IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM EKONOMI SYARIAH Khilmi Zuhroni1, Sri Andriani2
1,2Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah UIN Maliki Malang
1E-mail: [email protected] 2E-mail: [email protected]
Abstract
Ijma 'and qiyas are part of the source of Islamic law. Both of them have a position in determining the law, even though there are differences of opinion of the scholars on the two.
Ijma 'is a joint agreement made by the scholars to establish a law. The main sources of ijma 'are Al Qur'an and as Sunnah, where the scholars (mujtahid) agreed on incidents that had no clear stipulations that occurred after the death of the Prophet. Meanwhile, qiyas is a method of taking the law which is done by looking for the similarity of 'illat to the events or events that exist (al Far') with events or incidents that have been determined in the text (al ash).
The implementation of ijma 'in Islamic economics can be found in the coincidence of a group of ulama (ijtihad jama'i) in this case, for example, the Indonesian ulama council in determining the laws used by the contract in Islamic economics. Such as al wadi'ah, mudharabah financing, murabahah financing (buying and selling), musyarakah financing, ijarah Islamic bonds (leasing), ijarah financing, hawalah (debt transfer) and so on. While the implementation of diyas in Islamic economics can be found in mudharabah transactions, financing with ijarah contracts and murabahah financing.
Keyword: Ijma’ Qiyas, Islamic Economy
PENDAHULUAN
Perkembangan fenomena sosial dan ekonomi dalam Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek pokok perihal halal haram semata, setapi lebih jauh lagi tentang bagaimana sebuah tindakan ekonomi seseorang dapat dibenarkan atau dilarang menurut perspektif syariat dalam konteks yang lebih luas dan bervariasi.
Perkambangan ekonomi Islam yang pesat ini membutuhkan pendekatan-pendakatan baru dalam kaca mata ilmu fiqh sebagai dasar hukum boleh tidaknya tindakan, produk, layanan, indutsri, kelembagaan dalam ekonomi Islam tersebut dijalankan.
Persoalan muncul manakala perkembangan ekonomi Islam tersebut di beberapa hal tidak ditemukan keterangan hukum yang secara qat’i tertuang dalam sumber hukum Islam, yakni Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh karenanya dibutuhkan ketetapan hukum baru berdasarkan pertimbangan pemikiran para ulama, baik secara ijma’ yang merupakan kesepakatan para mujtahid untuk menetapkan huku tersebut maupun dilakukan dengan cara qiyas yakni mencari sifat-sifat, sebab, dan indikator kesamaan antara peristiwa-peristiwa baru dengan peristiwa-
peristiwa yang ada nashnya secara sarih, baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah (Choudhury 1990:4).
Dalam praktiknya tidak jarang terjadi perselisihan dalam menetapkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum. Imam syafi’i misalnya meragukan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum lantaran prosedur yang dilakukan dalam ijma’ hampir tidak mungkin terjadi. Bahwa sangat sulit untuk menerima dan menentukan tentang ulama-ulama yang nama yang dapat diterima ijma’nya dan mana yang tidak dapat diterima. Oleh karenanya Imam syafi’i berpendapat bahwa ada beberapa dasar kenapa ijma’ sulit dilakukan dan diterima hasilnya nya.
(Al Khan, 1998:461). Demikian halnya imam Hambali yang hanya menerima sebagian saya dari ijma’ yakni ijma ahli Madinah dan Ijma’ Sahabat. Abdul Wahaab Khalaf menegaskan bahwa para ahli hukum tidak bersepakat adanya ijma’ sejak awal sejarah hukum Islam. Bahkan Abdullah Ibn Hanbal mengatakan bahwa, 'siapapun yang mengklaim Ijma' (konsensus) antara semua ahli hukum adalah terlalu mengada-ada (berdusta) (Khalaf, 1978:49).
Sedangkan metode qiyas demikian juga tidak semua ulama sepakat dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam Islam. Terlebih qiyas yang dilakukan hanya dengan dasar ra’yu semata. Yakni semata-mata mengunakan akal tanpa didasari dengan dasar nash yang jelas.
Ulama-ulama yang menolak motode qiyas, lebih melihat bahwa qiyas sering dilakukan hanya dengan logika dan angan-angan semata, apalagi ada kepentingan hawa nafsu di dalamnya.
