesional. Seolah-olah tidak ada suatu kesadaran bahwa kualifikasi guru tidak sebatas pada kepemilikan kapasitas keilmuan dibidangnya, namun juga wajib memiliki

keterampilan mentransfer ilmu pengetahuan, keahlian mendidik, kepatutan dan kelayakan untuk diteladani, dan lain sebagainya, yang semua itu tidak dapat diwakili lewat ujian tulis semata.

Sedangkan pada tahapan peningkatan kualitas guru, yang sebenarnya perlu dilakukan secara intensif adalah men-diagnosa kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh guru untuk kemudian diberi resep yang sesuai. Caranya adalah dengan memperbanyak riset atau penelitian terpadu yang dapat dipelopori oleh insan-insan yang memiliki kapasitas yang besar di bidang pendidikan.

Sayangnya, mengutip kata ekonom Faisal Basri, negeri ini 'kikir riset'.

Yang selama ini sering dilakukan di daerah-daerah adalah pengikutsertaan guru dalam beragam seminar, pelatihan, penataran dan sejenisnya berkenaan dengan pendidikan, yang kebanyakan minim sekali kontribusinya bagi peningkatan profesionalisme guru.

Bahkan kadang-kadang kegiatannya sering berjalan hura-hura saja sebagai sebuah formalisasi program, yang kemudian disimpulkan dengan pemberian tanda keikutsertaan berupa sertifikat, cindera mata, dan bahkan uang saku.

Kita tentunya sepakat bahwa kegiatan semacam itu perlu terus diprogramkan, setidaknya untuk tujuan meningkatkan wawasan para guru. Namun demikian, semestinya peningkatan

profesionalisme guru perlu di-titik-berat-kan pada pengembangan penguasaan terhadap materi bidang studi yang ditekuninya. Selebihnya adalah dengan memotivasi sekaligus memfasilitasi guru untuk bisa tampil mandiri dalam menekuni profesinya.

Upaya selanjutnya, mungkin menjadi yang paling penting, adalah berkenaan dengan

kesejahteraan guru. Meskipun masih bisa diperdebatkan, namun besar kemungkinan bahwa kurangnya minat manusia cerdas Indonesia terhadap profesi guru adalah lantaran dihadapkan dengan kesejahteraan yang tidak menjamin kehidupan impian seperti halnya yang tersedia pada profesi lain seperti dokter, arsitek, usahawan, dsb.

Gaji guru yang besar sebenarnya tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi saja, tapi termasuk didalamnya adalah kebutuhan untuk menunjang peningkatan profesionalisme-nya.

(6)

Dengan gaji yang besar mungkin guru tidak perlu lagi disibukkan oleh tugas memerah akal pikiran guna mencukupi kebutuhan hidupnya dengan mencampuradukkan konsentrasi terhadap materi pelajaran yang semestinya harus maksimal untuk diajarkan kepada anak didiknya.

Terakhir, yang juga tak kalah penting adalah pendelegasian wewenang peran bagi para guru sendiri untuk menjalankan metode apa yang paling baik baginya untuk melaksanakan PBM serta penilaian apa yang akurat terhadap hasil yang diperoleh anak didik selama dibawah asuhannya.

Tentu tidak dapat dinafikan, hal semacam ini tidak sepenuhnya bisa menjamin lantaran potensi penyimpangan pun besar kemungkinan akan terjadi. Tapi, pemberian kepercayaan seperti ini setidaknya menjadi measure atau alat penguji bagi para guru, apakah layak disebut professional, atau mungkin sebaliknya. Entahlah.

DARI GURU KONVENSIONAL MENJADI GURU PROFESIONAL

“Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat menentukan kearah mana sebuah bangsa sedang menuju, tetapi ironisnya, buku yang secara kritis namun tanpa kesan menggurui membahas isu-isu penting yang sedang dihadapi oleh guru, para pendidik generasi mendatang, anak-anak kita sendiri di era globalisasi yang penuh tantangan ini amat jarang didapat.”

“Kehadiran buku ini patut disambut dengan acungan dua jempol, ia bahkan layak dijadikan bacaan wajib bagi para guru, calon guru, pembuat kebijakan, pemerhati pendidikan, maupun semua pihak yang mempunyai concern terhadap dunia pendidikan kita.”

—- (Zamira Elianna Loebis, Wartawati Majalah Time).

