HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Basuki Kurniawan, M.H.
H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
ii
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Penulis:
Basuki Kurniawan, M.H.
H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
ISBN:
978-623-363-098-6 Ukuran Buku:
14,8 x 21 Tebal Buku:
x + 165 halaman
Desain Cover:
Sendy Boy Layouter:
Ainunrh Editor:
Yeni F. Anggreini
Cetakan 1 September 2021
Dicetak & Diterbitkan Oleh:
KLIK MEDIA
Jl. Bromo 302 RT 01 RW 03 Kebonagung Sukodono-Lumajang-Jawa Timur Telp. 085259488719-081336335612
Anggota IKAPI No. 275/JTI/ 2021
SANKSI PELANGGARAN UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA NOMOR 19 TAHUN 2002 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing- masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
Motto
Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah Kebijakan seorang pemimpin berkait erat dengan kemaslahan
rakyatnya.
(Imam Jalaludin al-Suyuthi dalam “al-Asybab wa al-Nazhair”)
iv
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga buku yang berjudul ‘Hukum Admiistrasi Negara (Kepatuhan Pejabat Tata Usaha Negara Menjalankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik)’ ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penelitian ini penulis dapatkan dari buah pikiran renungan mengenai teoretis Hukum Administrasi Negara dan juga berlatar belakang empirik melalui putusan praktik penyelenggaraan PTUN di Indonesia sejak mulai berjalan pada tanggal 14 Januari 1991 sampai dengan sekarang. Dalam pelaksanaannya putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, pada tataran praktis putusan tersebut tidak dijalankan oleh pejabat tata usaha Negara. Hal ini menjadi penting untuk meneliti pentingnya kepatuhan pejabat tata usaha Negara supaya patuh dalam menjalankan putusan pengadilan TUN tersebut sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik.
Kajian dalam karya tulis ini disamping secara teoretikal mencoba mendekati persoalan-persoalan yang timbul di bidang penegakan hukum administrasi Negara di kalangan pejabat tata usaha Negara di Indonesia. Akan tetapi, bagi penulis yang penting adalah, bahwa gagasan
v ini mesti harus berkembang dalam proses pemikiran dialektik yang berada di ranah keilmuan.
Buku ini tidak akan pernah sampai ke tangan pembaca tanpaadanya kerjasama dan keterlibatan berbagai pihak, adalah tidak berlebihan bimana peneliti mengucapkan terimaka kasih yang tiada terhingga, kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda yang telah dengan kasih sayangnya memberikan semangat, dorongan dan bantuan moril serta materiil dan pengorbanan yang tak ternilai harganya.
2. Istri dan anakku tersayang, terima kasih sudah menamani selama ini.
Sebagai penutup kiranya tidak berlebihan jika peneliti sampaikan bahwa manakala terdapat kekurangan dan kesalahan dalam naskah Karya tulis ini semata-mata karena kekurangan dan keterbatasan kemampuan peneliti. Akhirnya, semoga Karya tulis ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat dalam rangka ikut memberikan warna pelangi keilmuan di Indonesia . Terima kasih Tuhanku semua ini karena Engkau yang berkenan menyertai hambaMu.
Jember, Februari 2021 Peneliti
vi
Daftar Isi
Motto ~ iii
Kata Pengantar ~ iv Daftar Isi ~ vi
Daftar Lampiran ~ ix Daftar Tabel ~ x
Bab I Pendahuluan ~ 1
A. Latar Belakang Penelitian ~ 1 B. Rumusan Masalah ~ 14 C. Tujuan Penelitian ~ 15 D. Manfaat Penelitian ~ 15 E. Metode Penelitian ~ 16 Bab II Tinjauan Pustaka ~ 23
A. Negara Hukum ~ 25
B. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara ~ 34 C. Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara ~ 36 D. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik ~ 48
E. Konsep Tujuan Hukum ~ 66
vii F. Pegertian Putusan ~ 70
G. Pengertian Putusan Tata Usaha Negara ~ 72 H. Pelaksanaan Putusan ~ 76
Bab III Kerangka Konseptual ~ 83 Bab IV Pembahasan ~ 85
A. Kepatuhan Hukum Pejabat Tata Usaha Negara terhadap Putusan Peradilan Tata Usaha Negara~85
B. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum ~ 93 C. Latar Belakang Penyebab Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Tidak Dapat Dilaksanakan~110
D. Pengaturan tentang Kepatuhan Hukum Pejabat Untuk Menjalankan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara ~ 118
E. Perbaikan Penyelenggaraan Peradilan Tata Usaha Negara ~ 144
F. Peran Ombudsman Republik Indonesia dalam Hal Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Tidak Dapat Dilaksanakan ~ 146
Bab V Penutup ~ 153 A. Kesimpulan ~ 153 B. Saran-Saran ~ 154
viii
Daftar Pustaka ~ 156 Tentang Penulis ~ 163
ix
Daftar Lampiran
1. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor : 12/G/2012/PTUN-PLG
2. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor:
16/G/2013/PTUN-PLG
3. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 152/G/2009/PTUN.SBY tentang Pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan.
4. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Nomor 003/REK/0899.2009/BS/03/III/2012
x
Daftar Tabel
Tabel 1 : Perubahan Undang-Undang yang Mengatur Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung Tabel 2: Skema Kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara
Tabel 3: Perbandingan Algemene Beginselen van Behoorlijke Bestuur (ABBB) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) Tabel 4 : Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan negara hukum1, konsekuensi logis dari negara hukum adalah pelaksanaan pemerintahan di Negara Indonesia harus berdasarkan hukum. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat.2 Peneliti dalam penulisan karya ilmiah ini lebih menekankan tentang pentingnya penegakan hukum positif untuk seluruh rakyat Indonesia. Maksud dan tujuan dari konsepsi negara hukum adalah untuk
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (3) yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia adalah negara hukum.