Kelompok ulama yang menolak metode qiyas secara multak misalnya adalah ulama zhahiriyah dan syi’ah. Mereka menolak penemuan illat atas suatu hukum yang dilakukan dalam qiyas serta menganggap tidak diperlukannya mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
Sebagaimana pendapat jumhur ulama, bahwa sumber hukum yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan hukum dalam Islam ada empat, yakni Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’
dan Qiyas (Al Khan, 1998:453). Dengan demikian setiap peristiwa yang memerlukan ketetapan hukum harus didasarkan pada nash-nash yang terdapat di Al Qur’an, dan A Sunnah, ditetapkan secara ijma’ antara ulama-ulama (mujtahid) yang ada pada waktu dan kondiri yang sama, serta dapat dilakukan dengan metode qiyas dengan mencari dasar-dasar kesamaan antara peristiwa- peristiwa baru yang terjadi dengan peristiwa yang telah ada ketentuannya secara syar’i baik dalam Al Qur’an, As Sunnah maupun ijma’.
Penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih dalam bagaimana ijma’ dan qiyas, baik secara pengertian, metode, rukun, keabsahan (kehujahan) hasil ijma’ serta bagaimana implementasi ijma’ dalam ekonomi Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, sehingga jenis penelitian ini disebut juga dengan penelitian kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta- fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi and Martini 1996:73). Sedangkan berdasarkan sumbernyanya ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan/studi pustaka (Library Research), yaitu sebuah penelitian yang memfokuskan penelitiannya dengan menggunakan data dan informasi dari berbagai macam literatur baik berupa jurnal, buku-buku, naskah-naskah, catatan-catatan dan lain-lain. Dari data-data yang diperoleh dari studi pustaka selanjutnya dilakukan analisis secara deksiptif untuk menangkap makna yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN IJMA’
Pada pembahasan ini akan diuraikan tentang pengertian ijma’, hakekat ijma’ dan macam-macam ijma’. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan pula tentang rukun ijma’, kehujjahan ijma’ serta implementasi ijma’ dalam ekonomi syariah. Meskipun berbeda pandangan di kalangan ulama tentang kedudukan Ijma’ sebagai sumber syari'at dan tentang kemungkinan terjadinya Ijma 'di dalamnya bentuk klasik pada zaman kontemporer, namun demikian sebagai bagian sumber hukum Islam, di samping Al-Qur'an dan Sunnah dan otoritas Ijma' disepakati dengan suara bulat.
Pengertian, hakekat dan macam-macam ijma’
Secara bahasa ijma’ memiliki dua makna, yakni al ‘Azm (ketetapan) (Ali, 2010:95) dan al Itifaq (kesepakatan) (Al Khan, 1998:453). Bermakna al ‘Azm (ketetapan) merujuk pada Al Qur’an surat Q.S Yunus ayat 71 (fa azmi’u amrakum) artinya tetapkanlah urusan-rusanmu.
Sedangkan makna al Itifaq yang berati kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang (ajma’ul qauma ‘ala kadza) yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu (Al Khan, 1998:453).
Ijma’ menurut istilah ushul fikih adalah kesepakatan para mujtahid muslim dalam memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah terhadap hukum syar’i (Khalaf, 1978:45). Definisi tersebut mengandung beberapa unsur dalam melakukan ijma’, yakni adanya mujtahid, peristiwanya setelah Rasulullah wafat dan masalah yang diputuskan berkaitan dengan hukum syar’i. Hal ini menunjukkan bahwa ijma’ hanya boleh dilakukan setelah Rasulullah wafat, sebab hukum-hukum yang ditetapkan pada saat Rasulullah masih hidup tidak
dapat disebut sebagai kesepakatan mujtahid, sebab hukum yang ditetapkan Rasulullah adalah bagian dari sumber hukum itu sendiri, yakni As Sunah. Hukum-hukum yang ditetapkan dalam ijma’ haruslah hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah syar’i, yakni hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik dengan tuntutan, pilihan atau ketetapan (Jumantoro dan Amin, 2005:90).
Kesepakatan dalam ijma’ adalah kesepakatan yang hanya boleh dilakukan oleh mujtahid muslim, yakni adalah orang yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (Ali, 2010:97). Karena ijma’ merupakan hasil kesepakatan atas tetepan sebuah hukum syari yang dilakukan oleh para ulama, maka ijma’ dapat juga disebut sebagai ijtihad jama’i (Makhlouf, 2020:8). Hasil kesepakatan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi mujtahid tidak dapat dikatakan sebagai ijtima’. Menurut Zuhayli (Zuḥaylī, 1998:1043) syarat seseorang dapat melakukan ijtihad (mujtahid) adalah: 1) Mengetahui dalil-dalil (baik ayat Al Qur’an maupun As Sunnah) yang berhubungan dengan hukum; 2) Mengetahui masalah-masalah yang akan disepakati (di-ijma’kan); 3) Mengetahui nasikh-mansukh; 4) Memiliki kompetensi dalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang terlait dengannya; 5) Menguasai ushul fiqh; 6) Mengusai asrarusysyari’ah (rahasia tasyri’); 6) Memahami prosedur istimbat hukum (Jumantoro dan Amin, 2005:113).