“Tulisan yang bagus, dan hal ini bisa diperbanyak oleh guru-guru lainnya, serta merupakan suatu prestasi yang terus ditingkatkan oleh semua guru yang mau maju.”

—- (Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto, Direktur SEAMOLEC (SEA Ministry of Edu Open Learning & Edu Center).

Sebuah buku yang ingin menjadikan para Guru Bangsa menjadi pionir dalam pembangunan negara. Buku ini tidak saja membahas akan mutu dan kompetensi guru itu sendiri, namun buku ini turut membahas sistem dan budaya dalam percaturan guru di Indonesia. Mulai dari anggaran pendidikan, sertifikasi guru, kemampuan bahasa Inggris guru, hingga permasalahan sekolah gratis dan gagalnya Ujian Akhir Nasional atau bahkan permasalahan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang Full AC, serta permasalahan-permasalahan sekolah lainnya di tanah air kita, semuanya mendapat porsi pembahasan sendiri-sendiri. Buku ini menjadi penting untuk dibaca oleh siapa saja. Baik guru, dosen, para pegawai DIKNAS, hingga kita-kita semua yang peduli dengan sistem pendidikan di Indonesia dan menolak akan adanya komersialisi pendidikan di tanah air.

Hargai pilihan profesi

Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan

(7)

profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik.

Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.

Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu.

Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi,

keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.

Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.

Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan.

Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya?

Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.

Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.

Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu.

Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?"

Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu.

GURU GEOGRAFI PROFESIONAL (Kenyataan - Tantangan - Pengembangan)

ABSTRAK

Fenomena dan isu-isu spasial-global, baik fisik-alamiah maupun sosial-budaya yang terjadi dipermukaan bumi sebagai ruang hidup serta kehidupan, merupakan sumber kajian yang

menantang studi geografi. Fenomena dan isu-isu tersebut, wajib menjadi pengetahuan tiap orang, terutama peserta didik yang mempelajari geografi. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi guru geografi untuk mengantisipasinya menjadi bahan pembelajaran yang bermakna, agar masyarakat, khususnya peserta didik tidak menjadi korban masalah spasial-global yang sedanag melanda kehidupan dewasa ini, dan hari-hari mendatang. Hanya disini, bagaimanakah kemampuan profesional guru-guru geografi dilapangan mampu menjadikan fenomena spasial-global itu menjadi materi pembelajaran yang mengembangkan pola pikir peserta didik menghadapi masalah-masalah spasial-global yang tidak terpisahkan dari kehidupan

PENGANTAR

Fenomena apaun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan

(8)

teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus.

Kita, terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang “membingungkan”.

Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.

Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat”.

FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL

Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga

meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.

Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan dewasa ini, meliputi ;

- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;

- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;

- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL sebagaimana seharusnya.

(9)

- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.

- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK) yang

mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).

- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan struktural.

Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.

Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat.

Untuk mengembangkan kemampuan profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.

Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.

PENGEMBANGAN PROFESI GURU

(10)

Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan jaman.

Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya.

Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi- tubi” dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi

“kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.

Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil, berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.

Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya.

Dalam buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain

“mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.

“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja,

melainkan membaca dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air

(11)

muka – perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan

“Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”.

Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel- artikel pendek, mapun buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.

Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai meninggal.

Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.

Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak menunggu

datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali”

dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari kemampuan bekerjasama.

Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta mengikuti informasi- informasi aktual melalui multi-media (grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.

Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan undang-undang,

(12)

tingkat profesional ini secara formal harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga mendapat pengakuan.

Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui pengembangan diri (personal

development) dengan membaca, belajar mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :

“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.

Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.

Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir pernyataan sebagai kesimpulan.

KESIMPULAN

1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.

2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini, menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.

3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.

4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.

(13)

5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus dikembangkan.

6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal

development) seperti membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan- pelatihan.

7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional serta strategis membangun

kemampuan profesional.

8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah, Dinas serta Departemen.

Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.

Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat berharga sekarang.

Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.

PUSTAKA RUJUKAN

Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara.

Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.

Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.

Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin Ltd.

Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma Mahardika.

Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.

Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Penerbit Alfabeta.

(14)

Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.

Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London, Heinemann Educational Books.

---

Wallahu 'alam bisawab

Guru Sebagai Profesi dan Standar Kompetensinya

Posted on Friday, 3rd June, 2005 Oleh : Suparlan *)

The effective teacher is one who is able to bring about intended learning outcomes.