2 Hukum di Indonesia, https://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 1 Pebruari 2016.
Hukum Administrasi Negara
2
memberikan perlindungan dan keadilan serta kesejahteraan rakyatnya.3
Hukum menghadirkan diri dalam wujud kaidah yang disebut kaidah hukum (rechtsnorm, legal norm), yang penampilannya dapat berbentuk tertulis (dirumuskan dalam rangkaian kata-kata yang tertata sesuai dengan sintaksis yang berlaku) maupun tidak tertulis (yang tampil dalam wujud perulangan perilaku yang sama tiap terjadi situasi yang sama).4
Hukum positif di Indonesia terdiri dari hukum perdata, pidana dan tata negara, sedangan dari ketiga hukum hukum positif tersebut dapat kelompokkan menjadi 2 (dua) yakni hukum publik dan hukum prifat.
Pemaknaan adanya hukum di Indonesia tiada lain yakni agar peradaban di Indonesia selalu sesuai dengan konstitusi. Hukum dianggap penting untuk mengatur seluruh warga negara Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Motivasi ini merupakan bentuk komitmen dan konsistensi sebagaimana tujuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005- 2025.
Lampiran Bab IV tentang Arah-Tahapan dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025, yang
3 Widodo Ekatjahjana, Negara Hukum, Konstitusi, dan Demokrasi (Dinamika dalam Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia),(Jember: Jember University Press, 2015), hlm. 63.
4 Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), hlm. 1.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
3 pada intinya adalah5 pembangunan hukum dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Peradilan Tata Usaha Negara yang sering disebut dengan PTUN adalah bukti sahih adanya negara hukum di Indonesia. Peraturan hukum di Indonesia tidak hanya mengatur warga negara pada umumnya, tetapi pejabat negara juga ikut masuk dalam peraturan hukum. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah bentuk negara hukum yang di anut oleh para the founding fathers dan mothers Republik Indonesia. Diantara para founding father’s dan kemudian tercapai kesepakatan untuk mendirikan sebuah Negara yang bernama Indonesia, pada saat itu pula bangsa ini menyadari bahwa keadilan merupakan hal yang penting untuk memajukan suatu bangsa.6
5 Undang-Undang No. 17 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025-Lampiran Bab IV tentang Arah – Tahapab dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005- 2025 –IV.1.2 Mewujudkan Bangsa yang Berdaya Saing –Huruf E Reformasi Hukum dan Birokrasi.
6 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang dirumuskan:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social”.
Hukum Administrasi Negara
4
Pejabat Tata Usaha Negara atau sering kali disebut dengan Pejabat TUN, tidak bisa lepas dari tanggung jawab hukum bilamana pejabat TUN melaksankan kebijakan bertentangan dengan undang-undang dan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik. Asas-asas pemerintahan yang baik merupakan asas-asas yang menjadi pedoman apakah pejabat tata usaha Negara tersebut sudah sesuai atau belum dengan norma yang ada dalam menjalankan tugas jabatannya.
Pengaturan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara secara tegas dalam konstitusi tersebut dipengaruhi oleh gagasan mengenai perlunya peningkatan kualitas pengawasan terhadap pemerintah, sejalan dengan semakin meningkatnya tugas-tugas yang harus dilaksakan oleh Pemerintah yang dipengaruhi oleh paham negara kesejahteraan (welfare state ). Sejalan dengan berkembangnya pemaknaan fungsi dan tugas negara kesejahteraan (welfare state) dalam paham negara hukum modern (modern rechtstaat) maka fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah semakin meningkat baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas pengawasannya.7
Tradisi peradilan yang dikenal saat ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sistem yang berlaku di suatu peradilan memiliki tingkat saling terkait dengan sejarah hukum yang dimiliki suatu negara. Harus diakui, bahwa sistem peradilan yang digunakan di Indonesia
7 W. Riawan Tjandra ” Peradilan Tata Usaha Negara, Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2009), hlm.
1.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
5 sebagaimana yang dikenal saat ini, tidak bisa lepas dari sistem peradilan yang dianut oleh Belanda.Sistem peradilan di Indonesia setelah diadakan perubahan Pasal 24 yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945 menyatakan:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang beradi dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dari Pasal 24 UUD NRI Tahun 19458 tersebut antara lain dapat diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara serta sebuah Mahkamah Konstitusi.
Setiap hukum yang berlaku di Indonesia memiliki hukum acaranya masing-masing, dengan tujuan
8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 Ayat (2) menyatakan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Hukum Administrasi Negara
6
peradilan yang dilakukan dapat berjalan adil sesuai dengan amanat konstitusi. Hukum pidana mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum Perdata mempunyai Kitab Undang Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer). Sama halnya dengan Pidana dan Perdata, hukum Tata Usaha Negara juga mempunyai hukum acara yang mengatur proses beracara di PTUN. Hukum tata usaha Negara ini termasuk dalam lingkup hukum administrasi Negara.9
Peradilan Tata Usaha Negara yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung menjadi bagian penting dalam penegakan peradilan antara seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya itu dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara.10 Proses beracara di PTUN itu menyidangkan suatu
9 J.H.A. Logemann mendiskripsikan hukum administrasi ialah hukum administrasi meliputi peraturan-peraturan khusus, yang di samping hukum perdata positif yang berlaku umum, mengatur cara-cara organisasi negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat (de bijzondere regles, die naast het voor allen geldende burgerlijk recht, beheersen de wijze, waarop de staatsorganisatir aan het maatschappelijk verkeer deelneemt.Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan ketiga, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 23
10 Dalam praktek pemerintahan di Indonesia bentuk keputusan tata usaha Negara sangat beraneka ragam. Contoh: SK Pengangkatan Pegawai, Izin Usaha Industro, Surat Keterangakan Kelakuan Baik, Akte Kalahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), Sertifikat Hak Atas Tanah dll.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
7 keputusan pejabat TUN yang dianggap merugikan rakyat perorang atau kelompok.