Dasar yang dijadikan sumber hukum dalam ijma’ adalah Al Qur’an, As Sunnah dan akalpikiran. Disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 59 (Kemenag, 2021:4:59):
ْۚمُكْنِم ِرْمَْﻻا ِﱃوُاَو َلْوُسﱠرلا اوُعْـيِطَاَو َّٰا اوُعْـيِطَا آْوُـنَمٰا َنْيِذﱠلا اَهﱡـيَٰٓ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu”
Kata “Ulil Amri” dalam ayat di atas, mengandung pengertian yang umum. Yakni orang-orang yang diberi kepercayaan mengatur urusan-urusan umat (Khalaf, 1978:47). Dalam peperangan ulil amri bermakna panglima perang, dalam hal bisnis ulil amri dapat berarti pemilik-pemilik perusahaan, dalam urusan negara ulil amri adalah kepala pemerintahan, sedangkan dalam urusan agama ulil amri adalah para ulama dan sebagainya (Hamka, 2010:1281).
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa tatkala orang-orang yang diberikan kepada mereka memegang urusan/kekuasaan (ulil amri) telah melakukan ketetapan tentang suatu hukum atau urusan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum, baik urusan ekonomi,
politik, sosial maupun agama, maka hendaklah kaum muslimin melaksanakan dan mentaati hasil kesepakatan tersebut dengan sebaik-baiknya (Asni, 2020:4).
Ijma’ pada hakekatnya adalah sumber hukum yang diambil dari kesepakatan para ulama (mujtahid) terhadap urusan syara’ yang dilakukan sepeninggal Rasulullah baik hukum yang disandarkan pada Al Qur’an, As Sunnah maupun hasil pemikiran-pemikiran ulama yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum yang tidak terdapat secara langsung baik di Al Qur’an maupun As Sunnah. Contoh hasil ijma’ ini misalnya adalah pengangkatan khalifah pengganti Rasulullah. Tatkala Rasulullah meninggal beliau tidak secara langsung menunjuk pengganti beliau. Maka para sahabat melakukan musyawarah untuk menentukan khalifah yang paling tepat untuk mengganti Rasulullah, dan setelah melalui proses yang cukup panjang, maka diputuskanlah secara bersama Abu Bakar sebagai khalifah (Hamka, 2016:154–56).
Menurut Khalaf (Khalaf, 1978:51–52) ditinjau dari sisi terjadinya penetapan hukum, ijma’ terbagi menjadi dua macam, yakni al Ijma’ al Sharih dan al Ijma’ As Sukuty. Al Ijma’ al Sharih (ijma’ murni) adalah kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijma’ sharih disebut juga dengan istilah Al Ijma’ Bayani, Al Ijma’ Haqiqy dan Al Ijma’ Qauli. Sedangkan al Ijma’ As Sukuty adalah sikap diam oleh sebagian atau seluruh mujtahid terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikamukakan oleh mujtahid lain di masanya (Ali, 2010:98). Yang dimaksud dengan sikap diam yakni, para mujtahid tidak menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas atau tidak memberikan reaksi terhadap hukum yang ditentukan mujtahid lain. Ijma’ ini disebut juga dengan ijma’ ‘itibari (relatif).
al Ijma’ As Sukuty disebut sebagai bagian ijma’ karena tatkala seorang mujtahid telah menentukan hukum suatu masalah kemudian disodorkan hal tersebut kepada mujtahid yang lain, mereka tidak melakukan reaksi atau hanya diam. Tidak adanya reaksi ini bisa jadi karena tidak adanya waktu yang cukup untuk melakukan penelitian dan kajian terhadap hukum tersebut, sehingga diamnya para mujtahid dapat dianggap sebagai kesepakatan terhadap hukum yang diambil (Khalaf, 1978:51).
Ditinjau dari segi yakin dan tidaknya, ijma’ terbagi menjadi dua macam. Yakni ijma’
qath’i dan ijma’ dzanni. Ijma’ qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain perpedaan pendapat terhadap hasil ijma’
tersebut. Sedangkan ijma’ dzanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu masih ada kemungkinan hasil yang berbeda dengan ketetapan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan jika dilakukan pada waktu yang lain (Khalaf, 1978:52).
Selain pembagian ijma’ di atas, berdasarkan tempat dan mujtahidnya ijma’ dibagi menjadi (Al Khan, 1998:457–67):
1) Al-Ijma’ Sahaby, yaitu ijma’ uyang dilakukan oleh pasahabat Rasulullah
2) Ijma’ al Khulafa’ ar-Rasyidun, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ijma’ini hanya dapat dilakukan saat keempat khalifah tersebut masih hidup bersama, yakni pada masa khalifah Abu Bakar masih hidup.