(James M. Cooper)

Salah satu dari enam agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu dari Departemen Pendidikan Nasional adalah 'mencanangkan guru sebagai profesi". Seorang peserta diklat calon instruktur matematika sekolah dasar yang sedang mengikuti kegiatan diklat di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika Yogyakarta memberikan komentar positif bahwa agenda itu amat fokus dan mendasar. Sementara beberapa peserta lainnya memberikan respon yang netral- netral saya, yakni 'tunggu dan lihat' atau 'wait and see', sambil menaruh harapan yang besar agar agenda ini memiliki dampak yang amat positif bagi upaya peningkatan kompetensi, perlindungan dan kesejahteraan guru. Secara umum, banyak guru yang menaruh harapan yang besar terhadap pelaksanaan agenda tersebut, minimal sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap nasib guru.

Tulisan singkat ini akan menelaah makna yang tersurat dalam pengertian 'guru sebagai profesi', ciri-ciri guru sebagai profesi, dan standar kompetensi yang harus dimilikinya.

Guru, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan

Seorang widyaiswara senior di Pusdiklat Diknas secara terus terang menyatakan kekecewaannya terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lantaran dalam UU SPN itu hanya memuat dua patah kata guru, yakni pada Pasal 39 ayat 3 dan 4. Hal tersebut terjadi karena pengertian guru diperluas menjadi 'pendidik' yang dibedakan secara dikotomis dengan 'tenaga kependidikan', sebagaimana tertuang secara eksplisit dalam Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 'Pendidik' dijelaskan pada ayat 2, yakni: 'Pendidik

(15)

merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi'. Dalam ayat 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa 'Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru, dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen'. Sementara itu, istilah 'tenaga kependidikan' dijelaskan dalam Pasal 39 ayat 1 bahwa 'Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan'. Termasuk dalam kategori tenaga kependidikan dalam hal ini adalah kepala sekolah, pengawas, dan tenaga lain yang menunjang proses pembelajaran di sekolah.

Yang menjadi persoalan terminologis dalam hal ini adalah karena guru dikenal dengan empat fungsi sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni mengajar, mendidik, melatih, dan

membimbing. Dengan demikian, seharusnya pengertian guru lebih luas dibandingkan dengan pendidik. Bahkan dosen di perguruan tinggi pun sebenarnya juga disebut guru. Bahkan

perguruan tinggi juga menggunakan istilah Guru Besar. Selain itu, guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pun memiliki kompetensi untuk melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan menjalin hubungan dan kerja sama dengan orangtua siswa dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah.

Lepas dari persoalan terminologis tersebut, apakah ia akan tetap disebut guru ataukah pendidik, kedua-duanya mengemban tugas mulia sebagai tenaga profesi, yang memiliki kaidah-kaidah profesional sebagaimana profesi lain seperti dokter, akuntan, jaksa, hakim, dan sebagainya.

Profesi, Profesional, dan Profesionalisme

Dedi Supriadi (alm) dalam bukunya bertajuk "Mengangkat Citra dan Martabat Guru" telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah tersebut. Profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.

Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada penampilan atau

performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan tuntutan profesinya. Misalnya, 'pekerjaan itu dilaksanakan secara profesional'. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu, misalnya 'dia seorang profesional'.

Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau performance seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Menurut Dedi Supriadi, profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni 'well educated, well trained, well paid' atau memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai. Dengan kata lain profesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yang memadai.

(16)

Ciri-ciri Profesi

Dalam buku yang sama, Dedi Supriadi menjelaskan secara sederhana tentang ciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh, dokter disebut profesi karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru, memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak generasi muda bangsa. Kedua, profesi menuntut

keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut. Pengawasan terhadap penegakan kode etik dilakukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.

Jika kelima cirri atau karakteristik profesi tersebut diterapkan kepada pekerjaan guru, maka tampak jelas bahwa guru memiliki kelima karakteristik tersebut, meskipun ada beberapa karakteristik yang belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagai contoh, guru memiliki karakteristik pertama yang demikian jelas, yakni memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat.