Putusan PTUN menjadi bentuk suatu koreksi bahwa keputusan pejabat TUN11 yang terbentuk dalam kebijakan Surat Keputusan, penetapan, dan lain-lain terdapat kesalahan. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada siapapun di Indonesia yang kebal hukum. Pejabat negara yang berada di lembaga eksekutif 12 mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Bentuk putusan yang dikeluarkan PTUN kemudian bisa di ajukan banding dan kasasi bilamana pejabat TUN merasa putusan tersebut tidak adil. Karena memang tujuan adanya peradilan adalah untuk mencapai keadilan. Bilamana tidak diajukan banding selama empat belas hari, maka putusan PTUN itu mempunyai kekuatan hukum tetap/inkracht. Putusan PTUN yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh tergugat dan penggugat.
11 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 Angka 9 :”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
12 Teori Montesqiueu menjelaskan bahwa teori trias politika yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuan dari ketiga badan tersebut adalah terbentuknya check and balance diantara lembaga negara. Lihat I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara, (Malang:
Setara, 2012), hlm. 100.
Hukum Administrasi Negara
8
Fenomena yang terjadi di masyarakat dapat ditelisik dari berbagai media online dan cetak, terdapat beberapa putusan PTUN yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN.13 Hal ini menjadi bukti bahwasannya terjadi penyelewangan hukum yang terjadi di kalangan pejabat negara yang mempunyai posisi sebagai lembaga eksekutif.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa pejabat TUN tidak berkenan melaksanakan putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap. Padahal dalam UU RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116 menyatakan bahwa:
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
13 www.yomawaperatun.blogspot.com , diakses pada tanggal 1 April 2015.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
9 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksnakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang- undangan.
Hukum Administrasi Negara
10
Pasal 116 UU RI No. 51 Tahun 2009 tersebut bila diteliti terjadi belum ada kepastian hukum. Pasal 116 Ayat (4) yang menerangkan dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa”, uang paksa yang dimaksud pada ayat tersebut belum tertulis jumlah nominal yang diwajibkan. Sehingga terjadinya multitafsir dalam pengenaan uang paksa, sebab antara pejabat TUN dengan rakyat biasa tentang besaran uang paksa tentu sangat berbeda.
Pasal 116 Ayat (5) yang menegaskan tentang
“pengumuman di media massa cetak setempat”, juga masih belum memberikan efek jera bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN. Hal ini disebabkan karena bila hanya ditingkat lokal maka rasa malu dan mau melaksanakan putusan PTUN sangat sulit diharapkan untuk dilaksanakan.
Permasalahan yang terjadi dimasyarakat menjadikan bukti bahwa UU Peradilan TUN masih kurang mempunyai law enforcement di masyarakat. Hal tersebut bisa diteliti dari UU PTUN yang telah diubah dua kali belum mempunyai kekuatan pada eksistensi putusannya.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia dengan tertulis dalam Nomor : 003/REK/0899.2009/BS.03/III/2012 yang telah menerima laporan/pengaduan dari Dr. Ir. Julius Pontih, M.Sc yang bekerja di FMIPA Universitas Sam Ratylangi, Manado, mengenai tidak dilaksanakannya Putusan PTUN Manado yaitu Nomor 27/G.TUN/2006/ PTUN.MDO jo 43/B.TUN/2007/PT/TUN.MKS yang rekomendasikan terhadap rektor Universitas Sam Ratulangi agar
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
11 melaksanakan putusan PTUN tersebut.14 Hal ini menjadi contoh bahwa penegakan hukum administrasi Negara perlu ditingkatkan, khususnya dengan adanya lembaga Ombudsman Republik Indonesia.
Peradilan TUN merupakan peradilan yang menjunjung tinggi asas-asas umum pemerintahan yang baik bagi pejabat TUN. Asas-asas pemerintahan yang Baik merupakan penerjemahan dari istilah dalam hukum adminitrasi di Belanda yaitu “Algemene Beginselven van Behoorlijk Bestuur” atau mempunyai arti dalam bahasa Inggri disebut sebagai “the principles of good administration”. dalam berbagai undang-undang yang menguasai peradilan administrasi di Nederland, asas- asas umum pemerintahan yang baik (ABBB) disebut sebagai dasar banding dan atau pengujian (antara lain Pasal 8 ayat 1 di bawah Wet AROB). ABBB adalah asas- asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan- keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.15
Pejabat TUN dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai pejabat Negara dibatasi oleh asas- asas pemerintahan yang baik, sehingga di harapakan dengan adanya asas-asas pemerintahan yang baik, bentuk kepastian hukum bagi setiap warga Negara dapat tercapai, tanpa adanya suatu diskriminasi sama sekali.
Wiarda mengemukakan mengenai Asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ia menyatakan bahwa “asas-
14 Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Nomo:003/REK/0899.2009/BS.03/III/2012.