3) Ijma’ asy-Syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bi Khatthab 4) Ijma’ Ahl Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ulama
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang dipegang oleh Madzhab Maliki.
Akan tetapi Madzhab Syafi’I tidak mengakuinya sebagai sumber hukum Islam.
5) Ijma’ ‘Ulama Kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadi ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Rukun Ijma’ dan Kehujjahan Ijma’
Menurut pendapat Az Zuhaili (Zuḥaylī, 1998:537), sebuah ijma’ dapat dianggap sebagai sumber hukum tatkala telah memenuhi rukun-rukun ijma’, yakni:
1. Jumlah mujtahid lebih dari satu orang, sebab jumlah mujtahid yang hanya satu orang tidak mungkin terjadi ijma’ karena tidak akan ada kesepakatan.
2. Adanya kesepatan para mujtahid atas suatu hukum yang ditetapkan. Jika terdapat mujtahid yang tidak bersepakat terhadap suatu hukum yang ditetapkan atas suatu peristiwa, maka ijma’ tidak terjadi.
3. Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar'i tanpa memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang lainnya, itu tidak bisa disebut ijma.
4. Kesepakatan dalam ijma’ harus dinyatakan secara tegas oleh masing-masing mujtahid bahwa meraka sependapat dengan mujtahid yang lain tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan, atau unsur-unsur yang memaksan seorang mujtahid terpaksa bersepakat dengan mujtahid lain (Zuḥaylī, 1998:537).
Melihat rukun ijma’ yang demikian ketat, sangat kecil kemungkinan terjadinya ijma’.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Syafi’i bahwa sangat sulit untuk menerima dan menentukan tentang ulama-ulama yang nama yang dapat diterima ijma’nya dan mana yang tidak dapat diterima. Imam syafi’i berpendapat bahwa ada beberapa dasar kenapa ijma’ sulit dilakukan dan diterima hasilnya nya. Pertama, bahwa para ulama (fuqaha) berdomisili di
tempat dan negara yang berbeda sehingga kecil kemungkinan untuk bertemu. Kedua, perdebaan pendapat kalangan ulama fiqh sudah umum terjadi, sehingga hal ini menyulitkan terjadinya ijma’ dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan sebagai argumen (hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat (Al Khan, 1998:461).
Ijma’ sebagaimana disepakati oleh ulama merupakan sumber hukum Islam setelah Al Qur’an dan An Sunnah. Dengan demikian ijma’ memiliki dasar yang sangat kuat sebagai hujjah atau agrumengasi yang kokoh terhadap ketetapan suatu hukum. Hal ini bersadarkan perintah Allah SWT, sebagaimana terdapat dalam QS. An-Nisa, ayat 59 bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk taat kepada-Nya, taat kepada Rasul- Nya dan taat kepada ulil amri, yakni orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur urusan masyarakat. Makna ulil amri yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung makna umum, yakni dapat ditafsirkan kepada orang yang mengatur urusan dunia (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain), dapat juga ditafsirkan kepada orang yang mengatur urusan agama (ulama, mujtahid) (Khalaf 1978:47).
Kehujjahan ijma’ ini lebih dapat dirasakan manakala terdapat peristiwa-peristiwa saat ini yang membutuhkan dasar hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dapat nas Al Qur’an maupun As Sunnah. Misalnya urusan-urusan yang terkait dengan kegiatan ekonomi, dimana terdapat perbedaan yang sangat sangat mendasar antara sistem dan praktik ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Praktik-praktik ekonomi Islam seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi membutuhkan rujukan hukum yang argumentatif sehingga umat tidak terjebak pada praktik-praktik ekonomi ribawi, gharar, maysir, dan zalim.
Implementasi Ijma’ dalam Ekonomi Syariah
Pemahaman ijma’ dalam kajian fiqh klasik agak susah ditemukan dalam kajian sumber hukum Islam, sebab secara definisi dan rukunnya, sumber hukum yang diperoleh melalui ijma’ hampir mustahil terjadi. Terlebih implementasi ijma’ dalam kajian ekonomi syariah kontemporer hampir dapat dipastikan tidak ada selama menggunakan standar definisi dan rukun ijma’ yang ditetapkan oleh ulama klasik. Abdul Wahaab Khalaf (Khalaf, 1978:49) menegaskan bahwa para ahli hukum tidak bersepakat adanya ijma’ sejak awal sejarah hukum Islam. Bahkan Abdullah Ibn Hanbal mengatakan bahwa, 'siapapun yang mengklaim Ijma' (konsensus) antara semua ahli hukum adalah terlalu mengada-ada (berdusta).