Karakteristik kedua, untuk dapat menjadi guru yang profesional, guru juga harus memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk dapat memiliki kompetensi seperti itu maka guru harus memiliki disiplin ilmu yang diperoleh dari lembaga pendidikan, baik preservice education maupun

inservice training yang akuntabel. Disiplin ilmu itu antara lain adalah pedagogi (membimbing anak). Inilah karakteristik yang ketiga. Karakteristik keempat memang kedodoran di Indonesia, yakni kode etik dan penegakan kode etik. PGRI memang telah menyusun kode etik Guru

Indonesia, tetapi penegakannya memang belum berjalan. PGRI di masa lalu terlalu dekat dengan politik, dan kurang bergerak sebagai organisasi profesi. Penulis pernah mengikuti kegiatan konvensi NCSS (National Council for Social Studies) di Amerika Serikat. Organisasi ini

memang organisasi profesi murni yang bidang kegiatannya memang menyangkut urusan profesi.

Organisasi ini punya peranan penting dalam memberikan masukan penyempurnaan kurikulum social studies (IPS), inovasi tentang strategi dan metode pembelajaran IPS, media dan alat peraga, dan hal-hal yang terkait dengan profesi guru IPS. Apabila PGRI dalam menjadi induk bagi organisasi-organisasi guru mata pelajaran di Indonesia, alangkah idealnya. Ciri profesi yang kelima adalah adanya imbalan finansial dan material yang memadai. Dalam hal ini, gaji guru di Indonesia pada saat ini memang telah lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru pada tahun 60-an, yang pada ketika itu gaji profesi dalam bidang keuangan menjadikan iri bagi profesi lainnya. Gaji guru di Amerika Serikat pun pernah memprihatinkan. Pada tahun 1864, guru di Illionis digambarkan dengan citra yang memprihatinkan dilihat dari kesejahterannya, yakni 'has little brain and less money' atau 'punya otak kosong dan kantong melompong'. Dewasa ini, gambaran guru di Amerika Serikat tidaklah demikian lagi, karena kebanyakan guru di Amerika rata-rata merupakan tamatan perguruan tinggi, yang tidak hanya memiliki kemampuan

intelektual tetapi juga ekonomi dan sosial. Jikalau ingin pendidikan maju, dan para guru dapat memfokuskan diri dalam bidang profesinya sebagai guru --- bukan guru yang biasa di luar ---, maka gaji guru tidak boleh tidak memang harus memadai, setara dengan profesi lainnya, jika

(17)

tidak bisa lebih tinggi. Dalam hal pemberian penghargaan kepada guru, aspek kesejahteraan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk penghargaan secara materi, di samping bentuk penghargaan nonmateri, seperti pemberian piagam penghargaan berdasarkan prestasi kerja guru yang dapat dibanggakan. Adanya hyme guru memang dapat menjadi model penghargaan terhadap guru, meskipun ada orang yang berpendapat bahwa adanya hymne guru justru dipandang sebagai bentuk penghargaan semu.

Kompetensi Guru

Salah satu ciri sebagai profesi, guru harus memiliki kompetensi, sebagaimana dituntut oleh disiplin ilmu pendidikan (pedagogi) yang harus dikuasainya. Dalam hal kompetensi ini, Direktorat Tenaga Kependidikan telah memberikan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan

pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.

Pada tahun 70-an, Direktorat Tenaga Teknis dan Pendidikan Guru (Dikgutentis) merumuskan sepuluh kompetensi guru, yakni: (1) memiliki kerpibadian sebagai guru, (2) menguasai landasan kependidikan, (3) menguasai bahan pelajaran, (4) Menyusun program pengajaran, (5)

melaksanakan proses belajar mengajar, (6) melaksanakan proses penilaian pendidikan, (7) melaksanakan bimbingan, (8) melaksanakan administrasi sekolah, (9) menjalin kerja sama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat, (10) melaksanakan penelitian sederhana.

Pada tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan (nama baru Dikgutentis) telah mengeluarkan Standar Kompetensi Guru (SKG), yang terdiri atas tiga komponen yang saling kait mengait, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan potensi, dan (3) penguasaan akademik, yang dibungkus oleh aspek sikap dan kepribadian sebagai guru. Ketiga komponen kompetensi tersebut dijabarkan menjadi tujuh kompetensi dsasar, yaitu (1.1) penyusunan rencana

pembelajaran, (1.2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (1.3) peniliaian prestasi belajar peserta didik, (1.4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (2) pengembangan profesi, (3.1) pemahaman wawasan kependidikan, dan (3.2) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan). Ketujuh kompetensi dasar guru tersebut dapat diukur dengan seperangkat indikator yang telah ditetapkan.