15 Philipus M.Hadjon, et.al, Pengantar Hukum…, op.cit, hlm. 270.
Hukum Administrasi Negara
12
asas Umum Pemerintahan yang Layak itu sebagai tendens-tendens etik, yang menjadi dasar hukum adminstrasi kita, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk praktek pemerintahan, dan dapatlah diketahui pula bahwa asas-asas itu untuk sebagian dapat diturunkan dari hukum dan praktek itu, sedangkan untuk sebagian secara eviden langsung mendesak kita”.
Kurangnya kepatuhan pejabat TUN dalam melaksanakan putusan PTUN berdasarkan asas-asas pemerintahan yang baik menjadi permasalahan tersendiri dalam segi penegakan hukum. Hal tersebut dikarenakan setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, tidak ada yang lebih khususkan. Pejabat TUN sebagai warga negara Indonesia juga mempunyai hak yang sama seperti warga pada umum. Akibat hukum dari tidak patuhnya pejabat TUN dalam melaksanakan putusan PTUN akan menjadikan rakyat akan menyepelekan peradilan dan hukum di Indonesia.
Peneliti ingin meneliti tentang kepatuhan pejabat TUN untuk menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik.Sehingga menjadikan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat menjadi peradilan yang tangguh sebagai pengawal terwujudnya Aparatur Negara yang tertib, efisien, berwibawa dalam rangka Negara Hukum Republik Indonesia.
Indonesia menyatakan diri sebagai negara berasaskan hukum (Rechtsstaat) dan atau bukan negara kekuasaan (Machtsstaat), akan tetapi tidak jarang Kepala Daerah yang masih memiliki prinsip otoriter klasik atau
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
13 berfikiran kurang terbuka khususnya pejabat di daerah yang dipilih atau terpilih. Kepala Daerah tersebut hanya memiliki wawasan disiplin ilmu/ berlatar belakang pendidikan yang rendah dan atau bermodalkan kemampuan finansial dan massa. Pelaksanaan pemerintahan di daerah dapat dilihat kemudian dalam melaksankan tugas-tugas kekuasaan di daerah, seringkali kepemimpinannya menggunakan kesewenang- wenangan selaku penguasa, sehingga sering berbenturan dengan tindakan/perbuatan melawan hukum.
Peradilan TUN menjadi pilihan bagi pejabat TUN yang terdzholimi oleh Kepala Daerah tersebut, yang hanya mengandalkan kekuasaan dalam memerintah.
Pengajuan gugatan ke Peradilan TUN walau membutuhkan jasa konsultan hukum terpaksa harus dilaksanakan, karena jabatan aparat bawahan/pejabat TUN yang semula dimiliki itu sudah dicopot. Pegawai Negeri Sipil/PNS sebagai pejabat TUN juga seringkali mengalami pemecatan atau penurunan jabatan yang sudah dijabatnya selama berpuluh-puluh tahuan.16 Putusan PTUN yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dalam sengketa kepegawaian terhadap putusan Nomor: 152/G2009/PTUN.SBY tentang pemberhentian sekretaris daerah kabupaten Pamekasan
16 Terpetik dari Kompas Edisi terbit Sabtu 1 Desember 2012,
“Seorang PNS Kalahkan Bupati”, serta Media Metro Siantar, “Toluto Bayar Rp. 10 Juta Setiap Bulan kepada Erty”, Kamis 29 Nopember 2012.
Hukum Administrasi Negara
14
tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh Bupati Pamekasan.17
Buah pemikiran yang penulis paparkan tersebut merupakan sebuah renungan mengenai teoretis Hukum Administrasi Negara dan juga berlatar belakang empirik melalui putusan praktik penyelenggaraan PTUN di Indonesia sejak mulai berjalan pada tanggal 14 Januari 1991 sampai dengan sekarang. Atas dasar pemikiran dan pertimbangan tersebut, melalui buku ini, penulis hendak mengkaji dan menganalisis secara lebih dalam mengenai kepatuhan pejabat tata usaha negara menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara berdasarkan asas- asas pemerintahan yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang yang tersebut di atas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam buku ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kepatuhan hukum pejabat TUN terhadap putusan Peradilan TUN?
2. Apakah pengaturan tentang kepatuhan pejabat Tata Usaha Negara untuk menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara telah sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik?
17 Surabaya Post Online, Bupati tolak putusan PTUN, http://www.surabayapost.co.id, diakses tanggal 28 Juni 2015.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
15
C. Tujuan Penelitian
Penulisan buku ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengkaji dan menganalisis kepatuhan hukum pejabat tata usaha negara untuk menjalankan putusan peradilan tata usaha negara.
2. Mengkaji dan menganalisis pengaturan tentang kepatuhan pejabat TUN untuk menjalankan putusan pengadilan tata usaha negara dalam undang-undang tentang peradilan tata usaha negara berdasarkan asas-asas pemerintahan yang baik.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara teoritis maupun secara praktis mengenai eksistensi putusan Peradilan Tata Usaha Negara di lingkungan pejabat tata usaha negara.
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penulisan ini dapat memberikan manfaat: Kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu Hukum Tata Negara (HTN) dalam kebijakan bidang Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kepatuhan pejabat tata usaha negara terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi negara, khususnya lembaga pembentuk undang-undang dalam rangka menetapkan peraturan-peraturan,
Hukum Administrasi Negara
16
sehingga dapat memberikan jalan keluar dalam mengeksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara di lingkungan pejabat tata usaha negara.
E. Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah mutlak menggunakan metode, karena metode itu berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai suatu tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan melainkan setiap langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan.18 Demikian pula dalam penelitian ini, digunakan langkah- langkah penelitian sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini digunakan tipe penelitian yuridis normatif. Hal ini sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji. Adapun maksud dari tipe penelitian tersebut akan di konsentrasikan pada kaidah-kaidah atau norma- norma yang ada didalam hukum positif atau hukum yang sedang berlaku pada saat sekarang dan yang berada di Indonesia. Dengan demikian terjadilah suatu persesuaian kehendak atau adanya suatu korelasi antara segala permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah yang telah di tetapkan dari
18 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia, 2006), hlm. 294.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
17 isu-isu hukum dengan norma-norma hukum yang sedang berlangsung.
Adapun penelitian hukum ini dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang timbul, sedangkan hasil yang akan di capai dari sebuah penelitian hukum tersebut adalah prekarya tulis mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan.19 2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah haruslah sesuai dengan tipe penelitian yang telah di tetapkan. Sehubungan dengan tipe penelitian yuridis normatif maka pendekatan masalah yang paling tepat adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan ini di maksudkan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok bahasan, yaitu dengan menganalisis aturan hukum yang terkait, terutama aturan hukum. Di samping itu juga digunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach) yaitu dengan cara mengindetifikasi dan menganalisa konsep-konsep hukum dalam teori maupun praktik.
Kemudian pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah pendekatan kasus (case approach), dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 41.
Hukum Administrasi Negara
18
untuk sampai kepada putusannya.20 Pendekatan- pendekatan tersebut untuk mempermudah dalam mencari solusi dalam penelitian ini, sehingga diharapkan akan lebih komprehensif dalam mencari jalan keluar mengenai Kepatuhan Pejabat Tata Usaha Negara menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan-bahan hukum yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji dan menganalisis sesuatu permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara antara lain sebagai berikut : a) Bahan Hukum Primer, maksudnya adalah bahan
hukum yang di peroleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tentunya yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji, diantaranya adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Ibid, hlm. 144.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
19 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari hasil membaca buku-buku, artikel, makalah, internet, serta karya ilmiah atau pendapat Pakar Hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas, untuk mendapatkan bahan-bahan secara riil sebagai pengetahuan dasar yang dapat mendukung dalam pembuatan usulan penelitian yang berbentuk karya ilmiah ini. Bahan hukum sekunder meliputi antara lain:
Hasil Penelitian/kajian hukum yang berkaitan pelaksanaan putusan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Jurnal tertentu yang memuat tulisan-tulisan eksistensi putusan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan pejabat tata usaha negara.
Buku-buku yang memuat tentang eksistensi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara di lingkungan pejabat tata usaha negara.
4. Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dipelajari atau dikaji serta diidentivikasi. Peneliti juga
Hukum Administrasi Negara
20
menggunakan pendekatan konseptual, oleh karenanya pengumpulan bahan-bahan hukum yang lebih esensial adalah penelusuran buku-buku hukum, karena didalam buku-buku hukum itulah banyak terkandung konsep-konsep hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan cara studi kepustakaan, selanjutnya dicari yang relevan dengan pokok permasalahan yang ada, kemudian disusun atau ditata dan dibuat secara sistematis agar tercipta suatu karya ilmiah yang berbentuk karya tulis . 5. Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder maka selanjutnya dilakukan analisis. Langkah- langkah analisis dalam penelitian hukum normatif ini adalah sesuai dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum antara lain sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan;
b. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan non hukum yang relevan dengan isu hukum;
c. Menelaah isu hukum berdasarkan bahan hukum yang telah di kumpulkan;
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
21 d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi
sesuai dengan isu hukum;
e. Memberikan prekarya tulis berdasarkan argumentasi yang telah dibangun.21
21 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hlm. 171
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
23
Bab II
Tinjauan Pustaka
Teori memegang peranan penting dalam dunia ilmu pengetahuan, karena teori merupakan sarana untuk memahami dan memecahkan persoalan yang dibicarakan secara lebih baik. Teori hukum merupakan suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk dipositifkan. Teori hukum hanya bersifat memberikan penjelasan tentang sebuah fenomena hukum atau fakta hukum. ruang lingkupnya lebih sempit dan tidak terlalu mendasar.
Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu pertama, teori hukum berhasil mengungkapkan “ruang gelap (dark corners)” dari suatu sistem hukum dan menunjukkan jalan arah perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep hukum. Kegunaan kedua, teori hukum telah membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui
Hukum Administrasi Negara
24
bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum telah biasa melakukannya.22
Berbeda dengan pendapat Posner, Friedman menyatakan bahwa semua teori hukum harus berisikan unsur filsafat – tempat manusia di alam nyata – dan memperoleh warna dan isi spesifik dari teori politik–ide terbaik untuk membangun masyarakat. Pendapat Friedman diperkuat dengan kenyataan bahwa sebelum abad ke-19, pelopor teori hukum terutama berasal dari para ahli filsafat, pemuka gereja dan politisi.23
Pendapat tentang teori hukum tersebut kemudian Bruggink24 menggunakan “teori hukum dalam arti luas”, yang didefinisikan sebagai : “keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, berkenaan dengan system konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan”.
Berdasarkan pengertian teori hukum tersebut diatas, maka dalam kaitannya dengan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, teori hukum akan dijadikan sebagai landasan/sebagai pisau analisis untuk menganalisa permasalahan yang diajukan, teori yang dimaksud meliputi teori Negara Hukum, Hukum Tata Usaha Negara,
22 Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, (Harvard University Press, 2001), hlm. 14-15.