Namun demikian, dalam kajian kontemporer kesepakatan beberapa ulama atau organisasi ulama (seperti MUI) yang merupakan hasil ijtihad kolektif beberapa ulama, dimana belum tentu ulama lain bersepakat, dapat dijadikan sebagai bukti implementasi ijma’ dalam
keuangan Islam atau secara umum ekonomi syariah. Hasil penelitian Julia dan Belal (Julia and Belal Omar 2017:35) menemukan bahwa definisi ijma’ secara klasik tidak ditemukan dalam kajian keuangan Islam kontemporer, sebab tidak ada klaim yang mendukungnya, namun keputusan masalah-masalah tentang keuangan Islam dalam beberapa hal mendapat persetujuan dari ulama fiqh dengan latar belakang mazhab yang berbeda.
Syafi’i Antonio (Syafi’i Antonio, 2001:86) dalam kajian bank syariah menempatkan hasil kajian dan konsensus beberapa ulama (ijtihad jama’i) sebagai ijma’. Implementasi ijma’
dalam ekonomi syariah misalnya terhadi pada akad al wadi’ah dalam perbankan syariah. Al wadi’ah adalah adalah titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kepada pemiliknya jika menghendaki.
Bersadarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 02 tahun 2000, al wadi’ah merupakan jenis tabungan yang bersifat sebagai simpanan yang dapat diambil kapan saja tanpa adanya imbalan yang disyaratkan, kecuali pemberian secara sukarela (‘athaya) dari pihak bank. MUI menyebutkan bahwa wadi’ah disebut sebagai ijma’ berdasarkan pada riwayat adanya seorang sahabat nabi yang menitipkan harta anak yatim kepada orang lain dalam bentuk simpanan (Anonymous, 2000:3–4). Di zaman Rasulullah, menyimpan uang secara Islam adalah sebagai investasi langsung. Sementara pada abad praktek-praktek penyimpanan uang secara Islam banyak dianut oleh pemilik modal di Eropa.
Praktik al wadi’ah di banyak negara hingga saat ini masih tetap berlangsung (Mahbub and Shammo, 2016:44).
Selain al wadi’ah, implementasi ijma’ dalam ekonomi syariah dapat ditemukan dalam hampir semua akad yang difatwakan oleh MUI, diantaranya pembiayaan mudharabah, pembiayaan murabahah (jual beli), pembiayaan musyarakah, obligasi syariah ijarah (sewa- menyewa), pembiayaan ijarah, hawalah (pengalihan hutang) dan sebagainya.
QIYAS
Pengertian, hakekat, dan macam-macam Qiyas
Secara bahasa, qiyas berarti menyamakan membandingkan atau mengukur (qadar), seperti menyamakan sesuaatu dengan sesuatu yang lain, karena adanay kesamaan atau kemiripan dari keduanya. Qiyas dapat berarti mengukur (qadar), seperti mengukur tanah dengan alat ukur berupa meteran atau alat pengukur yang lain (Zuḥaylī 1998:601).
Menurut para ulama usul fiqh, qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nash (teks) nya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa lain yang ada dasar hukumnya dalam nash (teks) karena adanya persamaan illat antara keduanya (Khalaf 1978:52).
Qiyas sebagai sumber hukum Islam dilakukan tatkala ada kejadian atau peristiwa yang membutuhkan rujukan hukum akan tetapi peristiwa tersebut tida terdapat nash sebagai dasar rujukan baik dalam Al Qur’an maupun As Sunah, sehingga untuk menetapkan hukumnya diperlukan motode qiyas, yakni dilakukan dengan cara mencari kesamaan-kesamaan illat.
Qiyas dilakukan hanya jika tidak ditemukan adanya nash terkait dengan peristiwa atau kejadian yang ada yang membutuhkan ketetapan hukum syar’i.
Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum secara analogis terhadap peristiwa tertentu yang serupa secara prinsip persamaan ‘illat sehingga menghasilkan hukum yang sama. Jadi qiyas dilakukan dengan menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan sebab dan sifatnya. Terhadap masalah-masalah yang sama dan terdapat kekettap hukum yang jelas dalam nash, maka tidak dapat dilakukan metode qiyas.