Sebagai perbandingan, Australia Barat dikenal memiliki 'Competency Framework for Teachers'.

Kompetensi standar di Australia Barat ini meliputi lima dimensi, yakni; (1) facilitating student learning, (2) assessing student learning outcomes, (3) engaging in professional learning, (4) participating to curriculum and program initiatives in outcome focused environment, dan (5) forming partnerships within the school community. Dengan kata lain, lima bidang kompetensi dasar guru di Australia Barat adalah (1) memfasilitasi pembelajaran siswa, (2) menilai hasil belajar siswa, (3) melibatkan dalam pembelajaran profesional, (4) berperan serta untuk

pengembangan program dan kurikulum dalam lingkungan yang berfokus kepada hasil belajar, (5) membangun kebersamaan dalam masyarakat sekolah. Lima dimensi tersebut memiliki indikator yang berbeda untuk tiga jenjang guru, yakni phase 1 (level 1), phase 2 (level 2), dan phase 3 (level 3).

(18)

Jika dibandingkan dengan lima dimensi kompetensi di Australia Barat tersebut, maka tampaklah bahwa sepuluh kompetensi dasar menurut Dikgutentis agaknya jauh lebih lengkap, karena sudah mencakup kompetensi membangun kerjasama dengan sejawat dan masyarakat. Bahkan

mencakup kemampuan mengadakan penelitian sederhana, misalnya mengadakan penelitian tindakan kelas atau classroom action research. Dalam hal ini, tujuh kompetensi dasar menurut Dit Tendik belum mencakup kompetensi membangun kerja sama dengan sejawat dan

masyarakat.

Simpulan

Posisi guru sebagai salah satu profesi memang harus diakui dalam kehidupan masyarakat. Guru harus diakui sebagai profesi yang sejajar sama tinggi dan duduk sama rendah dengan profesi- profesi lainnya, seperti dokter, hakim, jaksa, akuntan, desainer interior, arsitektur, dan masih banyak yang lainnya.

Sebagai profesi, guru memenuhi kelima ciri atau karakteristik yang melekat pada guru, yaitu; (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat, dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (2) menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, (3)

memiliki kompetensi yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge), (4) memiliki kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut, (5) sebagai

konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok berhak memperoleh imbalan finansial atau material.

Salah satu ciri guru sebagai profesi yang amat penting adalah guru harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan competency framework for teachers di Australia Barat, sepuluh kompetensi guru menurut Dikgutentis sebenarnya lebih lengkap, karena terdapat kompetensi membangun kerjasama dengan sejawat dan masyarakat, serta mengadakan penelitian sederhana, yang kedua kompetensi tersebut tidak ada dalam tujuh kompetensi dasar guru yang diterbitkan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan.

Pencanangan guru sebagai profesi sebagai salah satu agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu memang amat fokus dan mendasar. Yang lebih dari hanya sekedar pencanangan adalah praktiknya, yakni implikasi dan konsekuensi dari pencanangan itu yang memang sedang

ditunggu-tunggu oleh masyarakat guru di Indonesia, misalnya lahirnya UU Guru, sertifikasi guru, uji kompetensi guru, dan last but not least adalah gaji guru. Insyaallah.

Bahan Pustaka:

 Dedi Supriadi (Editor). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakata: Direktorat Tenaga Kependidikan.

 Dedi Supriadi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

(19)

 Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar.

 Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

 Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru Sekolah Menengah Atas.

 Education Department of Western Australia. Competency Framework for Teachers.

 Suparlan. 1994. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Hikayat: Yogyakarta.

*) Kepala Bidang Pelayanan Teknis, Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika Yogyakarta.

Alumni S2 University of Houston, Texas.

PENTINGNYA KARYA TULIS ILMIAH DALAM PENGEMBANGAN PROFESI GURU

Tatang Sunendar

Widyaiswara madya LPMP jabar

Penjaminan mutu telah menjadi kata kunci dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. Hal ini menandakan mulai terjadinya kesadaran bersama akan pentingnya mutu dalam layanan

penyelenggaraan pendidikan formal . Fenomena ini sudah sepatutnya ditanggapi secara positif oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan upaya serius dan sistemik dalam peningkatan mutu pendidikan pada semua aspeknya. Salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya penjaminan mutu

pendidikan adalah memastikan bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi standar kompetensi dan melakukan pengembangan profesional yang berkelanjutan agar dari waktu ke waktu dapat meningkatkan mutu pembelajaran bagi peserta didik. Pembelajaran peserta didik merupakan salah satu hal paling penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan karena semua kegiatan pendidikan harus bermuara pada terjadinya peningkatan mutu lulusan.

Untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan diperlukan tenaga pendidikan yang profesional, adapun salah satu indikator profesionalisme pendidikan diukur sejauh mana yang bersangkutan mampu melakukan aspek pengembangan propesi seperti pembuatan karya tulis . Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji

kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

(20)

Pengembangan Profesi

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 84 tahun 1993 tanggal 24

Desember 1993 menyatakan bidang kegiatan guru terdiri dari unsur utama yang terdiri dari kegiatan pada bidang pendidikan, Proses belajar mengajar dan pengembangan profesi serta unsur penunjang, sedangkan apa yang dimaksud dengan pengembangan profesi itu ?, Pengembangan profesi seperti yang dimaksud dalam petunjuk teknis jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, “adalah kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi dan ketrampilan untuk peningkatan mutu baik bagi proses belajar mengajar dan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya maupun dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan”

Kegiatan pengembangan profesi dalam kegiatan sertifikasi guru merupakan bagian yang tidak terpisahkan mengingat,pengembangan profesi merupakan salah satu komponen dari sepuluh komponen yang menjadi bahan penilaian portopolio

Kegiatan guru yang termasuk pengembangan profesi

Beberapa kegiatan guru yang termasuk pengembangan profesi adalah sebagai berikut:

a. melaksanakan kegiatan karya tulis ilmiah dibidang pendidikan b. menemukan teknologi tepat guna dibidang pendidikan

c. membuat alat peraga atau alat bimbingan d. menciptakan karya seni seperti lagu, lukisan e. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum

Apa yang dimaksud dengan Karya Tulis Ilmiah (KTI)?

Karya tulis Ilmiah adalah laporan tertulis tentang (hasil) kegiatan ilmiah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan ilmiah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, tulisan ilmiah populer, buku, diktat dan lain-lain.

KTI pada kegiatan pengembangan profesi guru, terdiri dari 7 (tujuh) macam, dengan rincian sebagai berikut:

No Macam KTI Macam publikasinya Angka

(21)

kredit

1 KTI hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi

Berupa buku yang diedarkan secara nasional

12,5

Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas

6,0

Berupa buku yang tidak diedarkan secara nasional

6,0

Berupa makalah /PTK 4,0

2 KTI yang merupakan tinjuan atau gagasan sendiri dalam bidang pendidikan

Berupa buku yang diedarkan secara nasional

8,0

Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas

4,0

Berupa buku yang tidak diedarkan

secara nasional 7,0

Berupa makalah 3,5

3 KTI yang berupa tulisan ilmiah popular yang disebarkan melalui media masa

Berupa tulisan (artikel ilmiah)

yang dimuat pada media masa 2,0

4 KTI yang berupa tinjuan, gagasan, atau ulasan ilmiah yang disampaikan

Berupa makalah dari prasaran yang disampaikan pada pertemuan

2,5

(22)

sebagai prasaran dalam pertemuan ilmiah

ilmiah

5 KTI yang berupa buku pelajaran

Berupa buku yang bertaraf nasional

5

Berupa buku yang bertaraf propinsi

3

6 KTI yang berupa diktat pelajaran

Berupa diktat yang digunakan di sekolahnya

1

7 KTI yang berupa karya terjemahan

Berupa karya terjemahan buku pelajaran/ karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan

2

Sumber : pedoman penilaian angka kredit guru

Meskipun berbeda macam dan besaran angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah mempunyai kesamaan, yaitu:

- hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmua - kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah

- kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah - tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan karya ilmiah

Salah satu bentuk KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit )

Persyaratan Karya Tulis Ilmiah

(23)

Karya tulis ilmiah yang ditulis guru hendaknya memenuhi syarat APIK (Asli,Perlu, Ilmiah dan Konsisten ) artinya

a. Asli ( Original ) karya tulis yang dihasilkan harus merupakan produk asli guru dan sesuai dengan mata pelajaran yang diampu dan tempat bekerja

b. Perlu/bermanfaat ( usesful) karya tulis yang dihasilkan guru harus dirasakan manfaatnya secara langsung oleh guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran

c. Ilmiah ( scientific) karya tullis yang dihasilkan harus disusun secara ilmiah, sistimatis, runtut dan memenuhi persyaratan penulisan karya ilmiah

d. Konsisten ( concistency) karya tulis ilmiah yang dihasilkan harus memperlihatkan keajegan dan konsistensi pemikiran yang utuh, baik secara keseluruhan maupun hubungan antar babbagian karya tulis yang disajikan