23 Ian Mcleod, Legal Theory, (Palgrave MacMillan, 2007), hlm. 3.
24 JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 3.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
25 Pengadilan Tata Usaha Negara, Asas-Asas Pemerintahan yang Baik, Konsep Tujuan Hukum, Putusan, Putusan PTUN dan Pelaksanaan Putusan.
A. Negara Hukum
Sistem pemerintahan di setiap negara di dunia itu berbeda-beda, hal itu tergantung dalam sejarah serta budaya yang dianut oleh setiap negara. Bentuk hukum di negara di dunia bisa dibagi menjadi dua, yakni rechtsstaat (negara hukum) dan machtsstaat (negara kekuasaan).
Indonesia dalam konstitusi menempatkan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum.
Mukhtie Fadjar menerangkan bahwa sepanjang perkembangan kehidupan bernegara, negara selalu dihadapkan pada hukum kekuasaan dan munculnya ide negara hukum merupakan hasil dari pergulatan pemikiran yang panjang, bahkan berabad-abad antara negara dan hukum, terutama berkaitan dengan persoalan hakekat, asal mula, serta tujuan negara. Fokus permasalahannya terletak pada pertanyaan “dari manakah negara mendapatkan kekuasaan untuk memerintah serta mengadakan tindakan-tindakan yang harus ditaati oleh rakyat.25
Konsepsi negara hukum yang berhadapan secara kontroversial dengan negara-negara kekuasaan, pada hakekatnya merupakan hasil dari perdebatan yang terus menerus selama berabad-abad dari para sarjana dan ahli
25 A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi pada masa Transisi Paradigmatic, (Malang: Intrans, 2001), hlm. 11.
Hukum Administrasi Negara
26
filsafat tentang negara dan hukum.26 Dalam perkembangannya, menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, memberikan gambaran tentang negara hukum liberal, yaitu negara hukum dalam arti sempit yang menempatkan fungsi recht pada staat, sehingga negara berfungsi sebagai penjaga malam, artinya tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat, jangan diganggu atau dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ada campur tangan dan negara sebagai nachtwakerstaat.27
Konsep negara hukum dalam perkembangan selanjutnya, muncul istilah rechsstaat yang banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada civil law. Konsep rechtstaat yang dikemukakan Frederick Julius Stahl dalam bukunya Philosophi des rechts, sebagaimana dikutip Mahfud MD menyatakan, bahwa dalam negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara formal,28 yaitu:
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia 2. Guna melindungi hak asasi manusia, maka
penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politika;
26 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), hlm. 10.
27 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: FH UI, 1980), hlm. 152.
28 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gema Media, 1999), hlm. 127.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
27 3. Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang berdasarkan undang-undang masih melanggar Hak Asasi Manusia, maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.
Berbeda dengan Eropa Kontinental, negara-negara Anglo Saxon menyebutnya sebagai the rule of law.
Menurut A.V. Dicey, konsep the rule of law ini menekankan pada tiga tolak ukur yang meliputi:
supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights).29 Perbedaan kedua konsep tersebut adalah bahwa pada civil law lebih menitikberatkan pada administrasi, sedangkan common law menitikberatkan pada yudisial. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmaigheid yang kemudian menjadi rechmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before the law.30
Tamahana31 juga mengemukakan bahwa ada 2 (dua) versi negara hukum yang berkembang, yaitu versi formal dan versi substantif yang masing-masing tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep negara hukum
29 Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebaga Lembaga Negara dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm.
30 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 82.
31 Tamahana, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, (Cambridge University, Edisi ke 4), hlm. 91-101
Hukum Administrasi Negara
28
versi formal dimulai dengan konsep rule of law di mana hukum dimaknai sebagai instrumen tindakan pemerintah. Selanjutnya berkembang dalam bentuk formal legality, konsep negara hukum diartikan sebagai norma umum, jelas prospektif, dan pasti. Sementara itu, perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal adalah democracy and legality, kesepakatanlah yang menentukan isi atau substansi hukum. Konsep negara hukum versi substantif berkembang dari individual rights, yakni privasi dan otonomi individu, serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok.
Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan/atau keadilan (dignity of man), serta menjadi konsep social welfare yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan kesejahteraan, dan kelangsungan komunitas.
Selanjutnya ditambahkan oleh Tamahana,32 bahwa konsepsi formal dari negara hukum ditujukan pada cara tempat di mana hukum di umumkan (oleh yang berwenang), kejelasan norma, dan dimensi temporal dari pengundangan norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tidak ditujukan pada penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri dan tidak berkaitan dengan apakah hukum tersebut merupakan hukum yang baik atau jelek. Sementara itu, konsepsi subtantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap mengakui atribut formal yang telah disebutkan. Konsepsi negara hukum subtantif ingin bergerak lebih jauh dari itu. Hak-hak dasar atau derivasinya menjadi dasar konsep negara hukum
32 Ibid.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
29 subtantif. Konsep tersebut dijadikan sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk yang mengabaikan hak-hak dasar.
Konsep formal negara hukum fokus pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya, sedangkan konsep subtantif juga termasuk persyaratan tentang isi dan norma hukum.