Ada beberapa ayat Al Qur’an yang dijadikan dasar dalam pengambilan hukum secara qiyas, diantaranya adalah terdapat dalam surat an Nisa’ ayat 59:
اوُنَمآ َنيِذﱠلا اَهﱡـيَأ َ ُهوﱡدُرَـف ٍءْيَش ِﰲ ْمُتْعَزاَنَـت ْنِإَف ْمُكْنِم ِرْمﻷا ِﱄوُأَو َلوُسﱠرلا اوُعيِطَأَو َﱠا اوُعيِطَأ
ﻼيِوَْ ُنَسْحَأَو ٌْﲑَخ َكِلَذ ِرِخﻵا ِمْوَـيْلاَو ِﱠ ِ َنوُنِمْؤُـت ْمُتْـنُك ْنِإ ِلوُسﱠرلاَو ِﱠا َﱃِإ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Kemenag 2021,59)
Ungkapan pada ayat tersebut yang berbunyi “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah SWT (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah)” adalah dimaksudkan untuk menyelidiki tanda-tanda atau kesamaan-kesamaan yang ada pada masalah yang diperselisihkan dengan mencari kesamaan-kesamaannya dalam nash yang ada, hal inilah yang disebut menggunaan metode qiyas (Fuad, 2016:44). Perselisihan terhadap ketetapan hukum seringkali terjadi karena peristiwa yang membutuhkan ketetapan hukum tersebut tidak terdapat secara jelas dalam Al Qur’an maupun an Sunnah, sehingga boleh jadi setiap mujtahid memiliki perbedaan-perbedaan dalam menentukan hukumnya. Oleh karena itu dengan metode qiyas, illat yang pada pada peristiwa baru yang terjadi harus dicari betul-betul pada nash-nash yang ada.
Contoh penggunaan metode qiyas sebagai ketetapan hukum adalah salah satunya adalah pada kasus pengharaman mengkonsumsi narkotika. Sebagaimana disebutkan dalam QS.
Al Maidah ayat 90, bahwa mengkonsumsi khamr telah ditetapkan sebagai perbuatan yang haram, yakni perbuatan yang harus ditinggalkan. Para ulama bersepakat bahwa keharaman khamr didasarkan pada efek khamr yang memabukkan, sehingga akan mengarahkan pada perbuatan keji dan mungkar, selain itu khamr juga membawa dampak buruk bagi kesehatan dan kejiwaan. Ada kesamaan illat antara minuman khamr dengan efek mengkonsumsi narkoba yakni memabukkan (Khalaf 1978:53), sehingga jumhur ulama bersepekatan bahwa semua minuman yang memiliki illat memabukkan hukumnya haram.
Rukun Qiyas dan Kehujjahan Qiyas
Rukun qiyas adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi kesempurnaan huykum yang akan ditetapkan. Rukun merupakan elemen penting yang menjadi syarat utama penentu dari keabsahan, legal tidaknya sesuatu dilakukan. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi maka sesuatu yang dilakukan dianggap tidak sah. Adapun rukun qiyas adalah:
1. Al Asl
Secara bahasa al Asl diartikan sebagai asas, dasar, sumber atau pangkal. Sedangkan dalam pembahasan qiyas al Asl adalah kasus lama yang dijadikan obyek penyesuaian atau penyerupaan yang sudah ada ketetapan hukumnya baik secara nash maupun ijma’. Artinya asl merupakan tempat atau kejadian atau peristiwa yang dijadikan sebagai ukuran atau pembanding (Khalaf, 1978:60).
2. Al Far’
Al Far’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Maksudnya adalah kasus atau peristiwa yang dingin diserupakan kepada al Asl. Maka al Far’ akan diproses untuk disesuaikan dengan Al Asl. Secara substansi kasus-kasus baru yang belum ditetapkan dalam nash tersebut memiliki kesamaan dengan al asl, sehingga akan ada titik temu antara al Far’ dengan al Asl (Khalaf, 1978:60) .
3. Hukum Asl
Hukum asl adalah ketetapan hukum yang yang terdapat dalam nash pada al Asl dan hukum itu juga yang akan ditetapkan pada al Far’ jika ada persalaam ‘illat nya. Qiyas harus ditetapkan bersadarkan adanya hukum pada al Asl dengan adanya persaman illat-nya. Jika tidak terhadap illat-nya atau dalam arti illahnya tidak dapat ditangkap oleh akal manusia, maka al Far’ tersebut tidak dapat dijangkau dengan qiyas (Zuḥaylī, 1998:606).
4. Al ‘illah
Illah yaitu sifat yang ada pada al Asl yang dipersamakan dengan al Far’. Jika terdapat sifat-sifat kesamaan pada al Far’, maka persamaan itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal. Dalam metode qiyas ‘illat merupakan point penting diantara rukun-rukun lainnya. Sebab, illat merupakan titik temu dari al Asl dan al Far’. Jika illat tidak ada maka al Far’ tidak dapat disandarkan hukumnya pada al Asl, sehingga metode qiyas tidak dapat dilakukan (Fuad 2016:49).
Illat merupakan sifat atau keadaan yang melekat pada peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum. Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama dalam hal illat, yaitu:
1) ‘Illat itu nyata, yakni masih terjangkau oleh akal pikiran manusia. Hal ini diperlukan karena illat itulah yang menjadi dasar untuk menentukan hukum pada fara’;
2) ‘Illat itu harus pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan. Peristiwa-peristiwa atau perbuatan yang terdapat pada far’ harus bersifat pasti sehingga dapat dipersamakan dengan asl;
3) ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukumnya, yang berarti bahwa hikmah hukum pada far’ memiliki persamaan hikmah hukum pada asl.