Pengembangan profesi dalam kegiatan sertifikasi guru

Sebagaimana telah diuraikan komponen pengembangan profesi guru dalam sertifikasi guru harus membuat karya tulis ilmiah , adapun jenisnya seperti dibawah ini

Karya Pengembangan Profesi dalam portopolio sertifikasi

Jenis Dokumen / Karya Publikasi

Skor

Relevan Tidak relevan

Buku

Nasional 50 35

Provinsi 40 25

Kabupaten/Kota 30 15

Artikel Jurnal Terakreditasi 25 20

(24)

Jurnal Tdk Terakreditasi 10 8

Majalah/koran nasional 10 8

Majalah/koran lokal 5 3

Menjadi reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN 2 per kegiatan

Modul/Buku dicetak lokal (Kabupaten/Kota)

Minimal mencakup materi 1 tahun (dua semester) skor 20

Media/Alat pelajaran Setiap membuat satu media/alat pelajaran diberi skor 5

Laporan penelitian di bidang pendidikan

Setiap satu laporan diberi skor 10 Sebagai ketua 60% dan anggota 40%

Karya teknologi/seni (TTG, patung, rupa, tari, lukis, sastra, dll)

Setiap karya seni diberi skor 15

Sumber : rubrik Setifikasi

Dengan memperhatikan dua ketentuan dalam pengembangan profesi guru baik untuk kepentingan penilaian angka kredit bagi golongan IVa. Ke atas serta untuk kepentingan sertfikasi guru terdapat kesamaan jenis Karya tulis yang harus dikerjakan guru, yang membedakan hanya adalah seberapa besar nilai yang ditentukan, namun penulisan karya ilmiah mutlak harus dikerjakan artinya seorang guru tidak akan naik pangkat dari gol IVa ke IV b dan seterusnya jika tidak dapat mengumpulkan nilai dua belas (12) kedit point dari unsur pengembangan profesi, begitu pula untuk penilaian portopolio bagi sertifikasi seorang guru harus mendokumentasikan/mengirimkan kesepuluh unsur dalam

penilaian portopolio artinya dari kesepuluh komponen yang dinilai tidak boleh kosong termasuk unsur pengembangan profesi.

(25)

Adapun dalam pembuatan karya tulis ilmiah guru, khususnya dalam melakukan pengembangan profesi berbentuk penelitian dianjurkan melakukan Penelitian Tindakan Kelas hal ini karena PTK merupakan bentuk penelitian reflektif dengan melakukan tindakan tertentu agar dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara lebih profesional, serta dengan PTK 1. Guru tidak usah meninggalkan tugas pada saat melakukan penelitian 2.guru dapat merasakan hasil tindakannya 3.siswa dapat merasakan hasil treatmennya , sedangkan dalam pembuatan PTK hendaknya guru memperhatikan karakteristik PTK itu sendiri yang antara lain :1.permasalahan praktis di kelas 2. kolaborasi 3.ada upaya perbaikan 4.efektifitas metode/teknik 5.tidak untuk digeneralisasikan 6.tidak perlu populasi dan sampel 7.tidak ada kelas eksperimen dan kontrol

Penutup

Pengembangan profesi bagi guru merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sorang guru hal ini mengingat pengembangan profesi merupakan suatu persyaratan untuk kenaikan pangkat maupun untuk mengikuti program sertifikasi, maka dari itu penulisan karya tulis ilmiah ( KTI) dalam hal ini mempunyai nilai ganda sehingga manakala sorang membuat KTI maka yang bersangkutan dapat mempergunkannya untuk kenaikan pangkat sekaligus untuk sertifikasi ,

Daftar pustaka

Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru. Jakarta : Depdikbud, Dikdasmen.

Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : Bumi Aksara

Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan

---, Kepmenpan no 84 tahun 1993 tentang petunjuk teknis jabatan pungsonal guru dan angka kreditnya, Jakarta, MeenPAN

---, PermenDiknas No 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru, Jakarta

Profesi Pendidik

MEMBANGUN KEMANDIRIAN

DALAM PENGEMBANGAN PROFESI PENDIDIK A. P E N D A H U L U A N

Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi kehidupan manusia, pendidikan dapat mendorong peningkatan kualitas manusia dalam bentuk meningkatnya kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Masalah yang dihadapi dalam upaya memperbaiki dan

meningkatkan kualitas kehidupan sangat kompleks, banyak faktor yang harus dipertimbangkan

(26)

karena pengaruhnya pada kehidupan manusia tidak dapat diabaikan, yang jelas disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia suatu bangsa. Bagi suatu bangsa pendidikan merupakan hal yang sangat penting, dengan

pendidikan manusia menjadi lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, dengan pendidikan manusia juga akan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu membangun pendidikan menjadi suatu keharusan, baik dilihat dari perspektif internal

(kehidupan intern bangsa) maupun dalam perspektif eksternal (kaitannya dengan kehidupan bangsa-bangsa lain)

Menurut Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian tersebut dapatlah dimengerti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha atau aktivitas untuk membentuk manusia-manusia yang cerdas dalam berbagai aspeknya baik intelektual, sosial, emosional maupun spiritual, trampil serta berkepribadian dan dapat berprilaku dengan dihiasi akhlak mulia. Ini berarti bahwa dengan pendidikan diharapkan dapat terwujud suatu kualitas manusia yang baik dalam seluruh

dimensinya, baik dimensi intelektual, emosional, maupun spiritual yang nantinya mampu mengisi kehidupannya secara produktif bagi kepentingan dirinya dan masyarakat.

Pengertian tersebut menggambarkan bahwa pendidikan merupakan pengkondisian situasi pembelajaran bagi peserta didik guna memungkinkan mereka mempunyai kompetensi-

kompetensi yang dapat bermanfaat bagi kehidupan dirinya sendiri maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pasal 3).

Salah satu faktor yang amat menentukan dalam upaya meningkatkan kualitas SDM melalui Pendidikan adalah tenaga Pendidik (Guru/Dosen), melalui mereka pendidikan

diimplementasikan dalam tataran mikro, ini berarti bahwa bagaimana kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran akan terletak pada bagaimana pendidik melaksanakan tugasnya secara profesional serta dilandasi oleh nilai-nilai dasar kehidupan yang tidak sekedar nilai materil namun juga nilai-nilai transenden ysng dapat mengilhami pada proses pendidikan ke arah suatu kondisi ideal dan bermakna bagi kebahagiaan hidup peserta didik, pendidik serta masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, nampak bahwa Pendidik diharapkan mempunyai pengaruh yang signifikan pada pembentukan sumberdaya manusia (human capital) dalam aspek kognitif, afektif maupun keterampilan, baik dalam aspek fisik, mental maupun spiritual. Hal ini jelas menuntut kualitas penyelenggaraan pendidikan yang baik serta pendidik yang profesional, agar kualitas hasil pendidikan dapat benar-benar berperan optimal dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu pendidik dituntut untuk selalu memperbaiki, mengembangkan diri dalam membangun dunia pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

Karena pentingnya sumber daya manusia bagi perusahaan dan pentingnya sistem manajemen yang mengelola tenaga kerja ini, maka perusahaan memerlukan sistem penilaian kinerja

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pengakuan pada pentingnya tenaga kerja pada organisasi sebagai sumber daya manusia yang vital,

Teori tentang konteks manajemen sumber daya manusia, tinjauan strategis sumber daya manusia, pentingnya studi sumber daya manusia serta tantangan yang dihadapi

Manajemen  Sumber  Daya  Manusia  diperlukan  untuk  meningkatkan  efektivitas  sumber  daya  manusia  dalam  organisasi.  Tujuannya  adalah  memberikan  kepada 

Manajemen sumber daya manusia (MSDM) mempunyai berbagai maksud dan tujuan yang menjelaskan pentingnya manajemen sumber daya manusia dalam organisasi yang dapat

Peranan manajemen sumber daya manusia pada organisasi sangatlah penting, oleh karena itu manajemen sumber daya manusia harus dikelola secara profesional. Pengelolaan pegawai

Dokumen ini membahas tentang pentingnya sumber daya manusia bagi perusahaan dan cara perusahaan dapat mengelola sumber daya manusia mereka secara

Makalah ini membahas tentang manajemen sumber daya