Dari perkembangan pemikiran tersebut, dapat dikemukakan bahwa konsep negara hukum lahir melalui pemikiran para ahli hukum dan kenegaraan sebagai reaksi terhadap negara kekuasaan absolut. Disamping itu ide pembatasan kekuasaan adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan harus dilakukan dengan cara: (1) memberikan supremasi pada hukum yaitu semua tindakan penguasa harus berdasarkan pada hukum; (2) melakukan pembagian kekuasaan negara; (3) adanya jaminan hak asasi warga negara; (4) berorientasi pada kesejahteraan umum; (5) diperkuat dengan faham konstitusionalisme; dan (6) bertumpu pada faham kedaulatan rakyat.33
Negara hukum adalah merupakan konsep yang lahir dari produk sejarah, karenanya unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu negara. Sementara itu sejarah dan perkembangan masyarakat setiap negara tidaklah sama, sehingga
33 Rosyid Al Atok, Saling Kontrol dan Mengimbangi Antara Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden dalam Pembentukan Undang-Undang, Disertasi, (Malang: 2012), hlm. 28.
Hukum Administrasi Negara
30
pemaknaan dan unsur-unsur negara hukumnya juga berbeda.
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang secara konstitusional hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan dan perlindungan HAM.
Melihat kecenderungan negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok sebagi pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum, yaitu:
1. Supremasi hukum (supremacy of law), adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkhis yang berpuncak supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.
2. Persamaan dalam hukum ( equality before the law), setiap orang adalah sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Segala sikap dan tindakan diskriminatif adalah sikap dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara untuk mendorong mempercepat perkembangan kelompok tertentu (afermatif action).
3. Asas legalitas (due process of law), segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
31 Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures. Agar hal ini tidak menjadikan birokrasi terlalu kaku, maka diakui pula prinsip frijs ermeeseen yang memungkinkan para pejabat administratif Negara mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regel atau policy rules yang berlaku internal dalam rangka menjalankan tugas yang dibebankan oleh peraturan yang sah 4. Pembatasan kekuasaan, adanya pembatasan
kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Pembatasan kekuasaan ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan mengembangkan mekanisme cheeks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.
5. Organ-organ pendukung yang independen, sebagai upaya pembatasan kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya pengaturan lembaga pendukung yang bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, kepolisian, kejaksaan. Independen lembaga- lembaga tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi agar tidak dapat disalahgunakan oleh pemerintah
6. Peradilan bebas dan tidak memihak, mutlak keberadaannya dalam negara hukum. Hakim tidak boleh memihak, kecuali kepada kebenaran dan keadilanm serta tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun baik kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin
Hukum Administrasi Negara
32
kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan adanya intervensi terhadap putusan pengadilan.
7. Peradilan tata usaha Negara, meskipun peradilan tata usaha Negara merupakan bagian dari peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, tetapi keberadaannya perlu disebutkan secara khusus. Dalam setiap Negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi yang menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara. Keberadaan peradilan ini menjamin hak-hak warga negara yang dilanggar oleh keputusan-keputusan pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.
Keberadaan peradilan tata usaha negara harus diikuti dengan jaminan bahwa keputusan pengadilan tersebut ditaati oleh pejabat administrasi negara.
8. Peradilan tata negara (constitutional court), disamping peradilan tata usaha negara, dalam negara hukum modern lazim mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai upaya memperkuat sistem check and balances anatara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang mencerminkan cabang- cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.
9. Perlindungan Hak Azasi Manusia, adanya perlindungan konstitusional terhadap HAM dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Terbentuknya negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan dasar dan
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
33 HAM. Maka jika di suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau pelanggaran HAM tidak dapat diatasi secara adil, negara ini tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti sesungguhnya.
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), dianut dan dipraktikannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang- undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang, dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat), hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang di idealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri baik yang dilembagakan melalui gagasan negara hukum maupun gagasan negara demokrasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
12. Transparansi dan kontrol sosial, setiap proses pembuatan dan penegakan hukum dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu
Hukum Administrasi Negara
34
dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.34
Supremasi hukum, merupakan prinsip yang telah diakui sejak awal perkembangan konsep negara hukum.
Prinsip ini mengharuskan bahwa sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hierarkhis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekalugus merupakan pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Dengan sendirinya mewujudkan supremasi konstitusi adalah juga mewujudkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).35 Hadirnya konsep negara hukum diharapkan segala hal bentuk pemerintahan baik dari pusat hingga daerah dapat berjalan dengan baik.
Sehingga harapan para pendiri bangsa untuk ikut mensejahterahkan kehidupan bangsa dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.
B. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara
Hukum di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) yakni hukum adat, hukum Islam dan hukum positif. Indonesia yang majemuk baik dari segi bahasa, budaya, dan hukum
34 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hlm. 82-83.
35 Ibid, hlm. 85.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
35 menjadikan diperlukan suatu hukum yang pasti yang mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Hukum adat adalah suatu hukum yang mengatur masyarakat adat. Hukum berasal dari bahasa arab kata
“hakama” kemudian menjadi kata “hukum”, kemudian
“adat” berasal dari bahasa arab yakni “adatun” yang berarti kebiasaan. Hukum adat adalah hukum yang mengatur tentang kebiasaan. Hukum adat di Indonesia antara daerah satu dengan daerah lainnya itu berbeda- beda, sehingga tidak bisa mengikat seluruh rakyat. Sama halnya dengan hukum Islam, yang hanya mengatur rakyat yang beragama Islam. Hukum Islam yang berdasarkan syariah Islam tetap dianut oleh seluruh warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Hukum positif adalah hukum yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia. Hukum positif adalah keseluruhan kaidah yang diakui oleh penguasa masyarakat, diakui oleh pemerintah. Jadi tidak dipersoalkan apakah hukum ini bertentangan dengan moral atau tidak bertentangan. Oleh karena hukum positif adalah hukum yang berasal dari masyarakat, diterima oleh legislatornya dan disusun menjadi hukum positif kemudian diberlakukan kembali kepada masyarakat.36
Hukum positif merupakan kehendak dari penguasa (legislator) karena posisinya sebagai pembuat undang- undang. Jhon Austin sebagaimana dikutip Jujun S. Sri Sumantri berusaha membentuk hukum positif
36 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung:
Mandar Maju)., hlm. 56.