Pada kasus khamr misalnya, hikmah hukum yang dapat dijadikan illat adalah memelihata akal dengan menghindarkan diri pada hal yang memabukkan.
4) ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada asl saja, tetapi harus pula berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari asl. Dalam kasus ini misalnya hukum-hukum yang secara khusus berlaku bagi Rasulullah namun tidak dapat dijadikan sebagai qiyas. Contohnya, memiliki istri lebih dari empat orang, atau larangan untuk kepada istri-istri Rasulullah untuk melakukan pernikahan lagi setelah Rasulullah wafat.
Kehujahan qiyas sebagai sumber hukum Islam, oleh sebagian besar ulama fiqh berpebdapat bahwa qiyas dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Hanya pada ulama fiqh khususnya empat mazhab memiliki perbedaan dalam kadar penggunaan qiyas dalam menetapkan istimbat hukum. Dintaranya yang menolah menjadi qiyas sebagai hujjah adalah mazhab syiah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, adalah adanya dasar tang terdapat dalam Al Qur’an, As Sunah dan perbuatan sahabat yang memungkinkan qiyas digunakan sebagai sumber hukum Islam. Seperti yang terdapat dalam surat an Nisa ayat 59 yang mengatakan bahwa jika terjadi perselisihan pendapat maka
kembalikan kepada Allah SWT dan Rasulnya. Dalam surat Al Hasr ayat 2, Allah SWT juga ada memerintahkan kepada orang-orang yang memiliki pandangan tajam (ulil Abshar) untuk megambil tamsil dan ibarat pada peristiwa-peristiwa atau kejadian yang ada (Khalaf, 1978:53).
Implementasi Qiyas dalam ekonomi syariah
Qiyas sebagai bagian hukum Islam, tentu dapat diimplementasikan kepada semua peristiwa atau kejadiaan yang ada termasuk dalam kaitannay dengan ekonomi syariah. Majelis Ulama Indonesia dapat melakukan ketetapan hukum yang tidak disebutkan secara jelas dalam nash senantis menggunakan metode qiyas. Diantaranya implementasi qiyas dalam ekonomi syariah adalah :
1. Transaksi mudharabah yang diqiyaskan dengan transaksi musaqah. Dalam keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI nomor 7 tahun 2000 disebutkan bahwa penyaluran dana dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dapat dilakukan dengan akad mudharabah, dimana LKS bertindak sebagai pemilik model dan nasabah bertindak sebagai pengelolah dana dan keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kontak kesepakatan. Illat dalam transaksi mudharabah dengan musaqah adalah adanya pemilik tanah dengan penggarap tanah. Musaqah adalah bentuk dari sederhana dari muzara’ah dimana adanya kerjasama antara pemilik tanah dengan pengarap tanah. Dengan sistem bagi hasil diantara keduanya. Pemilik dana pada transaksi mudharabah diqiyaskan dengan pemilik tanah pada transaksi musaqah, sehingga keduanya memiliki kesamaan illat untuk ditetapkan sebagai hukum (Anonymous, 2000:3).
2. Mengqiyaskan sewa-menyewa dengan jual beli. Para ulama menyamakan antara sewa- menyewa (ijarah) dengan jual beli. Kesamaan antara keduanya adalah sama-sama jual.
Yang berbeda adalah objeknya, tetapi dari sisi akad adalah sama. Jual beli terletak pada objeknya adalah barang sedangkan sewa menyewa objeknya adalah jasa/manfaat. Dengan demikian, ketentuan yang mengatur jual beli juga berlaku pada sewa menyewa (Rosyadi and Basri 2020:141).
3. Mengqiyaskan Ajir (orang yang menyewakan tenaganya) dengan al-wakil bil urjah (orang yang diberikan wewenang dengan imbalan upah). Keduanya sama-sama memperoleh upah sekalipun keduanya memiliki karakteristik dasar yang berbeda dan keduanya sama-sama disebut akad lazim. Dengan demikian, ketentuan bolehnya mengambil imbalan fee yang berlaku pada ajir berlaku juga pada al-wakil bil urjah, yaitu bahwa orang yang diberi
wewenang boleh mengambil upah sebagai imbalan atas jasanya (Rosyadi and Basri 2020:141).