Hukum Administrasi Negara
36
dipisahkan dari unsur-unsur yang bukan hukum (unsur moral), sehingga hanya ada hukum murni (terjadi ketidakkonsistenan karena ajaran hukum ini masih dicampur dengan unsur psikologi, yaitu hukum adalah perintah dari yang berdaulat bagi mereka yang berada di bawah kedaulatan).37 Oleh karenanya hukum positif merupakan aturan yang berasal dari manusia, dimana perintah terdiri dari perintah umum dan khusus dari penguasa yang berdaulat. Hukum positif yang berasal dari penguasa, bisa juga berasal dari delegasi kepada pemerintah bawahan dan pribadi-pribadi atas mandat penguasa yang berdaulat, dan hukum positif merupakan refleksi kesadaran hukum masyarakat.
Hukum positif Indonesia dibagi menjadi hukum perdata, hukum pidana, dan hukum tata usaha negara.
Hukum tata usaha negara adalah hukum yang mengatur pejabat tata usaha negara. Hukum tata usaha negara yang masuk dalam lingkup hukum administrasi negara adalah hukum positif di Indonesia. Hukum tata usaha negara mengatur beshicking dan regeling yang dibentuk oleh pejabat negara.
C. Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara
Hukum tata usaha negara yang mengatur seluruh warga negara dalam bentuk adminsitratif. Penegakan hukum tata usaha negara supaya mempunyai posisi hukum yang ada maka dibentuklah Pengadilan Tata
37 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 2005), hlm. 78.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
37 Usaha Negara. Berawal dari kata peradilan yang terdiri dari kata dasar “adil” dan mendapatkan awalan “per-“
serta akhiran “-an”, berarti sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan.38 Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili,melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”, artinya peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata, pidana maupun tata usaha negara, untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil.39 Dalam mengartikan “peradilan” ia menunjuk kepada sekurang- kurangnya dua dari tiga ciri, yaitu: a) adanya peristiwa individual yang ditangani; b) adanya norma yang berlaku yang diterapkan; dan c) adanya konflik yang disalurkan.40
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut juga pengadilan administrasi negara. PTUN lahir dan mulai bekerja melayani masyarakat pencari keadilan sejak 14 Januari Tahun 1991. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah pengadilan yang termuda di antara 4 (empat) lingkungan peradilan (Pengadilan Negeri;
38 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang- Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Disertasi, (Yogyakarta: Liberty, 1983), hlm. 2-3.
39 Ibid.
40 A. Hamid S.Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992, hlm. 5, lihat Herowati Poesoko, hlm. 117.
Hukum Administrasi Negara
38
Pengadilan Militer; Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara). Indonesia sebagai negara hukum sudah lama mencita-citakan untuk membentuk pengadilan administrasi negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Rencana pembentukan tersebut dicantumkan baik dalam Undang- Undang Dasar, undang-undang maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara.41
Permasalahan mengenai hubungan antara hakim administrasi dan berfungsinya pemerintahan, oleh seorang penulis dan sekaligus Hakim Agung Administrasi terkenal di Perancis, R. Odent sebagaimana dikutip oleh Paulus Effendie Lotulung antara lain sebagai berikut:42
“The closeness between administration and judge is seen as the foundation of the ability if the administrative courts to set standards which will be seen as appropriate and be implemented by the administration”.
41 Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia (Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Percetakan Negara RI, 2005), hlm. xii.
42 Paulus Effendie Lotulung, Eksistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Dalam Menunjang Pemerintahan yang Bersih, Kuat dan Berwibawa dalam “Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak (Sebuah Tanda Mata Bagi 70 Tahun Prof. Dr. Ateng Syarifudin, S.H.), (Bandung: PT. Citra Aditya Baktim 1996), hlm. 327., lihat juga L. Neville Brown, cs, French Administrative Law,fourth edition, (Oxford: Clarendon Press, 1993), p. 41.
Basuki Kurniawan, M.H., dan H. Rohmad Agus Sholihin, M.H.
39 Terjemahan: Pendekatan anatara administrasi dan hakim dilihat sebagai suatu dasar kemampuan bilamana peradilan tata usaha negara diatur standar yang mana akan dilihat secara tepat dan dilaksanakan oleh administrasi/tata usaha negara.
Sesuai dengan pendapat tersebut, dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa peranan peradilan administrasi melalui putusan-putusannya pada hakikatnya dapat menentukan ukuran dan nilai-nilai hukum sehingga akan memberikan arah pada erciptanya suatu pemerintahan yang baik (good Administration), didasarkan pada hukum dan etika pemerintahan.43 Juga ciri yang ada tersebut merupakan tugas hakim. Secara tegas tugas hakim dalam mengemban tugas pokok peradilan adalah menerima, memeriksa, mengadili (menentukan) serta menyelesaikan setiap perkara.
Pada hakikatnya hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya, tetapi hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersikap adil bagi para pihak yang berperkara dan menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, karena
43 Ibid, hlm. 328.