PENUTUP
Ijma’ dan qiyas adalah bagian dari sumber hukum Islam. Keduanya memiliki kedudukan dalam menetapkan hukum, sekalipun ada perbedaan pendapat ulama terhadap keduanya. Ijma’ berupa sekepatan bersama yang dilakukan oleh para ulama untuk menetapkan suatu hukum. Sumber utama ijma’ adalah Al Qur’an dan as Sunnah, dimana para ulama (mujtahid) mengambil kesepakatan terhadap peristiwa-peristiwa yang belum ada ketentuannya secara jelas yang terjadi sesudah wafatnya Rasulullah. Beberapa ulama, seperti imam syafi’I tidak sependapat dengan ijma’ yang dirasa tidak memungkinkan dilakukan karena adanya kesulitah untuk mengambil satu kesepakatan hukum dari ulama dengan perbedaan pandangan tersebut.
Namun demikian, Ijma’ sebagai sumber hukum Islam, dapat ditemukan dalam produk-produk hukum yang ditetapkan secara bersama oleh kelompok ulama tertentu atau organisasi ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Indonesia sendiri ketetapan terhadap hukum khsusnya terkait dengan ekonomi syariah ditetapkan secara ijtihad kolektif (ijma’) dalam menetapkan hukum pada persoalan-persoalan atau peristiwa-peristiwa ekonomi secara kontemporer, diantaranya adalah akad wadi’ah atau tabungan yang berlaku di lembaga keuangan Islam.
Selain ijma’ sumber hukum yang juga dapat dijadikan sebagai hujjah adalah qiyas.
Berbeda dengan ijma’ yang membutuhkan kesepakatan para ulama, qiyas dilakukan dengan membandingkan hukum asl dengan far’ dengan mencarin kesamaan pada illat-nya. Metode yang juga dilakukan secara analogi ini memiliki rukun yang menjadi keabsahan dalam melakukan qiyas. Yakni, adanya al asl, al far’ dan hukum asl dan al illat. Qiyas tidak dapat dilakukan jika tidak terdapat ‘illat yang ada pada asl dan far’.
Impelemtasi qiyas pada ekonomi syariah diantaranya terhadap pada akad transaksi mudharabah dan ijarah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Khan, Musthafa Saeed. 1998. Atsara alikhtilaf fi a lqawaeid al’usuliat fi ikhtilaf al fuqaha’. Beirut, Lebanon: Al Resalah.
Ali, Abdullah bin Hamid. 2010. “Scholarly Consensus: Ijma‘: Between Use and Misuse.”
Journal of Islamic Law and Culture 12(2):92–113. doi:
10.1080/1528817X.2010.574391.
Anonymous. 2000. “Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, nomor : 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Tabungan.”
Asni, Fathullah. 2020. “Management of Fatwa Standardisation on the Practice of Bay’ ‘Inah Contract in Malaysia: An Analysis According to Usul al-Fiqh and Mura’Aht al-Khilaf Method.” Qualitative Research in Financial Markets ahead-of-print(ahead-of-print).
doi: 10.1108/QRFM-07-2019-0084.
Choudhury, Masudul Alam. 1990. “Syllogistic Deductionism in Islamic Social Choice Theory.” International Journal of Social Economics 17(11):4–20. doi:
10.1108/03068299010006358.
Fuad, Ahmad Masfuful. 2016. “Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbāṭ Al-Ḥukm.”
MAZAHIB 15(1). doi: 10.21093/mj.v15i1.606.
Hamka. 2010. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd.
Hamka. 2016. Sejarah umat Islam: pra-kenabian hingga Islam di Nusantara.
Julia, Taslima, and Zainab Belal Omar. 2017. “Application of Ijma’ in Modern Islamic Finance Rulings: Does Ijma’ Really Exist? A Literature Review.” Bangladesh Journal Of Islamic Thought 13:35–46.
Jumantoro, Totok, and Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Kemenag. 2021. “Al Quran dan Terjemahannya (Versi Online).” quran.kemenag. Retrieved (https://quran.kemenag.go.id/).
Khalaf, Abdul Wahab. 1978. ’Ilmu Ushul Fiqh. Kuwait: Dar Al Qalam.
Mahbub, Meshkat, and Anisul Mannan Shammo. 2016. “Does ‘Wadi’Ah’ Follow Islamic Principles in Islamic Banks?” IOSR Journal of Bussiness and Manahement (IOSR- JBM) 18(Islamic Finance):39–45. doi: DOI: 10.9790/487X-1806043945.
Makhlouf, Ahmed Gad. 2020. “Evolution of Islamic Law in the 20th Century: The
Conception of Collective Ijtihād in the Debate Between Muslim Scholars.” Oxford Journal of Law and Religion 9(1):157–78. doi: 10.1093/ojlr/rwaa019.
Nawawi, Hadari, and Murni Martini. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rosyadi, Imron, and Muhammad Muinuddinillah Basri. 2020. Ushul Fikih Hukum Ekonomi Syariah. Malang: Muhammadiyah University Press.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Zuḥaylī, Wahbah. 1998. Uṣūl al-fiqh al-Islāmī. Dimashq, Sūrīyah: Dār al-Fikr.